"Aku bukan pembunuh!" seru seorang wanita yang mulai bangkit di dekat batu nisan yang selesai di peluknya, air matanya pun masih belum mengering karena peristiwa yang baru dialaminya bersama mendiang suaminya yang baru meninggal dunia.
"Bagiku kamulah pembunuh Hamid! Perempuan pembawa sial!" pekiknya berteriak lantang menunjukkan kemarahan di depan menantunya yang menurutnya menjadi penyebab anak laki-lakinya meninggalkan dunia ini. "Bukan! Aku tidak pernah membunuh Mas Hamid. Ibu salah paham padaku," balas Hafizah membela dirinya dari tuduhan mertua. "Tutup mulutmu! Jelas-jelas anakku yang sekarang meninggal, kuburannya masih belum kering dan kamu masih mengelak? Aku tidak akan memaafkan kamu, Hafizah! Sekarang kamu ikut aku ke kantor polisi." Hafizah mencoba melepaskan diri dari tangan Lestari yang menariknya sangat kuat, tetapi Lestari tidak terkalahkan menarik tangan Hafizah sampai bisa menjauh dari kuburan Hamid. "Lepas, Bu!" "Diam!" Lestari tetap pada pendiriannya untuk bisa membawa Hafizah ke kantor polisi bagaimanapun caranya Hafizah harus dipenjarakan. "Aku mohon Bu, sama sekali tidak pernah terbesit untuk membunuh Mas Hamid, aku baru melahirkan anak Mas Hamid, mana mungkin aku membunuhnya. Tolong lepaskan aku demi anakku, cucu Ibu juga," ucap Hafizah meminta ke ibu mertuanya agar tidak membawanya ke kantor polisi. Ingatan Hafizah tertuju pada bayinya yang masih membutuhkan dirinya, apalagi Lestari tidak pernah bersikap baik selama dua tahun pernikahannya bersama Hamid, dirinya tidak pernah dianggap sebagai seorang menantu, melainkan Lestari selalu memperlakukannya seperti seorang pembantu rumah tangga, mana mungkin ibu mertuanya bisa merawat bayinya dengan tulus. Ditariknya rambut Hafizah, didorongnya kuat-kuat sampai wanita itu terjatuh di rerumputan dekat kuburan. "Menantu kurang ajar! Sudah membunuh suami sendiri sekarang membahas bayimu, bayimu ada di rumah anakku yang kamu bunuh! Aku tidak sudi memiliki cucu darimu!" Bentakan Lestari membuat orang-orang yang ada di sekitar pemakaman memperhatikan mereka, dengan posisi Hafizah yang tersudutkan bak seorang pembunuh membuat Hafizah rasanya kehilangan muka di depan semua orang yang kini menatapnya sinis, sama seperti ibu mertuanya yang menyalahkan dirinya, padahal Hafizah sendiri tidak mau semuanya terjadi. "Ya, ampun. Bu, aku bukan pembunuh, semuanya kecelakaan," ucap Hafizah tetap menjelaskan pada ibu mertuanya yang masih salah paham padanya. "Tutup mulutmu, Hafizah! Kamu lihat semua orang melihat kamu sebagai seorang pembunuh! Kamu pembunuh Hafizah, tidak mungkin kecelakaan itu terjadi kalau kamu mendengarkan kata-kataku untuk tidak ikut campur masalah suamimu!" Lestari mengetahui perselingkuhan anaknya dan membiarkannya terjadi, karena selama ini dirinya terang-terangan menyodorkan beberapa wanita pilihannya pada Hamid agar berpaling dari Hafizah. Dua bulan sebelum Hafizah melahirkan, Hamid membawa selingkuhannya ke rumah untuk diperkenalkan ibu dan adiknya, di sana Lestari orang pertama yang merestui perselingkuhan tersebut, semakin lama mereka bermesraan tanpa sepengetahuan Hafizah yang sedang berjuang dengan kehamilannya. "Bu, semua tuduhan Ibu tidak benar." Hafizah menangis karena ibu mertuanya semakin menuduhnya macam-macam, dengan posisinya yang masih duduk di rerumputan membuat Lestari