Caraline melempar tubuhnya ke kursi begitu sampai di ruangan kerjanya. Embusan napas panjang terdengar bersamaan dengan dirinya yang memijat kening perlahan. Kepalanya benar-benar dipenuhi oleh Deric. Saat membersihkan diri, berganti pakaian, sarapan, perjalanan hingga ia berada di tempat ini, sosok pria itu menjadi satu-satunya orang yang terus melekat kuat dalam pikiran.
Caraline menyandarkan punggung dengan embusan napas berat. Tatapannya tertuju pada penampilannya saat ini. “Kenapa Deric tidak tergoda untuk menyentuhku? Aku benar-benar hampir frustrasi karena dia tidak berani melakukannya padaku semalam.”
Caraline beranjak menuju cermin, mengamati penampilannya dari atas hingga bawah. “Tentu saja aku cantik, menarik dan sempurna. Harus kuakui jika Deric memperlakukan wanita dengan baik, tapi aku membencinya karena dia tidak berani menyentuhku. Aku tidak mungkin tiba-tiba meminta hal itu padanya.”
“Nona.” Suara Helen terden
Waktu terasa begitu lambat bagi Caraline saat ini. Setelah kepulangannya dari kantor, wanita itu menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya untuk mandi. Beragam produk kecantikan dari mulai perawatan rambut hingga kaki ia gunakan. Caraline juga sengaja memilih beberapa baju untuk dipakainya nanti malam. Sungguh, ia menjadi tidak sabaran.Saat waktu mulai menunjukkan waktu malam, Caraline sudah berada di beranda rumah untuk menunggu kedatangan Deric. Wanita itu berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada, sesekali melongokkan kepala ke jalan yang biasa dilalui pria itu. Masih ada waktu sekitar lima menit sebelum makan malam dimulai. Ia menghubungi seseorang untuk menanyakan persiapan.“Semuanya siap,” ujar Caraline sembari mengembus napas panjang. Ia merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Suasana malam ini terasa begitu panas untuknya. “Ini kesempatan terakhirmu, Caraline. Jangan sampai kau bertinak bodoh seperti semalam.”Ca
Deric dengan senyum mengembang memandangi setiap sudut ruangan. Tatapannya bergerilya ke arah atap transparan yang malam ini tengah bertabur bintang. Kelip cahaya tampak bersinar menghias langit. Bersama kursi roda, pria itu memutari taman rooftop.“Tempat ini masih tetap indah seperti terakhir kali aku berada di sini,” kata Deric, “apa ... mungkin aku akan menginap di sini untuk kedua kalinya?”Caraline tiba-tiba terbatuk mendengar ucapan tersebut. Deric seperti tengah menyindirnya dengan kejadian beberapa bulan lalu, tepatnya saat dirinya ditinggalkan seorang diri di tempat ini.“Tempat ini seratus kali lebih baik dibanding dengan gubuk kumuhmu,” ketus Caraline dengan kedua tangan di depan dada. Ia mengikuti Deric dari belakang.Deric kembali melaju, mengitari air mancur dengan tangan yang sengaja menyentuh air. Senyumnya mengembang sempurna. “Aku ... jadi teringat dengan rumahku yang dulu.”
Caraline memastikan jika aksinya bisa berjalan sempurna malam ini. Wanita itu kembali menikmati hidangan saat melihat Deric melaju ke arah meja. Ekor matanya mengamati pria itu dari atas hingga bawah, lalu berpindah pada gelas yang baru saja ia bubuhi sesuatu.“Sampai kapan kita akan berada di tempat ini?” tanya Deric.Caraline merotasikan bola mata. “Sayang sekali, kita akan menginap di tempat ini dan pulang saat pagi buta.”Deric diam sesaat. Tangannya yang baru akan mengambil alat makan terhenti seketika. “Itu ... ide yang cukup bagus. Kau tahu, aku tiba-tiba teringat dengan aksimu yang menjemputku di pagi buta dengan piyama tidur tanpa alas kaki.”“Hentikan!” Caraline lagi-lagi menggebrak meja. Ia mengingat semuanya dengan jelas. “Itu memalukan dan aku tidak ingin mengingatnya lagi!”“Kau tampak lucu saat itu, tapi aku tidak berani tertawa karena tentunya kau sudah berjuang untuk
