“Aku tidak ingin lagi berbicara denganmu!” ketus Caraline dengan pandangan menoleh ke samping.
Mobil perlahan melaju meninggalkan kediaman. Caraline terpejam sembari mencubit paha. Sejujurnya, ia teramat malu untuk sekadar menoleh pada Deric saat ini. Pria itu benar-benar seperti menguliti dirinya hidup-hidup.
“Kau sedang melakukannya saat ini,” kata Deric.
“Kalau begitu jangan bicara padaku!” Caraline berdecak.
“Baiklah.” Deric menekan beberapa tombol di mobil.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Caraline yang curiga dengan tindakan Deric. Pria itu tampak mahir mengoperasikan tombol-tombol di kendaraan ini.
Deric hanya diam, lalu menyadarkan tubuh ke kursi.
Caraline setengah berbalik, menatap Deric dengan raut kesal. Ia diam sesaat sebelum akhirnya mengerti harus berbuat apa. “Kau boleh bicara padaku lagi. Sekarang katakan, apa yang sedang kau lakukan?”
&
“Siapa wanita itu?” gumam Caraline dengan raut kesal.Caraline tiba-tiba saja turun dari kursi roda, berjalan cepat membelah kerumunan orang-orang. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menatap Deric sesaat dengan pandangan tajam.“Ada apa?” tanya Deric sembari memutar kursi roda. Mendadak turun dan pergi dengan langkah cepat, tentu saja terjadi dengan sebuah alasan.Caraline berhenti sesaat di seberang jalan, lalu kembali melangkah menuju pinggiran pantai. Wajahnya cemberut hingga pipinya menggembung bak balon. “Deric benar-benar menyebalkan. Berani sekali dia menyimpan foto seorang wanita tanpa sepengetahuanku. Dia benar-benar tidak menghargai perasaanku. Menjengkelkan sekali.”Caraline terus menggerutu hingga dirinya duduk di sebuah kursi panjang yang menghadap pantai. Di sekelilingnya banyak pasangan yang sedang berduaan sambil menikmati pemandangan pantai dan hidangan. Perutnya memang sangat lapar, tetapi ia mend
“Ya, karena wanita ini adalah ibuku,” kata Deric seraya menoleh ke arah Caraline.Caraline sontak menegang dengan mata membulat. Ucapan Deric barusan terus menyesaki pikirannya seperti dengungan lebah. Wajahnya dengan cepat merah padam, bukan karena amarah yang bergejolak, melainkan karena perasaan malu yang tak terkira. Ia nyatanya sudah salah menduga mengenai sosok wanita itu.Caraline segera menoleh ke samping, terpejam kuat dengan tangan yang memukul-mukul paha. Astaga, ia benar-benar terbakar perasaan cemburu hingga pikirannya menjadi tak normal. Ia benar-benar malu sampai menggigil ketika mengingat tingkahnya yang kekanak-kanakan.Caraline berdeham, menyedot minuman dengan pandangan bermuara ke arah laut. Perasaannnya mendadak lega setelah tahu jika wanita cantik itu adalah ibu dari Deric. Hal yang harus ia lakukan sekarang adalah kembali bersikap biasa dan menganggap bahwa tingkahnya tadi adalah mimpi.“Oh.” Caraline h
Caraline dan Deric segera memasuki boks.“Aku terkadang mati gaya bila di depan kamera,” ujar Deric.“Justru kamera yang akan mati jika memotretmu,” ketus Caraline sembari memandangi ornamen-ornamen warna-warni di tempat ini. Jujur saja, ini kali pertama wanita itu mengunjungi photobox. Sewaktu sekolah, ia hanya bisa mendengar dari teman-temannya yang berfoto bersama kawan yang lain atau justru kekasih mereka.Meski dengan kekuasaan dan uang yang dimilikinya saat ini Caraline bisa membeli benda ini hingga berlusin-lusin, tetapi kenyataannya ia awam mengenai hampir semua jenis hiburan. Kesibukannya dalam bekerja membuatnya tak bisa menikmati sedikit kesenangan berada di lingkungan seperti ini.“Itu lelucon yang bagus,” sahut Deric seraya bersiap. Ia melihat kamera kecil yang ada di depan. “Bersiaplah karena kamera itu akan memotret kita.”“Apa yang terjadi?” tanya Caraline kebingun
Caraline terkejut ketika menyadari jika posisi wajah Deric sudah berada di depannya. Jantungnya mulai berdegup kencang saat melihat bibir merah muda pria itu. Keadaan ini menimbulkan kemungkinan kalau sebentar lagi Deric akan menciumnya.Caraline berusaha tenang meski dadanya seperti penuh dengan letusan kembang api. Wajahnya mendadak memerah karena tekanan yang ditumbulkan oleh keadaan ini. Ia memang sudah menanti hal ini terjadi, tetapi apa mungkin kalau dirinya dan Deric akan berciuman.Caraline tiba-tiba terpejam saat dirasa Deric kian mendekat ke arah wajahnya. Wanita itu menata perasaan agar mampu tenang dalam menghadapi peristiwa penting yang akan terjadi malam ini. Bila Deric meminta hal lebih dibanding sekadar ciuman, jelas dirinya tidak akan kebertatan untuk memberikannya. Ia akan memaki dirinya terus-menerus kalau sampai kejadian pingsan mendadak kembali dirinya alami.Caraline menanti dengan jantung yang nyaris meledak. Akan tetapi, hingga beberapa d
