Musik berhenti bersamaan dengan jemari Deric yang mulai menjauh dari senar gitar. Akan tetapi, debaran di jantung Caraline justru kian bertabuh dengan keras. Untuk beberapa saat, ruangan didekap hening.
“Kau punya suara yang bagus,” puji Deric, “terima kasih telah bernyanyi denganku dan menghangatkan suasana malam ini.”
Caraline memutar bola mata. “Aku tidak ingin mendengar pujian dari pria sepertimu. A-aku ... aku hanya tak ingin suara jelekmu terus menyikiti gendang telingaku. Jadi, kupikir tidak ada salahnya jika aku menyanyi.”
Deric terkekeh. “Aku rasa ... ruangan ini agak terlalu panas. Aku sampai berkeringat karenanya.”
Caraline mengangkat sudut bibir. “Sayang sekali, aku tidak merasakan hal yang sama denganmu.”
“Bisakah aku keluar sesaat untuk mencuci wajah dan rambut?” tanya Deric.
“Aku ... bukan orang jahat. Jadi, aku akan memberimu waktu selama dua menit.
“Apa yang sebenarnya orang-orang itu lakukan?” tanya Caraline dengan raut jengkel. Ia menoleh pada Deric, lalu berkata, “Jangan keluar sebelum aku memerintahkanmu. Kau mengerti?”“Aku tidak keberatan,” jawab Deric.Caraline bergegas keluar, membanting pintu agak keras, berjalan terburu-buru ke arah kumpulan maid dan penjaga di halaman. Kedua tangannya refleks berkacak pinggang. “Apa yang sedang kalian lakukan saat ini? Bukankah aku meminta kalian untuk menjauh dari rumah?”“Nona Caraline,” ujar para maid dengan tatapan lega. Pandangan mereka secara kompak mulai mengamati penampilan Caraline dari atas hingga bawah. Mereka saling bertatapan untuk beberapa waktu ketika melihat keadaan majikannya yang hanya dibalut piyama tidur tipis dengan atasan kemeja panjang laki-laki.“Kami sangat mengkhawatirkan keadaan Anda, Nona,” ucap Grace, “sesaat setelah gempa bumi terj
Malam panjang berganti menjadi dinginnya udara pagi. Burung-burung tampak terbang mengelilingi sebuah halaman rumah. Kupu-kupu terlihat mengitari kebun bunga kecil yang berada di pekarangan. Di kediaman keluarga Aberald, Jeremy dan Jonathan tengah sarapan di meja makan.“James, apa yang sedang kau lakukan?” tanya Jeremy setengah berteriak.“Jangan bermalas-malasan atau aku akan menyeretmu keluar dari kamar jelekmu!” timpal Jonathan, “cepat keluar!”“Tunggu sebentar,” balas James dari dalam kamar. Pria itu tengah memasang dasi di hadapan cermin. Wajahnya masih diselimuti kantuk. Selama beberapa minggu ini, ia dihadapkan dengan rutinitas kantor yang membosankan. Ia benar-benar merindukan kegiatan bermain game di ponsel dan juga pesta bersama para gadis.“James!” teriak Jeremy.“Iya, aku datang.” James buru-buru menyemprotkan parfum, mengambil tas kerja, bergegas keluar k
Caraline berkali-kali mengecek penampilannya di cermin. Wajahnya tampak cerah karena senyum yang terus melekat di bibir. Helaan napasnya terasa ringan seiring dengan dada dan bahunya yang seperti kehilangan beban. Ia sama sekali belum pernah merasakan perasaan sebahagia ini. Akan tetapi, setiap kali terpejam, kilasan peristiwa tadi malam seketika menyesaki pikiran.“Astaga!” Caraline menggebrak meja rias. Bukan karena emosi, tetapi sebab perasaan bahagia yang tak dapat dibendung lagi. Wajahnya memerah dan terasa panas saat bersamaan.Caraline mengembus napas panjang, melirik ke arah ranjang. Wanita itu buru-buru menutup wajah saat pergulatan tadi malam kembali terbayang. Ia segera beranjak menuju kasur ketika melihat kemeja Deric masih tersampir di sisi ranjang. “Ini benar-benar memalukan!”Caraline mengambil kemeja Deric, lalu menghirup aromanya. Sekujur tubuhnya mendadak bergetar hebat. Gemetarnya seketika mengingatkannya pada sentuhan
Hujan mengguyur deras tak lama setelah mobil yang membawa Caraline melahap jalanan. Tetes air tampak terperangkap di jendela kendaraan. Caraline mengembus napas panjang, tersenyum saat melihat foto keluarganya di layar ponsel. Kehilangan tiga orang yang berharga bukanlah sesuatu yang mudah, dan ia tahu bagaimana rasa sakitnya.“Aku berjanji ... aku akan terus melangkah maju bagaimanapun caranya,” ujar Caraline, “ada Deric yang yang harus kujaga dan kubahagiakan.”Caraline menyandarkan punggung ke kursi, menoleh ke samping jendela. Jarinya menulis namanya sendiri, disusul tanda hati di bawahnya, lalu diakhiri dengan nama Deric. Wanita itu terkekeh ketika menyadari tindakannya sangat kekanak-kanakan. Tangannya bergerak untuk menghapus tulisan. Akan tetapi, ia membatalkan niatan itu dan beralih mengambil ponsel untuk memotretnya.Caraline mengamati hasil tangkapan kamera. “Ini foto yang bagus,” ujarnya dengan senyum mengembang.