akhirnya mendekatinya lagi. "Di mataku kamu selalu salah, Hafizah!" Ditarik paksa Hafizah untuk segera berdiri, Lestari tidak senang Hafizah menangis di depannya. "Lepaskan, Bu! Lepas!" Hafizah berontak ingin melepaskan dirinya, dan terlihat hujan mengguyur tempat pemakaman, serta orang-orang yang ada di sana termasuk Lestari dan Hafizah yang masih berseteru. "Jangan harap aku akan melepaskan kamu, Hafizah! Kalian lihat 'kan, dia adalah menantuku yang sudah membunuh suaminya sendiri, sekarang dia mau lari dari perbuatannya itu." Lestari melihat ke orang-orang, meyakinkan mereka bahwa Hafizah adalah seorang pembunuh yang kejam karena telah menewaskan anaknya yang selama ini menjadi tulang punggung baginya. Dan orang-orang terprovokasi oleh Lestari, mereka menunjukkan satu jarinya ke arah Hafizah dengan tatapan tidak suka. Hafizah mendengar suara teriakan mereka dengan menyebut "Dasar pembunuh!" membuat gaduh pemakaman, bahkan suara air hujan yang semakin keras tidak ada artinya untuk menutupi suara mereka yang begitu jahat sedang menghakiminya tanpa tahu kejadian yang sebenarnya. "Bukan! Aku bukan pembunuh," ucap Hafizah menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya sendiri, dia tidak mau menatap sorot mata orang-orang jahat mengelilingi dirinya. Lestari menarik Hafizah kuat-kuat untuk berjalan lebih jauh dari tempat itu, dan ternyata Lestari sudah menghubungi pihak polisi sebelumnya sehingga Hafizah bisa langsung dibawa dan diproses mengenai laporannya. "Bawa dia, Pak Polisi!" "Baik, kami akan membawanya." Hafizah melebarkan matanya, dia tidak menyangka kalau ibu mertuanya benar-benar membawanya ke polisi dengan tuduhan pembunuhan, padahal Lestari tahu betul dirinya tidak bersalah. "Lepaskan aku, Pak. Jangan dengarkan Ibu, aku tidak bersalah, tolong lepaskan aku." Hafizah meminta pada polisi untuk dilepaskan, semuanya terlambat karena polisi menarik Hafizah untuk naik ke dalam mobil dengan tangannya yang sekarang terborgol, ada senyum licik yang terlihat dari wajah Lestari setelah Hafizah ditangkap polisi. "Akan aku pastikan kamu masuk penjara, Hafizah! Dan selanjutnya aku tidak akan melepaskan kamu begitu saja, akan ada babak kedua dariku sebagai pembalasan kematian Hamid," gumam Lestari mengepalkan tangannya masih dendam pada menantunya. Dalam perjalanan menuju kantor polisi Hafizah masih terus menangisi nasibnya yang menyedihkan dan penuh penderitaan, apalagi bayinya harus ditinggal selama dirinya ditangkap, sedangkan Hafizah sendiri belum sepenuhnya ikhlas atas kepergian suaminya. Namun, tuduhan itu seperti melekat pada dirinya. Hafizah pasrah jika memang takdirnya harus mendekam dalam penjara. Dua hari kemudian, Hafizah belum juga mendapatkan kabar dari ibu mertuanya tentang bayinya yang masih ada di rumah, seorang ibu mana yang bisa berjauhan dari buah hatinya sendiri? Rasanya hancur hati Hafizah sekarang ini. Tidak ada yang mengunjunginya sama sekali, dia tidak memiliki keluarga lagi, sedangkan keluarga suaminya begitu tidak memperdulikannya. Kesedihannya bertambah setelah prosesnya dilanjutkan untuk dirinya disidang dan menunggu vonis yang akan diterimanya, karena Lestari sudah memberikan bukti-bukti palsu yang memberatkan menantunya untuk menjadi tahanan di sana. Sedangkan Lestari di rumah bersama anak perempuan yang bernama Dera, mereka