“Ini tidak mungkin.” Caraline segera menyeka tangis dengan punggung tangan. Wanita itu kembali menggulir ponsel ke atas, memeriksa kembali deretan nama dari beberapa rumah sakit dengan lebih teliti. Seiring waktu berjalan, semakin cepat pula jantungnya dibuat seakan ingin meledak. Sungguh, ia merasa seperti tengah dikejar hewan berbahaya yang mengancam nyawa.
Caraline menggingit bibir dengan kuat agar tak mulai berteriak. Tangisnya kembali pecah membasahi pipi. Dadanya kian sesak setiap kali jemarinya menggulir layar. Daftar pasien di sepuluh rumah sakit sudah ia baca dengan teliti, dan hanya tersisa satu rumah sakit di mana nama Deric tadi berada.
Caraline mengembus napas panjang, terpejam untuk menghentikan derai air mata. Akan tetapi, pipinya kian basah seiring waktu berjalan.
“Aku tidak ingin ini terjadi,” lirih Caraline sembari menyeka tangis dengan punggung tangan. Untuk sesaat, tangis memaksanya untuk diam, mencerna semua hal yang
“Apa aku ... boleh memelukmu?” tanya Caraline dengan suara parau. Tubuhnya bergetar kuat sebab dingin dan kemelut perasaan. Meski hujan sudah membasahi seluruh raga, tetapi air mata masih setia menghangatkan pipi.Deric terdiam beberapa saat, mengamati penampilan Caraline yang menurutnya sangat kacau. Tak ada wajah ketus yang terpahat di paras menawan wanita di depannya, yang tampak adalah raut kesedihan dan ketakutan.“Tentu,” jawab Deric pada akhirnya.“Terima ... kasih.” Caraline masih bertahan di rerumputan dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya menyeka tangis dengan bergantian. Guntur dan pentir masih menampakkan kekuasaan di sekitar. Alam sepertinya ikut merasakan ketakutan yang menjalar.Caraline bergerak ke arah Deric dengan tiba-tiba, mendekap erat dengan tangis yang tak kunjung reda. Payung yang dipakai pria itu terjatuh hingga membuat keduanya dihujani air.Caraline lantas terpejam, memeluk pria yang
“Caraline,” ujar Deric setengah berteriak ketika tubuh wanita itu terdorong ke depan. Tak lama setelahnya, guntur menggelegar hingga membuat sekeliling menjadi terang. Angin berembus kencang, menggugurkan ranting dan daun.“Caraline.” Deric menepuk-nepuk pipi Caraline. Tubuh wanita itu sangat dingin dan pucat di saat bersamaan. Ia lantas mengambil ponsel dan segera menghubungi Grace. Deric dengan cepat memangku Caraline, membawa wanita itu ke kursi roda bersamanya. Setelahnya, ia melumat jalan dengan cepat. Ketika hampir dekat dengan rumah, ia melihat Grace dan beberapa maid mendekat dengan tatatapan khawatir.“Nona Caraline,” pekik beberapa maid bersamaan dengan payung di tangan.Deric membawa Caraline ke beranda rumah, yang kemudian disusul oleh beberapa maid dari belakang. “Grace, siapkan mobil untuk membawa Caraline ke rumah sakit.”“Ba-baik, Tuan,” sa
Caraline mengerjap beberapa kali. Wanita itu dengan perlahan membuka mata, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Kepalanya terasa berat dan sakit dalam waktu bersamaan. Kedua tangannya memijat kening dengan perlahan. “Di mana aku? Rumah sakit?” Caraline bersandar pada kepala kasur. Wajahnya tertunduk dan tak lama kemudian air mata berjatuhan. Fakta yang ia dapat kembali menyesakkan dada, menempatkannya pada situasi dan posisi sulit. Ada bagian dalam darinya yang serasa hilang. Hanya perkara waktu saja sampai Deric tahu kalau dirinya adalah dalang di balik kecelakaan itu. Sungguh, ia tak pernah menduga jika rasanya akan sesakit dan semenakutkan ini. “Apa ... Deric akan meninggalkanku?” tanya Caraline, “apa aku siap jika menghadapi hal itu?” Caraline buru-buru menyeka tangis begitu mendengar suara jejak kaki mendekat. Wanita itu segera berbaring, menoleh ke arah jendela. Dalam pantulan kaca, ia bisa melihat wajahnya yang pucat dan sembap. Helen membuk
