“Ini tidak mungkin,” ujar Caraline sembari membulatkan bola mata.
Caraline menahan napas sesaat, dengan cepat terpejam karena tak ingin melihat tayangan di TV. Sungguh menyebalkan, kenapa waktu kebersamaannya dengan Deric harus dihabiskan dengan menonton film horor?
“Astaga.” Caraline buru-buru melepas cengkeraman di pinggang Deric, kemudian bergeser hingga ke ujung kursi. Saking takut dan terkejut, ia tak sengaja memeluk Deric. Ini memalukan, tetapi ia menyukainya.
“Kenapa kita harus menonton film menyebalkan seperti ini?” Caraline menutup wajah dengan bantal. Ia mengintip tayangan di TV sesaat, kemudian menoleh pada Deric.
“Apa kau takut menonton film horor?” tanya Deric tanpa menoleh pada layar TV, “aku bisa menggantinya jika kau mau”
Caraline mendengkus jengkel. Deric seperti tengah menyindirnya. “A-aku ... tidak takut. Hanya saja aku pikir kita bisa menonton film lain.”
Untuk memuluskan rencananya, hal pertama yang dilakukan Caraline adalah memindahkan botol-botol minumannya ke tengah meja. Setelah itu, ia berpura-pura meminum susu cokelat miliknya hingga tersisa sama persis dengan milik Deric. Langkah selajutnya adalah menukarkan minuman milik pria itu dengan miliknya. Akan tetapi, ia harus lebih dahulu menyatukan botol-botol itu. Dengan begitu, Deric tidak akan curiga jika minumannya tertukar.Caraline mengembus napas panjang saat rencanya sukses. Segaris senyum timbul dari bibir. Di tengah kegelapan ruangan, wajahnya tampak bersinar karena rasa bahagia bercampur tegang. “Dengan begini Deric dan aku akan sama-sama saling berciuman secara tidak langsung,” gumamnya.“Kau menikmati filmnya?” tanya Deric sembari menoleh.“Ten-tentu saja.” Caraline menjawab dengan tergagap. Ia segera mengambil bantal, menutup setengah wajah dengan benda empuk itu. Sialnya, ketika menoleh pada layar
Kesempatan nyatanya berada di pihak Caraline. Deric kembali berada di posisinya semula. Dengan begitu, ia bisa melancarkan aksinya lagi. Bercermin dari kejadian barusan, wanita itu tidak boleh terlalu gegabah hingga menyebabkan kehilangan fokus. Saat akan memeluk pria itu, ia harus memastikan jika Deric berada di posisinya.Caraline mau tak mau kembali menonton tayangan. Meski sudah mencapai setengah dari cerita, wanita itu sama sekali tidak paham dengan isi kisah dari film tersebut. Ia hanya fokus mencari momentum untuk bisa memeluk Deric, dan hal itu kian sulit setelah kejadian tadi. Waktu merangkak dengan cepat. Film berjalan dengan membosankan. Pada akhirnya, Caraline mulai dilanda kantuk. Ia menguap beberapa kali, kemudian menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Matanya terasa berat hingga akhirnya ia terjatuh dalam mimpi.Wajah Caraline mendarat di bahu Deric. Kedua tangannya refleks memeluk tubuh pria itu. Sudut bibirnya terangkat sempurna, memben
“Apa kau ingin mencoba berolahraga seperti yang aku lakukan saat ini?”Caraline kontan mematung dengan tatapan tertuju pada Deric yang masih berayun-ayun di dahan. Sejujurnya, wanita itu ingin lebih lama melihat Deric dalam kondisi saat ini, tetapi ia tidak ingin membuat pria itu curiga dan berpikir macam-macam.Caraline segera berbalik. “Sial, aku lupa membawa ponsel.”“Bagaimana apa kau bersedia?” tanya Deric.“A-aku ... tidak ingin melakukan olahraga yang membuatku kelihatan kotor sepertimu,” ketus Caraline.“Baiklah,” kata Deric, “tangan kecilmu pasti tidak akan sanggup mengangkat bobot tubuhmu walau sekali.”“Apa?” Caraline refleks berbalik. Untuk kedua kalinya ia disuguhi dengan pemandangan tubuh bagian atas Deric yang bersimbah keringat. Sungguh menyebalkan, matanya sulit sekali dikendalikan agar tak tertuju ke arah sana.Deric tertawa, lalu kem
