Caraline refleks memutar bola mata, tersenyum tipis. “Aku pikir bukan hanya aku saja yang penasaran dengan sosoknya. Pemberitaan tentang sosok Presiden Universe Corporation itu berhasil menduduki berita panas hari ini.”
“Kau benar.” Diego mengangguk. “Sejujurnya aku juga dibuat penasaran dengan hal itu. Kudengar hanya beberapa orang saja yang bisa bertemu langsung dengannya.”
“Apa Henry Hulbert tidak memberi tahumu tentang sosoknya?” tanya Caraline.
“Sama sekali tidak. Sepertinya ... itu benar-benar privasi yang harus dijaga.” Diego menyandarkan punggung ke kursi. Ia memberi kedipan singkat pada Helen.
“Kau tetap di sini, Helen,” kata Caraline sembari menarik tangan asistennya. Tatapannya masih tertuju pada Diego. Ia tahu maksud dari kedipan singkat itu.
“Ba-baik, Nona.” Helen yang sudah setengah berdiri kembali duduk.
Keadaan diterkam keheningan untuk sesaat di mana pandangan Caraline dan Diego saling menumbuk.
“Bagaimana deng
“Kau baik-baik saja, Helen?” tanya Caraline tanpa mengalihkan pandangan ke arah asistennya. “Kau lebih banyak diam setelah pulang dari pertemuan menyebalkan itu.”Helen mengembus napas panjang. Jemarinya saling melumat di atas paha. Beberapa kali ia melirik Caraline, lalu menjatuhkan pandangan ke arah jari-jari yang kian mengait satu satu sama lain.“Nona, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Helen mengeratkan tangan sesaat.“Katakan,” jawab Caraline dengan pandangan yang masih menoleh ke samping jalan.“Sebenarnya ... bagaimana hubungan Nona dengan Tuan Diego?” Helen menunduk sesaat, lalu memberanikan diri menoleh pada Caraline. “Anda bisa mengabaikannya jika pertanyaan itu tidak penting untuk Nona jawab.”“Hubunganku dengan Diego ... hanya sebatas teman. Tidak lebih dan tidak kurang.” Caraline berkata jujur, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. “Apa itu y
“Ini tidak mungkin.” Caraline segera menyeka tangis dengan punggung tangan. Wanita itu kembali menggulir ponsel ke atas, memeriksa kembali deretan nama dari beberapa rumah sakit dengan lebih teliti. Seiring waktu berjalan, semakin cepat pula jantungnya dibuat seakan ingin meledak. Sungguh, ia merasa seperti tengah dikejar hewan berbahaya yang mengancam nyawa.Caraline menggingit bibir dengan kuat agar tak mulai berteriak. Tangisnya kembali pecah membasahi pipi. Dadanya kian sesak setiap kali jemarinya menggulir layar. Daftar pasien di sepuluh rumah sakit sudah ia baca dengan teliti, dan hanya tersisa satu rumah sakit di mana nama Deric tadi berada.Caraline mengembus napas panjang, terpejam untuk menghentikan derai air mata. Akan tetapi, pipinya kian basah seiring waktu berjalan.“Aku tidak ingin ini terjadi,” lirih Caraline sembari menyeka tangis dengan punggung tangan. Untuk sesaat, tangis memaksanya untuk diam, mencerna semua hal yang
“Apa aku ... boleh memelukmu?” tanya Caraline dengan suara parau. Tubuhnya bergetar kuat sebab dingin dan kemelut perasaan. Meski hujan sudah membasahi seluruh raga, tetapi air mata masih setia menghangatkan pipi.Deric terdiam beberapa saat, mengamati penampilan Caraline yang menurutnya sangat kacau. Tak ada wajah ketus yang terpahat di paras menawan wanita di depannya, yang tampak adalah raut kesedihan dan ketakutan.“Tentu,” jawab Deric pada akhirnya.“Terima ... kasih.” Caraline masih bertahan di rerumputan dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya menyeka tangis dengan bergantian. Guntur dan pentir masih menampakkan kekuasaan di sekitar. Alam sepertinya ikut merasakan ketakutan yang menjalar.Caraline bergerak ke arah Deric dengan tiba-tiba, mendekap erat dengan tangis yang tak kunjung reda. Payung yang dipakai pria itu terjatuh hingga membuat keduanya dihujani air.Caraline lantas terpejam, memeluk pria yang
“Caraline,” ujar Deric setengah berteriak ketika tubuh wanita itu terdorong ke depan. Tak lama setelahnya, guntur menggelegar hingga membuat sekeliling menjadi terang. Angin berembus kencang, menggugurkan ranting dan daun.“Caraline.” Deric menepuk-nepuk pipi Caraline. Tubuh wanita itu sangat dingin dan pucat di saat bersamaan. Ia lantas mengambil ponsel dan segera menghubungi Grace. Deric dengan cepat memangku Caraline, membawa wanita itu ke kursi roda bersamanya. Setelahnya, ia melumat jalan dengan cepat. Ketika hampir dekat dengan rumah, ia melihat Grace dan beberapa maid mendekat dengan tatatapan khawatir.“Nona Caraline,” pekik beberapa maid bersamaan dengan payung di tangan.Deric membawa Caraline ke beranda rumah, yang kemudian disusul oleh beberapa maid dari belakang. “Grace, siapkan mobil untuk membawa Caraline ke rumah sakit.”“Ba-baik, Tuan,” sa
