“Jangan pernah berani untuk mengintip,” ingat Caraline sesaat sebelum melakukan aksinya. Wanita itu mengembus napas panjang, mengelus dada yang tiba-tiba berdebar kencang. Ini tidak sulit, Caraline. Bukankah ini hal yang selalu kau inginkan, batinnya kemudian.
Caraline memulai dari mengeringkan wajah Deric. Gerakannya perlahan dengan tatapan yang tertuju pada pria itu. Kesempatan ini ia gunakan untuk menatap semua pahatan paras pria bermanik biru itu. Sungguh sebuah mahakarya sempurna yang diciptakan Tuhan. Mata, alis, hidung, bibir, pipi, semuanya tanpa cela.
Caraline kembali mengembus napas panjang ketika tangan mulai berpindah ke arah leher. Saat jarinya tak sengaja menyentuh permukaan kulit Deric secara langsung, ia refleks menjauhkan handuk dari tubuh pria itu. Namun, tak lama kemudian ia kembali melakukan aksinya.
“Jangan mengintip,” pinta Caraline seraya mengatur pola napas yang mendadak tak beraturan.
&ldq
“Henry Hulbert?” Caraline kembali duduk di sofa, meletakkan remote di meja, menyilangkan kaki kanan ke kaki kiri. Fokusnya kini tertuju pada layar televisi. “Bukankah dia Wakil Presiden Universe Corporation? Aku terkejut karena dia mau tampil di layar kaca.”Caraline membesarkan volume televisi, kemudian menyandarkan punggung ke kursi. Pasti ada informasi berharga yang bisa ia dapat dari tayangan ini. “Aku tidak boleh melewatkan hal ini.”“Apa kabar, Tuan?” tanya pembawa acara dengan senyum merekah.Pria tampan dengan postur tinggi itu menjawab dengan senyum tipis, “Kabar baik.”“Kau tampak lebih menakjubkan dibanding yang kulihat di internet dan majalah,” goda wanita berbaju cokelat itu, “tubuhku tak berhenti bergetar sampai sekarang.”Henry Hulbert terkekeh pelan. Layar berpindah pada penonton yang notabene adalah wanita. Mereka bertepuk tangan sembari me
Suara riuh tepuk tangan dan jeritan kembali terdengar dari layar kaca. Henry Hulbert hanya tersenyum tipis sembari sesekali melirik jam tangan. Di samping kiri layar, terdapat sebuah kolom yang berisi komentar-komentar dari warganet yang sengaja ditampilkan.“Tuan Henry, bisakah Anda menyebutkan siapa nama Presiden Universe Corporation?” pinta si pembawa acara.Henry Hulbert menggeleng. “Aku tidak bisa memberitahu kalian karena hal itu berkenaan dengan privasinya.”“Bagaimana dengan inisial dari namanya? Bisakah Anda memberi tahu kami?” Si pembawa acara menggeser letak duduk agak maju.“Beri tahu!”“Beri tahu!”“Beri tahu!”“Beri tahu!”Penonton di studio meneriakkan kata-kata kompak sembari bertepuk tangan. Menyadari hal itu, si pembawa acara berdiri sembari memberi semangat dengan gerakan tangan. Henry Hulbert sendiri hanya tertawa sembari mel
Untuk beberapa detik lamanya, pandangan Caraline dan Helen menumbuk di titik yang sama. Kedua wanita itu kemudian langsung memutuskan tatapan. Ada kecanggungan yang meruang walau sesaat.“Itu kode yang cukup mudah untuk dipecahkan,” kata Caraline.“Nona benar,” sahut Helen, “sebaiknya aku kembali ke ruanganku. Permisi.”Caraline mengangguk singkat, membuka kembali ponsel. Artikel tentang tayangan program tadi, Henry Hulbert serta kode yang diberikan pria itu langsung menjadi topik panas yang memuncaki berita nasional dalam waktu singkat. Beberapa laman berita bahkan video menjadikan hal itu sebagai konten untuk menarik pembaca dan pendengar sebanyak-banyaknya.Caraline mengembus napas panjang, berusaha mengenyahkan perihal sosok Presiden Universe Corporation. Wanita itu memang sama penasarannya dengan penonton yang melihat tayangan tadi. Hanya saja, ia tidak punya bayangan mengenai siapa sosok pria itu.Caraline
Caraline refleks memutar bola mata, tersenyum tipis. “Aku pikir bukan hanya aku saja yang penasaran dengan sosoknya. Pemberitaan tentang sosok Presiden Universe Corporation itu berhasil menduduki berita panas hari ini.” “Kau benar.” Diego mengangguk. “Sejujurnya aku juga dibuat penasaran dengan hal itu. Kudengar hanya beberapa orang saja yang bisa bertemu langsung dengannya.” “Apa Henry Hulbert tidak memberi tahumu tentang sosoknya?” tanya Caraline. “Sama sekali tidak. Sepertinya ... itu benar-benar privasi yang harus dijaga.” Diego menyandarkan punggung ke kursi. Ia memberi kedipan singkat pada Helen. “Kau tetap di sini, Helen,” kata Caraline sembari menarik tangan asistennya. Tatapannya masih tertuju pada Diego. Ia tahu maksud dari kedipan singkat itu. “Ba-baik, Nona.” Helen yang sudah setengah berdiri kembali duduk. Keadaan diterkam keheningan untuk sesaat di mana pandangan Caraline dan Diego saling menumbuk. “Bagaimana deng
