Caraline nyatanya tak bisa terlelap. Raganya masih terbaring di ranjang dengan pandangan yang tertuju pada langit-langit ruangan. Dari arah luar, wanita itu mendengar suara jejak kaki. Ia langsung pura-pura terpejam dengan memunggungi pintu masuk.
Terdengar pintu terbuka dan jejak kaki yang mendekat. Grace dan dua maid masuk, kemudian meletakkan sekeranjang susu cokelat pemberian Deric di atas nakas. Setelahnya, mereka meninggalkan ruangan.
Setelah merasa jika Grace dan dua maid sudah menjauh, Caraline memutuskan duduk. Wanita itu menoleh pada nakas, lalu mengambil keranjang yang ada di sana. Saat mengambil sebotol minuman cokelat, air matanya kembali jatuh. Kilasan memori saat bersama Deric lagi-lagihadir. Ia mengingat bagaimana dirinya sangat menyukai minuman ini, bahkan berpura-pura menukar botol hanya agar bisa berciuman secara tidak langsung dengan Deric.
“Aku ... harusnya senang sekarang,” gumam Caraline sembari menyeka air ma
Deric seketika menoleh ketika pintu mobil diketuk dari luar. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian membuka kaca jendela.“Tuan,” ucap seorang pria berkacamata hitam.“Masuklah,” kata Deric sembari membuka pintu untuk pria itu.Pria berkaus hitam itu segera melepas topi dan kacamata ketika tubuhnya mendarat di kursi. Saat mobil mulai melaju, pria itu berkata, “Saya sudah mendapatkan informasi akurat dari pihak terpercaya tentang orang itu.”“Aku harap kau tidak mengecewakanku,” ujar Deric dengan pandangan lurus ke depan.“Orang itu ...memang terlibat,” jawab pria itu, “kami menunggu perintah selanjutnya”Deric mengembus napas panjang. “Maaf, jika aku harus merepotkanmu lagi di tengah kesibukanmu. Tapi, hanya kau yang bisa kupercaya untuk masalah seperti ini.”“Aku justru sangat senang jika Anda repotkan, Tuan,” sahut pria
“Apa kau merindukannya, Catherine?” tanya Caraline dengan tatapan sinis. Bola matanya memutar ketika melihat aksi sepupu menyebalkannya yang sedikit terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada Deric. Jelas saja ia tak suka. “Kau ... kau pasti sudah gila, Caraline.” Catherine mendengkus dengan wajah tertekuk sebal. Kedua tangannya dengan cepat terlipat di depan dada. Matanya memutar seiring dengan tubuhnya yang kembali berada di samping Wilson. “Untuk apa aku mencari pria cacat itu?” “Dasar pembual!” Caraline merotasikan bola mata, mengambil tas dari nakas. “Aku tidak ingin melihat kalian berdua di sini. Pergilah!” “Kau benar-benar kurang ajar, Caraline!” sentak Wilson dengan mata memelotot. “Harusnya kau bersyukur karena aku dan Catherine meluangkan waktu untuk menjengukmu.” “Kau benar-benar tak tahu diuntung.” Catherine melirik keranjang di atas nakas. Ada sebotol minuman di dalam sana. “Aku tahu kalian datang bukan untuk menjengukku.” Cara
Selama dua hari ini, Caraline lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Wanita itu hanya akan keluar untuk berjalan-jalan di pinggiran danau saat pagi dan sore, di mana tujuan utamanya adalah mengintip Deric.Setelah kejadian beberapa hari lalu, Caraline justru menghindari Deric karena merasa malu dan tak tahu harus bersikap seperti apa. Pesan yang dikirimkan pria itu juga tidak pernah ia balas, dan panggilannya hanya akan dirinya tanggapi dengan diam.Caraline masih sering merasakan penyesalan dan kesedihan saat kenyataan bahwa dirinya yang menyebabkan Deric cacat hadir dalam pikiran. Saat rasa itu bertamu, tak jarang air mata membasahi pipi dan isak tangis terdengar.“Mungkin ini tujuan Carla memintaku untuk mencari dan menikahi Deric,” ujar Caraline yang kini berada di balkon kamar. Angin menerbangkan rambutnya ke kanan dan kiri. Rasanya segar sekali meski hati masih terasa sakit. “Sejujurnya, aku tidak menyesali hal ini sama sekali. A
