Sesampainya di kostsan aku seperti ingin mengutuk diriku. Wahai Bimo apa-apaan ini? Kamu bukanlah orang yang sangat penurut bukan? Merawat kucing? Kamu merawat dirimu saja tidak becus. Aku terus memaki-maki frustasi diriku sendiri lalu terduduk di hadapan anakan kucing itu, dan terdiam menatapnya.
“Heh,, emangnya lo mau sama gue?”ucapku ke anak kucing itu yang terlihat bingung menatapku.
Drtttt... Drtttt... Handphoneku yang sedang aku cas di atas meja belajar berbunyi pertanda ada satu pesan masuk. Sejak bersama Dea tadi ternyata hanphoneku mati bukan karna lowbat tapi sengaja ku matikan saja, dan baru ku aktifkan lagi saat ingin mengecas handphone.
Ku lirik siapa yang mengirim pesan. Aku langsung menyunggingkan senyum saat mengetahui pesan itu dari Dea.
Bim.. jangan lupa dikasi makan ya Mikunya. Makanannya ada di dalam tasnya juga kok aku taruh di sana. Sekali lagi makasi ya udah mau ngasuh Miku-ujar pesannya.
Miku? Ya ampun dia sudah menamainya. Gemas sekali bukan? Sosok yang sangat lembut apa adanya yang jarang sekali ditemukan dalam diri wanita pada umumnya.
Oke. Siap-balasku singkat dan langsung menjalankan tugas yang Dea suruh.
“Heh Miku, sehat-sehat ya kamu majikan kamu sayang banget loh sama kamu, cantik lagi. Do’ain dia jadi milik saya ya, kamu setujukan kalo dia sama saya terus?”ucapku pada Miku.
Miku membalas dengan suaranya yang lucu ku anggap ia mengiyakan kata-kataku.
Ku rebahkan tubuhku ke kasur sambil mengambil hanphone ku yang dicas dekat dengan kasur. Kulihat beberapa pesan dan panggilan masuk tadi yang belum sempat ku lihat-lihat. Aku langsung terdiam melihat banyak sekali pesan dari Radit dan Danu ku geser lagi dan ku temukan pesan dari Bang Fahmi.
Pukul 17.00: Dira lu ajak kemana Bim? Handphonenya gak aktif-Bang Fahmi.
Pukul 19.08: Bim jangan aneh-aneh ya, gue selalu percaya sama lo, tolong kalo hp Dira aktif suruh dia telfon gue”-Bang Fahmi.
Ku lihat lagi ada delapan panggilan keluar dari Radit dan Danu, kemudian tiga panggilan keluar dari Bang Fahmi. Ada rasa tidak enak dengan Bang Fahmi karna sudah membawa pacarnya jalan dengan orang yang tidak tahu malu sepertiku. Bisa-bisanya meminta izin membawa pacar seniornya pergi berdua, dan diperbolehkan oleh seniornya sendiri. Keadaan yang sangat jarang bukan?
---
Hari ini hanya ada dua mata kuliah yang akan berakhir di jam 1 siang karna dimualainya di jam 8 pagi. Di hari yang tidak terlalu padat ini akan ku manfaatkan untuk menyelesaikan typography ku yang sudah lima hari terbangkalai akibat memikirkan ilusi yang tampaknya tidak akan pernah jadi kenyataan.
Aku memilih duduk di bawah pohon rindang di sekitar taman umum yang ada di fakultasku. Ku cari peralatan typography di ranselku sekaligus headset yang ku pasangkan di telinga dan segera ku stel musik favoritku. Sekarang ini aku sedang menyukai musik rizky febian “Seperti kisah” fikiranku langsung berujuk pada ilusi cantikku yang sudah setengah hari ini belum kunjung terlihat oleh indra penglihatan.
“Woy!”seru seorang yang tiba-tiba mengagetkanku kemudian terduduk di sebelahku.
“Serius amat”Radit menyenggol keras bahuku yang langsung ku tatap tajam, tak suka.
“Tau Bajing gak?”ucap gue kesal.
“Selo gee bree haha”balasnya sambil tertawa.
“Dari mana lu kemaren?”tanyanya penasaran dengan aku yang masih fokus menggambar.
