Caraline segera turun ketika kursi roda menepi di beranda rumah. Tanpa dinyana, Deric ikut berteduh di teras. Segaris senyum dengan cepat timbul di bibir. Sesekali wanita itu melirik Deric, lalu mengamati penampilannya yang basah di beberapa bagian. Sungguh menyebalkan, hujan kembali menggagalkan momen kebersamaannya dengan pria itu.
Hujan kian deras mengguyur Heaventown. Sesekali petir terlihat dan angin menerjang dedaunan, menimbulkan suasana menakutkan. Kondisi taman dan pinggiran danau menjadi tampak mengerikan.
“Hujan ini benar-benar menyebalkan,” kata Caraline sembari melirik Deric dengan ekor mata. Ia melempar jaket ke arah pria itu dengan cara menjiwir. “Apalagi aku terjebak dengan pria sepertimu.”
“Kau tahu, hujan adalah salah satu pertanda Tuhan menyayangi kita,” ujar Deric tanpa menoleh ke arah Caraline. Tangan kanannya terbuka untuk menampung air hujan. “Di setiap tetesnya, terdapat malaikat yang menjaganya.&
Secarik senyum di bibir Deric. Pria itu memutar kursi roda. “Aku rasa jujur tidak selamanya menyakitkan.”“Apa maksudmu?” Caraline berkacak pinggang. Deric seperti tengah menyindirnya.“Lupakan saja.”Caraline berdecak, mulai membuka pintu. Ia berjalan lebih dahulu ke dalam rumah. Deric membuntuti dari belakang.“Ki-kita bisa menonton di ruangan ini.” Caraline membawa Deric ke ruangan keluarga. Ada sebuah tv berukuran besar dan deretan perlengkapan menonton film di tempat ini. Ia jarang menghabiskan waktu di sini. Ia akan langsung menuju kamar ketika pulang. Lagi pula, keluarga mana yang akan ia bawa ke tempat ini.“Ini tempat yang bagus,” ucap Deric sembari mengamati keadaan sekeliling.“A-aku akan mengganti baju lebih dulu.” Caraline meninggalkan ruangan. Ia melirik Deric untuk tahu apakah pria itu menoleh padanya atau tidak. Faktanya, ia harus kecewa karena perhatian
“Ini tidak mungkin,” ujar Caraline sembari membulatkan bola mata.Caraline menahan napas sesaat, dengan cepat terpejam karena tak ingin melihat tayangan di TV. Sungguh menyebalkan, kenapa waktu kebersamaannya dengan Deric harus dihabiskan dengan menonton film horor?“Astaga.” Caraline buru-buru melepas cengkeraman di pinggang Deric, kemudian bergeser hingga ke ujung kursi. Saking takut dan terkejut, ia tak sengaja memeluk Deric. Ini memalukan, tetapi ia menyukainya.“Kenapa kita harus menonton film menyebalkan seperti ini?” Caraline menutup wajah dengan bantal. Ia mengintip tayangan di TV sesaat, kemudian menoleh pada Deric.“Apa kau takut menonton film horor?” tanya Deric tanpa menoleh pada layar TV, “aku bisa menggantinya jika kau mau”Caraline mendengkus jengkel. Deric seperti tengah menyindirnya. “A-aku ... tidak takut. Hanya saja aku pikir kita bisa menonton film lain.”
Untuk memuluskan rencananya, hal pertama yang dilakukan Caraline adalah memindahkan botol-botol minumannya ke tengah meja. Setelah itu, ia berpura-pura meminum susu cokelat miliknya hingga tersisa sama persis dengan milik Deric. Langkah selajutnya adalah menukarkan minuman milik pria itu dengan miliknya. Akan tetapi, ia harus lebih dahulu menyatukan botol-botol itu. Dengan begitu, Deric tidak akan curiga jika minumannya tertukar.Caraline mengembus napas panjang saat rencanya sukses. Segaris senyum timbul dari bibir. Di tengah kegelapan ruangan, wajahnya tampak bersinar karena rasa bahagia bercampur tegang. “Dengan begini Deric dan aku akan sama-sama saling berciuman secara tidak langsung,” gumamnya.“Kau menikmati filmnya?” tanya Deric sembari menoleh.“Ten-tentu saja.” Caraline menjawab dengan tergagap. Ia segera mengambil bantal, menutup setengah wajah dengan benda empuk itu. Sialnya, ketika menoleh pada layar