“Apa yang baru saja kau katakan, Lucy?” tanya Caraline dengan tatapan menyelidik.Helen ikut menoleh pada Lucy. Ia sama sekali tidak pernah menceritakan soal Deric pada wanita di sampingnya itu. Jadi, sungguh aneh jika Lucy tiba-tiba berteriak saat melihat Deric yang akan jatuh dari kursi roda, terkecuali jika dirinya sudah mengenal pria itu.Caraline menoleh dengan tatapan penuh tanya pada Helen. Akan tetapi, jika dipikir lebih dalam, tidak mungkin asistennya itu melakukan sesuatu di luar perintahnya.Lucy diam sesaat, segera menoleh pada Caraline dan Helen. Bibirnya menggurat senyum seolah dirinya tidak pernah melakukan tindakan mencurigakan apa pun.“Apa ... kau mengenal pria itu?” selidik Caraline.“Aku hanya teringat dengan temanku, Nona,” jawab Lucy dengan ekspresi tenang, “temanku yang bernama Jacob memiliki keadaan yang sama dengan pria itu, dan hubungan kami bisa dibilang dekat. Jadi, saat aku meli
Caraline kembali bekerja setelah merasa cukup beristirahat di rumah. Wanita itu sudah berada di ruang kerjanya sejak pukul delapan pagi tadi. Ia tengah memantau berita di layar kaca mengenai kabar sosok Presiden Universe Corporation dan Henry Hulbert. Selama beberapa hari beristirahat dan menjauh dari ponsel dan televisi, nyatanya topik itu masih hangat diperbincangkan di kalangan masyarakat.Caraline membesarkan volume televisi ketika tayangan menampilkan sebuah video amatir berdurasi tujuh detik yang berisi beberapa orang pria di mana salah satunya diduga adalah Henry Hulbert yang baru saja keluar dari salah satu gedung.“Banyak pihak yang beranggapan jika sosok yang diduga Henry Hulbert itu tengah bersama dengan Presiden Universe Corporation,” ucap pemandu acara saat membacakan narasi yang ada di video tersebut, “namun beberapa pihak meragukan hal tersebut karena minimnya bukti. Hal ini mengakibatkan terjadinya perdebatan di kalangan warganet.&rdqu
“Deric memberikanku hadiah?”Caraline dengan segera membawa kado itu ke atas kasur. Senyumnya merekah sempurna. Wanita itu mengamati hadiah itu saksama, mecermati setiap sudut. Saat akan membukanya, ia tiba-tiba menggeleng.“Tidak, aku harus memotretnya lebih dulu.” Caraline memeluk hadiah itu dengan erat, lalu tersenyum ke arah ponsel. Wanita itu mengambil beberapa gambar dengan gaya berbeda, kemudian mengecek hasilnya. “Ini bagus. Aku akan mencetaknya nanti.”Caraline meletakkan ponsel di atas nakas dengan layar gawai menghadap ke arahnya. Ia ingin merekam aksinya saat membuka hadiah Deric untuk kenang-kenangan. Wanita itu mengembus napas panjang, mengelus dada beberapa kali. “Aku siap.”Caraline dengan hati-hati melepas bungkus kado. Wanita itu terkejut saat melihat sebuah kotak panjang di dalamnya, kemudian membuka hadiah tersebut. “Ini ... skuter listrik.”Caraline menoleh ke arah bal
“Siapa yang menang boleh meminta apa pun pada yang kalah selama itu masih dalam batas normal. Bagaimana?”Deric tersenyum, kembali menduduki kursi roda. Pria itu maju hingga batas pagar.Caraline tentu saja senang dengan usulan tersebut, terlebih ketika mendengar jika pemenangnya bisa meminta apa pun. Wanita itu mulai berpikir hal apa saja yang akan dirinya pinta pada Deric. Apa itu sebuah pelukan? Ciuman? Atau justu hal yang lebih intim dibanding hal itu?Caraline tersenyum lebar, merasakan luapan energi yang besar di sekujur tubuhnya. Raganya mendadak bersemangat mengingat hadiah yang akan dirinya terima. Ingin sekali rasanya ia melompat-lompat dan berteriak heboh saking bahagia. Ini sungguh sesuatu yang benar-benar memacu semangat dan gairahnya.“Baiklah, jika kau tidak mau,” kata Deric.“Apa yang kau katakan, hah?” Caraline tiba-tiba berdiri, berkacak pinggang. Matanya menyorot tajam ke arah Deric. Senyum bah
“Aku menang! Aku menang!” teriak Caraline sembari mengangkat satu tangan. Wanita itu menoleh pada Deric dan memamerkan senyum penuh kebanggaan. Saking larut dalam euporia bahagia, ia menjadi abai dengan kondisi jalan.“Awas!” teriak Deric.“Kau tidak bisa ....” Suara Carlaine mendadak menghilang ketika skuter yang dinaikinya menabrak semak-semak. Alhasil, ia ikut menerobos semak-semak, lalu berguling-guling dan berhenti tepat di samping pagar.Selama beberapa detik lamanya, Caraline hanya bisa terbaring di tanah dengan mulut menganga dan mata memelotot. Saat menoleh ke samping, ia melihat kumpulan daun dan ranting.“Apa berbaring bersama daun adalah hal yang menyenangkan?” tanya Deric sembari mendekat. Satu tangannya terulur ke arah Caraline.“Astaga,” gumam Caraline sembari buru-buru bangkit. Beberapa helai daun berjatuhan saat ia berdiri. “Apa kau sedang menyindirku?”