Siapa yang sedang menghubungi Deric? tanya Caraline dalam hati.
Untuk beberapa waktu, Caraline fokus pada layar ponsel Deric yang terus menyala. Ia sampai lupa jika dirinya tengah menindih pria itu dari atas. Matanya menyipit bersamaan dengan lehernya yang menoleh pada gawai, berusaha menebak nama atau wajah dari si penelepon.
“Bisakah kau menjauh dariku untuk sesaat?” tanya Deric. Saat mendapati Caraline tengah menatap tajam ponselnya, ia dengan segera mengambil benda pipih itu, kemudian mematikan sambungan telepon.
Caraline dengan cepat menyadari kesalahannya. Wanita itu dengan cemberut segera bangkit dari tubuh Deric. Sebenarnya, ia tak masalah jika semalaman berada dalam posisi itu, tetapi hal itu bisa mengundang kecurigaan Deric.
“A-apa ... yang sebenarnya kau lakukan padaku?” Caraline mengembus napas panjang, menepuk-nepuk baju seperti baru saja terkena kotoran.
Di sisi lain, Deric masih dalam posisi terbaring
Caraline menyipitkan mata untuk mengintip layar ponsel lebih jelas. Ia begitu penasaran dengan sosok yang menghubungi Deric sejak tadi. Apa mungkin ada hal penting?“Apa kau bisa sedikit menjauh dariku?” tanya Deric yang seraya mematikan kembali ponsel.Mendengar hal itu, Caraline buru-buru menjauh, menepuk-nepuk baju dengan wajah ketus. “Jangan pernah berani memerintahku! Tanpa kau minta pun, aku akan menjauh darimu.”“Apa aku bisa kembali ke ruanganku sekarang?” Deric menggeser maju. “Ada beberapa hal penting yang harus aku selesaikan saat ini juga.”“Tidak!” tegas Caraline dengan kedua tangan yang sudah terlipat di depan dada. “Kau harus berada di sini semalaman. Kau hanya bisa kembali ke kandang kumuhmu saat pagi.”Deric diam sejenak. “Bukankah kau ingin menjauh dariku?”“Tapi kau adalah budakku sekarang. Aku ... membutuhkanmu untuk melakukan apa pu
“Kau ... kau ... kau harus tidur di kamarku malam ini,” ujar Caraline dengan wajah yang sudah seperti terbakar. Caraline dengan cepat berbalik, melipat kedua tangan di depan dada. Tubuhnya gemetar hebat setelah mengatakan hal tersebut. Wanita itu mengakui jika dirinya sudah menjadi budak cinta Deric. Sepanjang hari, di mana pun dan dalam keadaan apa pun, ia tak bisa berhenti memikirkan pria itu, senantiasa ingin menghabiskan waktu bersama. Deric sendiri langsung membulatkan mata lebar-lebar. Untuk beberapa saat, pria itu hanya diam dan tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Perkataan Caraline benar-benar mengejutkannya. “Apa ... kau serius?” Caraline mengembus napas panjang, terpejam beberapa saat. Bukannya menjawab, wanita itu dengan cepat memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras. Setelahnya, ia bersandar pada badan pintu hingga tubuhnya melorot dan terduduk di lantai. “Aku sungguh benar-benar sudah gila. Tapi ... aku harus melakukannya daripada ak
“Apa yang harus aku lakukan saat ini?” tanya Deric. “Berikan minuman itu padaku,” perintah Caraline. “Bukankah itu berada di dekatmu?” Deric menatap gelas di atas nakas dan Caraline bergantian. Dahinya berkerut bingung. “Kau budakku sekarang. Jadi, aku berhak memerintahkanmu apa pun yang kumau.” Caraline merotasikan bola mata. “Apa yang kau tunggu? Ambilkan aku gelas itu sekarang!” Deric melajukan kursi roda, mengambil gelas di nakas, lalu menyerahkannya pada Caraline. Tangannya menggantung di udara selama beberapa detik. Caraline sendiri menoleh ke arah jendela balkon ketika Deric menyodorkan gelas ke arahnya. Wanita itu dengan sengaja membiarkan pria itu memegang gelas di udara. Ia mengibas-ngibas rambut dan baju di bagian belahan dada beberapa kali. “Aku harap air ini tidak menguap dengan cepat,” kata Deric, “kau tahu, ruangan ini menjadi terasa panas dibanding terkahir kali aku memasukinya.” Caraline tak bisa menghadang sen
