“Kau ... kau ... kau harus tidur di kamarku malam ini,” ujar Caraline dengan wajah yang sudah seperti terbakar.
Caraline dengan cepat berbalik, melipat kedua tangan di depan dada. Tubuhnya gemetar hebat setelah mengatakan hal tersebut. Wanita itu mengakui jika dirinya sudah menjadi budak cinta Deric. Sepanjang hari, di mana pun dan dalam keadaan apa pun, ia tak bisa berhenti memikirkan pria itu, senantiasa ingin menghabiskan waktu bersama.
Deric sendiri langsung membulatkan mata lebar-lebar. Untuk beberapa saat, pria itu hanya diam dan tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Perkataan Caraline benar-benar mengejutkannya. “Apa ... kau serius?”
Caraline mengembus napas panjang, terpejam beberapa saat. Bukannya menjawab, wanita itu dengan cepat memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras. Setelahnya, ia bersandar pada badan pintu hingga tubuhnya melorot dan terduduk di lantai. “Aku sungguh benar-benar sudah gila. Tapi ... aku harus melakukannya daripada ak
“Apa yang harus aku lakukan saat ini?” tanya Deric. “Berikan minuman itu padaku,” perintah Caraline. “Bukankah itu berada di dekatmu?” Deric menatap gelas di atas nakas dan Caraline bergantian. Dahinya berkerut bingung. “Kau budakku sekarang. Jadi, aku berhak memerintahkanmu apa pun yang kumau.” Caraline merotasikan bola mata. “Apa yang kau tunggu? Ambilkan aku gelas itu sekarang!” Deric melajukan kursi roda, mengambil gelas di nakas, lalu menyerahkannya pada Caraline. Tangannya menggantung di udara selama beberapa detik. Caraline sendiri menoleh ke arah jendela balkon ketika Deric menyodorkan gelas ke arahnya. Wanita itu dengan sengaja membiarkan pria itu memegang gelas di udara. Ia mengibas-ngibas rambut dan baju di bagian belahan dada beberapa kali. “Aku harap air ini tidak menguap dengan cepat,” kata Deric, “kau tahu, ruangan ini menjadi terasa panas dibanding terkahir kali aku memasukinya.” Caraline tak bisa menghadang sen
“Kau harus mengeringkan bagian tubuhku yang basah dengan tanganmu!" Caraline bisa merasakan wajahnya memanas setelah mengetakan hal tersebut. Tubuhnya bergetar hebat karena perasaan yang tidak bisa digambar dengan kata-kata apa pun. Mungkin saja ia akan dicap gila dengan ucapan tersebut, tetapi ia tidak peduli selama itu demi Deric.Di sisi lain, Deric hanya diam sembari menilik Caraline lekat-lekat. Keterkejutan masih tampak di paras tampannya. Kedua tangannya mengepal dan tak lama kemudian mengendur kembali. “Apa kau yakin? Aku rasa ... itu terlalu berlebihan.”“Apa kau mau lari dari tanggung jawabmu?” ketus Caraline dengan kedua tangan sudah terlipat di depan dada. Wanita itu bisa merasakan debaran jantungnya yang menggila. Ia sungguh tidak berani membayangkan jika Deric melakukan hal itu padanya. Apa ia akan pingsan atau justru bertindak di luar kendali? Semoga saja tidak.“Aku sedikit sulit menjelaskannya,”
Caraline terbangun ketika mendengar suara alarm berbunyi. Wanita itu dengan cepat mendudukkan tubuh, memindai keadaan sekeliling.“Apa yang terjadi padaku?” Caraline berusaha menggali kembali ingatan. Ketika melihat gelas di atas nakas dan busana yang dipakainya masih sama seperti semalam, matanya seketika membulat dan kesadaraannya kembali utuh. “Kejadian semalam ... ternyata bukan mimpi.”Caraline beranjak menuju meja rias. Wanita itu memeriksa leher, dada serta beberapa anggota tubuh yang lain. Wajahnya berubah tegang untuk sesaat. Tak ada bekas apa pun yang tertinggal di sana. “Di mana Deric?” tanyanya sembari memindai keadaan ruangan.Caraline menekan sebuah tombol di samping kiri jendela, dan tak lama kemudian tirai terbuka sempurna. Keadaan luar tampak masih gelap dan sepi.“Apa yang terjadi padaku tadi malam?” Caraline menutup kembali tirai, lalu memeriksa tubuhnya lagi di cermin dengan lebih teliti.