mendengar suara bayi menangis tidak berhenti sejak satu jam yang lalu. "Oeeekkk ... Oeeekk." "Der! Kamu urus anak itu dulu. Ibu malas harus menggendong anak Hafizah." Lestari meminta anak perempuannya sendiri untuk mengurus bayi yang tidak berdosa itu, seketika Dera merasa tidak nyaman harus dekat-dekat dengan keponakannya sendiri, dia tidak tahan dengan tangisannya, apalagi dirinya mencium aroma tidak sedap dari keponakannya itu. "Bu, sepertinya dia buang air besar," ucapnya merasa sangat jijik berada di dekat bayi Hafizah. "Astaga! Bagaimana ini? Ibu juga tidak mau mengurusnya," balas Lestari panik bersama anak perempuannya. Dera menutup hidungnya kuat-kuat, begitu juga Lestari yang menjauh dari sana, mereka sama-sama berpikir bagaimana caranya untuk bisa menyingkirkan bayi Hafizah dari rumah. "Bu, aku punya ide." "Apa itu?" "Kita serahkan bayi Hafizah ke panti asuhan, dengan begitu kita terbebas dari dia, aku tidak mau Bu, kalau harus merawatnya tiap hari, aku bukan babysitter." Lestari tersenyum mendengar ide anak perempuannya, tentu Lestari setuju dengan ide tersebut. "Bagus juga ide kamu, sekarang kamu siap-siap pergi bersama Ibu, tapi sebelumnya kita suruh pembantu dulu untuk membersihkan anaknya Hafizah." "Siap, Bu." Dera segera memanggil pembantu untuk membersihkan anaknya Hafizah, setelah selesai dibersihkan oleh pembantu yang ada di rumah, bayi tersebut digendong Dera masuk ke dalam mobil bersama ibunya. "Bu, kita ke panti asuhan yang jauh dari sini, pokoknya anak ini tidak boleh ditemukan walaupun nanti Hafizah bebas dari penjara." "Siap, akan Ibu pastikan Hafizah tidak akan menemukan anaknya seumur hidup." Lestari menyanggupi ide anaknya untuk membuang bayi Hafizah ke panti asuhan, tanpa memiliki hati jika anak tersebut adalah cucunya sendiri. Di depan panti asuhan yang jauh dari rumahnya sekitar satu jam menuju tempat tersebut, tiba saatnya Dera meletakkan bayi itu di lantai depan pintu panti asuhan. "Kita pergi sekarang, Bu." "Iya, memang kita harus pergi sebelum ada yang melihat." "Iya, Bu." Dera dan Lestari segera masuk lagi ke dalam mobil, mereka pergi dengan perasaan bahagia bisa membuang anaknya Hafizah. "Haha, aku senang, Bu." "Ibu juga, itu baru permulaan. Hafizah akan menerima yang lebih sakit daripada kehilangan bayinya." "Apa itu, Bu?" tanya Dera penasaran. "Menjadikan Hafizah tahanan rumah seumur hidupnya!" "Aku setuju, Bu," balas Dera menatap ibunya dengan serius. Dari pandangan Dera, ibunya sendiri lebih kejam daripada ibu tiri yang diceritakan jahat. Tetapi, semua rencana ibunya akan dia dukung, karena Hafizah sangat menyebalkan selama menjadi istri kakaknya, selain suka mengadu jika dirinya keluar malam pada kakaknya. Hafizah juga pernah mengurangi jatah uang bulanannya yang selama ini diberikan kakaknya. Satu bulan kemudian. "Selamat ya, Hafizah! Sekarang kamu ditahan lima tahun karena sudah membunuh suamimu sendiri," ucap Lestari berhadapan dengan menantunya yang baru selesai disidang dan mendapatkan vonis lima tahun menjadi tersangka anaknya. Air mata Hafizah tidak berhenti mengalir mendengarkan mertuanya terus menuduhnya membunuh suami sendiri. "Bu, terserah Ibu mau bilang apa sama aku, tapi aku minta tolong jaga anakku, dia tidak berdosa sama sekali," pinta Hafizah pada mertuanya dengan posisi berdampingan dengan Dera yang