“Woyyy bangke gue ajak ngomong juga!”sentak Radit menghentikanku.
“Apasih! Ngomong aja cok”balasku kemudian melanjutkan lagi kegiatan yang sedang ku kerjakan.
“Kemaren lu pergi sama Dira ya? Hampir mau jadi omongan satu fakultas tau gak si? Gue nelponin lo anjeng gak aktip, terus kata Bang Fahmi handphone Dira juga gak aktif. Lu bawa Dira kemana man? Gak macem-macem kan?”tanya Radit bertubi-tubi meminta jawaban.
“Lebay banget si cuma pulang bareng”jawabku berusaha tenang.
“Sampe jam delapan malem gue telponin lo ya nyet, masi gak aktif. Gak usah coba bohong sama gue, gak mempan tau gak”timpah Radit lagi.
Gue langsung menghadapkan badan ke arah Radit. “Terus kenapa?”
“Bego tah tolol? Lo gak ada niat macem-macem kan? Gue tau, banget malah Dira tu cantik dan hampir sempurna, tapi dia pacar senior lo. Lu harus terima kenyataan.”pernyataan dari Radit berhasil mengusik ketenangaku.
“Iya gue makan karna kita sama-sama belum makan, udahnya kita balik. Gak ngapa-ngapain suer, lagian Bang Fahmi sendiri yang ngijinin. Gue cuma bantuin dia nganter ceweknya balik karna sekarang ini dia lagi sibuk berat. Gue cuma bantu ngeringanin beban dia salah?”
“Asal lu gak ada maksud tertentu ya gak salah. Tapi sekali lagi ya gue peringatin ke lo Dira pacar senior lo yang sangat disegani se fakultas ini. Kita gak ada apa-apanya di banding Bang Fahmi. Jujur gue gak mau lo kenapa-napa bikoz lo sohib gue dari jaman puberitas yang sangat bamsad, bisa dimengerti?”Jelas Radit panjang sambil menepuk-nepuk punggung gue.
“Iyee..banyak bacot dah lo”ucap gue sambil menjitak kepalanya.
“Sakit anjir”sentaknya langsung membalas dengan ikut menjitak kepalaku.
“Tapi ya nyet”ucap Radit lagi kembali merusak konsetrasiku dalam membuat typography.
“Hem”balas gue singkat berusaha tak terganggu.
“Kayaknya Bang Radit sama Dira berantem deh. Soalnya gue denger dari mulut jurusan lain ada yang liat Bang Radit sama Dira cekcok, jarang banget terjadi tu”jelas Radit.
“Yang bener lo?”tanya gue panasaran dan dijawab anggukan oleh Radit.
“Terus lu tau Dea dimana?”tanyaku lagi penasaran.
“Dea?”balas Radit tak pengerti.
“Dira nyett”jelasku membenarkan.
“Jadi lu udah punya panggilan sendiri untuk Dira?”
“ Apasi lebay! Cuma nama ya bamsad”
“Kali ini lu bener-bener gue awasin ya Bim”
“Serah lu! Dah ah gak asik lo, temen lo terus yang disalahin”Aku beranjak pergi.
“Bim.. Bimooo mau kemanee loo!”panggil Radit yang tak ku hiraukan.
---
Fikiranku terus tertuju pada pernyataan Radit kalau Dea dan Bang Fahmi bertengkar. Sudah pasti gara-gara kemarin, komunkasi adalah masalah yang lumrah terjadi pada setiap pasangan di muka bumi ini. Aku jadi merasa tidak enak atas kejadian kemaren. Aku harus nemuin bang Fahmi, aku tidak ingin Dea disalahkan.
Aku pergi ke sekret UKM berniat mencari keberadaan Bang Fahmi.
“Bim ngapain? Tumben lo, kerasukan tah?”sapa Danu yang juga ada di sana.
“Nu, Bang Fahmi ada di dalem?”tanya gue
“Ada kok di ruangannya, mau gue panggilin?"tawar Danu.
“Gak usah cuy, gue aja yang kesono”
“Pasti gara-gara masalah kemaren kan?”ledek Danu.
“Brisik!”