Selama beberapa hari ini Caraline disibukkan dengan persiapan peluncuran produk terbaru hasil kerja sama dengan perusahaan Diego. Tak jarang ia pulang dalam keadaan larut malam. Anehnya, rasa lelah yang menderanya seketika sirna ketika melihat Deric menyambutnya pulang. Sikap wanita itu masih ketus, sinis seperti biasanya, tetapi ia tak ragu lagi untuk menyentuh Deric secara fisik, atau mengambil kesempatan dalam kesempitan.Langit sudah menguning ketika Caraline bersiap pulang dari kantor. Wanita itu menoleh ke arah ruangan Helen di mana asistennya itu sedang sibuk dengan Lucy serta beberapa pegawai lain. Ia sengaja pulang lebih awal untuk bisa beristirahat. Saat keluar dari lobi, tiba-tiba saja sebuah mobil menepi di depannya.“Kau akan pulang?” tanya seseorang yang tiba-tiba muncul dari jendela yang terbuka.Caraline memutar bola mata. Meski pria itu memakai topi dan kacamata, ia tahu jika pria itu adalah Diego. “Aku tidak ingin menghabiskan
Caraline terbangun saat tubuhnya disapa embusan angin. Hujan mengguyur dengan deras. Badannya yang tidak dibalut selimut langsung menggigil kedinginan. Waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Langit masih belum sepenuhnya terang.Caraline memutuskan kembali tidur setelah memasang alarm. Ia beralih menuju ranjang dan langsung terlelep begitu tubuhnya berbaring di kasur. Wanita itu kembali terbangun saat mendengar suara musik yang menyebalkan. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi.Caraline beranjak menuju balkon. Hujan sudah sepenuhnya reda. Langit masih menyisakan gelap. Tampak kilauan embun terperangkap di dedaunan. Udara dingin langsung menyapa tubuh ketika berada di luar.“Kau ingin berolahraga bersamaku?” tanya Deric yang sudah berada di halaman bawah. Ia sudah bersiap dengan celana olahraga dan kaus tipis tanpa lengan. Lekuk tubuh dan otot-otot tangannya terlihat dengan jelas.“Apa yang sudah kau lakukan, hah?” Car
“Aku baru ingat jika aku memiliki seorang teman yang wajahnya mirip denganmu. Kalau tidak salah, namanya ... Carla Emilia Wattson. Apa dia adikmu?” tanya Deric.Caraline langsung tercenung setelah mendengarnya. Mulutnya setengah terbuka, tetapi tidak ada satu kata pun yang keluar dari sana. Ia tidak tahu harus menjawab apa saat ini, terlebih Deric menatapnya secara langsung. Apa mungkin Deric sudah meulai mencurigai sesuatu?“Aku sebaiknya bergegas turun sebelum para maid berspekulasi sendiri mengenai keberadaanku di sini,” ujar Deric sembari membuka pintu. Tak lama setelahnya, ia keluar dari kamar.Kaki Caraline mendadak seperti jeli hingga tak mampu menopang lagi bobot tubuhnya. Wanita itu jatuh terduduk dengan mata berkaca-kaca. Ketakutannya soal Deric yang akan tahu mengenai sosok yang menabraknya kembali menyesaki pikiran dan perasaan.Untuk beberapa menit ke depan, Caraline hanya bisa duduk di lantai dengan beragam p
“Aku kira kau sengaja bertemu dengan mereka agar mereka bisa menceritakan soal kehidupanku,” ucap Deric.Caraline mendadak diam saat mendengar ucapan tersebut. Akan tetapi, ia segera melangkah lebih cepat dibanding sebelumnya. “Untuk apa aku bertemu dengan mereka hanya agar bisa mengetahui seluk-beluk kehidupanmu? Jika aku ingin tahu, aku sudah sejak dulu bertanya langsung padamu. Lagi pula, aku sudah tahu jika hidupmu menyedihkan dan membosankan.”“Kau benar,” sahut Deric.Caraline terpejam setelah mengucapkan jalimat tersebut. Wanita itu bisa mendengar kekecewaan dari nada suara Deric. Ia seperti merasakan sakit yang mendalam ketika melihat kondisi Deric saat ini, dan semua itu karena kebodohan dan keteledorannya di masa lalu.“Ja-jangan tersinggung,” koreksi Caraline, “hi-hidupmu sekarang tidak semenyedihkan saat pertama kali aku bertemu denganmu. Lagi pula, aku sudah berjanji untuk membuat hidupmu