“Kau harus mengeringkan bagian tubuhku yang basah dengan tanganmu!" Caraline bisa merasakan wajahnya memanas setelah mengetakan hal tersebut. Tubuhnya bergetar hebat karena perasaan yang tidak bisa digambar dengan kata-kata apa pun. Mungkin saja ia akan dicap gila dengan ucapan tersebut, tetapi ia tidak peduli selama itu demi Deric.Di sisi lain, Deric hanya diam sembari menilik Caraline lekat-lekat. Keterkejutan masih tampak di paras tampannya. Kedua tangannya mengepal dan tak lama kemudian mengendur kembali. “Apa kau yakin? Aku rasa ... itu terlalu berlebihan.”“Apa kau mau lari dari tanggung jawabmu?” ketus Caraline dengan kedua tangan sudah terlipat di depan dada. Wanita itu bisa merasakan debaran jantungnya yang menggila. Ia sungguh tidak berani membayangkan jika Deric melakukan hal itu padanya. Apa ia akan pingsan atau justru bertindak di luar kendali? Semoga saja tidak.“Aku sedikit sulit menjelaskannya,”
Caraline terbangun ketika mendengar suara alarm berbunyi. Wanita itu dengan cepat mendudukkan tubuh, memindai keadaan sekeliling.“Apa yang terjadi padaku?” Caraline berusaha menggali kembali ingatan. Ketika melihat gelas di atas nakas dan busana yang dipakainya masih sama seperti semalam, matanya seketika membulat dan kesadaraannya kembali utuh. “Kejadian semalam ... ternyata bukan mimpi.”Caraline beranjak menuju meja rias. Wanita itu memeriksa leher, dada serta beberapa anggota tubuh yang lain. Wajahnya berubah tegang untuk sesaat. Tak ada bekas apa pun yang tertinggal di sana. “Di mana Deric?” tanyanya sembari memindai keadaan ruangan.Caraline menekan sebuah tombol di samping kiri jendela, dan tak lama kemudian tirai terbuka sempurna. Keadaan luar tampak masih gelap dan sepi.“Apa yang terjadi padaku tadi malam?” Caraline menutup kembali tirai, lalu memeriksa tubuhnya lagi di cermin dengan lebih teliti.
“Apa maksudmu?” tanya Deric, “dan pilihan apa yang kau maksud?”Caraline mendadak gelagapan, berusaha mencari jawaban masuk akal. Ia tidak boleh membuat Deric berpikir macam-macam. “Ka-kau ... seharusnya mengganti pakaianku lebih dulu sebelum menidurkanku. Kau benar-benar keterlaluan. Bisa saja karena tindakan bodohmu aku terkena demam.”“Aku tidak mungkin melakukan hal itu di saat kau tak sadarkan diri,” sahut Deric, “bukankah hal itu termasuk tindakan pelecehan?”Caraline pura-pura terbatuk. Benar apa yang dikatakan Deric, pikirnya. Namun, bila harus jujur, ia tidak akan keberatan jika Deric melakukan hal itu padanya. “Ambilkan aku air!”Deric melaju ke arah lemari pendingin, lalu kembali dengan segelas air.Caraline segera menyambar gelas, lalu meneguk isinya hingga tak bersisa. Wajahnya tertekuk masam setelah tahu jika tidak terjadi apa-apa antara dirinya dengan Deric. &ldq