“Apa maksudmu?” tanya Deric, “dan pilihan apa yang kau maksud?”Caraline mendadak gelagapan, berusaha mencari jawaban masuk akal. Ia tidak boleh membuat Deric berpikir macam-macam. “Ka-kau ... seharusnya mengganti pakaianku lebih dulu sebelum menidurkanku. Kau benar-benar keterlaluan. Bisa saja karena tindakan bodohmu aku terkena demam.”“Aku tidak mungkin melakukan hal itu di saat kau tak sadarkan diri,” sahut Deric, “bukankah hal itu termasuk tindakan pelecehan?”Caraline pura-pura terbatuk. Benar apa yang dikatakan Deric, pikirnya. Namun, bila harus jujur, ia tidak akan keberatan jika Deric melakukan hal itu padanya. “Ambilkan aku air!”Deric melaju ke arah lemari pendingin, lalu kembali dengan segelas air.Caraline segera menyambar gelas, lalu meneguk isinya hingga tak bersisa. Wajahnya tertekuk masam setelah tahu jika tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Deric. &ldq
Caraline melempar tubuhnya ke kursi begitu sampai di ruangan kerjanya. Embusan napas panjang terdengar bersamaan dengan dirinya yang memijat kening perlahan. Kepalanya benar-benar dipenuhi oleh Deric. Saat membersihkan diri, berganti pakaian, sarapan, perjalanan hingga ia berada di tempat ini, sosok pria itu menjadi satu-satunya orang yang terus melekat kuat dalam pikiran.Caraline menyandarkan punggung dengan embusan napas berat. Tatapannya tertuju pada penampilannya saat ini. “Kenapa Deric tidak tergoda untuk menyentuhku? Aku benar-benar hampir frustrasi karena dia tidak berani melakukannya padaku semalam.”Caraline beranjak menuju cermin, mengamati penampilannya dari atas hingga bawah. “Tentu saja aku cantik, menarik dan sempurna. Harus kuakui jika Deric memperlakukan wanita dengan baik, tapi aku membencinya karena dia tidak berani menyentuhku. Aku tidak mungkin tiba-tiba meminta hal itu padanya.”“Nona.” Suara Helen terden
Waktu terasa begitu lambat bagi Caraline saat ini. Setelah kepulangannya dari kantor, wanita itu menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya untuk mandi. Beragam produk kecantikan dari mulai perawatan rambut hingga kaki ia gunakan. Caraline juga sengaja memilih beberapa baju untuk dipakainya nanti malam. Sungguh, ia menjadi tidak sabaran.Saat waktu mulai menunjukkan waktu malam, Caraline sudah berada di beranda rumah untuk menunggu kedatangan Deric. Wanita itu berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada, sesekali melongokkan kepala ke jalan yang biasa dilalui pria itu. Masih ada waktu sekitar lima menit sebelum makan malam dimulai. Ia menghubungi seseorang untuk menanyakan persiapan.“Semuanya siap,” ujar Caraline sembari mengembus napas panjang. Ia merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Suasana malam ini terasa begitu panas untuknya. “Ini kesempatan terakhirmu, Caraline. Jangan sampai kau bertinak bodoh seperti semalam.”Ca
Deric dengan senyum mengembang memandangi setiap sudut ruangan. Tatapannya bergerilya ke arah atap transparan yang malam ini tengah bertabur bintang. Kelip cahaya tampak bersinar menghias langit. Bersama kursi roda, pria itu memutari taman rooftop.“Tempat ini masih tetap indah seperti terakhir kali aku berada di sini,” kata Deric, “apa ... mungkin aku akan menginap di sini untuk kedua kalinya?”Caraline tiba-tiba terbatuk mendengar ucapan tersebut. Deric seperti tengah menyindirnya dengan kejadian beberapa bulan lalu, tepatnya saat dirinya ditinggalkan seorang diri di tempat ini.“Tempat ini seratus kali lebih baik dibanding dengan gubuk kumuhmu,” ketus Caraline dengan kedua tangan di depan dada. Ia mengikuti Deric dari belakang.Deric kembali melaju, mengitari air mancur dengan tangan yang sengaja menyentuh air. Senyumnya mengembang sempurna. “Aku ... jadi teringat dengan rumahku yang dulu.”
Caraline memastikan jika aksinya bisa berjalan sempurna malam ini. Wanita itu kembali menikmati hidangan saat melihat Deric melaju ke arah meja. Ekor matanya mengamati pria itu dari atas hingga bawah, lalu berpindah pada gelas yang baru saja ia bubuhi sesuatu.“Sampai kapan kita akan berada di tempat ini?” tanya Deric.Caraline merotasikan bola mata. “Sayang sekali, kita akan menginap di tempat ini dan pulang saat pagi buta.”Deric diam sesaat. Tangannya yang baru akan mengambil alat makan terhenti seketika. “Itu ... ide yang cukup bagus. Kau tahu, aku tiba-tiba teringat dengan aksimu yang menjemputku di pagi buta dengan piyama tidur tanpa alas kaki.”“Hentikan!” Caraline lagi-lagi menggebrak meja. Ia mengingat semuanya dengan jelas. “Itu memalukan dan aku tidak ingin mengingatnya lagi!”“Kau tampak lucu saat itu, tapi aku tidak berani tertawa karena tentunya kau sudah berjuang untuk