“Gila lo wkwkwk. Suka si gue sama pemberani kek gini nih, cari mati wkwk”ucapnya terus menertawai gue.
“Dah diem lu, gue mau menghadap komandan”balas gue sambil menepuk pundak Danu kemudian masuk ke dalam menemui Bang Fahmi.
---
“Assalamualaikum Bang, ini gue Bimo”ucapku dari depan pintu ruangan sambil mengetuk pintu.
“Masuk aja coy”balas sang penghuni ruangan dari dalam.
“Sorry bang ganggu”ujarku sambil mencoba masuk.
“Duduk bro”tawar Bang Fahmi yang dari raut wajahnya masih terlihat emosi namun tetap dipaksa untuk tenang.
“Sorry bang, gue di sini mau jelasin masalah yang kemaren"tuturku hati-hati membuka obrolan.
Bang Fahmi langsung fokus menatapku.
“Coba ceritain secara detail kemarin ngapain aja sama Dira, sampe bisa handphone kalian sama-sama gak aktif”ucap Bang Fahmi mengintimidasi.
Jadi berurusan dengan pacar orang seperti ini? menantang sekali. Aku pun menjelaskan semuanya tidak ada yang dilebihkan atau dikurangi. Aku juga memang tidak berniat untuk berbohong. Lagi pula untuk apa? Aku tidak mungkin merebut Dea dengan cara yang kotor bukan? Rasa yang tercipta di hati ini suci, aku tidak ingin mengotorinya. Biarlah waktu berjalan dengan semestinya. Biarlah semesta bekerja apa adanya.
“Gue akan selalu percaya sama lu bro, jangan rusak kepercayaan gue”ucap Bang Fahmi masih terus menahan emosi. Sangat terlihat dengan matanya yang memerah dan raut mukamya yang merah padam. Aku tau dia tak sepenuhnya terima dengan pernyataanku. Pasti ada rasa cemburu namun ia berusaha tetap tenang agar tetap terlihat dewasa di depan adik tingkatnya.
Aku terus berjalan menyusuri jalanan kampus yang entah akan membawaku kemana. Pikiranku jadi kusut dari sehabis menemui Bang Fahmi. Pesan dari kata-katanya membuatku gila untuk memikirkan nasibku depannya. Akupun memilih untuk pulang saja, jadi ku langkahkan kaki menuju ke tempat parkir. Sialnya aku bertemu Dea sedang termenung di bangku taman. Niatku tidak ingin memperdulikannya tetapi hati ini tidak tega. Akhirnya akupun menemuinya.“Ngapain?”tanyaku yang tiba-tiba muncul.“Eh Bimo?”ucapnya membuka tangkupan tangan dari wajahnya. Aku tau dia habis menangis terlihat jelas di matanya yang sembab.“Eh-enggak”Dea menggeleng kaku.“berarti iya”aku mencoba duduk di sampingnya.“Abis ngadep Bang Fahmi nih saya”“Dimarahin ya?”tanyanya penasaran sambil menghadapku dan menatapku intens.“Cuma dikasih peringatan supaya gak bawa pegi ceweknya sembarangan lagi”j
---Sore menjelang malam, langit seakan memberikan isyarat padaku untuk segera pulang. Benar sekali baru ingin beranjak ke parkiran adzan magrib pun berkumandang. Ku belokkan langkahku ke arah masjid untuk menunaikan kewajiban, selesainya baru kulangkah kakiku untuk segera pulang. Belum sempat menghidupkan motor salah satu lengan bersandar dipundakku.“Ngopi dulu yuk bree”kata siapa lagi kalau bukan Radit.“Nggak ah hemat gue”elakku bermaksud malas meladeni.“Aealah niat mau bayarin juga”“Next time deh, capek banget gue mau istirahat”“Lebay amat, kayak lu gak pernah begadang dua hari dua malem rasanya”“Mager gue sumpah dit. Ajak Danu, Bayu, Bagas atau sapa kek”“Nah mereka juga nongki cok bareng kita, mangkanya gue sekalian ajak lo”“Enggak dulu deh. Sumpah lagi gak selera gue”sambil menstrater motor namun dimatikan kembali
