Ilusi ini memang tidak mau pergi. Malah meledek aku yang dengan susah payahnya menghindar. Dia justru berdiri sebagai pawang, dengan sejuta pesonanya yang menawan. Jadi apa salahku menikmati anugrah Tuhan yang indah ini. Aku tidak akan melanggar hukum alam. Akan ku pastikan semuanya baik-baik saja.
“Dea..”sapaku padanya yang sedari ku lihat sedang berjalan ke arah gerbang kampus.
“Bimo?”tanyanya heran karna melihatku tiba-tiba menghampirinya.
“Belum jadi makan kan?”tanyaku yang semoga sesuai dengan yang ku mau.
“Kok tau?”tanyanya kebingungan yang berhasil membuat senyumku mengembang.
“Tadi saya lihat kamu malah balik ke kelas lagi, ayuk makan saya lapar sekarang”ajakku sambil terus berjalan di sampingnya.
“Makan ke kantin kan?”tanyanya memastikan.
“Diluar aja yuk, bosen makan makanan kantin gak ada yang epik.”
“Emang kalo di luar ada yang lebih epik?”tanyanya sambil mengangkat alis berniat meledek.
“Mau saya tunjukin?” Dea menimbang-nimbang ajakanku “Ayo ikut aja tadi saya sudah minta izin sama Bang Fahmi”rayuku dengan sok pasti.
“Kok bisa?”tanya Dea keheranan.
“Mau apa engga?”aku masi berusaha merayu.“Oke boleh deh. Tapi aku izin chat Bang Fahmi dulu ya”ucapnya yang alhamdulillah mengiyakan. Aku baru sadar Dea adalah sosok wanita yang amat setia terhadap pasangannya. Sungguh sempurna sekali Ciptaan Tuhan yang satu ini.
---
Kami sampai di tempat sederhana dengan view laut dan pegunungan. Ya, kami sedang berada di atas bukit dengan memakan jajanan dari kedai kecil yang tersedia di sana. Dea begitu menimati pemandangan alam yang disugukkan di sana. Nampaknya dia belum pernah diajak ketempat seperti ini sebelumnya. Yes! Jadi aku orang pertama yang membuatnya kagum, atau hanya aku yang merasa terlalu percaya diri? Entah aku merasa senang sekali membuat senyumnya terpancar indah seperti ini.
“Kenapa? Bagus ya?”ucapku yang tiba-tiba duduk disampingnya dengan menghantarkan coklat hangat menghentikan kegiatanya yang sedang sibuk memotret pemandangan yang disugukan dengan apik di depannya.
“Makasih”ucapnya menerima coklat hangat yang kusodorkan padanya.
“Belum pernah diajak Bang Fahmi ke tempat kayak gini?”tanyaku penasaran.
“Belum sih, tapi udah pernah diajakin ke resto yang nampilin pemandangan yang viewnya hampir mirip kayak gini”
“Sorry ya gak bisa ngasi makanan yang kek gitu, baru bisa ngasih makan diemperan kayak gini”ucapku putus asa.
“Ehh maksudnya gak gitu, jangan langsung mikir aku cewek matre ya, aku cuma berusaha jawab apa adanya aja kok”ucapnya merasa tidak enak.
“Gak keliatan juga muka-muka matre di wajah kamu”kataku jujur sambil memperhatikan raut wajahnya yang meneduhkan.
“Alhamdulillah, Aminn”ucapnya sangat polos sambil meraup wajahnya seperti orang habis berdo’a membuatku tertawa terbahak diikuti dia yang juga ikut tertawa.
Dea apa sepolos itu? Jujur aku menjadi semakin gemas dengannya. Tolong ini tidak bisa dibiarkan.
---
Sudah pukul 8 malam. Aku masih bersama ilusi cantikku ini, sedang dalam perjalanan pulang menuju rumahnya. Tiba-tiba ketenaganku dalam mengendarai motor dibuat kaget dengan Dea yang memanggil namaku dan menyuruhku untuk menghentikan perjalanan.
“Bim.. denger gak?”ucapnya padaku dengan mata yang sedang mencari-cari sesuatu yang dirasa janggal.
