"Di mana anakku, Bu?"
Suara Hafizah terdengar oleh Lestari dan Dera yang duduk di sofa karena baru menghabiskan satu hari dengan membelanjakan uang Hamid sesuka hati mereka. "Hafizah?" Lestari kaget tidak percaya ada Hafizah di dalam rumah mewah anaknya Hamid. Begitupun Dera sama kagetnya kakak iparnya sudah ada di dalam rumah bahkan di ruang keluarga. "Iya, ini aku, sekarang aku sudah bebas. Jadi, apa boleh aku mengetahui di mana panti asuhan itu? Aku merindukan anakku." Hafizah tidak mungkin melupakan pengakuan ibu mertuanya yang telah membuang anaknya. Lima tahun menjadi penantian untuk bisa bertemu kembali dengan buah hatinya. Lestari dan Dera berdiri mendekati Hafizah yang tidak membawa apa-apa ditangannya, karena Hafizah memang tidak membawa barangnya ketika masuk penjara. "Enak saja mau tau anakmu! Kamu pikir aku bodoh sembarangan cerita di mana panti asuhan itu? Jangan harap, Hafizah!" "Bu, aku mohon. Anakku tidak bersalah sama sekali. Sekarang aku bebas, biarkan aku yang merawatnya," balas Hafizah mulai bersujud di kaki Lestari. Demi anaknya Hafizah merendahkan harga dirinya di depan mertua dan adik iparnya, bahkan tidak memikirkan dirinya yang belum makan seharian karena menunggu mereka pulang. "Heh, Hafizah!" panggilnya kasar memegang dagu Hafizah. "I-iya, Bu," jawabnya terbata. "Anakmu ada di tanganku, aku selalu mengawasinya walaupun dia berada di panti asuhan. Sekarang dengarkan aku baik-baik! Jika kamu mau anakmu selamat, aku memiliki syarat untukmu, yaitu jadilah pembantu di rumah ini secara gratis, karena aku bosan dengan pembantu lama yang hanya menghabiskan uang anakku untuk membayar mereka, aku rasa kamu sudah bisa menggantikan mereka tanpa bayaran sepeserpun." Sebuah ancaman dilontarkan Lestari pada menantunya yang sekarang kesakitan karena dagunya ditekan keras. Hafizah akan melakukan apa pun asalkan anaknya bisa selamat. "Baik, aku akan lakukan, tapi tolong jangan sakiti anakku." Lestari melepaskan tangannya, senyumnya merekah melihat ke arah Dera yang mendengarkan Hafizah setuju menjadi pembantu gratisan. "Pergilah, kamu bisa gunakan kamar di rumah anakku, kamu boleh makan sesuka hati, tapi ingat, Hafizah! Posisimu di sini hanyalah pembantu, bukan lagi menantuku." "Baik, Bu." Lestari menaikkan satu alisnya, rahangnya seketika mengeras, dia menggigit bibir bawahnya kesal mendengar Hafizah masih memanggilnya dengan sebutan 'Ibu' karena sekarang statusnya sudah berbeda. "Panggil aku, Nyonya Lestari!" Hafizah menarik nafasnya kasar, sebenarnya Hafizah sendiri tidak sudi memanggil Lestari nyonya dan bekerja di rumah ini secara gratis. Tetapi, dia tidak memiliki pilihan lain kecuali menuruti kemauan mertuanya demi demi anaknya selamat. "Iya, Nyonya." Lestari dan Dera tertawa lepas mendengarnya. "Bagus!" Lestari sangat senang akhirnya lima tahun menunggu Hafizah pulang sudah terobati dengan Hafizah setuju menjadi pembantu di rumah anaknya. Selanjutnya akan banyak kejutan yang datang menghampiri Hafizah. "Sana! Lakukan tugasmu besok pagi!" Lestari mengusir Hafizah dari ruang keluarga, karena hari sudah malam, dirinya juga mau istirahat bersama Dera. "Ibu hebat. Hafizah sekarang benar-benar menjadi tahanan rumah ini, jadi aku boleh memecat para pembantu di rumah ini 'kan, Bu?" "Boleh, kamu bisa melakukan apa pun terhadap mereka termasuk Hafizah, dia juga pembantu, kamu tau kalau Ibu berniat sejak dulu mau memenjarakan Hafizah seumur hidup. Hafizah masih muda, dia tidak boleh melanjutkan hidup apalagi menikah lagi. Enak saja dia menikah sedangkan anak laki-laki Ibu dia bunuh. Ibu akan pastikan dia tetap di rumah ini sampai mati!" Dera semakin senang dengan ibunya yang sangat membenci Hafizah, dengan begitu dirinya juga bisa bebas melakukan apa pun sesuai keinginannya termasuk berkeliaran malam-malam tanpa sepengetahuan Lestari. Saat Hafizah