Hari ini aku mendapat jam kuliah pagi, jadi pukul 08.30 aku sudah sampai di kampus. Aku masih berada di parkiran sedang merapihkan rambutku di depan spion motor yang berantakan sehabis melepaskan helm dari kepalaku. Terdengar suara motor besar yang menarik perhatianku, sial itu Bang Rio yang juga baru datang. Aku berusaha tidak memperdulikan keberadaannya dengan terus merapihkan rambutku, sialnya Bang Rio memarkirkan motornya tepat di sebrang motorku. Ia yang melihatku langsung menyunggingkan senyum sinis antara meledek dan memancing emosiku. Aku tetap berusaha tenang tidak peduli dengan perbuatannya.Sebuah lengan merangkul leherku.“Sabar,, yang waras ngalah”ucap orang itu tepat di telingaku.“Ye eluu,, gue amperin ya ke rumah malah udah di sini”aku mengetahui bahwa orang itu Radit langsung menjitak kepalanya.“Nyett Bang Rio itu cuma pengen cari gara-gara, udah gak ada bahan masalah keknya di kampus jadi pengen bikin orang perang,
Bisakah kaki ini melangkah dengan pasti ke arah yang ia sukai?“Bim”suara makhluk ilusi menggema di telingaku.“Bimo..”suara itu kembali bertaut lagi kali ini bertambah dekat.“Bimo hey!”kini suara itu sudah berwujud manusia cantik yang berdiri dihadapanku. Sial sepertinya aku sudah berada di alam bawah sadar.“Hey Bimo kamu kenapa sih?”ucap suara itu sambil mengguncang-guncang tanganku.Aku tersadar dari lamunanku. Sial! ternyata aku masih berada di dunia nyata.“Eh, saya kira tadi saya pingsan”ucapku sambil mengusap gusar wajahku.“Bimo belum sarapan ya? Pucet banget mukanya”Dea mengarahkan tanganya ke dahiku “Bimo sakit?”ucapnya dengan raut wajah khawatir.“E-enggak kok”aku menyingkirkan pelan tangan Dea dari dahiku. “Cuma belum sempet sarapan aja kayaknya”jelasku apa adanya.Dea membuka resleting tasnya k
Hari ini adalah hari libur, hari dimana aku ingin menjadi orang pemalas di seluruh dunia. Aku tau hari sudah semakin siang, alarm ku sudah berapa kali saja memanggilku untuk segera bangun, namun bolak-balik ku patikan dengan sengaja. Sungguh jangan ada yang menggangguku untuk hari ini saja. Sadar ku dengar seorang mengetuk pintu, aku mencoba mengumpulkan nyawaku untuk segera bangun dari kasur. Aku mencoba berfikir dan teringat sesuatu “ini pasti si Radit, kan dia gak bakal betah lama-lama berantem sama gue”akupun segera membukakan pintu. Betapa kagetnya dengan seorang yang nampak di depanku bukanlah Radit melainkan sosok ilusiku yang tampak seperti nyata berdiri sempurna di hadapanku dengan senyum yang berseri. Jika pertahananku lemah aku bisa saja bertindak gegabah. Aku segera mewaraskan diri untuk bersikap normal. “E-eh kok bisa ke sini? Tau alamat saya dari mana?”tanyaku bingung juga panik. “Dari Danu”ucapnya santai. Aku mencoba berfikir sambil men
Kami bertatapan cukup lama dan akhirnya aku dapat mengumpulkan kesadaranku juga. “E-khem..”aku tersadar kemudian menjauh dari hadapannya berusaha mengatur nafas dan detak jantungku. Suasana mulai canggung. Dea terlihat mencuri-curi pandang padaku dan aku pura-pura tidak melihat seperti tidak pernah terjadi apa-apa. “Bim...”panggil Dea seperti butuh penjelasan “Keknya kamu pulang deh”potongku terburu. “Hah? Kok?”tanyanya kebingungan. “Takutnya Bang Fahmi nyariin kan repot saya, ini udah siang juga” “Ngusir nih?” “Ya enggak. Kalo kita kena masalah kita berdua yang kerepotan” “Kamu segitu takutnya ya sama Bang Fahmi?” “Cuma berusaha mencegah masalah saya gak mau ambil pusing, hidup saya udah ribet” “Oh oke, aku pulang Assalamualaikum.”ucapnya yang langsung beranjak meninggalkan kosanku, kemudian perlahan menghilang dari pandanganku. Dea terlihat kesal dengan ucapanku. Apakah ini salah?