berdiri angkuh menatap kakak iparnya penuh dengan kebencian. Hafizah mencoba memegang lengan mertuanya, ternyata ditolak Lestari yang menghindarinya agar tidak bersentuhan dengan menantunya yang dipilih mati-matian sama anaknya ketika dirinya tidak memberikan restu. "Singkirkan tanganmu! Aku juga tidak sudi merawat anakmu!" Lestari terang-terangan bicara di depan mata Hafizah tidak mau merawat cucunya sendiri. "Dera, tolong aku." Dera membuang wajahnya ketika Hafizah akan meminta tolong pada adik iparnya. Hafizah tidak berhenti menangis melihat kedua orang yang seharusnya bisa menjaga anaknya di saat dirinya terpuruk seperti ini tidak bisa dimintai tolong olehnya. "Hafizah! Anakmu aku buang ke panti asuhan, dia tidak pantas ada di rumah semewah itu," bisik Lestari memberitahukan kenyataan pahit ini pada Hafizah. Hafizah menghentikan tangisnya, tangannya sudah mulai diborgol kembali dan polisi hendak membawanya ke penjara, tatapannya masih tertuju pada ibu mertuanya yang tega melakukan itu pada anaknya yang masih bayi. "Ibuuuuuu! Anakku, Dia tidak bersalah! Kenapa semuanya Ibu lampiaskan ke anakku? Cucumu sendiri," ujarnya sudah berjalan menjauh bersama polisi yang mendampinginya. "Lepas! Biarkan aku bicara sama Ibu mertuaku! Biarkan aku bilang ke Ibu mertuaku untuk mengambil kembali anakku!" Hafizah mencoba berontak untuk kembali ke arah ibu mertuanya. Namun, dicegah kuat-kuat oleh polisi. "Diam, kamu!" bentak polisi pada Hafizah. Lestari pun masih melihat Hafizah menengok ke belakang untuk melihat wajahnya yang sekarang ceria bersama Dera atas kemenangannya memenjarakan Hafizah. "Kita menang, Ibu." "Jelas Dera. Hafizah kalah, dia akan selalu kalah. Sekarang ataupun nanti. Ibu pastikan dia menderita!""Di mana anakku, Bu?" Suara Hafizah terdengar oleh Lestari dan Dera yang duduk di sofa karena baru menghabiskan satu hari dengan membelanjakan uang Hamid sesuka hati mereka. "Hafizah?" Lestari kaget tidak percaya ada Hafizah di dalam rumah mewah anaknya Hamid. Begitupun Dera sama kagetnya kakak iparnya sudah ada di dalam rumah bahkan di ruang keluarga. "Iya, ini aku, sekarang aku sudah bebas. Jadi, apa boleh aku mengetahui di mana panti asuhan itu? Aku merindukan anakku." Hafizah tidak mungkin melupakan pengakuan ibu mertuanya yang telah membuang anaknya. Lima tahun menjadi penantian untuk bisa bertemu kembali dengan buah hatinya. Lestari dan Dera berdiri mendekati Hafizah yang tidak membawa apa-apa ditangannya, karena Hafizah memang tidak membawa barangnya ketika masuk penjara. "Enak saja mau tau anakmu! Kamu pikir aku bodoh sembarangan cerita di mana panti asuhan itu? Jangan harap, Hafizah!" "Bu, aku mohon. Anakku tidak bersalah sama sekali. Sekarang aku bebas, biarkan
"Lepas!" Tangan Hafidz melepaskan cengkraman tangan Lestari yang menyakiti Putri. "Menantu tidak tau diri! Sudah miskin, menumpang di rumahku. Sekarang kamu membela anak haram ini! Aku mau anakmu pergi dariku!" Mendengar anaknya diusir oleh ibu mertuanya membuat Hafidz geram ingin sekali bertindak kasar pada Lestari yang dari empat tahun yang lalu selalu merendahkan dan menghinanya habis-habisan. "Jaga bicara Anda!" Hafidz sangat marah pada ibu mertuanya, tetapi Lestari tidak mau kalah dari menantu laki-laki yang tidak bisa menguntungkan baginya ini. "Apa? Kamu yang harus jaga bicara! Pantas kamu membentak aku yang sudah memberikan kamu kehidupan mewah?" Lestari tidak takut pada Hafidz yang sedang marah, dia serius ingin mengusir Putri dari rumahnya karena Dera yang memintanya. Dera selalu mengeluh kalau anak Hafidz pembawa masalah. "Cukup!" Hafizah berteriak ke mereka berdua untuk menghentikan pertengkaran yang terjadi, karena masih ada mayat Dera yang masih tergeletak