ingin masuk ke dalam kamarnya yang dulu pernah ditempatinya ketika tidur bersama suaminya, posisinya bersebelahan dengan ruangan makan, begitu masuk kamar dengan pintu yang tidak terkunci, matanya terbelalak melihat seseorang tengah berbaring di sana. "Itu, siapa?" Dengan rasa penasaran akhirnya Hafizah mendekatinya, melihat lebih dekat wajah seseorang yang tengah terbaring. Seseorang itu terbangun ketika tangannya disentuh Hafizah dari belakang, "Siapa kamu?" tanya seseorang itu akhirnya menepis tangan yang menyentuhnya. Hafizah memandangi mata seorang pria yang tengah kaget melihat dirinya masuk ke dalam kamar kenangannya bersama mendiang suaminya dulu. "Kamu yang siapa? Aku yang punya kamar ini," jawab Hafizah merasa dirinya memiliki hak atas kamar tersebut. Seorang pria yang sudah menggunakan piyama tidur berwarna ungu tua itu terheran mendengar jawaban wanita yang ada di depannya. "Yang punya kamar? Jangan bohong!" "Benar ini kamarku, aku tidak bohong, kamar ini adalah milikku dan Mas Hamid. Kamu sendiri, kenapa ada di dalam kamar ini?" Tiba-tiba ada yang berlarian dari belakang tubuh Hafizah, mendorongnya sampai jatuh ke pelukan seorang pria hingga terjatuh ke tepi tempat tidur, keempat mata itu bertemu saling bertatapan sangat dekat, membuat kedua jantung berdebar satu sama lain. "Kurang ajar!" Ditariknya tangan Hafizah jauh-jauh dari pria yang sudah ada di tempat tidur tersebut, sontak membuat Hafizah sendiri menyadari dirinya tadi berada di atas tubuh seorang pria selain mendiang suaminya. "Dera, sakit!" Tangan Dera kuat menarik Hafizah sampai mendekati pintu kamar yang akhirnya bersebelahan dengan seorang anak kecil perempuan yang tadi berlarian menabraknya hingga jatuh ke tempat tidur. "Wanita murahan! Kenapa kamu masuk ke dalam kamar suamiku? Oh, Jangan-jangan kamu mau menggodanya seperti kamu menggoda Bang Hamid dulu?" Hafizah menggelengkan kepalanya, pria yang ada di tempat tidur juga akhirnya berdiri setelah Dera teriak-teriak dan asal bicara. "Jangan sembarangan bicara, Dera!" "Sembarangan gimana? Kamu pikir pantas kamu masuk ke dalam kamar anak majikan? Ingat, kamu itu hanya pembantu di rumah ini, belum satu hari kamu sudah ada di atas tubuh suamiku, di tempat tidurku lagi. Pembantu sialan!" Dera sangat murka pada Hafizah, dirinya tidak rela kalau suaminya disentuh perempuan manapun, walaupun dirinya selalu berganti-ganti lelaki di luar sana, baginya suaminya bodoh karena terlalu penurut, sehingga dia kurang tertantang, apalagi hidupnya diganggu anak angkat dari suaminya yang selalu mengganggu. "Kamarmu? Yang benar saja! Kamu tau kalau dulu ini adalah kamarku dengan Mas Hamid, jangan begitu sama aku, Dera. Aku juga tidak tau kalau kamu sudah menikah." Pantas suasana di dalam kamar berubah drastis, tidak ada fotonya dengan mendiang suaminya yang terpampang di dinding. "Lima tahun ke mana saja, Hafizah? Ini adalah rumah abangku, berarti seluruhnya milikku, termasuk kamar, aku bebas menggunakannya. Sekarang, aku minta kamu keluar dari sini!" Dera mendorong Hafizah sampai terjatuh di lantai depan pintu. "Aw! Sakit, Dera!" Pria yang tadinya diam, sekarang bergerak menolong Hafizah untuk bisa berdiri, tidak bisa dirinya membiarkan istrinya bertingkah seenaknya pada orang lain. "Aku bantu kamu berdiri," ucapnya mengulurkan tangan. Hafizah menatap kembali mata pria yang begitu tampan walaupun habis bangun tidur, seorang pria yang ternyata jauh lebih tinggi daripada mendiang suaminya. Hafizah sudah membayangkannya, membandingkan pria di depannya dengan mendiang suaminya. "Astaga, aku tidak boleh seperti ini," ucapnya pelan. Pria itu mendengarnya, "Seperti apa?" Mereka tidak berhenti saling bertatapan, seperti memiliki arti yang dalam tanpa bisa berkata-kata. Dera semakin panas dibuat cemburu oleh suaminya sendiri yang membantu pembantu barunya