Caraline melempar tubuhnya ke kursi begitu sampai di ruangan kerjanya. Embusan napas panjang terdengar bersamaan dengan dirinya yang memijat kening perlahan. Kepalanya benar-benar dipenuhi oleh Deric. Saat membersihkan diri, berganti pakaian, sarapan, perjalanan hingga ia berada di tempat ini, sosok pria itu menjadi satu-satunya orang yang terus melekat kuat dalam pikiran.Caraline menyandarkan punggung dengan embusan napas berat. Tatapannya tertuju pada penampilannya saat ini. “Kenapa Deric tidak tergoda untuk menyentuhku? Aku benar-benar hampir frustrasi karena dia tidak berani melakukannya padaku semalam.”Caraline beranjak menuju cermin, mengamati penampilannya dari atas hingga bawah. “Tentu saja aku cantik, menarik dan sempurna. Harus kuakui jika Deric memperlakukan wanita dengan baik, tapi aku membencinya karena dia tidak berani menyentuhku. Aku tidak mungkin tiba-tiba meminta hal itu padanya.”“Nona.” Suara Helen terden
Waktu terasa begitu lambat bagi Caraline saat ini. Setelah kepulangannya dari kantor, wanita itu menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya untuk mandi. Beragam produk kecantikan dari mulai perawatan rambut hingga kaki ia gunakan. Caraline juga sengaja memilih beberapa baju untuk dipakainya nanti malam. Sungguh, ia menjadi tidak sabaran.Saat waktu mulai menunjukkan waktu malam, Caraline sudah berada di beranda rumah untuk menunggu kedatangan Deric. Wanita itu berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada, sesekali melongokkan kepala ke jalan yang biasa dilalui pria itu. Masih ada waktu sekitar lima menit sebelum makan malam dimulai. Ia menghubungi seseorang untuk menanyakan persiapan.“Semuanya siap,” ujar Caraline sembari mengembus napas panjang. Ia merasakan jantungnya berdebar sangat kencang. Suasana malam ini terasa begitu panas untuknya. “Ini kesempatan terakhirmu, Caraline. Jangan sampai kau bertinak bodoh seperti semalam.”Ca
Jeremy, Jonathan dan James tampak tegang saat mengikuti seorang pengawal menuju pinggiran taman. Deburan ombak menjadi musik pengiring degup jantung mereka yang menggila. Ketiganya mendadak terdiam ketika melihat Deric tengah memunggungi mereka di dekat pagar. Tak lama setelahnya, pengawal tadi memilih pamit. Untuk beberapa detik lamanya hanya ada keheningan yang meruang di antara keempat pria itu. Jeremy, Jonathan dan James saling melempar tatapan satu sama lain, bingung dengan tindakan apa yang akan mereka ambil saat ini. Haruskah mereka pamit? Deric perlahan berbalik, tersenyum menyambut ketiga saudara tirinya. Ia berjalan mendekat, tetapi Jeremy, Jonathan dan James sama sekali tidak bergerak dari tempat mereka atau bahkan menoleh ke arahnya. “Aku sudah menunggu kedatangan kalian,” kata Deric. Jeremy, Jonathan dan James sama sekali belum menggubris pertanyaan Deric. Wajah mereka juga belum sepenuhnya terangkat. “Bukankah kau sangat merinduk
Enam bulan kemudian Kabar pernikahan Presiden Universe Corporation membuat satu negara menjadi heboh. Banyak para wanita yang memimpikannya menjadi pasangan tiba-tiba merasakan patah hati dan kesedihan mendalam. Tak sedikit yang menjadikan hari itu sebagai hari patah hati nasional.Desas-desus beredar bak jamur di musim hujan mengenai siapa wanita beruntung yang akan menjadi pasangan seorang Jacob Balderic. Setelah enam bulan lalu sosok Presiden Universe Corporation itu muncul di publik dan memperkenalkan dirinya, pria itu sama sekali tidak pernah muncul kembali di hadapan media. Namun, beritanya terus memenuhi lini berita dan tayangan televisi.Kemudian setelah seminggu kabar penikahan itu terdengar, media berhasil membongkar siapa wanita beruntung tersebut yang tak lain adalah Caraline. Banyak pihak yang setuju dengan hal itu, berpendapat jika kedua sangat cocok. Akan tetapi, tak sedikit yang justru mencibir dan merundung Caraline di
