Aku bukan penganut kepercayaan tentang cinta pada pandangan pertama. Jelas itu hanya nafsu yang terpancar saat menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Aku tidak bisa munafik pada seni indah di parasnya itu. Bila kubilang dia wanita paling cantik di dunia pun tidak masalah. Sebab nafsuku benar gila ternyata.
Dia sempat menjadi penguasa hati. Aku juga sempat munafik untuk mengartikan rasa ini. Bukan lagi nafsu bila berurusan dengan hati. Harusnya aku tidak banyak gengsi. Karna yang harus di lakukan oleh manusia waras adalah syukuri atas apa yang Tuhan beri. Jangan banyak berasumsi dengan hal yang bersifat fiksi, kamu hanya akan terperangkap di ruang imajinasi. Itu kata risalah hati.
Dia sempat kumiliki. Aku sempat menjadi sandaran, sempat menjadi orang yang dikasihi, sempat menjadi yang paling dibanggakan. Dengannya aku menyadari ada hal indah di balik dunia yang fana. Ada hal istimewa menjadi sosok manusia. Ada yang paling sempurna dari cinta yang sederhana.
---
Aku Bimo, Bimo Prakoso. Orang jawa, juga besar di tanah jawa. Sudah cukup coretanku untuk hari ini. Sudah lelah dan rasanya ingin rebahan. Sudah lapar namun sedang tidak nafsu makan. Belakangan ini sedang ku sibukkan hariku dengan melamun sambil mencoret-coret ria dalam kertas putihku. Tak ada yang menggembirakan selain membiarkan kesibukkan baru ini menguasai ruangku.
“Bim.. mau kemana?”tanya Radit tiba-tiba menepuk pundaku dari belakang.
“Baliklah masa mau nginep”balasku santai.
“Basecame yok Danu ngajak kumpul, udah lama lu gak kesana”
“Duluan aja dit.. mager banget gue”
“Udah ayokk”paksanya sambil menggeret tanganku pasrah mengikuti langkahnya.
Sampai disana ada yang aneh mengapa terlihat ramai sekali. Hal yang jarang terjadi di basecame. Dari kerumunan itu aku menangkap sesuatu yang tak asing di penglihatnku bahkan sampai ujung sanubariku. Dia.. benarkah dia? Penguasa hatiku? Kembali?
“Bim .. Dea lo balik kok diem aja? Peluk kek sun kek malah bengong kek sapi ompong”tegur Radit.
Orang yang ku perhatikan sedang kikuk tak berdaya. Diriku pun sama, bingung antara ingin menghampiri atau pergi saja tanpa banyak basa-basi. Lagi pula untuk apa dia kembali jika nantinya pergi lagi? Jujur aku sudah muak dengan semua ini. Apa hanya aku satu-satunya yang tersakiti, sedangkan dia berbuat enak sesuka hati. Sebegitu lucukah rasa ini?
“Bimo.. mau kemana?”cegah Radit.
“Minggir dit, laper gue mau makan”alasanku agar bisa bernafas.---
Aku tau dia pergi bukan untuk menghianatiku, apalagi pergi dengan pria lain. Dia pergi untuk cita-citanya, pengharapannya yang setinggi langit tak mampu lagi kudekap bersama anganku. Jadi kupaksakan raga ini untuk mengalah. Melepaskanya bersama dunia barunya adalah hal bijak yang baru ini kulakukan untuk manusia selain ibuku.
Terluka? Sudah pasti. Tidak ada manusia tidak terluka pada saat hatinya patah. Aku pria dan tentunya masih berwujud manusia. Setangguh-tangguhnya pria bila ditinggalkan cintanya pasti akan merasa sedih juga, bahkan merasa dirinya tidak berguna. Maka dari itu ia ditinggalkan. Aku benar-benar tidak berguna untuk dia yang sempurna.
“Gak tau ya, gampang banget nyari kamu. Masih aja suka makan sendirian”ucap manusia yang tiba-tiba hadir di sampingku.