itu, tangannya dipegang anak tirinya yang mau menyerang Hafizah kembali. "LEPAS!" teriak Dera membentak. Mendengar teriakan Dera membentak anak perempuannya, pria itu melirik tajam ke arah Dera sembari membantu Hafizah berdiri. "Cukup, Dera!" Sejak awal pernikahan memang Dera tidak pernah mau menganggap Putri sebagai anaknya, apalagi sekarang terang-terangan membentak. "Apa? Marah kamu, Mas!" Bukannya menyesal dengan perbuatannya, ini Dera semakin marah pada suaminya. "Ya! Aku marah padamu, jangan kamu lampiaskan amarahmu pada Putri, dia tidak bersalah dalam hal ini, tadi kamu salah paham melihat aku sama wanita itu di dalam kamar, seharusnya kamu bisa mengontrol emosimu di depan anakku." "Halah, mana ada orang selingkuh mau mengakui perbuatannya, putrimu selalu menyusahkan aku, lebih baik kamu kirim dia keluar negeri, biarkan aku yang membiayainya. Aku muak dengan anakmu yang bisu itu, lagipula aku juga menyesal dengan pernikahan kita, ternyata kamu bukan lelaki kaya raya yang aku harapkan, kamu sadar nggak Mas, kamu itu sudah menipu aku sama Ibuku." Dera semakin berani melawan suaminya, sedangkan Hafizah menyaksikan pertengkaran rumah tangga adik iparnya sudah rumit, mungkin akan sulit diperbaiki kalau Dera sendiri masih menginginkan suami yang kaya raya. Hafizah masih mematung di sana mendengarkan pertengkaran mereka berdua. "Tutup mulutmu! Aku tidak berselingkuh!" seru Hafidz. "Jahat! Kamu jahat sama aku, Hafidz!" teriak Dera yang akhirnya memukuli Hafidz dengan kedua tangannya. "Tenang Dera, kamu harus tenang." "Mana ada istri yang mau tenang kalau suaminya bersentuhan dengan wanita lain!" Dera masih memukuli suaminya, sedangkan Hafidz mencoba menangkap tangan Dera yang tidak mau diam. Terjadilah di mana Dera akhirnya mendorong Hafidz ke dalam kamar lalu menguncinya dari luar. "Ayo, ikut!" Dera menarik Putri yang masih berumur lima tahun menaiki tangga, dia mau mendorong Putri ke bawah agar anak bisu yang menyusahkan dirinya mati. Hafizah tidak mau tinggal diam, dia mengejar Dera dan anak perempuan itu sedang menaiki tangga lantai dua di rumah tersebut. "Memang pantasnya kamu mati!" Situasi menegang. Putri ketakutan dengan ibu tirinya yang galak juga tidak ada rasa sayang padanya, sekarangpun di mata Dera, Putri hanya anak yang terlahir cacat dan menyusahkan. "Berhenti, Dera! Serahkan anak itu sama aku. Kamu tidak boleh membunuhnya, kamu harus ingat, dia anakmu," ucap Hafizah membujuk Dera. "Diam! Kamu jangan ikut campur masalah rumah tangga aku! Dia ini tidak berguna! Anak ini juga bukan anak kandungku!" Dera frustasi, sehingga dia nekad ingin mengakhiri anak tersebut, karena anak itu pembawa sial, dia dibohongi suami sendiri sebelum menikah, tidak pernah terucap satu katapun memiliki seorang anak. Namun, Dera harus menerimanya dengan terpaksa, belum lagi suaminya mengaku sebagai orang kaya, pengusaha besar, kenyataan tidak seperti itu, Hafidz hanyalah pria pengangguran yang menumpang hidup ditambah beban anaknya tersebut. "Jangan, Dera!" Hafizah meraih lengan Putri agar bisa ditariknya dan menjauh dari Dera, dan berhasil Putri sudah ada ditangannya. Putri berani menggigit lengan Dera sehingga bisa terlepas, sialnya Dera terjatuh dari atas tangga. "Aaaaaaaaa!" Dera masih bisa berteriak ketika terguling-guling ke bawah tangga, mata Hafizah melihat kalau di bawah tangga ada ibu mertuanya yang melihat anaknya terbujur kaku di lantai dengan berlumuran darah pada bagian kepala. "Deraaaaaaa!" teriak Lestari. Tatapan Lestari tajam mengarah pada Hafizah dan anak tiri Dera yang masih ada di atas tangga. "Oh. Jadi, kalian!" Lestari naik ke atas tangga untuk menyeret Hafizah ke bawah. "Turun, kamu!" Ditariknya tangan Hafizah yang masih memegangi anak kecil itu, mereka bertiga menuruni anak tangga begitu cepat. Sampai pada tangga terakhir di mana Hafizah