Ketika semua mata tertuju pada pemakanan yang hampir selesai, ternyata Lestari baru datang dengan tangan kosong berdiri tanpa air mata. "Pulang!" Lestari menarik tangan Hafizah agar menjauh dari tempat peristirahatan terakhir anaknya, membiarkan Hafidz yang akan mengurus semuanya. "Tapi, Bu ...." "Jangan tapi-tapi! Sekarang pulang kerjakan tugas rumah, kamu lupa kalau jadi pembantu? Kamu keluar rumah seenaknya tanpa menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Aku tidak akan biarkan!" Bisa-bisanya ibu mertuaku masih memikirkan pekerjaan rumah di saat pemakaman anak perempuan satu-satunya yang dia selalu bangga-banggakan. "Bu, dia anakmu, apa Ibu tidak sedih Dera tiada? Aku saja sedih, Bu." Belum pernah Hafizah menemui seorang ibu yang tidak sedih anaknya tiada. Namun, berbeda dengan ibu mertuanya yang tidak menangis sedikitpun. "Diam kamu, Hafizah! Jangan mencoba mengatur aku bagaimana. Sudah aku bilang kamu harus panggil, Nyonya! Sekarang aku mau kamu pulang dan kerjakan tug
"Aku tidak tau bisa atau tidak untuk membantumu, setidaknya handuk ini bisa menutupi pakaianmu yang basah," ucap seseorang yang tiba-tiba datang menyodorkan handuk. Hafizah menoleh, "Hafidz, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Eum, dari tadi, sama Putri juga menyaksikan kamu diguyur air, ini sudah malam, sebaiknya dilanjutkan besok, aku rasa Ibu Lestari juga tidak akan keluar kamar lagi." Hafidz mengetahui kebiasaan ibu mertuanya yang mengunci diri di dalam kamar dengan alkoholnya. "Terima kasih," balas Hafizah mengambil handuk tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada Putri yang menarik-narik pelan handuk yang dikenakan Hafizah. "Tante cantik, ini aku bawakan minuman hangat," ucapnya. Hafizah tersenyum, rasa sedihnya menghilang seketika menatap senyuman Putri, seperti ada magnet yang begitu luar biasa membuatnya bisa semangat lagi. "Terima kasih anak baik." Diambilnya minuman hangat yang dibawakan Putri padanya, setidaknya sudah menjadi obat penawar rasa sakit sudah
Kemarahan menyelimuti Lestari melihat menantunya membela anak sambung Dera. Sekarang Lestari berdiri memegang gelas yang ada di atas meja. "Rasakan ini!" Hafizah melindungi Putri dengan memeluk anak itu, matanya melihat Ibu mertuanya ingin melempar gelas yang ada di tangan. 'Cranggg!' Hafizah tidak merasakan sakit apa pun di punggungnya, padahal sudah jelas mendengar suara pecahan gelas jatuh ke lantai. "Ka-kalian, tidak apa-apa?" Suara yang meringis kesakitan bersumber dari belakang punggung Hafizah, wanita itu menoleh ke belakang perlahan. Dengan cepat memegangi pria yang sudah mengorbankan dirinya untuk melindunginya dan Putri. "Hafidz!" Hafizah menatap mata Hafidz dengan penuh kekhawatiran karena pasti pria itu terluka setelah melindungi dirinya dari serangan ibu mertuanya. "Ya, rasanya sakit," ucapnya pelan merasakan tubuhnya melemah. Ditangkapnya Hafidz dengan susah payah, walaupun harus melepaskan pelukan Putri yang sekarang melihat ayahnya terluka. Putri memega