Caraline mengerjap beberapa kali. Wanita itu dengan perlahan membuka mata, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Kepalanya terasa berat dan sakit dalam waktu bersamaan. Kedua tangannya memijat kening dengan perlahan. “Di mana aku? Rumah sakit?” Caraline bersandar pada kepala kasur. Wajahnya tertunduk dan tak lama kemudian air mata berjatuhan. Fakta yang ia dapat kembali menyesakkan dada, menempatkannya pada situasi dan posisi sulit. Ada bagian dalam darinya yang serasa hilang. Hanya perkara waktu saja sampai Deric tahu kalau dirinya adalah dalang di balik kecelakaan itu. Sungguh, ia tak pernah menduga jika rasanya akan sesakit dan semenakutkan ini. “Apa ... Deric akan meninggalkanku?” tanya Caraline, “apa aku siap jika menghadapi hal itu?” Caraline buru-buru menyeka tangis begitu mendengar suara jejak kaki mendekat. Wanita itu segera berbaring, menoleh ke arah jendela. Dalam pantulan kaca, ia bisa melihat wajahnya yang pucat dan sembap. Helen membuk
Caraline nyatanya tak bisa terlelap. Raganya masih terbaring di ranjang dengan pandangan yang tertuju pada langit-langit ruangan. Dari arah luar, wanita itu mendengar suara jejak kaki. Ia langsung pura-pura terpejam dengan memunggungi pintu masuk.Terdengar pintu terbuka dan jejak kaki yang mendekat. Grace dan dua maid masuk, kemudian meletakkan sekeranjang susu cokelat pemberian Deric di atas nakas. Setelahnya, mereka meninggalkan ruangan.Setelah merasa jika Grace dan dua maid sudah menjauh, Caraline memutuskan duduk. Wanita itu menoleh pada nakas, lalu mengambil keranjang yang ada di sana. Saat mengambil sebotol minuman cokelat, air matanya kembali jatuh. Kilasan memori saat bersama Deric lagi-lagihadir. Ia mengingat bagaimana dirinya sangat menyukai minuman ini, bahkan berpura-pura menukar botol hanya agar bisa berciuman secara tidak langsung dengan Deric.“Aku ... harusnya senang sekarang,” gumam Caraline sembari menyeka air ma
Deric seketika menoleh ketika pintu mobil diketuk dari luar. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian membuka kaca jendela.“Tuan,” ucap seorang pria berkacamata hitam.“Masuklah,” kata Deric sembari membuka pintu untuk pria itu.Pria berkaus hitam itu segera melepas topi dan kacamata ketika tubuhnya mendarat di kursi. Saat mobil mulai melaju, pria itu berkata, “Saya sudah mendapatkan informasi akurat dari pihak terpercaya tentang orang itu.”“Aku harap kau tidak mengecewakanku,” ujar Deric dengan pandangan lurus ke depan.“Orang itu ...memang terlibat,” jawab pria itu, “kami menunggu perintah selanjutnya”Deric mengembus napas panjang. “Maaf, jika aku harus merepotkanmu lagi di tengah kesibukanmu. Tapi, hanya kau yang bisa kupercaya untuk masalah seperti ini.”“Aku justru sangat senang jika Anda repotkan, Tuan,” sahut pria
“Apa kau merindukannya, Catherine?” tanya Caraline dengan tatapan sinis. Bola matanya memutar ketika melihat aksi sepupu menyebalkannya yang sedikit terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada Deric. Jelas saja ia tak suka. “Kau ... kau pasti sudah gila, Caraline.” Catherine mendengkus dengan wajah tertekuk sebal. Kedua tangannya dengan cepat terlipat di depan dada. Matanya memutar seiring dengan tubuhnya yang kembali berada di samping Wilson. “Untuk apa aku mencari pria cacat itu?” “Dasar pembual!” Caraline merotasikan bola mata, mengambil tas dari nakas. “Aku tidak ingin melihat kalian berdua di sini. Pergilah!” “Kau benar-benar kurang ajar, Caraline!” sentak Wilson dengan mata memelotot. “Harusnya kau bersyukur karena aku dan Catherine meluangkan waktu untuk menjengukmu.” “Kau benar-benar tak tahu diuntung.” Catherine melirik keranjang di atas nakas. Ada sebotol minuman di dalam sana. “Aku tahu kalian datang bukan untuk menjengukku.” Cara