melihat darah segar mengalir di bagian kepala Dera. "Pembunuh!" Hafizah mulai gemetaran, dirinya sangat takut dengan darah, apalagi kejadian ini seolah menyudutkannya sebagai pelaku, tidak tahu harus bagaimana saat Hafizah menatap dekat mayat Dera. Ada gerakan dari tangan anak kecil yang dari tadi dipegang oleh Hafizah. Terlihat ketakutan melihat kejadian yang begitu cepat dan memakan korban. "Tenanglah, jangan takut, ada aku," ucap Hafizah menenangkan. Putri memeluk Hafizah, matanya melirik ke Lestari yang mau mendekati mereka berdua lagi, dan Hafizah berdiri ingin menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada ibu mertuanya tersebut. "Bu ... Sebenarnya yang terjadi ---" belum sempat dijelaskan Lestari sudah memegang ponselnya untuk menghubungi kepolisian untuk menangani kasus kematian Dera. "Diam! Aku akan menelpon polisi!" Hafizah menahan dirinya untuk bicara, memastikan Putri tetap dalam lindungannya dan tidak menjadi sasaran Lestari. Ingatannya sama seperti dulu ketika kematian suaminya, begitu juga reaksi Lestari yang menuduh dan menyudutkannya. "Bu, aku mohon jangan penjarakan aku, tolong dengarkan aku dulu." "Aku tidak akan mendengarkan kamu! Kecuali ada bukti di mana kamu tidak bersalah! Tapi yang kamu punya hanya anak bisu itu, dia tidak akan bicara, jadi aku bebas memenjarakan kamu untuk yang kedua kalinya." Hafizah menatap Putri, dia tidak bisa memaksa anak kecil yang mungkin sudah tidak bisa bicara dari lahir harus menjadi saksinya. "Ibu, aku mohon, aku tidak mau dipenjara lagi," rengek Hafizah memohon dengan sangat pada Lestari. "Sudah aku bilang jangan panggil aku, Ibu!" hardiknya. Lestari melihat ke arah ponselnya, polisi belum mengangkat telepon juga, seketika ada suara yang terdengar begitu pelan ditelinga Lestari dari belakang tubuhnya. "Dia, bukan pembunuh," ucapnya. Sontak membuat Lestari menengok ke belakang, memastikan suara anak kecil yang dia dengar. "Kamu!" Lestari terkejut anak tiri Dera bisa bicara. Hafizah sendiri menyadari kalau Putri melepaskan diri dari pelukannya. Hafizah tertegun menyaksikan Putri berusaha membelanya. Dan Hafidz yang sudah mendobrak pintu kamar, dia mendengar suara anaknya menggema di telinga untuk pertama kali. Tiba-tiba, Putri menggoyangkan tangan Lestari, ponsel pun terjatuh. 'CRANGGGGG!' Semua orang kaget, termasuk Lestari, bukan hanya kaget, kini emosi Lestari meledak. "Anak sialan!" murkanya mulai memegang kasar lengan Putri."Lepas!" Tangan Hafidz melepaskan cengkraman tangan Lestari yang menyakiti Putri. "Menantu tidak tau diri! Sudah miskin, menumpang di rumahku. Sekarang kamu membela anak haram ini! Aku mau anakmu pergi dariku!" Mendengar anaknya diusir oleh ibu mertuanya membuat Hafidz geram ingin sekali bertindak kasar pada Lestari yang dari empat tahun yang lalu selalu merendahkan dan menghinanya habis-habisan. "Jaga bicara Anda!" Hafidz sangat marah pada ibu mertuanya, tetapi Lestari tidak mau kalah dari menantu laki-laki yang tidak bisa menguntungkan baginya ini. "Apa? Kamu yang harus jaga bicara! Pantas kamu membentak aku yang sudah memberikan kamu kehidupan mewah?" Lestari tidak takut pada Hafidz yang sedang marah, dia serius ingin mengusir Putri dari rumahnya karena Dera yang memintanya. Dera selalu mengeluh kalau anak Hafidz pembawa masalah. "Cukup!" Hafizah berteriak ke mereka berdua untuk menghentikan pertengkaran yang terjadi, karena masih ada mayat Dera yang masih tergeletak