Sebentar, aku sedikit merinding. Dea kenapa ini? dia bukan orang yang paham dengan dunia mistis kan?
“Ah, gak ada apa-apa kok”elakku mencoba tidak menanggapi apa yang Dea katakan karna nampaknya aku sudah merasa sedikit takut. Iya, hanya sedikit.
Dea terus menajamkan pendengarannya.
“Dea! Heh ngapain kesana-sana sih”panggilku panik karna Dea sudah ingin masuk ke semak-semak. Mau tidak mau aku pun ikut menghampirinya.
“Denger kan Bim suaranya jelas?”ucapnya terus mencoba meyakinkanku.
“Suara apaan si? Enggak ada suara apa-apa kok” balasku tetap tidak ingin tau.
Aku tetap mengikuti kemana arah Dea melangkah sambil terus memegangi tangannya, aku takut Dea terjatuh karna yang sedang kami injak ini tanah merah yang basah disertai semak-semak yang lembab.
Mata Dea terus mencari-cari, dan akhirnya berhenti ke objek yang ia cari.
“Akhirnya ketemu kamu juga, ih kasian banget kamu sendirian disini”ucap Dea yang mengagetkanku.
Ya ampun, itu hanya seekor kucing. Aku sudah memikirkan terlalu jauh tentang keberadaan makhluk halus di sekitar kami. Aku sudah menyangka Dea punya kelebihan bisa merasakan energi lain, untunglah dia masih manusia normal yang sama sepertiku.
Aku mengusap keras mukaku. “Kamu tau gak sih? Saya mikirnya udah kemana-mana Dea”ucapku dengan nada frustasi.
“Hahaha.. kamu ketakutan ya”ucapnya sambil terbahak meledekku, aku pun membuang muka kesal. Dia terus memperhatikanku intens lalu tertawa lagi setelah berhasil melihat apa yang ia dapatkan dariku “Hahaha.. ngakak bulu kuduk kamu berdiri semua. Kamu penakut banget sih Bim”ucapnya terus tertawa meledek.
“Oke tuan putri udah yaa ini udah malem, dari pada kita ngundang malapetaka di pinggir kebon seperti ini kan gak lucu. Yuk keluar”ucapku sambil membawa Dea keluar dari semak-semak. Jika orang yang tidak tau apa-apa dengan kejadian ini, mungkin akan berfikir kami berdua habis melakukan hal yang tidak senonoh, ia kami keluar dari semak-semak. Untungnya fikiran orang yang lalu lalang di sekitar jalanan ternetralisir dengan melihat Dea yang menggendong anak kucingnya.
“Ii... kamu lucu banget si. Kasian banget kamu sendirian di sana kedinginan, kamu ditinggal ya sama ibu kamu? Kasian banget huhu”Dea terus berbicara pada anak kucing itu. Lucu? Sangat, tapi aku tidak ingin menggubris karna sudah telalu kesal padanya, seperti orang yang habis tertipu.
“Oke. Kan yang kamu cari udah dapet nih, dan ini udah jam setengah sembilanan loh. Emang kamu gak kena marah sama ibu bapak kamu?”tanyaku pada Dea yang malah terlihat tenang-tenang saja. Aku di sini sudah merasa takut bila mana nanti orang tuanya marah padanya dan jadi tidak suka denganku.
“Aku kan udah w******p ibu bapak tadi sore kalo lagi jalan sama kamu”
“Bang Fahmi gimana?”tanyaku lagi khawatir.
“Kayaknya handphoneku lowbat deh soalnya dari tadi gak bunyi”
“Yaudah yok kita balik”ucapku sambil menaiki motor diikuti oleh Dea.
Aku memberikan helmnya.“Pegangin dulu”katanya sambil memberikan kucing kecil itu padaku agar ia bisa memakai helmnya. Sungguh aku tidak pernah memegang kucing sebelumnya, jadi aku sedikit geli.
“Udah. Sini kucingnya”aku memberikan lagi kucingnya. “Nanti mampir ke mini market ya.. aku mau beli makanan kucing”tambahnya lagi, aku mengangguk setuju.