Aku bukan penganut kepercayaan tentang cinta pada pandangan pertama. Jelas itu hanya nafsu yang terpancar saat menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Aku tidak bisa munafik pada seni indah di parasnya itu. Bila kubilang dia wanita paling cantik di dunia pun tidak masalah. Sebab nafsuku benar gila ternyata.Dia sempat menjadi penguasa hati. Aku juga sempat munafik untuk mengartikan rasa ini. Bukan lagi nafsu bila berurusan dengan hati. Harusnya aku tidak banyak gengsi. Karna yang harus di lakukan oleh manusia waras adalah syukuri atas apa yang Tuhan beri. Jangan banyak berasumsi dengan hal yang bersifat fiksi, kamu hanya akan terperangkap di ruang imajinasi. Itu kata risalah hati.Dia sempat kumiliki. Aku sempat menjadi sandaran, sempat menjadi orang yang dikasihi, sempat menjadi yang paling dibanggakan. Dengannya aku menyadari ada hal indah di balik dunia yang fana. Ada hal istimewa menjadi sosok manusia. Ada yang paling sempurna dari cinta yang sederh
“Diem aja? Canggung ya?”tanyanya memecahkan keheningan kami di atas motor tuaku yang sedang berjalan menuju rumahnya.“Emh,, ya gimana mbanya pacar senior saya”balasku agak gugup.“Tapi saya seumuran kamu kok, angkatan 17 kan?”tanyanya memastikan.“Owalah seumuran toh, bagus deh”balasku juga seadanya masih berusaha fokus mengendarai motor dan fokus menjaga degup kencang dari jantungku.“Bagus kenapa?”tanyanya berusaha memastikan.“Bagus, jadi ngurangin kadar kecanggungan hehe”“Bisa ketawa juga toh?”“Saya bukan sejenis patung mba”“Mba lagi, kan dibilang kita seumuran”“Kalo saya panggil Dea emang boleh?”“Ya boleh lah nama aku emang Adira Dealova kamu bisa manggil aku Dira, Dea, atau Lova, senyamannya kamu aja Bim. Iss.. Bimo ini loh”jelasnya sambil tertawa kecil. Kulihat dia dari k
Kami bertatapan cukup lama dan akhirnya aku dapat mengumpulkan kesadaranku juga. “E-khem..”aku tersadar kemudian menjauh dari hadapannya berusaha mengatur nafas dan detak jantungku. Suasana mulai canggung. Dea terlihat mencuri-curi pandang padaku dan aku pura-pura tidak melihat seperti tidak pernah terjadi apa-apa. “Bim...”panggil Dea seperti butuh penjelasan “Keknya kamu pulang deh”potongku terburu. “Hah? Kok?”tanyanya kebingungan. “Takutnya Bang Fahmi nyariin kan repot saya, ini udah siang juga” “Ngusir nih?” “Ya enggak. Kalo kita kena masalah kita berdua yang kerepotan” “Kamu segitu takutnya ya sama Bang Fahmi?” “Cuma berusaha mencegah masalah saya gak mau ambil pusing, hidup saya udah ribet” “Oh oke, aku pulang Assalamualaikum.”ucapnya yang langsung beranjak meninggalkan kosanku, kemudian perlahan menghilang dari pandanganku. Dea terlihat kesal dengan ucapanku. Apakah ini salah?