Ketika semua mata tertuju pada pemakanan yang hampir selesai, ternyata Lestari baru datang dengan tangan kosong berdiri tanpa air mata. "Pulang!" Lestari menarik tangan Hafizah agar menjauh dari tempat peristirahatan terakhir anaknya, membiarkan Hafidz yang akan mengurus semuanya. "Tapi, Bu ...." "Jangan tapi-tapi! Sekarang pulang kerjakan tugas rumah, kamu lupa kalau jadi pembantu? Kamu keluar rumah seenaknya tanpa menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Aku tidak akan biarkan!" Bisa-bisanya ibu mertuaku masih memikirkan pekerjaan rumah di saat pemakaman anak perempuan satu-satunya yang dia selalu bangga-banggakan. "Bu, dia anakmu, apa Ibu tidak sedih Dera tiada? Aku saja sedih, Bu." Belum pernah Hafizah menemui seorang ibu yang tidak sedih anaknya tiada. Namun, berbeda dengan ibu mertuanya yang tidak menangis sedikitpun. "Diam kamu, Hafizah! Jangan mencoba mengatur aku bagaimana. Sudah aku bilang kamu harus panggil, Nyonya! Sekarang aku mau kamu pulang dan kerjakan tug
"Aku tidak tau bisa atau tidak untuk membantumu, setidaknya handuk ini bisa menutupi pakaianmu yang basah," ucap seseorang yang tiba-tiba datang menyodorkan handuk. Hafizah menoleh, "Hafidz, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Eum, dari tadi, sama Putri juga menyaksikan kamu diguyur air, ini sudah malam, sebaiknya dilanjutkan besok, aku rasa Ibu Lestari juga tidak akan keluar kamar lagi." Hafidz mengetahui kebiasaan ibu mertuanya yang mengunci diri di dalam kamar dengan alkoholnya. "Terima kasih," balas Hafizah mengambil handuk tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada Putri yang menarik-narik pelan handuk yang dikenakan Hafizah. "Tante cantik, ini aku bawakan minuman hangat," ucapnya. Hafizah tersenyum, rasa sedihnya menghilang seketika menatap senyuman Putri, seperti ada magnet yang begitu luar biasa membuatnya bisa semangat lagi. "Terima kasih anak baik." Diambilnya minuman hangat yang dibawakan Putri padanya, setidaknya sudah menjadi obat penawar rasa sakit sudah
Kemarahan menyelimuti Lestari melihat menantunya membela anak sambung Dera. Sekarang Lestari berdiri memegang gelas yang ada di atas meja. "Rasakan ini!" Hafizah melindungi Putri dengan memeluk anak itu, matanya melihat Ibu mertuanya ingin melempar gelas yang ada di tangan. 'Cranggg!' Hafizah tidak merasakan sakit apa pun di punggungnya, padahal sudah jelas mendengar suara pecahan gelas jatuh ke lantai. "Ka-kalian, tidak apa-apa?" Suara yang meringis kesakitan bersumber dari belakang punggung Hafizah, wanita itu menoleh ke belakang perlahan. Dengan cepat memegangi pria yang sudah mengorbankan dirinya untuk melindunginya dan Putri. "Hafidz!" Hafizah menatap mata Hafidz dengan penuh kekhawatiran karena pasti pria itu terluka setelah melindungi dirinya dari serangan ibu mertuanya. "Ya, rasanya sakit," ucapnya pelan merasakan tubuhnya melemah. Ditangkapnya Hafidz dengan susah payah, walaupun harus melepaskan pelukan Putri yang sekarang melihat ayahnya terluka. Putri memega
"Bu, kami hanya membahas Putri," jawab Hafizah menjelaskan pada ibu mertuanya agar tidak ada salah paham. Berbeda dengan Hafidz yang perlahan melihat ibu mertuanya dengan santai. Lestari membawa sapu dan lap, dilemparkannya ke wajah Hafizah yang dari tadi belum juga membersihkan rumah. "Alasan! Ambil itu. Kerjakan semuanya sebelum aku pulang dari salon, jangan ada drama seisi ruangan kotor karena kamu sibuk pacaran sama Hafidz," ujarnya pergi setelah melemparkan barang-barang tersebut. Hafizah mengambilnya dengan wajah yang sedih karena dia harus terus diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya sendiri. "Tidak perlu diambil hati semua yang keluar dari mulut Ibu, aku tau sebenarnya kamu menantunya, nasib kita sama Hafizah, sama-sama diperlakukan tidak baik di sini." Hafidz bisa merasakan kekecewaan Hafizah terhadap Lestari, dia paham betul sifat Lestari sejak menginjakkan kaki di rumah ini. "Aku tidak apa-apa, sekarang mau kerjakan semua pekerjaan rumah, terima kasih sekali lagi
