“Siapa yang menang boleh meminta apa pun pada yang kalah selama itu masih dalam batas normal. Bagaimana?”
Deric tersenyum, kembali menduduki kursi roda. Pria itu maju hingga batas pagar.
Caraline tentu saja senang dengan usulan tersebut, terlebih ketika mendengar jika pemenangnya bisa meminta apa pun. Wanita itu mulai berpikir hal apa saja yang akan dirinya pinta pada Deric. Apa itu sebuah pelukan? Ciuman? Atau justu hal yang lebih intim dibanding hal itu?
Caraline tersenyum lebar, merasakan luapan energi yang besar di sekujur tubuhnya. Raganya mendadak bersemangat mengingat hadiah yang akan dirinya terima. Ingin sekali rasanya ia melompat-lompat dan berteriak heboh saking bahagia. Ini sungguh sesuatu yang benar-benar memacu semangat dan gairahnya.
“Baiklah, jika kau tidak mau,” kata Deric.
“Apa yang kau katakan, hah?” Caraline tiba-tiba berdiri, berkacak pinggang. Matanya menyorot tajam ke arah Deric. Senyum bah
“Aku menang! Aku menang!” teriak Caraline sembari mengangkat satu tangan. Wanita itu menoleh pada Deric dan memamerkan senyum penuh kebanggaan. Saking larut dalam euporia bahagia, ia menjadi abai dengan kondisi jalan.“Awas!” teriak Deric.“Kau tidak bisa ....” Suara Carlaine mendadak menghilang ketika skuter yang dinaikinya menabrak semak-semak. Alhasil, ia ikut menerobos semak-semak, lalu berguling-guling dan berhenti tepat di samping pagar.Selama beberapa detik lamanya, Caraline hanya bisa terbaring di tanah dengan mulut menganga dan mata memelotot. Saat menoleh ke samping, ia melihat kumpulan daun dan ranting.“Apa berbaring bersama daun adalah hal yang menyenangkan?” tanya Deric sembari mendekat. Satu tangannya terulur ke arah Caraline.“Astaga,” gumam Caraline sembari buru-buru bangkit. Beberapa helai daun berjatuhan saat ia berdiri. “Apa kau sedang menyindirku?”
Makan malam berlangsung tanpa ada obrolan selama beberapa waktu. Meski begitu, Caraline sesekali mencuri pandangan pada Deric, kemudian kembali fokus pada hidangan. Suasana yang sepi ditambah makan malam berdua cukup membuat wanita itu dilanda gugup. Ia ingin tahu bagaimana akhir dari malam ini. Apakah terjadi sesuatu yang ia inginkan atau justru sebaliknya?“Kau tampaknya menyukai hadiah dariku,” ujar Deric memulai obrolan. Pria itu meneguk minuman sesaat, kemudian kembali menikmati hidangan.“Ha-hadiah?” Caraline menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Pipinya tampak merona hingga ia harus menunduk untuk menutupinya. “Hadiah apa yang kau maksud?”“Anting yang kau kenakan saat ini,” sahut Deric, “aku beberapa kali melihatmu memakainya.”“Ah, benda ... konyol ini.” Caraline memutar bola mata, meniup-niup udara. “A-aku menyukai bentuknya. Itu saja. Lagi pula, dengan memakai
“Apa kau akan berusaha memelukku seperti waktu itu?” Deric tersenyum tipis.Caraline seketika mematung. Tangannya tanpa sengaja menjatuhkan remote TV. Wajahnya seperti tertampar oleh pertanyaan barusan. Apa mungkin Deric sadar kalau aksi memeluk itu sebuah kesengajaan?“Ber-berhenti bicara omong kosong.” Caraline memutar bola mata, menggeser letak duduk, menjauh dari Deric. “Otakmu harus dibersihkan dari pemikiran-pemikiran kotor. A-aku ... melakukannya karena ketidaksengajaan. Memangnya wanita aneh apa yang ingin memelukmu?”“Kau,” jawab Deric santai.Caraline seketika memelotot. “Apa yang kau—”“Bukankah kau pernah meminta izin agar bisa memelukku?” Deric tersenyum.Caraline rasanya ingin pergi dari tempat ini sekarang juga. Wanita itu bisa merasakan wajahnya matang dan nyaris meledak. Di saat bersamaan, ia tiba-tiba mengingat momen ketika dirinya memint
Siapa yang sedang menghubungi Deric? tanya Caraline dalam hati.Untuk beberapa waktu, Caraline fokus pada layar ponsel Deric yang terus menyala. Ia sampai lupa jika dirinya tengah menindih pria itu dari atas. Matanya menyipit bersamaan dengan lehernya yang menoleh pada gawai, berusaha menebak nama atau wajah dari si penelepon.“Bisakah kau menjauh dariku untuk sesaat?” tanya Deric. Saat mendapati Caraline tengah menatap tajam ponselnya, ia dengan segera mengambil benda pipih itu, kemudian mematikan sambungan telepon.Caraline dengan cepat menyadari kesalahannya. Wanita itu dengan cemberut segera bangkit dari tubuh Deric. Sebenarnya, ia tak masalah jika semalaman berada dalam posisi itu, tetapi hal itu bisa mengundang kecurigaan Deric.“A-apa ... yang sebenarnya kau lakukan padaku?” Caraline mengembus napas panjang, menepuk-nepuk baju seperti baru saja terkena kotoran.Di sisi lain, Deric masih dalam posisi terbaring