Kesempatan nyatanya berada di pihak Caraline. Deric kembali berada di posisinya semula. Dengan begitu, ia bisa melancarkan aksinya lagi. Bercermin dari kejadian barusan, wanita itu tidak boleh terlalu gegabah hingga menyebabkan kehilangan fokus. Saat akan memeluk pria itu, ia harus memastikan jika Deric berada di posisinya.Caraline mau tak mau kembali menonton tayangan. Meski sudah mencapai setengah dari cerita, wanita itu sama sekali tidak paham dengan isi kisah dari film tersebut. Ia hanya fokus mencari momentum untuk bisa memeluk Deric, dan hal itu kian sulit setelah kejadian tadi. Waktu merangkak dengan cepat. Film berjalan dengan membosankan. Pada akhirnya, Caraline mulai dilanda kantuk. Ia menguap beberapa kali, kemudian menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Matanya terasa berat hingga akhirnya ia terjatuh dalam mimpi.Wajah Caraline mendarat di bahu Deric. Kedua tangannya refleks memeluk tubuh pria itu. Sudut bibirnya terangkat sempurna, memben
“Apa kau ingin mencoba berolahraga seperti yang aku lakukan saat ini?”Caraline kontan mematung dengan tatapan tertuju pada Deric yang masih berayun-ayun di dahan. Sejujurnya, wanita itu ingin lebih lama melihat Deric dalam kondisi saat ini, tetapi ia tidak ingin membuat pria itu curiga dan berpikir macam-macam.Caraline segera berbalik. “Sial, aku lupa membawa ponsel.”“Bagaimana apa kau bersedia?” tanya Deric.“A-aku ... tidak ingin melakukan olahraga yang membuatku kelihatan kotor sepertimu,” ketus Caraline.“Baiklah,” kata Deric, “tangan kecilmu pasti tidak akan sanggup mengangkat bobot tubuhmu walau sekali.”“Apa?” Caraline refleks berbalik. Untuk kedua kalinya ia disuguhi dengan pemandangan tubuh bagian atas Deric yang bersimbah keringat. Sungguh menyebalkan, matanya sulit sekali dikendalikan agar tak tertuju ke arah sana.Deric tertawa, lalu kem
“A-apa baru saja terjadi?” tanya Caraline.“Kau hampir saja terjatuh saat mencoba gerakan pull up,” jawab Deric, “kau ingat?”Caraline terpejam, memijat kening pelan.“Bisakah kau turun dari kursi rodaku? Aku tidak bisa menggantung di pohon ini selamanya.”Caraline segera turun dari kursi roda, kemudian berjalan ke arah pagar. Ia sengaja memunggungi Deric. Meski begitu, tatapannya sesekali menoleh pada pria itu. “Kenapa harus cepat sekali berakhir?” gumamnya dengan wajah kecewa.Deric menjatuhkan diri ke kursi roda. Pendaratannya terbilang sempurna. Ia berusaha menstabilkan napas yang terengah-engah karena olahraga tadi. “Itu tadi menyenangkan. Kita bisa melakukannya lagi nanti.”Caraline dengan cepat menegakkan punggung. Bibirnya tak kuasa menahan ledakan bahagia. Senyum timbul meski sekuat tenaga dicegah. Jantungnya berdetak sangat kencang sampai-sampai wanita
“Jangan pernah berani untuk mengintip,” ingat Caraline sesaat sebelum melakukan aksinya. Wanita itu mengembus napas panjang, mengelus dada yang tiba-tiba berdebar kencang. Ini tidak sulit, Caraline. Bukankah ini hal yang selalu kau inginkan, batinnya kemudian.Caraline memulai dari mengeringkan wajah Deric. Gerakannya perlahan dengan tatapan yang tertuju pada pria itu. Kesempatan ini ia gunakan untuk menatap semua pahatan paras pria bermanik biru itu. Sungguh sebuah mahakarya sempurna yang diciptakan Tuhan. Mata, alis, hidung, bibir, pipi, semuanya tanpa cela.Caraline kembali mengembus napas panjang ketika tangan mulai berpindah ke arah leher. Saat jarinya tak sengaja menyentuh permukaan kulit Deric secara langsung, ia refleks menjauhkan handuk dari tubuh pria itu. Namun, tak lama kemudian ia kembali melakukan aksinya.“Jangan mengintip,” pinta Caraline seraya mengatur pola napas yang mendadak tak beraturan.&ldq
“Henry Hulbert?” Caraline kembali duduk di sofa, meletakkan remote di meja, menyilangkan kaki kanan ke kaki kiri. Fokusnya kini tertuju pada layar televisi. “Bukankah dia Wakil Presiden Universe Corporation? Aku terkejut karena dia mau tampil di layar kaca.”Caraline membesarkan volume televisi, kemudian menyandarkan punggung ke kursi. Pasti ada informasi berharga yang bisa ia dapat dari tayangan ini. “Aku tidak boleh melewatkan hal ini.”“Apa kabar, Tuan?” tanya pembawa acara dengan senyum merekah.Pria tampan dengan postur tinggi itu menjawab dengan senyum tipis, “Kabar baik.”“Kau tampak lebih menakjubkan dibanding yang kulihat di internet dan majalah,” goda wanita berbaju cokelat itu, “tubuhku tak berhenti bergetar sampai sekarang.”Henry Hulbert terkekeh pelan. Layar berpindah pada penonton yang notabene adalah wanita. Mereka bertepuk tangan sembari me