"Hafizah!"Tentu Hafizah tahu siapa yang memanggilnya dengan kasar seperti tadi, segera Hafizah keluar dari rumah untuk menyambut ibu mertuanya yang mungkin baru menjual semua perhiasannya. "Iya, Nyonya."Hafizah sudah ada di ruang tamu masih membawa lap di bahunya, sedangkan Lestari kelihatan pucat dengan rasa takutnya karena baru mengalami perampokan. "Buatkan aku kopi, antarkan ke kamarku."Lestari berjalan tanpa menoleh ke wajah Hafizah yang ada di sampingnya, sekarang Lestari mau menenangkan pikirannya yang kacau serta menghilangkan rasa takutnya. "Baik, Nyonya."Saat Hafizah ke dapur, sudah ada Hafidz yang berdiri di sana dengan memegang satu gelas kopi di tangannya. Hafizah tidak bicara dengan pria itu, tangannya sibuk meracik kopi walaupun tidak tahu takaran yang cocok untuk Ibu mertuanya, terlihat sekali Hafizah kebingungan. "Aku sudah buatkan kopi untuk Ibu, kamu tinggal bawakan saja ke kamar," ucap Hafidz meletakkan kopi tersebut di meja dapur. Hafizah mengambil kopi
"Maksud kamu?"Lestari mendongakkan kepalanya lebih berani daripada Hafizah. "Ya, aku akan katakan sesuatu yang mungkin membuat Ibu malu seumur hidup," balas Hafizah masih dengan puncak emosinya. "Malu? Seharusnya kamu yang malu seumur hidup, Hafizah! Kamu itu tidak tau diri, selalu menyusahkan aku di sini."Lestari ingin sekali mengusir Hafizah dari rumah, karena sudah tidak ada penghalang lagi untuknya bisa menikmati harta Hamid yang diincarnya selama ini. "Menyusahkan? Apa Ibu tidak pernah bercermin sama diri sendiri? Selalu aku yang Ibu salahkan, padahal aku yang sepantasnya marah sama Ibu dan Mas Hamid. Kalian jahat! Ibu juga sudah membuang cucu sendiri, coba bayangkan jika anakku kedinginan dan kelaparan di luar sana, Bu! Di mana hati Ibu sebagai seorang Ibu? Ibu sama Mas Hamid memiliki sifat yang sama-sama jahat dan tidak pernah memikirkan orang lain!"Dengan lantang Hafizah berbicara seperti itu pada Ibu mertuanya, apalagi semuanya memang harus diselesaikan agar ibu mertua
Selesai memberikan makanan ke Hafizah membuat Hafidz jauh lebih tenang saat masuk ke dalam kamar anaknya lagi. "Ayah, apa Tante cantik sudah makan?"Mata kecil yang ditatap Hafidz begitu mengkhawatirkan Hafizah, padahal mereka masih baru mengenal dan anaknya yang sulit akrab dengan orang lain bisa begitu perduli pada Hafizah. "Sudah, sekarang Putri tidur dulu ya. Ayah juga mau tidur, kamu harus bangun pagi karena besok mau sekolah," balas Hafidz. "Siap, Ayahku yang paling baik."Dikecupnya dahi Putri oleh Hafidz, anaknya ini selalu bisa memanjakan diri setiap bersamanya. "Aku janji akan menyayangi kamu seumur hidupku," ucapnya membelai halus rambut anaknya. Hafidz segera mandi membersihkan badannya, sedangkan Hafizah ingin menemui Putri sebelum dirinya tidur malam ini, dan dia melihat kalau kamar Putri tidak ditutup dengan rapat. "Putri, ternyata kamu sudah tidur, padahal Tante masih mau ngobrol sama kamu."Ada yang dipandangnya, wajah Putri yang begitu mirip dengan almarhum sua
Hafidz terus berdoa dengan penuh harapan dan air mata, memohon agar Putri tidak meninggalkannya. Ia telah berjuang keras agar anaknya tidak sakit, meskipun kenyataannya Putri menderita penyakit yang sangat serius."Putri, Ayah tidak akan pernah bisa memaafkan diri sendiri jika kamu pergi. Bangunlah, sayang. Kamu tahu betapa besar kasih sayang Ayah padamu, dan Ayah tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja."Di tengah kecemasannya, Hafidz juga ingin menjenguk Hafizah, yang telah dipindahkan ke ruangan lain yang tidak jauh dari tempat Putri dirawat. Dengan perlahan, ia memasuki ruangan dan melihat Hafizah yang masih terbaring tak sadarkan diri."Hafizah, bangunlah. Aku tidak akan kuat menghadapi semua ini sendirian, terutama saat anakmu berjuang melawan rasa sakitnya sejak kecil. Aku sudah berusaha, tapi kali ini aku tidak tahu harus berbuat apa."Hafidz menangis sambil memegang tangan Hafizah, diliputi rasa takut akan hidup tanpa anaknya.