Caraline menyipitkan mata untuk mengintip layar ponsel lebih jelas. Ia begitu penasaran dengan sosok yang menghubungi Deric sejak tadi. Apa mungkin ada hal penting?“Apa kau bisa sedikit menjauh dariku?” tanya Deric yang seraya mematikan kembali ponsel.Mendengar hal itu, Caraline buru-buru menjauh, menepuk-nepuk baju dengan wajah ketus. “Jangan pernah berani memerintahku! Tanpa kau minta pun, aku akan menjauh darimu.”“Apa aku bisa kembali ke ruanganku sekarang?” Deric menggeser maju. “Ada beberapa hal penting yang harus aku selesaikan saat ini juga.”“Tidak!” tegas Caraline dengan kedua tangan yang sudah terlipat di depan dada. “Kau harus berada di sini semalaman. Kau hanya bisa kembali ke kandang kumuhmu saat pagi.”Deric diam sejenak. “Bukankah kau ingin menjauh dariku?”“Tapi kau adalah budakku sekarang. Aku ... membutuhkanmu untuk melakukan apa pu
“Kau ... kau ... kau harus tidur di kamarku malam ini,” ujar Caraline dengan wajah yang sudah seperti terbakar. Caraline dengan cepat berbalik, melipat kedua tangan di depan dada. Tubuhnya gemetar hebat setelah mengatakan hal tersebut. Wanita itu mengakui jika dirinya sudah menjadi budak cinta Deric. Sepanjang hari, di mana pun dan dalam keadaan apa pun, ia tak bisa berhenti memikirkan pria itu, senantiasa ingin menghabiskan waktu bersama. Deric sendiri langsung membulatkan mata lebar-lebar. Untuk beberapa saat, pria itu hanya diam dan tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Perkataan Caraline benar-benar mengejutkannya. “Apa ... kau serius?” Caraline mengembus napas panjang, terpejam beberapa saat. Bukannya menjawab, wanita itu dengan cepat memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras. Setelahnya, ia bersandar pada badan pintu hingga tubuhnya melorot dan terduduk di lantai. “Aku sungguh benar-benar sudah gila. Tapi ... aku harus melakukannya daripada ak
“Apa yang harus aku lakukan saat ini?” tanya Deric. “Berikan minuman itu padaku,” perintah Caraline. “Bukankah itu berada di dekatmu?” Deric menatap gelas di atas nakas dan Caraline bergantian. Dahinya berkerut bingung. “Kau budakku sekarang. Jadi, aku berhak memerintahkanmu apa pun yang kumau.” Caraline merotasikan bola mata. “Apa yang kau tunggu? Ambilkan aku gelas itu sekarang!” Deric melajukan kursi roda, mengambil gelas di nakas, lalu menyerahkannya pada Caraline. Tangannya menggantung di udara selama beberapa detik. Caraline sendiri menoleh ke arah jendela balkon ketika Deric menyodorkan gelas ke arahnya. Wanita itu dengan sengaja membiarkan pria itu memegang gelas di udara. Ia mengibas-ngibas rambut dan baju di bagian belahan dada beberapa kali. “Aku harap air ini tidak menguap dengan cepat,” kata Deric, “kau tahu, ruangan ini menjadi terasa panas dibanding terkahir kali aku memasukinya.” Caraline tak bisa menghadang sen
“Kau harus mengeringkan bagian tubuhku yang basah dengan tanganmu!" Caraline bisa merasakan wajahnya memanas setelah mengetakan hal tersebut. Tubuhnya bergetar hebat karena perasaan yang tidak bisa digambar dengan kata-kata apa pun. Mungkin saja ia akan dicap gila dengan ucapan tersebut, tetapi ia tidak peduli selama itu demi Deric.Di sisi lain, Deric hanya diam sembari menilik Caraline lekat-lekat. Keterkejutan masih tampak di paras tampannya. Kedua tangannya mengepal dan tak lama kemudian mengendur kembali. “Apa kau yakin? Aku rasa ... itu terlalu berlebihan.”“Apa kau mau lari dari tanggung jawabmu?” ketus Caraline dengan kedua tangan sudah terlipat di depan dada. Wanita itu bisa merasakan debaran jantungnya yang menggila. Ia sungguh tidak berani membayangkan jika Deric melakukan hal itu padanya. Apa ia akan pingsan atau justru bertindak di luar kendali? Semoga saja tidak.“Aku sedikit sulit menjelaskannya,”