“Kau baik-baik saja, Helen?” tanya Caraline tanpa mengalihkan pandangan ke arah asistennya. “Kau lebih banyak diam setelah pulang dari pertemuan menyebalkan itu.”Helen mengembus napas panjang. Jemarinya saling melumat di atas paha. Beberapa kali ia melirik Caraline, lalu menjatuhkan pandangan ke arah jari-jari yang kian mengait satu satu sama lain.“Nona, bolehkah aku bertanya sesuatu?” Helen mengeratkan tangan sesaat.“Katakan,” jawab Caraline dengan pandangan yang masih menoleh ke samping jalan.“Sebenarnya ... bagaimana hubungan Nona dengan Tuan Diego?” Helen menunduk sesaat, lalu memberanikan diri menoleh pada Caraline. “Anda bisa mengabaikannya jika pertanyaan itu tidak penting untuk Nona jawab.”“Hubunganku dengan Diego ... hanya sebatas teman. Tidak lebih dan tidak kurang.” Caraline berkata jujur, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. “Apa itu y
“Ini tidak mungkin.” Caraline segera menyeka tangis dengan punggung tangan. Wanita itu kembali menggulir ponsel ke atas, memeriksa kembali deretan nama dari beberapa rumah sakit dengan lebih teliti. Seiring waktu berjalan, semakin cepat pula jantungnya dibuat seakan ingin meledak. Sungguh, ia merasa seperti tengah dikejar hewan berbahaya yang mengancam nyawa.Caraline menggingit bibir dengan kuat agar tak mulai berteriak. Tangisnya kembali pecah membasahi pipi. Dadanya kian sesak setiap kali jemarinya menggulir layar. Daftar pasien di sepuluh rumah sakit sudah ia baca dengan teliti, dan hanya tersisa satu rumah sakit di mana nama Deric tadi berada.Caraline mengembus napas panjang, terpejam untuk menghentikan derai air mata. Akan tetapi, pipinya kian basah seiring waktu berjalan.“Aku tidak ingin ini terjadi,” lirih Caraline sembari menyeka tangis dengan punggung tangan. Untuk sesaat, tangis memaksanya untuk diam, mencerna semua hal yang
“Apa aku ... boleh memelukmu?” tanya Caraline dengan suara parau. Tubuhnya bergetar kuat sebab dingin dan kemelut perasaan. Meski hujan sudah membasahi seluruh raga, tetapi air mata masih setia menghangatkan pipi.Deric terdiam beberapa saat, mengamati penampilan Caraline yang menurutnya sangat kacau. Tak ada wajah ketus yang terpahat di paras menawan wanita di depannya, yang tampak adalah raut kesedihan dan ketakutan.“Tentu,” jawab Deric pada akhirnya.“Terima ... kasih.” Caraline masih bertahan di rerumputan dengan wajah tertunduk. Kedua tangannya menyeka tangis dengan bergantian. Guntur dan pentir masih menampakkan kekuasaan di sekitar. Alam sepertinya ikut merasakan ketakutan yang menjalar.Caraline bergerak ke arah Deric dengan tiba-tiba, mendekap erat dengan tangis yang tak kunjung reda. Payung yang dipakai pria itu terjatuh hingga membuat keduanya dihujani air.Caraline lantas terpejam, memeluk pria yang
“Caraline,” ujar Deric setengah berteriak ketika tubuh wanita itu terdorong ke depan. Tak lama setelahnya, guntur menggelegar hingga membuat sekeliling menjadi terang. Angin berembus kencang, menggugurkan ranting dan daun.“Caraline.” Deric menepuk-nepuk pipi Caraline. Tubuh wanita itu sangat dingin dan pucat di saat bersamaan. Ia lantas mengambil ponsel dan segera menghubungi Grace. Deric dengan cepat memangku Caraline, membawa wanita itu ke kursi roda bersamanya. Setelahnya, ia melumat jalan dengan cepat. Ketika hampir dekat dengan rumah, ia melihat Grace dan beberapa maid mendekat dengan tatatapan khawatir.“Nona Caraline,” pekik beberapa maid bersamaan dengan payung di tangan.Deric membawa Caraline ke beranda rumah, yang kemudian disusul oleh beberapa maid dari belakang. “Grace, siapkan mobil untuk membawa Caraline ke rumah sakit.”“Ba-baik, Tuan,” sa