“Kalo kamu mau makan pesen aja”balasku santai.
“Ini kamu makan siang, atau sekalian makan malam ? Masih aja suka telat-telat makan”Manusia itu bersuara lagi.
Jujur aku muak dengan perlakuan manis ini.
“Kamu kalo gak niat makan mending gak usah makan”elaku kesal, sambil terus makan tanpa memperdulikan manusia di sampingku yang terus menatapku intens.
“Bim aku balik. Kok kamu gak ada bahagia-bahagianya sih. Cewek kamu pulang loh”ucap Dea sambil menggoyangkan bahuku.
Iya manusia itu Dea. Dia tokoh utama dalam hati ini.
“Kamu kayaknya kelupaan sesuatu deh”ucapku seenaknya tiba-tiba langsung menghentikan kegiatan tangan dea yang masih menggoyangkan bahuku.
“Aku gak ada niatan buat akhirin hubungan kita Bim, gak ada kata putus juga kan yang keluar dari mulut kita?”tepis Dea dalam sekejap.
“Dengan kamu pergi waktu itu, adalah akhir dari kita”balasku tetap kukuh
“Dan aku gak akan pernah percaya kamu bisa lupain aku”timpalnya ikut kukuh.
Dia benar, sepertinya aku tidak akan mampu melupakannya. Meski hilang dari ingatan, bayangnya tetap melekat dalam angan. Jiwanya tetap menghuni di lubuk hati terdalam. Dia benar atas asumsi-asumsi itu. Dia memang tidak pernah salah atas rasaku. Aku yang salah sudah memulai ini dan akhirnya aku juga yang tersakiti.
***
Waktu itu, sekitar dua tahunan lalu. Nestapa saat itu riuh, tidak seperti kemarin-kemarin tenang, damai, sejalan. Awalnya ku kira aku dapat satu wasiat lagi tentang nestapa yang tak butuh senja dan jingga. Nestapa hanya butuh langit yang biru, awan yang damai dan kamu sebagai pelengkap. Itu pun kalau kamu mau, aku tidak pernah ada maksud memaksa, hanya saja jangan permainkan rasa. Sigap bila ingin, mundur bila ragu.
Aku terus bernarasi dalam benak mencoba menafsirkan waktu saat tiba-tiba sebuah ilusi datang menghampiri. Sampai akhirnya imajinasi bertolak referensi menjadi ilusi. Dia benar hadir namun seperti ilusi dalam gambar tiga dimensi. Nyata, tapi tipuan yang sengaja dibuat sebagai pengecoh naluri.
“Adira Dealova ”ucap makhluk ilus sambil menyodorkan tangannya ke arahku.
“jangan salahkan aku jika mulai saat ini kamu tidak bisa pulang”batinku terus menatapnya.
“Woy Bim kenalin cewek gue”senggol Bang Fahmi membuyarkan lamunanku yang hampir memnggila.
“Oh,, Bimo”balasku seadanya.
“Tumben boy bawa cewek lu dimari, gue kira lu gak punya pacar. Udah berapa bulan nih?”oceh teman seclub, Radit.
“1 tahun”jawab Bang Fahmi santai sambil bangga menggandengan wanitanya.
“GILA! Ajib.. ajib emang diem-diem bae udah satu tahun, parah lu baru kenalin cewek lu sama kita bang, takut digebet tah?”
“Ya enggak lah, dia mah cuma bisa luluh sama gue. Iya kan sayang”ucap Bang Fahmi meyakinkan.
“Najis! jijik lu”sambar Radit dengan aku yang masih diam saja sok tidak menggubris situasi.
Aku bukan mengabaikan ciptaan Tuhan yang indah ini. Hanya saja tipuan ini sangat menyakitkan. Mata sendunya yang membius, senyum manis yang membunuh dan rambut panjang cantiknya yang sampai aku tidak bisa menjelaskannya lagi. Benar-benar mengusik diamku. Sayangnya tak bisa ku miliki. Sayangnya dia pacar seniorku.