Hari ini adalah hari libur, hari dimana aku ingin menjadi orang pemalas di seluruh dunia. Aku tau hari sudah semakin siang, alarm ku sudah berapa kali saja memanggilku untuk segera bangun, namun bolak-balik ku patikan dengan sengaja. Sungguh jangan ada yang menggangguku untuk hari ini saja. Sadar ku dengar seorang mengetuk pintu, aku mencoba mengumpulkan nyawaku untuk segera bangun dari kasur. Aku mencoba berfikir dan teringat sesuatu “ini pasti si Radit, kan dia gak bakal betah lama-lama berantem sama gue”akupun segera membukakan pintu. Betapa kagetnya dengan seorang yang nampak di depanku bukanlah Radit melainkan sosok ilusiku yang tampak seperti nyata berdiri sempurna di hadapanku dengan senyum yang berseri. Jika pertahananku lemah aku bisa saja bertindak gegabah. Aku segera mewaraskan diri untuk bersikap normal. “E-eh kok bisa ke sini? Tau alamat saya dari mana?”tanyaku bingung juga panik. “Dari Danu”ucapnya santai. Aku mencoba berfikir sambil men
Bisakah kaki ini melangkah dengan pasti ke arah yang ia sukai?“Bim”suara makhluk ilusi menggema di telingaku.“Bimo..”suara itu kembali bertaut lagi kali ini bertambah dekat.“Bimo hey!”kini suara itu sudah berwujud manusia cantik yang berdiri dihadapanku. Sial sepertinya aku sudah berada di alam bawah sadar.“Hey Bimo kamu kenapa sih?”ucap suara itu sambil mengguncang-guncang tanganku.Aku tersadar dari lamunanku. Sial! ternyata aku masih berada di dunia nyata.“Eh, saya kira tadi saya pingsan”ucapku sambil mengusap gusar wajahku.“Bimo belum sarapan ya? Pucet banget mukanya”Dea mengarahkan tanganya ke dahiku “Bimo sakit?”ucapnya dengan raut wajah khawatir.“E-enggak kok”aku menyingkirkan pelan tangan Dea dari dahiku. “Cuma belum sempet sarapan aja kayaknya”jelasku apa adanya.Dea membuka resleting tasnya k
Hari ini aku mendapat jam kuliah pagi, jadi pukul 08.30 aku sudah sampai di kampus. Aku masih berada di parkiran sedang merapihkan rambutku di depan spion motor yang berantakan sehabis melepaskan helm dari kepalaku. Terdengar suara motor besar yang menarik perhatianku, sial itu Bang Rio yang juga baru datang. Aku berusaha tidak memperdulikan keberadaannya dengan terus merapihkan rambutku, sialnya Bang Rio memarkirkan motornya tepat di sebrang motorku. Ia yang melihatku langsung menyunggingkan senyum sinis antara meledek dan memancing emosiku. Aku tetap berusaha tenang tidak peduli dengan perbuatannya.Sebuah lengan merangkul leherku.“Sabar,, yang waras ngalah”ucap orang itu tepat di telingaku.“Ye eluu,, gue amperin ya ke rumah malah udah di sini”aku mengetahui bahwa orang itu Radit langsung menjitak kepalanya.“Nyett Bang Rio itu cuma pengen cari gara-gara, udah gak ada bahan masalah keknya di kampus jadi pengen bikin orang perang,
---Sore menjelang malam, langit seakan memberikan isyarat padaku untuk segera pulang. Benar sekali baru ingin beranjak ke parkiran adzan magrib pun berkumandang. Ku belokkan langkahku ke arah masjid untuk menunaikan kewajiban, selesainya baru kulangkah kakiku untuk segera pulang. Belum sempat menghidupkan motor salah satu lengan bersandar dipundakku.“Ngopi dulu yuk bree”kata siapa lagi kalau bukan Radit.“Nggak ah hemat gue”elakku bermaksud malas meladeni.“Aealah niat mau bayarin juga”“Next time deh, capek banget gue mau istirahat”“Lebay amat, kayak lu gak pernah begadang dua hari dua malem rasanya”“Mager gue sumpah dit. Ajak Danu, Bayu, Bagas atau sapa kek”“Nah mereka juga nongki cok bareng kita, mangkanya gue sekalian ajak lo”“Enggak dulu deh. Sumpah lagi gak selera gue”sambil menstrater motor namun dimatikan kembali