Hujan masih mengguyur Heaventown dari satu jam yang lalu. Sebuah mobil tampak memasuki sebuah gedung pencakar langit. Beberapa pria berseragam hitam tampak mengawal seorang pria berjas biru tua ke lobi gedung. Beberapa staf yang berada di sana langsung membungkuk hormat ketika melihat Diego.Diego dan dua asistennya memasuki elevator untuk sampai ke lantai atas. Pria itu keluar begitu pintu terbuka secara otomatis. Dua pegawainya hanya mengantar hingga ke pintu sebuah ruangan, kemudian memilih berlalu.Diego memasuki sebuah ruangan, lalu tersenyum saat melihat Wilson dan Catherine.“Aku benar-benar minta maaf atas keterlambatanku,” ucap Diego seraya duduk di hadapan Wilson dan Catherine. “Jalanan Heaventown benar-benar tak lagi ramah untuk pebisnis seperti kita. Mungkin aku akan mempertimbangkan untuk menggunakan jet pribadi.”“Itu ide yang bagus, Tuan,” sahut Wilson, “betul begitu, Catherine?”Cather
Caraline sudah siap menghabiskan malam ini dengan Deric. Wanita tampak sibuk mengamati penampilannya di meja rias. Sebenarnya, ia kurang nyaman dengan busana yang sedang dikenakan. Akan tetapi, ia rela melakukannya demi mengejutkan Deric.“Deric benar-benar membuatku kerepotan. Dia juga memaksaku untuk pergi di malam sedingin ini,” ujar Caraline sembari menata rambutnya. Wanita itu mundur selangkah, berlenggak-lenggok di depan cermin. “Sempurna.”Caraline meraih tas setelah memastikan penampilan sekali lagi. Wanita itu keluar kamar sembari mengembus napas panjang. Untuk kesekian kalinya, dirinya dibuat gugup hanya untuk bertemu Deric. Kondisi rumah sudah sepi sejak tadi. Para maid telah ia minta untuk meninggalkan ruangan bangunan utama.“Di mana Deric?” Caraline memutar bola mata, duduk di salah satu kursi meja makan. “Dia selalu saja membuatku menunggu. Dan entah mengapa dia seringkali mengejutkanku dengan tib
“Aku tidak ingin lagi berbicara denganmu!” ketus Caraline dengan pandangan menoleh ke samping.Mobil perlahan melaju meninggalkan kediaman. Caraline terpejam sembari mencubit paha. Sejujurnya, ia teramat malu untuk sekadar menoleh pada Deric saat ini. Pria itu benar-benar seperti menguliti dirinya hidup-hidup.“Kau sedang melakukannya saat ini,” kata Deric.“Kalau begitu jangan bicara padaku!” Caraline berdecak.“Baiklah.” Deric menekan beberapa tombol di mobil.“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Caraline yang curiga dengan tindakan Deric. Pria itu tampak mahir mengoperasikan tombol-tombol di kendaraan ini.Deric hanya diam, lalu menyadarkan tubuh ke kursi.Caraline setengah berbalik, menatap Deric dengan raut kesal. Ia diam sesaat sebelum akhirnya mengerti harus berbuat apa. “Kau boleh bicara padaku lagi. Sekarang katakan, apa yang sedang kau lakukan?”&
“Siapa wanita itu?” gumam Caraline dengan raut kesal.Caraline tiba-tiba saja turun dari kursi roda, berjalan cepat membelah kerumunan orang-orang. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menatap Deric sesaat dengan pandangan tajam.“Ada apa?” tanya Deric sembari memutar kursi roda. Mendadak turun dan pergi dengan langkah cepat, tentu saja terjadi dengan sebuah alasan.Caraline berhenti sesaat di seberang jalan, lalu kembali melangkah menuju pinggiran pantai. Wajahnya cemberut hingga pipinya menggembung bak balon. “Deric benar-benar menyebalkan. Berani sekali dia menyimpan foto seorang wanita tanpa sepengetahuanku. Dia benar-benar tidak menghargai perasaanku. Menjengkelkan sekali.”Caraline terus menggerutu hingga dirinya duduk di sebuah kursi panjang yang menghadap pantai. Di sekelilingnya banyak pasangan yang sedang berduaan sambil menikmati pemandangan pantai dan hidangan. Perutnya memang sangat lapar, tetapi ia mend