“Bim,, rumah lu di teluk kan?”tanya Bang Fahmi tiba-tiba membuyarkan diamku.
“ Iya bang kenapa?”balasku kaget.
“Bisa nitip Adira? Gue ada jam pulang malem, kasian kalo dia nungguin gue”jelasnya
“Yakin lu nitipin dia sama gue?”tanyaku meyakinkan keadaan.
“Ya iyaalah lu gak makan orang kan?”balasnya memastikan dengan nada ledekan.
“Kali ini gue jadi pengen makan orang bang, jangan deh takut gue jagain pacar orang resikonya gede”ucapku beralasan.
“Aishh,, udahlah ya gue tinggal, sayang aku duluan ya, kamu aman kok dia adek tingkat terbaik aku”ucap Bang Fahmi sambil beranjak pergi.
“Bang,, Yakin?”tanya gue sekali lagi padanya yang sudah menjauh dari kami.
“Gue serampang ntar lo, iyaaa!”ucapnya dari jauh sambil ingin melemparkan tas yang ia bawa.
Apa boleh buat jelmaan bidadari ini gagal ku hindari. Pondasiku akan semakin tipis bila terus begini. Ilusi ini sungguh kejam sekali.
“Diem aja? Canggung ya?”tanyanya memecahkan keheningan kami di atas motor tuaku yang sedang berjalan menuju rumahnya.“Emh,, ya gimana mbanya pacar senior saya”balasku agak gugup.“Tapi saya seumuran kamu kok, angkatan 17 kan?”tanyanya memastikan.“Owalah seumuran toh, bagus deh”balasku juga seadanya masih berusaha fokus mengendarai motor dan fokus menjaga degup kencang dari jantungku.“Bagus kenapa?”tanyanya berusaha memastikan.“Bagus, jadi ngurangin kadar kecanggungan hehe”“Bisa ketawa juga toh?”“Saya bukan sejenis patung mba”“Mba lagi, kan dibilang kita seumuran”“Kalo saya panggil Dea emang boleh?”“Ya boleh lah nama aku emang Adira Dealova kamu bisa manggil aku Dira, Dea, atau Lova, senyamannya kamu aja Bim. Iss.. Bimo ini loh”jelasnya sambil tertawa kecil. Kulihat dia dari k
Ilusi ini memang tidak mau pergi. Malah meledek aku yang dengan susah payahnya menghindar. Dia justru berdiri sebagai pawang, dengan sejuta pesonanya yang menawan. Jadi apa salahku menikmati anugrah Tuhan yang indah ini. Aku tidak akan melanggar hukum alam. Akan ku pastikan semuanya baik-baik saja.“Dea..”sapaku padanya yang sedari ku lihat sedang berjalan ke arah gerbang kampus.“Bimo?”tanyanya heran karna melihatku tiba-tiba menghampirinya.“Belum jadi makan kan?”tanyaku yang semoga sesuai dengan yang ku mau.“Kok tau?”tanyanya kebingungan yang berhasil membuat senyumku mengembang.“Tadi saya lihat kamu malah balik ke kelas lagi, ayuk makan saya lapar sekarang”ajakku sambil terus berjalan di sampingnya.“Makan ke kantin kan?”tanyanya memastikan.“Diluar aja yuk, bosen makan makanan kantin g