Aku terus berjalan menyusuri jalanan kampus yang entah akan membawaku kemana. Pikiranku jadi kusut dari sehabis menemui Bang Fahmi. Pesan dari kata-katanya membuatku gila untuk memikirkan nasibku depannya. Akupun memilih untuk pulang saja, jadi ku langkahkan kaki menuju ke tempat parkir. Sialnya aku bertemu Dea sedang termenung di bangku taman. Niatku tidak ingin memperdulikannya tetapi hati ini tidak tega. Akhirnya akupun menemuinya.“Ngapain?”tanyaku yang tiba-tiba muncul.“Eh Bimo?”ucapnya membuka tangkupan tangan dari wajahnya. Aku tau dia habis menangis terlihat jelas di matanya yang sembab.“Eh-enggak”Dea menggeleng kaku.“berarti iya”aku mencoba duduk di sampingnya.“Abis ngadep Bang Fahmi nih saya”“Dimarahin ya?”tanyanya penasaran sambil menghadapku dan menatapku intens.“Cuma dikasih peringatan supaya gak bawa pegi ceweknya sembarangan lagi”j
Sesampainya di kostsan aku seperti ingin mengutuk diriku. Wahai Bimo apa-apaan ini? Kamu bukanlah orang yang sangat penurut bukan? Merawat kucing? Kamu merawat dirimu saja tidak becus. Aku terus memaki-maki frustasi diriku sendiri lalu terduduk di hadapan anakan kucing itu, dan terdiam menatapnya.“Heh,, emangnya lo mau sama gue?”ucapku ke anak kucing itu yang terlihat bingung menatapku.Drtttt... Drtttt... Handphoneku yang sedang aku cas di atas meja belajar berbunyi pertanda ada satu pesan masuk. Sejak bersama Dea tadi ternyata hanphoneku mati bukan karna lowbat tapi sengaja ku matikan saja, dan baru ku aktifkan lagi saat ingin mengecas handphone.Ku lirik siapa yang mengirim pesan. Aku langsung menyunggingkan senyum saat mengetahui pesan itu dari Dea.Bim.. jangan lupa dikasi makan ya Mikunya. Makanannya ada di dalam tasnya juga kok aku taruh di sana. Sekali lagi makasi ya udah mau ngasuh Miku-ujar pesannya.Miku? Ya ampun d
Ilusi ini memang tidak mau pergi. Malah meledek aku yang dengan susah payahnya menghindar. Dia justru berdiri sebagai pawang, dengan sejuta pesonanya yang menawan. Jadi apa salahku menikmati anugrah Tuhan yang indah ini. Aku tidak akan melanggar hukum alam. Akan ku pastikan semuanya baik-baik saja.“Dea..”sapaku padanya yang sedari ku lihat sedang berjalan ke arah gerbang kampus.“Bimo?”tanyanya heran karna melihatku tiba-tiba menghampirinya.“Belum jadi makan kan?”tanyaku yang semoga sesuai dengan yang ku mau.“Kok tau?”tanyanya kebingungan yang berhasil membuat senyumku mengembang.“Tadi saya lihat kamu malah balik ke kelas lagi, ayuk makan saya lapar sekarang”ajakku sambil terus berjalan di sampingnya.“Makan ke kantin kan?”tanyanya memastikan.“Diluar aja yuk, bosen makan makanan kantin g
“Diem aja? Canggung ya?”tanyanya memecahkan keheningan kami di atas motor tuaku yang sedang berjalan menuju rumahnya.“Emh,, ya gimana mbanya pacar senior saya”balasku agak gugup.“Tapi saya seumuran kamu kok, angkatan 17 kan?”tanyanya memastikan.“Owalah seumuran toh, bagus deh”balasku juga seadanya masih berusaha fokus mengendarai motor dan fokus menjaga degup kencang dari jantungku.“Bagus kenapa?”tanyanya berusaha memastikan.“Bagus, jadi ngurangin kadar kecanggungan hehe”“Bisa ketawa juga toh?”“Saya bukan sejenis patung mba”“Mba lagi, kan dibilang kita seumuran”“Kalo saya panggil Dea emang boleh?”“Ya boleh lah nama aku emang Adira Dealova kamu bisa manggil aku Dira, Dea, atau Lova, senyamannya kamu aja Bim. Iss.. Bimo ini loh”jelasnya sambil tertawa kecil. Kulihat dia dari k