Hampir semua mata tertuju pada seorang pria tampan bermanik biru yang baru saja mengakui dirinya sebagai pemilik perusahaan nomor satu di negara ini. Suasana acara seketika sunyi senyap, begitupun dengan orang-orang yang melihat berita dari saluran televisi dan internet. Tak lama setelahnya, decak kagum penuh pujian bersahutan dengan tepuk tangan yang bergemuruh.“Astaga, Nona.” Helen yang terkejut tanpa sadar mengguncang tubuh Caraline. “Bukankah itu Tuan Deric? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Dia bisa berjalan dengan kedua kakinya dan saat ini dia berada di depan Nona.”Helen menoleh pada Caraline yang tengah menunduk dengan wajah diliputi senyuman. Saat menyadari sesuatu, Helen dengan cepat mengendalikan diri. Kini, ia tahu alasan di balik perubahan Caraline selama dua minggu ini.“Nona Caraline,” panggil Helen dengan senyum merekah. Meski ada retakan di hatinya, ia ikut berbahagia ketika melihat Caraline saat ini.
Seminggu berlalu setelah pertemuan Caraline dengan Deric di rooftop gedung. Namun, senyum bahagianya tak kunjung juga reda. Helen, Stevan serta seluruh maid dibuat tak mengerti akan sikap wanita itu. Jika beberapa bulan yang lalu Caraline dirundung kesedihan, maka selama seminggu terakhir, ia justru diliputi kebahagiaan.Caraline mengunjungi sebuah acara yang diselenggerakan oleh salah satu anak perusahaan Universe Coporation di sebuah taman luas. Banyak pejabat dan pengusaha terkenal ikut hadir dalam acara, termasuk Henry Hulbert.Caraline benar-benar tak bisa duduk dengan tenang ketika melihat Henry Hulbert tampil di atas panggung. Pandangannya seringkali tertuju ke sekeliling. Besar kemungkinan jika Deric juga berada di acara ini, pikirnya.Caraline sama sekali tidak menerima pesan apa pun dari Deric selama seminggu ini. Ia juga sengaja tidak menghubungi pria itu. Jika dahulu rindu sangat menyiksa, maka kerinduaan ini justru kian membesarkan rasa cin
Caraline dan Deric saling memandang satu sama lain selama beberapa waktu, ternggelam dalam perasaan masing-masing. Cahaya lampu di sekeliling rooftop tampak berganti warna seiring waktu berjalan.“Aku hanya takut jika kau tidak sadarkan diri lagi seperti waktu itu,” ujar Deric tiba-tiba.“Apa maksudmu?” tanya Caraline dengan pipi merona merah.“Kau tahu, kau tiba-tiba pingsan saat kita akan melakukan ... ‘itu’ di kamarmu.” Deric tertawa, mengelus lembut rambut Caraline.“Pingsan?” Caraline menaikkan satu alis. “Bukankah kita memang pernah melakukannya?”“Sama sekali tidak,” ungkap Deric, “kau sepertinya sangat gugup sampai kau tak sadarkan diri, terlebih selama tertidur kau tidak berhenti tersenyum.”Caraline tiba-tiba saja membelakangi Deric, menutup mata dengan wajah yang sudah sangat merah. Ia benar-benar malu ketika mendengarnya. Jadi