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Lestari?"Hafidz memergoki wanita tua itu berdiri dekat pintu ruang perawatan tempat Hafizah dan Putri dirawat. Keberadaannya mengisyaratkan bahwa Lestari mungkin memiliki maksud buruk terhadap kedua wanita yang tengah berusaha untuk sembuh."Hafidz, kamu juga di sini? Apakah kamu tahu betapa aku menikmati permainan ini? Aku akan melaksanakan apa yang sudah seharusnya.""Apa maksudmu?""Putri akan mati, Hafidz!"Ucapan Lestari terucap tegas di depan Hafidz, yang tengah dilanda kemarahan. Mereka saling menatap serius, tatapan tajam Hafidz memperlihatkan kemarahannya atas ancaman Lestari terhadap anaknya."Tidak akan kubiarkan! Semua ucapanmu hanya buntut dari amarahmu belaka. Aku takkan membiarkan itu terjadi dan akan melindungi Putri serta Hafizah.""Tidak! Yang aku katakan akan jadi kenyataan, mungkin bukan saat ini, tapi jika kamu gagal memenuhi permintaanku, kamu akan menyesal. Kamu akan melihatnya sendiri, Hafidz."Hafidz merespons dengan senyum sin
Hafidz berlari menuju mobilnya setelah melihat wajah Putri yang sangat pucat. Dia menyadari bahwa penyakit yang diderita anaknya mulai kambuh dan segera memerlukan penanganan."Putri, jangan tinggalkan Ayah, ya. Ayah tidak akan sanggup hidup tanpamu, sayang. Kita akan pergi ke rumah sakit, kamu pasti akan sembuh. Ayah akan melakukan segalanya untukmu, anak Ayah yang cantik."Setelah Putri masuk ke dalam mobil, Hafidz segera mengemudikan kendaraan menuju rumah sakit, meninggalkan Lestari yang merasa kesal karena kehilangan uang yang sudah dia impikan untuk mengubah masa depannya dan melarikan diri dari masalah yang dihadapinya."Hafidz, kamu salah jika berurusan denganku. Aku pasti akan datang untuk mengambil uang itu, dan aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan semua yang aku inginkan."Lestari bertekad untuk tidak menyerah dan berjanji untuk tidak lagi berbuat jahat kepada Hafidz, Hafizah, dan Putri. Bagi Lestari, mereka adalah sarana untuk meraih kekayaan tanpa harus berusaha kera
"Lihatlah Ayahmu, Putri! Dia tidak mau mengangkat telepon dariku. Apakah aku harus bersikap kasar padamu?"Saat Lestari sedang marah pada Hafidz, Putri tampak tidak sadarkan diri, matanya terpejam ketika Lestari kembali ke ruangan itu."Putri! Apakah kamu mendengar ku? Ini tidak sopan! Tidur di saat seperti ini? Aku rasa kamu pantas mendapatkan hukuman yang setimpal karena Ayahmu mengabaikan ku."Lestari menggoyang tubuh Putri yang terasa dingin, dan wajah anak itu terlihat pucat."Ada apa ini? Apakah dia sakit? Atau mungkin kelaparan? Dasar anak manja, bagaimana bisa kamu seperti ini? Aku tidak akan membawamu ke dokter, jangan harap aku akan membawamu ke sana. Nanti kamu sembuh dan bisa bertemu dengan Ayahmu dengan mudah."Hafidz menatap jam, menyadari bahwa Putri seharusnya sudah meminum obatnya di rumah. Dia merasa cemas memikirkan apa yang akan terjadi pada anaknya jika tidak mengonsumsi obat dari dokter seperti biasanya."Pu
Hafizah sedang berada dalam situasi yang sangat berbahaya. Pisau yang dipegang oleh Lestari kini terarah kepadanya meskipun Hafizah sudah memohon untuk dilepaskan. Namun, Lestari tetap tidak bergeming."Ibu, tolong lepaskan aku. Tidak puas kah Ibu selalu menyiksa sejak aku memasuki hidup Mas Hamid di rumah ini? Aku tidak kuat untuk melawan seseorang yang sudah aku anggap sebagai ibu sendiri."Lestari tetap waspada terhadap Hafidz yang memerhatikan setiap gerakannya saat menyandera Hafizah. Dia enggan mendengarkan ucapan Hafizah yang diutarakan dengan nada lantang."Kamu diam, Hafizah! Kamu telah menghancurkan hidupku. Karena kamu anakku meninggal, dan aku masuk penjara sehingga kini menjadi buronan polisi. Dan kamu masih merasa menjadi korban?"Hafizah menarik napas dalam mendengar jawaban penuh kebencian dari Lestari. Dia tidak berharap lagi bahwa mantan mertuanya akan berubah baik padanya."Bu, itu semua bukan salahku. Apakah Ibu tidak