Sesampainya di kostsan aku seperti ingin mengutuk diriku. Wahai Bimo apa-apaan ini? Kamu bukanlah orang yang sangat penurut bukan? Merawat kucing? Kamu merawat dirimu saja tidak becus. Aku terus memaki-maki frustasi diriku sendiri lalu terduduk di hadapan anakan kucing itu, dan terdiam menatapnya.“Heh,, emangnya lo mau sama gue?”ucapku ke anak kucing itu yang terlihat bingung menatapku.Drtttt... Drtttt... Handphoneku yang sedang aku cas di atas meja belajar berbunyi pertanda ada satu pesan masuk. Sejak bersama Dea tadi ternyata hanphoneku mati bukan karna lowbat tapi sengaja ku matikan saja, dan baru ku aktifkan lagi saat ingin mengecas handphone.Ku lirik siapa yang mengirim pesan. Aku langsung menyunggingkan senyum saat mengetahui pesan itu dari Dea.Bim.. jangan lupa dikasi makan ya Mikunya. Makanannya ada di dalam tasnya juga kok aku taruh di sana. Sekali lagi makasi ya udah mau ngasuh Miku-ujar pesannya.Miku? Ya ampun d
Aku terus berjalan menyusuri jalanan kampus yang entah akan membawaku kemana. Pikiranku jadi kusut dari sehabis menemui Bang Fahmi. Pesan dari kata-katanya membuatku gila untuk memikirkan nasibku depannya. Akupun memilih untuk pulang saja, jadi ku langkahkan kaki menuju ke tempat parkir. Sialnya aku bertemu Dea sedang termenung di bangku taman. Niatku tidak ingin memperdulikannya tetapi hati ini tidak tega. Akhirnya akupun menemuinya.“Ngapain?”tanyaku yang tiba-tiba muncul.“Eh Bimo?”ucapnya membuka tangkupan tangan dari wajahnya. Aku tau dia habis menangis terlihat jelas di matanya yang sembab.“Eh-enggak”Dea menggeleng kaku.“berarti iya”aku mencoba duduk di sampingnya.“Abis ngadep Bang Fahmi nih saya”“Dimarahin ya?”tanyanya penasaran sambil menghadapku dan menatapku intens.“Cuma dikasih peringatan supaya gak bawa pegi ceweknya sembarangan lagi”j
---Sore menjelang malam, langit seakan memberikan isyarat padaku untuk segera pulang. Benar sekali baru ingin beranjak ke parkiran adzan magrib pun berkumandang. Ku belokkan langkahku ke arah masjid untuk menunaikan kewajiban, selesainya baru kulangkah kakiku untuk segera pulang. Belum sempat menghidupkan motor salah satu lengan bersandar dipundakku.“Ngopi dulu yuk bree”kata siapa lagi kalau bukan Radit.“Nggak ah hemat gue”elakku bermaksud malas meladeni.“Aealah niat mau bayarin juga”“Next time deh, capek banget gue mau istirahat”“Lebay amat, kayak lu gak pernah begadang dua hari dua malem rasanya”“Mager gue sumpah dit. Ajak Danu, Bayu, Bagas atau sapa kek”“Nah mereka juga nongki cok bareng kita, mangkanya gue sekalian ajak lo”“Enggak dulu deh. Sumpah lagi gak selera gue”sambil menstrater motor namun dimatikan kembali
Hari ini aku mendapat jam kuliah pagi, jadi pukul 08.30 aku sudah sampai di kampus. Aku masih berada di parkiran sedang merapihkan rambutku di depan spion motor yang berantakan sehabis melepaskan helm dari kepalaku. Terdengar suara motor besar yang menarik perhatianku, sial itu Bang Rio yang juga baru datang. Aku berusaha tidak memperdulikan keberadaannya dengan terus merapihkan rambutku, sialnya Bang Rio memarkirkan motornya tepat di sebrang motorku. Ia yang melihatku langsung menyunggingkan senyum sinis antara meledek dan memancing emosiku. Aku tetap berusaha tenang tidak peduli dengan perbuatannya.Sebuah lengan merangkul leherku.“Sabar,, yang waras ngalah”ucap orang itu tepat di telingaku.“Ye eluu,, gue amperin ya ke rumah malah udah di sini”aku mengetahui bahwa orang itu Radit langsung menjitak kepalanya.“Nyett Bang Rio itu cuma pengen cari gara-gara, udah gak ada bahan masalah keknya di kampus jadi pengen bikin orang perang,