"Bu, kami hanya membahas Putri," jawab Hafizah menjelaskan pada ibu mertuanya agar tidak ada salah paham. Berbeda dengan Hafidz yang perlahan melihat ibu mertuanya dengan santai. Lestari membawa sapu dan lap, dilemparkannya ke wajah Hafizah yang dari tadi belum juga membersihkan rumah. "Alasan! Ambil itu. Kerjakan semuanya sebelum aku pulang dari salon, jangan ada drama seisi ruangan kotor karena kamu sibuk pacaran sama Hafidz," ujarnya pergi setelah melemparkan barang-barang tersebut. Hafizah mengambilnya dengan wajah yang sedih karena dia harus terus diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya sendiri. "Tidak perlu diambil hati semua yang keluar dari mulut Ibu, aku tau sebenarnya kamu menantunya, nasib kita sama Hafizah, sama-sama diperlakukan tidak baik di sini." Hafidz bisa merasakan kekecewaan Hafizah terhadap Lestari, dia paham betul sifat Lestari sejak menginjakkan kaki di rumah ini. "Aku tidak apa-apa, sekarang mau kerjakan semua pekerjaan rumah, terima kasih sekali lagi
"Hafizah!"Tentu Hafizah tahu siapa yang memanggilnya dengan kasar seperti tadi, segera Hafizah keluar dari rumah untuk menyambut ibu mertuanya yang mungkin baru menjual semua perhiasannya. "Iya, Nyonya."Hafizah sudah ada di ruang tamu masih membawa lap di bahunya, sedangkan Lestari kelihatan pucat dengan rasa takutnya karena baru mengalami perampokan. "Buatkan aku kopi, antarkan ke kamarku."Lestari berjalan tanpa menoleh ke wajah Hafizah yang ada di sampingnya, sekarang Lestari mau menenangkan pikirannya yang kacau serta menghilangkan rasa takutnya. "Baik, Nyonya."Saat Hafizah ke dapur, sudah ada Hafidz yang berdiri di sana dengan memegang satu gelas kopi di tangannya. Hafizah tidak bicara dengan pria itu, tangannya sibuk meracik kopi walaupun tidak tahu takaran yang cocok untuk Ibu mertuanya, terlihat sekali Hafizah kebingungan. "Aku sudah buatkan kopi untuk Ibu, kamu tinggal bawakan saja ke kamar," ucap Hafidz meletakkan kopi tersebut di meja dapur. Hafizah mengambil kopi
"Hafizah!"Tentu Hafizah tahu siapa yang memanggilnya dengan kasar seperti tadi, segera Hafizah keluar dari rumah untuk menyambut ibu mertuanya yang mungkin baru menjual semua perhiasannya. "Iya, Nyonya."Hafizah sudah ada di ruang tamu masih membawa lap di bahunya, sedangkan Lestari kelihatan pucat dengan rasa takutnya karena baru mengalami perampokan. "Buatkan aku kopi, antarkan ke kamarku."Lestari berjalan tanpa menoleh ke wajah Hafizah yang ada di sampingnya, sekarang Lestari mau menenangkan pikirannya yang kacau serta menghilangkan rasa takutnya. "Baik, Nyonya."Saat Hafizah ke dapur, sudah ada Hafidz yang berdiri di sana dengan memegang satu gelas kopi di tangannya. Hafizah tidak bicara dengan pria itu, tangannya sibuk meracik kopi walaupun tidak tahu takaran yang cocok untuk Ibu mertuanya, terlihat sekali Hafizah kebingungan. "Aku sudah buatkan kopi untuk Ibu, kamu tinggal bawakan saja ke kamar," ucap Hafidz meletakkan kopi tersebut di meja dapur. Hafizah mengambil kopi