Caraline nyatanya tak bisa terlelap. Raganya masih terbaring di ranjang dengan pandangan yang tertuju pada langit-langit ruangan. Dari arah luar, wanita itu mendengar suara jejak kaki. Ia langsung pura-pura terpejam dengan memunggungi pintu masuk.Terdengar pintu terbuka dan jejak kaki yang mendekat. Grace dan dua maid masuk, kemudian meletakkan sekeranjang susu cokelat pemberian Deric di atas nakas. Setelahnya, mereka meninggalkan ruangan.Setelah merasa jika Grace dan dua maid sudah menjauh, Caraline memutuskan duduk. Wanita itu menoleh pada nakas, lalu mengambil keranjang yang ada di sana. Saat mengambil sebotol minuman cokelat, air matanya kembali jatuh. Kilasan memori saat bersama Deric lagi-lagihadir. Ia mengingat bagaimana dirinya sangat menyukai minuman ini, bahkan berpura-pura menukar botol hanya agar bisa berciuman secara tidak langsung dengan Deric.“Aku ... harusnya senang sekarang,” gumam Caraline sembari menyeka air ma
Deric seketika menoleh ketika pintu mobil diketuk dari luar. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian membuka kaca jendela.“Tuan,” ucap seorang pria berkacamata hitam.“Masuklah,” kata Deric sembari membuka pintu untuk pria itu.Pria berkaus hitam itu segera melepas topi dan kacamata ketika tubuhnya mendarat di kursi. Saat mobil mulai melaju, pria itu berkata, “Saya sudah mendapatkan informasi akurat dari pihak terpercaya tentang orang itu.”“Aku harap kau tidak mengecewakanku,” ujar Deric dengan pandangan lurus ke depan.“Orang itu ...memang terlibat,” jawab pria itu, “kami menunggu perintah selanjutnya”Deric mengembus napas panjang. “Maaf, jika aku harus merepotkanmu lagi di tengah kesibukanmu. Tapi, hanya kau yang bisa kupercaya untuk masalah seperti ini.”“Aku justru sangat senang jika Anda repotkan, Tuan,” sahut pria
“Apa kau merindukannya, Catherine?” tanya Caraline dengan tatapan sinis. Bola matanya memutar ketika melihat aksi sepupu menyebalkannya yang sedikit terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada Deric. Jelas saja ia tak suka. “Kau ... kau pasti sudah gila, Caraline.” Catherine mendengkus dengan wajah tertekuk sebal. Kedua tangannya dengan cepat terlipat di depan dada. Matanya memutar seiring dengan tubuhnya yang kembali berada di samping Wilson. “Untuk apa aku mencari pria cacat itu?” “Dasar pembual!” Caraline merotasikan bola mata, mengambil tas dari nakas. “Aku tidak ingin melihat kalian berdua di sini. Pergilah!” “Kau benar-benar kurang ajar, Caraline!” sentak Wilson dengan mata memelotot. “Harusnya kau bersyukur karena aku dan Catherine meluangkan waktu untuk menjengukmu.” “Kau benar-benar tak tahu diuntung.” Catherine melirik keranjang di atas nakas. Ada sebotol minuman di dalam sana. “Aku tahu kalian datang bukan untuk menjengukku.” Cara
Selama dua hari ini, Caraline lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Wanita itu hanya akan keluar untuk berjalan-jalan di pinggiran danau saat pagi dan sore, di mana tujuan utamanya adalah mengintip Deric.Setelah kejadian beberapa hari lalu, Caraline justru menghindari Deric karena merasa malu dan tak tahu harus bersikap seperti apa. Pesan yang dikirimkan pria itu juga tidak pernah ia balas, dan panggilannya hanya akan dirinya tanggapi dengan diam.Caraline masih sering merasakan penyesalan dan kesedihan saat kenyataan bahwa dirinya yang menyebabkan Deric cacat hadir dalam pikiran. Saat rasa itu bertamu, tak jarang air mata membasahi pipi dan isak tangis terdengar.“Mungkin ini tujuan Carla memintaku untuk mencari dan menikahi Deric,” ujar Caraline yang kini berada di balkon kamar. Angin menerbangkan rambutnya ke kanan dan kiri. Rasanya segar sekali meski hati masih terasa sakit. “Sejujurnya, aku tidak menyesali hal ini sama sekali. A
“Apa yang baru saja kau katakan, Lucy?” tanya Caraline dengan tatapan menyelidik.Helen ikut menoleh pada Lucy. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan soal Deric pada wanita di sampingnya itu. Jadi, sungguh aneh jika Lucy tiba-tiba berteriak saat melihat Deric yang akan jatuh dari kursi roda, terkecuali jika dirinya sudah mengenal pria itu.Caraline menoleh dengan tatapan penuh tanya pada Helen. Akan tetapi, jika dipikir lebih dalam, tidak mungkin asistennya itu melakukan sesuatu di luar perintahnya.Lucy diam sesaat, segera menoleh pada Caraline dan Helen. Bibirnya menggurat senyum seolah dirinya tidak pernah melakukan tindakan mencurigakan apa pun.“Apa ... kau mengenal pria itu?” selidik Caraline.“Aku hanya teringat dengan temanku, Nona,” jawab Lucy dengan ekspresi tenang, “temanku yang bernama Jacob memiliki keadaan yang sama dengan pria itu, dan hubungan kami bisa dibilang dekat. Jadi, saat aku meli