Bisakah kaki ini melangkah dengan pasti ke arah yang ia sukai?“Bim”suara makhluk ilusi menggema di telingaku.“Bimo..”suara itu kembali bertaut lagi kali ini bertambah dekat.“Bimo hey!”kini suara itu sudah berwujud manusia cantik yang berdiri dihadapanku. Sial sepertinya aku sudah berada di alam bawah sadar.“Hey Bimo kamu kenapa sih?”ucap suara itu sambil mengguncang-guncang tanganku.Aku tersadar dari lamunanku. Sial! ternyata aku masih berada di dunia nyata.“Eh, saya kira tadi saya pingsan”ucapku sambil mengusap gusar wajahku.“Bimo belum sarapan ya? Pucet banget mukanya”Dea mengarahkan tanganya ke dahiku “Bimo sakit?”ucapnya dengan raut wajah khawatir.“E-enggak kok”aku menyingkirkan pelan tangan Dea dari dahiku. “Cuma belum sempet sarapan aja kayaknya”jelasku apa adanya.Dea membuka resleting tasnya k
Hari ini adalah hari libur, hari dimana aku ingin menjadi orang pemalas di seluruh dunia. Aku tau hari sudah semakin siang, alarm ku sudah berapa kali saja memanggilku untuk segera bangun, namun bolak-balik ku patikan dengan sengaja. Sungguh jangan ada yang menggangguku untuk hari ini saja. Sadar ku dengar seorang mengetuk pintu, aku mencoba mengumpulkan nyawaku untuk segera bangun dari kasur. Aku mencoba berfikir dan teringat sesuatu “ini pasti si Radit, kan dia gak bakal betah lama-lama berantem sama gue”akupun segera membukakan pintu. Betapa kagetnya dengan seorang yang nampak di depanku bukanlah Radit melainkan sosok ilusiku yang tampak seperti nyata berdiri sempurna di hadapanku dengan senyum yang berseri. Jika pertahananku lemah aku bisa saja bertindak gegabah. Aku segera mewaraskan diri untuk bersikap normal. “E-eh kok bisa ke sini? Tau alamat saya dari mana?”tanyaku bingung juga panik. “Dari Danu”ucapnya santai. Aku mencoba berfikir sambil men
Kami bertatapan cukup lama dan akhirnya aku dapat mengumpulkan kesadaranku juga. “E-khem..”aku tersadar kemudian menjauh dari hadapannya berusaha mengatur nafas dan detak jantungku. Suasana mulai canggung. Dea terlihat mencuri-curi pandang padaku dan aku pura-pura tidak melihat seperti tidak pernah terjadi apa-apa. “Bim...”panggil Dea seperti butuh penjelasan “Keknya kamu pulang deh”potongku terburu. “Hah? Kok?”tanyanya kebingungan. “Takutnya Bang Fahmi nyariin kan repot saya, ini udah siang juga” “Ngusir nih?” “Ya enggak. Kalo kita kena masalah kita berdua yang kerepotan” “Kamu segitu takutnya ya sama Bang Fahmi?” “Cuma berusaha mencegah masalah saya gak mau ambil pusing, hidup saya udah ribet” “Oh oke, aku pulang Assalamualaikum.”ucapnya yang langsung beranjak meninggalkan kosanku, kemudian perlahan menghilang dari pandanganku. Dea terlihat kesal dengan ucapanku. Apakah ini salah?