Sekujur tubuh Caraline kian bergetar ketika melihat sosok Deric tengah berdiri di depannya. Ponselnya sampai terjatuh saking tak bisa menahan keterkejutan. Untuk beberapa saat, ia hanya bisa menahan napas dengan tatapan tak berkedip.Caraline serasa ditimpa keterkejutan di atas keterkejutan. Ia memang sangat menginginkan Deric kembali berjalan, tetapi saat melihat hal itu secara langsung, Caraline justru hanya bisa tercenung tanpa bisa melakukan apa pun. Bibirnya setengah terbuka, tetapi dengan cepat kembali tertutup.Bukankah Deric tampak sempurna dengan penampilannya saat ini?Caraline mencubit lengan kirinya kuat-kuat. Ia merasakan sakit yang luar biasa di sana. Hal itu menandakan bahwa dirinya tengah berada di alam nyata. Meski demikian, Caraline masih merasa tersesat di alam mimpi. Deric yang selama ini ia anggap pria yang sudah kehilangan mimpi-mimpinya justru adalah sosok misterius yang selama ini orang-orang ingin ketahui. Deric tak lain adalah sosok pri
“Deric.”Untuk beberapa detik lamanya Caraline hanya bisa terdiam dengan mata membulat lebar. Mulutnya setengah terbuka dengan tatapan penuh ketidakpercayaan. Semua bayangan kebersamaannya dengan Deric seketika menyergap, membuat tubuhnya hampir saja ambruk di lantai. Tetesan air mata tanpa bisa dibendung kian membanjiri pipi.Caraline tahu bahwa dirinya sangat merindukan Deric lebih dari apa pun. Akan tetapi, ketika pria itu sudah berada di depannya saat ini, ia hanya bisa diam tanpa ada keinginan untuk mendekat atau bahkan memeluknya erat.Waktu terasa berhenti bagi Caraline. Semua pemandangan di sekelilingnya mendadak berubah menjadi hitam dan putih, kecuali Deric seorang. Di saat yang bersamaan, dunia menjadi menjadi sunyi senyap.Apa mungkin kerinduannya yang sangat besar pada Deric justru membawa pria itu kembali ke hadapannya?Apa mungkin ini semua khayalan?Apa mungkin saat ini ia berada di alam mimpi?Caraline mas
Dua bulan kemudian Acara pencarian bakat yang diselenggarakan salah satu anak perusahan Universe Corporation mendapat sambutan yang sangat luar biasa dari masyarakat. Acara tersebut menduduki peringkat tertinggi selama beberapa minggu acara tersebut berlangsung. Puncaknya pada laga final yang ditayangkan kemarin malam. Para peserta menampilkan hiburan sekaligus penampilan yang sangat luar biasa. Acara tersebut bahkan sampai ditayangkan di beberapa negara tetangga. Antusiasme masyarakat dan warganet pada program tersebut sangat tinggi hingga pihak penyelenggaran berniat untuk kembali menyelenggarakan acara serupa dengan konsep segar dan baru. Sebagai bentuk apresiasi pencapaian dan keberhasilan, diadakan penjamuan makan mewah untuk seluruh mitra yang bergabung dalam program tersebut. Beberapa petinggi Universe Corporation ikut hadir di mana salah satunya adalah Henry Hulbert. Caraline nyatanya masih berada di dalam kama
Satu bulan berlalu dengan cepat. Caraline kembali menata hidupnya yang baru. Diego dijatuhi hukuman sepuluh tahun penjara untuk semua kejahatan yang sudah diperbuatnya. Meski tak sebanding, tetapi hal itu cukup membuat dirinya merasa lega. Di sisi lain, Wilson juga ikut terseret ke dalam jeruji besi. Meski keluarga Wattson berusaha untuk membebaskannya, tetapi pria itu tetap mendapat hukuman tiga tahun penjara.Kehidupan Caraline lmabat laun kembali ke sedia kala seperti sebelum mengenal Deric. Wanita itu disibukkan dengan pekerjaan kantor. Akan tetapi, kerinduan dan rasa cintanya pada pria itu justru kian tak dapat dibendung.Caraline memiliki kebiasan baru saat ini. Ketika dirinya sangat merindukan Deric, ia akan pergi ke bekas kediaman pria itu, lalu bermalam di sana. Caraline akan tersenyum saat melihat deretan foto yang terpampang di dinding dan tak lama setelahnya menangis.Pencarian Deric, Lucy dan Thomas masih terus berlangsung hingga saat ini. Namun, be