"Bu, kami hanya membahas Putri," jawab Hafizah menjelaskan pada ibu mertuanya agar tidak ada salah paham. Berbeda dengan Hafidz yang perlahan melihat ibu mertuanya dengan santai. Lestari membawa sapu dan lap, dilemparkannya ke wajah Hafizah yang dari tadi belum juga membersihkan rumah. "Alasan! Ambil itu. Kerjakan semuanya sebelum aku pulang dari salon, jangan ada drama seisi ruangan kotor karena kamu sibuk pacaran sama Hafidz," ujarnya pergi setelah melemparkan barang-barang tersebut. Hafizah mengambilnya dengan wajah yang sedih karena dia harus terus diperlakukan buruk oleh ibu mertuanya sendiri. "Tidak perlu diambil hati semua yang keluar dari mulut Ibu, aku tau sebenarnya kamu menantunya, nasib kita sama Hafizah, sama-sama diperlakukan tidak baik di sini." Hafidz bisa merasakan kekecewaan Hafizah terhadap Lestari, dia paham betul sifat Lestari sejak menginjakkan kaki di rumah ini. "Aku tidak apa-apa, sekarang mau kerjakan semua pekerjaan rumah, terima kasih sekali lagi
Kemarahan menyelimuti Lestari melihat menantunya membela anak sambung Dera. Sekarang Lestari berdiri memegang gelas yang ada di atas meja. "Rasakan ini!" Hafizah melindungi Putri dengan memeluk anak itu, matanya melihat Ibu mertuanya ingin melempar gelas yang ada di tangan. 'Cranggg!' Hafizah tidak merasakan sakit apa pun di punggungnya, padahal sudah jelas mendengar suara pecahan gelas jatuh ke lantai. "Ka-kalian, tidak apa-apa?" Suara yang meringis kesakitan bersumber dari belakang punggung Hafizah, wanita itu menoleh ke belakang perlahan. Dengan cepat memegangi pria yang sudah mengorbankan dirinya untuk melindunginya dan Putri. "Hafidz!" Hafizah menatap mata Hafidz dengan penuh kekhawatiran karena pasti pria itu terluka setelah melindungi dirinya dari serangan ibu mertuanya. "Ya, rasanya sakit," ucapnya pelan merasakan tubuhnya melemah. Ditangkapnya Hafidz dengan susah payah, walaupun harus melepaskan pelukan Putri yang sekarang melihat ayahnya terluka. Putri memega
"Aku tidak tau bisa atau tidak untuk membantumu, setidaknya handuk ini bisa menutupi pakaianmu yang basah," ucap seseorang yang tiba-tiba datang menyodorkan handuk. Hafizah menoleh, "Hafidz, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Eum, dari tadi, sama Putri juga menyaksikan kamu diguyur air, ini sudah malam, sebaiknya dilanjutkan besok, aku rasa Ibu Lestari juga tidak akan keluar kamar lagi." Hafidz mengetahui kebiasaan ibu mertuanya yang mengunci diri di dalam kamar dengan alkoholnya. "Terima kasih," balas Hafizah mengambil handuk tersebut. Tiba-tiba matanya tertuju pada Putri yang menarik-narik pelan handuk yang dikenakan Hafizah. "Tante cantik, ini aku bawakan minuman hangat," ucapnya. Hafizah tersenyum, rasa sedihnya menghilang seketika menatap senyuman Putri, seperti ada magnet yang begitu luar biasa membuatnya bisa semangat lagi. "Terima kasih anak baik." Diambilnya minuman hangat yang dibawakan Putri padanya, setidaknya sudah menjadi obat penawar rasa sakit sudah
Ketika semua mata tertuju pada pemakanan yang hampir selesai, ternyata Lestari baru datang dengan tangan kosong berdiri tanpa air mata. "Pulang!" Lestari menarik tangan Hafizah agar menjauh dari tempat peristirahatan terakhir anaknya, membiarkan Hafidz yang akan mengurus semuanya. "Tapi, Bu ...." "Jangan tapi-tapi! Sekarang pulang kerjakan tugas rumah, kamu lupa kalau jadi pembantu? Kamu keluar rumah seenaknya tanpa menyelesaikan pekerjaan terlebih dahulu. Aku tidak akan biarkan!" Bisa-bisanya ibu mertuaku masih memikirkan pekerjaan rumah di saat pemakaman anak perempuan satu-satunya yang dia selalu bangga-banggakan. "Bu, dia anakmu, apa Ibu tidak sedih Dera tiada? Aku saja sedih, Bu." Belum pernah Hafizah menemui seorang ibu yang tidak sedih anaknya tiada. Namun, berbeda dengan ibu mertuanya yang tidak menangis sedikitpun. "Diam kamu, Hafizah! Jangan mencoba mengatur aku bagaimana. Sudah aku bilang kamu harus panggil, Nyonya! Sekarang aku mau kamu pulang dan kerjakan tug