Hari ini adalah hari libur, hari dimana aku ingin menjadi orang pemalas di seluruh dunia. Aku tau hari sudah semakin siang, alarm ku sudah berapa kali saja memanggilku untuk segera bangun, namun bolak-balik ku patikan dengan sengaja. Sungguh jangan ada yang menggangguku untuk hari ini saja. Sadar ku dengar seorang mengetuk pintu, aku mencoba mengumpulkan nyawaku untuk segera bangun dari kasur. Aku mencoba berfikir dan teringat sesuatu “ini pasti si Radit, kan dia gak bakal betah lama-lama berantem sama gue”akupun segera membukakan pintu. Betapa kagetnya dengan seorang yang nampak di depanku bukanlah Radit melainkan sosok ilusiku yang tampak seperti nyata berdiri sempurna di hadapanku dengan senyum yang berseri. Jika pertahananku lemah aku bisa saja bertindak gegabah. Aku segera mewaraskan diri untuk bersikap normal. “E-eh kok bisa ke sini? Tau alamat saya dari mana?”tanyaku bingung juga panik. “Dari Danu”ucapnya santai. Aku mencoba berfikir sambil men
Bisakah kaki ini melangkah dengan pasti ke arah yang ia sukai?“Bim”suara makhluk ilusi menggema di telingaku.“Bimo..”suara itu kembali bertaut lagi kali ini bertambah dekat.“Bimo hey!”kini suara itu sudah berwujud manusia cantik yang berdiri dihadapanku. Sial sepertinya aku sudah berada di alam bawah sadar.“Hey Bimo kamu kenapa sih?”ucap suara itu sambil mengguncang-guncang tanganku.Aku tersadar dari lamunanku. Sial! ternyata aku masih berada di dunia nyata.“Eh, saya kira tadi saya pingsan”ucapku sambil mengusap gusar wajahku.“Bimo belum sarapan ya? Pucet banget mukanya”Dea mengarahkan tanganya ke dahiku “Bimo sakit?”ucapnya dengan raut wajah khawatir.“E-enggak kok”aku menyingkirkan pelan tangan Dea dari dahiku. “Cuma belum sempet sarapan aja kayaknya”jelasku apa adanya.Dea membuka resleting tasnya k
Hari ini aku mendapat jam kuliah pagi, jadi pukul 08.30 aku sudah sampai di kampus. Aku masih berada di parkiran sedang merapihkan rambutku di depan spion motor yang berantakan sehabis melepaskan helm dari kepalaku. Terdengar suara motor besar yang menarik perhatianku, sial itu Bang Rio yang juga baru datang. Aku berusaha tidak memperdulikan keberadaannya dengan terus merapihkan rambutku, sialnya Bang Rio memarkirkan motornya tepat di sebrang motorku. Ia yang melihatku langsung menyunggingkan senyum sinis antara meledek dan memancing emosiku. Aku tetap berusaha tenang tidak peduli dengan perbuatannya.Sebuah lengan merangkul leherku.“Sabar,, yang waras ngalah”ucap orang itu tepat di telingaku.“Ye eluu,, gue amperin ya ke rumah malah udah di sini”aku mengetahui bahwa orang itu Radit langsung menjitak kepalanya.“Nyett Bang Rio itu cuma pengen cari gara-gara, udah gak ada bahan masalah keknya di kampus jadi pengen bikin orang perang,
---Sore menjelang malam, langit seakan memberikan isyarat padaku untuk segera pulang. Benar sekali baru ingin beranjak ke parkiran adzan magrib pun berkumandang. Ku belokkan langkahku ke arah masjid untuk menunaikan kewajiban, selesainya baru kulangkah kakiku untuk segera pulang. Belum sempat menghidupkan motor salah satu lengan bersandar dipundakku.“Ngopi dulu yuk bree”kata siapa lagi kalau bukan Radit.“Nggak ah hemat gue”elakku bermaksud malas meladeni.“Aealah niat mau bayarin juga”“Next time deh, capek banget gue mau istirahat”“Lebay amat, kayak lu gak pernah begadang dua hari dua malem rasanya”“Mager gue sumpah dit. Ajak Danu, Bayu, Bagas atau sapa kek”“Nah mereka juga nongki cok bareng kita, mangkanya gue sekalian ajak lo”“Enggak dulu deh. Sumpah lagi gak selera gue”sambil menstrater motor namun dimatikan kembali