“A-apa baru saja terjadi?” tanya Caraline.“Kau hampir saja terjatuh saat mencoba gerakan pull up,” jawab Deric, “kau ingat?”Caraline terpejam, memijat kening pelan.“Bisakah kau turun dari kursi rodaku? Aku tidak bisa menggantung di pohon ini selamanya.”Caraline segera turun dari kursi roda, kemudian berjalan ke arah pagar. Ia sengaja memunggungi Deric. Meski begitu, tatapannya sesekali menoleh pada pria itu. “Kenapa harus cepat sekali berakhir?” gumamnya dengan wajah kecewa.Deric menjatuhkan diri ke kursi roda. Pendaratannya terbilang sempurna. Ia berusaha menstabilkan napas yang terengah-engah karena olahraga tadi. “Itu tadi menyenangkan. Kita bisa melakukannya lagi nanti.”Caraline dengan cepat menegakkan punggung. Bibirnya tak kuasa menahan ledakan bahagia. Senyum timbul meski sekuat tenaga dicegah. Jantungnya berdetak sangat kencang sampai-sampai wanita
“Jangan pernah berani untuk mengintip,” ingat Caraline sesaat sebelum melakukan aksinya. Wanita itu mengembus napas panjang, mengelus dada yang tiba-tiba berdebar kencang. Ini tidak sulit, Caraline. Bukankah ini hal yang selalu kau inginkan, batinnya kemudian.Caraline memulai dari mengeringkan wajah Deric. Gerakannya perlahan dengan tatapan yang tertuju pada pria itu. Kesempatan ini ia gunakan untuk menatap semua pahatan paras pria bermanik biru itu. Sungguh sebuah mahakarya sempurna yang diciptakan Tuhan. Mata, alis, hidung, bibir, pipi, semuanya tanpa cela.Caraline kembali mengembus napas panjang ketika tangan mulai berpindah ke arah leher. Saat jarinya tak sengaja menyentuh permukaan kulit Deric secara langsung, ia refleks menjauhkan handuk dari tubuh pria itu. Namun, tak lama kemudian ia kembali melakukan aksinya.“Jangan mengintip,” pinta Caraline seraya mengatur pola napas yang mendadak tak beraturan.&ldq
“Henry Hulbert?” Caraline kembali duduk di sofa, meletakkan remote di meja, menyilangkan kaki kanan ke kaki kiri. Fokusnya kini tertuju pada layar televisi. “Bukankah dia Wakil Presiden Universe Corporation? Aku terkejut karena dia mau tampil di layar kaca.”Caraline membesarkan volume televisi, kemudian menyandarkan punggung ke kursi. Pasti ada informasi berharga yang bisa ia dapat dari tayangan ini. “Aku tidak boleh melewatkan hal ini.”“Apa kabar, Tuan?” tanya pembawa acara dengan senyum merekah.Pria tampan dengan postur tinggi itu menjawab dengan senyum tipis, “Kabar baik.”“Kau tampak lebih menakjubkan dibanding yang kulihat di internet dan majalah,” goda wanita berbaju cokelat itu, “tubuhku tak berhenti bergetar sampai sekarang.”Henry Hulbert terkekeh pelan. Layar berpindah pada penonton yang notabene adalah wanita. Mereka bertepuk tangan sembari me
Suara riuh tepuk tangan dan jeritan kembali terdengar dari layar kaca. Henry Hulbert hanya tersenyum tipis sembari sesekali melirik jam tangan. Di samping kiri layar, terdapat sebuah kolom yang berisi komentar-komentar dari warganet yang sengaja ditampilkan.“Tuan Henry, bisakah Anda menyebutkan siapa nama Presiden Universe Corporation?” pinta si pembawa acara.Henry Hulbert menggeleng. “Aku tidak bisa memberitahu kalian karena hal itu berkenaan dengan privasinya.”“Bagaimana dengan inisial dari namanya? Bisakah Anda memberi tahu kami?” Si pembawa acara menggeser letak duduk agak maju.“Beri tahu!”“Beri tahu!”“Beri tahu!”“Beri tahu!”Penonton di studio meneriakkan kata-kata kompak sembari bertepuk tangan. Menyadari hal itu, si pembawa acara berdiri sembari memberi semangat dengan gerakan tangan. Henry Hulbert sendiri hanya tertawa sembari mel
Untuk beberapa detik lamanya, pandangan Caraline dan Helen menumbuk di titik yang sama. Kedua wanita itu kemudian langsung memutuskan tatapan. Ada kecanggungan yang meruang walau sesaat.“Itu kode yang cukup mudah untuk dipecahkan,” kata Caraline.“Nona benar,” sahut Helen, “sebaiknya aku kembali ke ruanganku. Permisi.”Caraline mengangguk singkat, membuka kembali ponsel. Artikel tentang tayangan program tadi, Henry Hulbert serta kode yang diberikan pria itu langsung menjadi topik panas yang memuncaki berita nasional dalam waktu singkat. Beberapa laman berita bahkan video menjadikan hal itu sebagai konten untuk menarik pembaca dan pendengar sebanyak-banyaknya.Caraline mengembus napas panjang, berusaha mengenyahkan perihal sosok Presiden Universe Corporation. Wanita itu memang sama penasarannya dengan penonton yang melihat tayangan tadi. Hanya saja, ia tidak punya bayangan mengenai siapa sosok pria itu.Caraline