---
Kami sudah sampai, tepat di teras rumah terlihat bapak Dea sedang ingin beranjak masuk ke dalam rumah. Sebelum bapak Dea benar-benar masuk aku pun menyapanya sebentar lalu bapak Dea membalas dengan senyuman dan sapaan tangan kemudian masuk ke dalam rumah.
“Kan.. bapak ku gak bakal marah”ucapnya merasa benar.
“Yaudah. Saya pulang ya..”ucapku sambil mengengkol motor tuaku namun dihentikan lagi oleh Dea. Astagfirullah apa lagi ini?
“Tunggu. Tunggu bentar hehe”Dea berusaha menghentikanku.
“Apaan lagi?”ucapku tidak jadi menghidupkan motor.
“Bentar. Please!”pintanya kemudia langsung masuk ke dalam rumah sambil setengah berlari. Mau tidak mau aku harus menurutinya untuk menugunggu sebentar di luar gerbang rumahnya.
Dea kembali lagi dengan membawa.. akupun sendiri tidak tau persis itu apa, intinya tas berukuran sedikit besar dengan wujud transparan yang di atasnya terdapat ventilasi kecil dan di dalamnya ada si kucing kecil yang ia dapatkan tadi. Wah apa-apan ini aku mencium firasat buruk yang akan terjadi padaku.
“Bimo...”panggilnya agak sedikit lembut seperti orang merayu.
“Hmm..”balasku malas.
“Aku boleh minta tolong kan?”
“Minta tolong apa nih?”tanyaku ragu.
“Rawat kucing gumush ini”menunjukkan tas kucing yang terdapat si kucing kecil di dalamnya ke arahku.
“HAH?”aku terkaget-kaget. Yaa jelas guys gimana tidak kaget ini tak terduga dan beban sekali.
“Please.. aku gak bisa ngerawat dia karna kucing aku udah lima jadi gak bisa nampung dia, tapi aku gak mau dia kenapa-kenapa oleh sebab itu aku titipin ke kamu karna kamu adalah orang yang paling tepat untuk bisa ngerawat kucing ini”jelasnya panjang dan memohon.
Apa-apan ini pemirsa...
“Sorry nih ya saya dari lahir baru tadi megang kucing jadi mana bisa saya rawat itu kucing, mana masih anakan pula. Lagian kamu ngapain juga si di bawa-bawa kalo emang gak bisa ngasuh”balasku sedikit kesal.
“Aku gak tega liat dia terlantar, aku langsung ngebayangin kucing-kucingku tapi setelah aku pikir-pikir aku gak bisa rawat dia. Kucing aku di rumah besar-besar aku gak tega liat dia diberantemin kucing-kucing aku yang lain kan kasian, mana masi kecil. Yah please kamu pasti gak tega kan liat dia terlantar”ucapnya terus memohon.
“Saya mana bisa ngerawat kucing Dea, megang kucing aja baru tadi itu. Mending kasihin deh ke orang yang suka kucing”
“Kucing kampung kayak gini mana ada orang yang mau ngerawat Bim. Jarang banget nemuin orang yang suka rela mau ngerawat kucing kampung. Ayolah Bim masa kamu tega sih liat kucing gemesh ini terlantar di jalanan. Dia bisa jadi temen kamu loh di kosan kalo kamu lagi kesepian, bisa diajak ngobrol suer”rayunya tidak ingin berhenti.
“Ya tapi gimana cara ngerawatnya saya gak ngerti”jawabku sangat frustasi.
“Cari di internet banyak Bim. Aku bakal bantuin kamu terus buat ngerawat dia kamu gak perlu takut bakal kerepotan, yaa please mau”rayuan terakhirnya sekaligus senjata yang paling tepat untuk meluluhkanku.
Oke. Ada baiknya juga aku bakal sering ketemu Dea.
“Yaudah kalo gitu iya saya bakal rawat dia”
“Alhamdulillah, pahala kamu berkali-kali lipat Bim”
“Aminn”balasku singkat langsung membawa tas kucing itu ke motorku.
“Amiinn ya Allah”sambarnya kegirangan.
“Agak susah ya bu bawanya”ucapku bingung ingin meletakan si tas itu di mana, karna lumayan besar.