"Lepas!" Tangan Hafidz melepaskan cengkraman tangan Lestari yang menyakiti Putri. "Menantu tidak tau diri! Sudah miskin, menumpang di rumahku. Sekarang kamu membela anak haram ini! Aku mau anakmu pergi dariku!" Mendengar anaknya diusir oleh ibu mertuanya membuat Hafidz geram ingin sekali bertindak kasar pada Lestari yang dari empat tahun yang lalu selalu merendahkan dan menghinanya habis-habisan. "Jaga bicara Anda!" Hafidz sangat marah pada ibu mertuanya, tetapi Lestari tidak mau kalah dari menantu laki-laki yang tidak bisa menguntungkan baginya ini. "Apa? Kamu yang harus jaga bicara! Pantas kamu membentak aku yang sudah memberikan kamu kehidupan mewah?" Lestari tidak takut pada Hafidz yang sedang marah, dia serius ingin mengusir Putri dari rumahnya karena Dera yang memintanya. Dera selalu mengeluh kalau anak Hafidz pembawa masalah. "Cukup!" Hafizah berteriak ke mereka berdua untuk menghentikan pertengkaran yang terjadi, karena masih ada mayat Dera yang masih tergeletak
"Di mana anakku, Bu?" Suara Hafizah terdengar oleh Lestari dan Dera yang duduk di sofa karena baru menghabiskan satu hari dengan membelanjakan uang Hamid sesuka hati mereka. "Hafizah?" Lestari kaget tidak percaya ada Hafizah di dalam rumah mewah anaknya Hamid. Begitupun Dera sama kagetnya kakak iparnya sudah ada di dalam rumah bahkan di ruang keluarga. "Iya, ini aku, sekarang aku sudah bebas. Jadi, apa boleh aku mengetahui di mana panti asuhan itu? Aku merindukan anakku." Hafizah tidak mungkin melupakan pengakuan ibu mertuanya yang telah membuang anaknya. Lima tahun menjadi penantian untuk bisa bertemu kembali dengan buah hatinya. Lestari dan Dera berdiri mendekati Hafizah yang tidak membawa apa-apa ditangannya, karena Hafizah memang tidak membawa barangnya ketika masuk penjara. "Enak saja mau tau anakmu! Kamu pikir aku bodoh sembarangan cerita di mana panti asuhan itu? Jangan harap, Hafizah!" "Bu, aku mohon. Anakku tidak bersalah sama sekali. Sekarang aku bebas, biarkan
"Aku bukan pembunuh!" seru seorang wanita yang mulai bangkit di dekat batu nisan yang selesai di peluknya, air matanya pun masih belum mengering karena peristiwa yang baru dialaminya bersama mendiang suaminya yang baru meninggal dunia. "Bagiku kamulah pembunuh Hamid! Perempuan pembawa sial!" pekiknya berteriak lantang menunjukkan kemarahan di depan menantunya yang menurutnya menjadi penyebab anak laki-lakinya meninggalkan dunia ini. "Bukan! Aku tidak pernah membunuh Mas Hamid. Ibu salah paham padaku," balas Hafizah membela dirinya dari tuduhan mertua. "Tutup mulutmu! Jelas-jelas anakku yang sekarang meninggal, kuburannya masih belum kering dan kamu masih mengelak? Aku tidak akan memaafkan kamu, Hafizah! Sekarang kamu ikut aku ke kantor polisi." Hafizah mencoba melepaskan diri dari tangan Lestari yang menariknya sangat kuat, tetapi Lestari tidak terkalahkan menarik tangan Hafizah sampai bisa menjauh dari kuburan Hamid. "Lepas, Bu!" "Diam!" Lestari tetap pada pendiriannya un