“Aku ... akan membawamu ke tempat dan suasana yang tak kalah indah dari surga. Kau siap?” ujar Caraline sembari meraba bahu kokoh Deric.“Kenapa kau repot-repot membawaku ke tempat itu?” tanya Deric.Senyum di bibir Caraline dengan cepat luntur. Wanita itu mengentak lantai sebagai penyalur rasa jengkel. Deric benar-benar cerminan pria tidak peka yang pernah ia temui. Dibanding semua CEO, pebisnis sukses yang mencoba mendekatinya selama ini, kenapa dirinya justru tergila-gila dengan pria di kursi roda ini? Apakah takdir begitu semisterius itu?“Kau benar-benar pandai merusak suasana,” ketus Caraline.“Aku hanya sedikit bingung.” Deric mengangkat bahunya.“Diamlah!” Caraline berdecak, bergerak ke belakang kursi roda, lalu mendorong Deric maju. Tujuannya saat ini tentu saja kamarnya. Di dalam ruangan itu, ia sudah menyiapkan semua kebutuhan untuk melancarkan misinya.Caraline menekan k
“Sebenarnya aku ....” Deric sengaja menggantung ucapan.Caraline menunggu Deric melanjutkan ucapannya. Akan tetapi, hingga beberapa detik menunggu, pria itu sama sekali belum kembali berbicara. “Jangan membuatku menunggu,” ketusnya.“Sebenarnya ... aku gampang tersesat di jalan, terlebih dengan kondisiku sekarang.” Deric terkekeh. “Untuk itu aku akan lama kembali ke rumahmu. Bukankah itu lucu?”“Tidak!” Caraline berdecak. Deric benar-benar membuatnya ketakutan. Tidak ada sedikit pun hal lucu dalam perkataannya. “Tapi, bukankah kau bisa kembali ke gubuk keluarga Aberald setelah setahun lamanya pergi?”Deric tiba-tiba diam. Jemarinya menjauh dari senar gitar. “Kembali ke keluarga Aberald setelah setahun lamanya pergi? Apa maksudmu?”Caraline refleks menegakkan tubuh. Matanya membulat seiring dengan mulutnya setengah terbuka. Ia lagi-lagi berbicara tanpa sadar. &
Musik berhenti bersamaan dengan jemari Deric yang mulai menjauh dari senar gitar. Akan tetapi, debaran di jantung Caraline justru kian bertabuh dengan keras. Untuk beberapa saat, ruangan didekap hening.“Kau punya suara yang bagus,” puji Deric, “terima kasih telah bernyanyi denganku dan menghangatkan suasana malam ini.”Caraline memutar bola mata. “Aku tidak ingin mendengar pujian dari pria sepertimu. A-aku ... aku hanya tak ingin suara jelekmu terus menyikiti gendang telingaku. Jadi, kupikir tidak ada salahnya jika aku menyanyi.”Deric terkekeh. “Aku rasa ... ruangan ini agak terlalu panas. Aku sampai berkeringat karenanya.”Caraline mengangkat sudut bibir. “Sayang sekali, aku tidak merasakan hal yang sama denganmu.”“Bisakah aku keluar sesaat untuk mencuci wajah dan rambut?” tanya Deric.“Aku ... bukan orang jahat. Jadi, aku akan memberimu waktu selama dua menit.
“Apa yang sebenarnya orang-orang itu lakukan?” tanya Caraline dengan raut jengkel. Ia menoleh pada Deric, lalu berkata, “Jangan keluar sebelum aku memerintahkanmu. Kau mengerti?”“Aku tidak keberatan,” jawab Deric.Caraline bergegas keluar, membanting pintu agak keras, berjalan terburu-buru ke arah kumpulan maid dan penjaga di halaman. Kedua tangannya refleks berkacak pinggang. “Apa yang sedang kalian lakukan saat ini? Bukankah aku meminta kalian untuk menjauh dari rumah?”“Nona Caraline,” ujar para maid dengan tatapan lega. Pandangan mereka secara kompak mulai mengamati penampilan Caraline dari atas hingga bawah. Mereka saling bertatapan untuk beberapa waktu ketika melihat keadaan majikannya yang hanya dibalut piyama tidur tipis dengan atasan kemeja panjang laki-laki.“Kami sangat mengkhawatirkan keadaan Anda, Nona,” ucap Grace, “sesaat setelah gempa bumi terj
Malam panjang berganti menjadi dinginnya udara pagi. Burung-burung tampak terbang mengelilingi sebuah halaman rumah. Kupu-kupu terlihat mengitari kebun bunga kecil yang berada di pekarangan. Di kediaman keluarga Aberald, Jeremy dan Jonathan tengah sarapan di meja makan.“James, apa yang sedang kau lakukan?” tanya Jeremy setengah berteriak.“Jangan bermalas-malasan atau aku akan menyeretmu keluar dari kamar jelekmu!” timpal Jonathan, “cepat keluar!”“Tunggu sebentar,” balas James dari dalam kamar. Pria itu tengah memasang dasi di hadapan cermin. Wajahnya masih diselimuti kantuk. Selama beberapa minggu ini, ia dihadapkan dengan rutinitas kantor yang membosankan. Ia benar-benar merindukan kegiatan bermain game di ponsel dan juga pesta bersama para gadis.“James!” teriak Jeremy.“Iya, aku datang.” James buru-buru menyemprotkan parfum, mengambil tas kerja, bergegas keluar k