Hafizah menggenggam tangan Putri setelah melepaskan pelukannya, lalu mereka berjalan beriringan menuju Hafidz yang tersenyum di depan. Hari itu menandai awal kehidupan baru bagi mereka.Tiga bulan berlalu dengan cepat, dan hari-hari indah yang dilalui bersama Putri dan Hafidz terasa begitu singkat. Namun, di hari ini, Hafizah merasakan kegugupan yang luar biasa, jantungnya berdegup kencang saat semua orang memandang ke arahnya dan Hafidz. Mereka berdua kini berdiri saling berhadapan, siap untuk mengucapkan janji suci pernikahan.Tempat yang indah itu dihiasi dengan bunga-bunga beraneka warna, menciptakan suasana seperti taman yang mempesona."Apakah kamu sudah siap, Hafizah?" tanya Hafidz."Iya, aku siap menjadi istrimu," jawabnya.Keduanya saling menggenggam tangan dan melangkah menuju meja di depan, di mana penghulu telah menunggu dengan sabar."Kamu sangat cantik, Hafizah. Aku merasa beruntung bisa bersamamu.""Terima
Hafidz dengan lembut berkata pada Hafizah yang baru mendekatinya, "Kamu terlihat sangat alami saat baru bangun tidur."Hafizah masih mencoba menepuk-nepuk wajahnya, berusaha memahami situasi di depannya. "Apakah ini benar-benar kamu?""Aku di sini, kenapa meragukan kehadiranku?" jawab Hafidz.Hafizah mencubit tangan Hafidz dengan keras, membuatnya berteriak kesakitan. "Hafizah! Lepaskan cubitanmu!"Hafizah tertawa kecil dan mengendurkan cubitannya. "Maaf, sekarang aku percaya ini memang kamu. Bisakah kamu jelaskan kenapa kamu ada di rumah ini?"Hafidz berdiri dekat Hafizah yang menunggu jawaban. "Aku memaafkan mu, tapi seharusnya kamu bangunkan Putri. Sudah saatnya dia berangkat sekolah," katanya, mencoba mengalihkan pembicaraan dari kepulangannya."Kamu belum menjawab ku, Hafidz. Tapi Putri pasti sudah siap sendiri kalau memang waktunya," kata Hafizah, yakin bahwa Putri mandiri atau bisa minta bantuan orang rumah."Benar, Putri sudah di meja makan. Apakah kamu mau sarapan bersama kam
"Ya, aku mau, Hafidz."Hafizah tidak menyesali jawabannya setelah mendengar pernyataan Hafidz. Mereka saling menatap dalam keheningan, seolah melupakan bahwa Hafidz masih merasakan sakit. Hafizah terlihat menyentuh luka di tangan Hafidz, dan ia pun meringis kesakitan akibat sentuhan itu. "Maaf, Hafidz. Aku tidak sengaja," katanya dengan penuh penyesalan. "Tidak apa-apa. Kamu tahu aku senang dekat denganmu, dan aku mengerti bahwa kamu tidak bermaksud menyakiti lukaku," jawab Hafidz dengan lembut. "Iya, Hafidz. Sekali lagi, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Kata-katamu membuatku melayang, jadi apakah kita akan melanjutkan persiapan untuk pernikahan kita?" Hafidz menggelengkan kepala, menegaskan bahwa ia tidak akan menunda pernikahan mereka dan ingin segera melangsungkannya bersama Hafizah."Ya, jika memungkinkan, setelah aku diizinkan keluar dari rumah sakit, aku ingin segera melakukannya. Rasanya semua ini terlalu lama."Hafizah hanya tersenyum malu mendengar keingi
Setelah dokter menjelaskan bahwa kondisi Hafidz tidak terlalu serius, Hafizah membawa Putri masuk ke ruangan tempat Hafidz dirawat."Ayah, Tante cantik, apakah Ayah akan sembuh?" tanya Putri dengan polos, menatap Hafidz yang masih tidak sadarkan diri."Tenang, sayang. Ayahmu pasti akan sembuh. Ayah juga tidak ingin jauh darimu terlalu lama, jadi kamu harus percaya bahwa Ayah akan pulih," jawab Hafizah menenangkan."Iya, Tante. Aku percaya Ayah tidak akan meninggalkan anaknya yang lucu ini," balas Putri dengan penuh keyakinan.Hafizah tersenyum mendengar perkataan Putri. Tiba-tiba, ia melihat jari tangan Hafidz bergerak."Putri, lihat! Tangan Ayahmu mulai bergerak. Kita harus segera memanggil dokter!" seru Hafizah."Benar, Tante. Ayah pasti akan sembuh segera!" jawab Putri dengan penuh semangat.Kebahagiaan meliputi Putri saat melihat ayahnya bisa menggerakkan tangan, menandakan bahwa Hafidz merespons kehadirannya di teng