Aku terus berjalan menyusuri jalanan kampus yang entah akan membawaku kemana. Pikiranku jadi kusut dari sehabis menemui Bang Fahmi. Pesan dari kata-katanya membuatku gila untuk memikirkan nasibku depannya. Akupun memilih untuk pulang saja, jadi ku langkahkan kaki menuju ke tempat parkir. Sialnya aku bertemu Dea sedang termenung di bangku taman. Niatku tidak ingin memperdulikannya tetapi hati ini tidak tega. Akhirnya akupun menemuinya.“Ngapain?”tanyaku yang tiba-tiba muncul.“Eh Bimo?”ucapnya membuka tangkupan tangan dari wajahnya. Aku tau dia habis menangis terlihat jelas di matanya yang sembab.“Eh-enggak”Dea menggeleng kaku.“berarti iya”aku mencoba duduk di sampingnya.“Abis ngadep Bang Fahmi nih saya”“Dimarahin ya?”tanyanya penasaran sambil menghadapku dan menatapku intens.“Cuma dikasih peringatan supaya gak bawa pegi ceweknya sembarangan lagi”j
Sesampainya di kostsan aku seperti ingin mengutuk diriku. Wahai Bimo apa-apaan ini? Kamu bukanlah orang yang sangat penurut bukan? Merawat kucing? Kamu merawat dirimu saja tidak becus. Aku terus memaki-maki frustasi diriku sendiri lalu terduduk di hadapan anakan kucing itu, dan terdiam menatapnya.“Heh,, emangnya lo mau sama gue?”ucapku ke anak kucing itu yang terlihat bingung menatapku.Drtttt... Drtttt... Handphoneku yang sedang aku cas di atas meja belajar berbunyi pertanda ada satu pesan masuk. Sejak bersama Dea tadi ternyata hanphoneku mati bukan karna lowbat tapi sengaja ku matikan saja, dan baru ku aktifkan lagi saat ingin mengecas handphone.Ku lirik siapa yang mengirim pesan. Aku langsung menyunggingkan senyum saat mengetahui pesan itu dari Dea.Bim.. jangan lupa dikasi makan ya Mikunya. Makanannya ada di dalam tasnya juga kok aku taruh di sana. Sekali lagi makasi ya udah mau ngasuh Miku-ujar pesannya.Miku? Ya ampun d
Ilusi ini memang tidak mau pergi. Malah meledek aku yang dengan susah payahnya menghindar. Dia justru berdiri sebagai pawang, dengan sejuta pesonanya yang menawan. Jadi apa salahku menikmati anugrah Tuhan yang indah ini. Aku tidak akan melanggar hukum alam. Akan ku pastikan semuanya baik-baik saja.“Dea..”sapaku padanya yang sedari ku lihat sedang berjalan ke arah gerbang kampus.“Bimo?”tanyanya heran karna melihatku tiba-tiba menghampirinya.“Belum jadi makan kan?”tanyaku yang semoga sesuai dengan yang ku mau.“Kok tau?”tanyanya kebingungan yang berhasil membuat senyumku mengembang.“Tadi saya lihat kamu malah balik ke kelas lagi, ayuk makan saya lapar sekarang”ajakku sambil terus berjalan di sampingnya.“Makan ke kantin kan?”tanyanya memastikan.“Diluar aja yuk, bosen makan makanan kantin g
“Diem aja? Canggung ya?”tanyanya memecahkan keheningan kami di atas motor tuaku yang sedang berjalan menuju rumahnya.“Emh,, ya gimana mbanya pacar senior saya”balasku agak gugup.“Tapi saya seumuran kamu kok, angkatan 17 kan?”tanyanya memastikan.“Owalah seumuran toh, bagus deh”balasku juga seadanya masih berusaha fokus mengendarai motor dan fokus menjaga degup kencang dari jantungku.“Bagus kenapa?”tanyanya berusaha memastikan.“Bagus, jadi ngurangin kadar kecanggungan hehe”“Bisa ketawa juga toh?”“Saya bukan sejenis patung mba”“Mba lagi, kan dibilang kita seumuran”“Kalo saya panggil Dea emang boleh?”“Ya boleh lah nama aku emang Adira Dealova kamu bisa manggil aku Dira, Dea, atau Lova, senyamannya kamu aja Bim. Iss.. Bimo ini loh”jelasnya sambil tertawa kecil. Kulihat dia dari k