“Kamu ransel kaya gini aja, tas kamu di taro di depan”ucap Dea mencoba membantuku. Wangi aroma strowbarry yang minis dari rambutnya dapat tercium oleh indra penciumanku karna jarak kami hampir berdekatan.“Dah bisa kan?”timpahnya lagi.
“Okey. Kalo gitu saya pulang ya” ucapku kembali mengengkol motorku untuk segera beranjak pulang.
“Yuuhuu.. hati-hati di jalan. Makasih banyak ya Bim buat hari ini”
Aku mengangkat kedua alisku dan tersenyum tanda mengiyakan ucapannya, lalu segera melajukan motorku untuk segera pulang.
Sesampainya di kostsan aku seperti ingin mengutuk diriku. Wahai Bimo apa-apaan ini? Kamu bukanlah orang yang sangat penurut bukan? Merawat kucing? Kamu merawat dirimu saja tidak becus. Aku terus memaki-maki frustasi diriku sendiri lalu terduduk di hadapan anakan kucing itu, dan terdiam menatapnya.“Heh,, emangnya lo mau sama gue?”ucapku ke anak kucing itu yang terlihat bingung menatapku.Drtttt... Drtttt... Handphoneku yang sedang aku cas di atas meja belajar berbunyi pertanda ada satu pesan masuk. Sejak bersama Dea tadi ternyata hanphoneku mati bukan karna lowbat tapi sengaja ku matikan saja, dan baru ku aktifkan lagi saat ingin mengecas handphone.Ku lirik siapa yang mengirim pesan. Aku langsung menyunggingkan senyum saat mengetahui pesan itu dari Dea.Bim.. jangan lupa dikasi makan ya Mikunya. Makanannya ada di dalam tasnya juga kok aku taruh di sana. Sekali lagi makasi ya udah mau ngasuh Miku-ujar pesannya.Miku? Ya ampun d
Aku terus berjalan menyusuri jalanan kampus yang entah akan membawaku kemana. Pikiranku jadi kusut dari sehabis menemui Bang Fahmi. Pesan dari kata-katanya membuatku gila untuk memikirkan nasibku depannya. Akupun memilih untuk pulang saja, jadi ku langkahkan kaki menuju ke tempat parkir. Sialnya aku bertemu Dea sedang termenung di bangku taman. Niatku tidak ingin memperdulikannya tetapi hati ini tidak tega. Akhirnya akupun menemuinya.“Ngapain?”tanyaku yang tiba-tiba muncul.“Eh Bimo?”ucapnya membuka tangkupan tangan dari wajahnya. Aku tau dia habis menangis terlihat jelas di matanya yang sembab.“Eh-enggak”Dea menggeleng kaku.“berarti iya”aku mencoba duduk di sampingnya.“Abis ngadep Bang Fahmi nih saya”“Dimarahin ya?”tanyanya penasaran sambil menghadapku dan menatapku intens.“Cuma dikasih peringatan supaya gak bawa pegi ceweknya sembarangan lagi”j
---Sore menjelang malam, langit seakan memberikan isyarat padaku untuk segera pulang. Benar sekali baru ingin beranjak ke parkiran adzan magrib pun berkumandang. Ku belokkan langkahku ke arah masjid untuk menunaikan kewajiban, selesainya baru kulangkah kakiku untuk segera pulang. Belum sempat menghidupkan motor salah satu lengan bersandar dipundakku.“Ngopi dulu yuk bree”kata siapa lagi kalau bukan Radit.“Nggak ah hemat gue”elakku bermaksud malas meladeni.“Aealah niat mau bayarin juga”“Next time deh, capek banget gue mau istirahat”“Lebay amat, kayak lu gak pernah begadang dua hari dua malem rasanya”“Mager gue sumpah dit. Ajak Danu, Bayu, Bagas atau sapa kek”“Nah mereka juga nongki cok bareng kita, mangkanya gue sekalian ajak lo”“Enggak dulu deh. Sumpah lagi gak selera gue”sambil menstrater motor namun dimatikan kembali
Hari ini aku mendapat jam kuliah pagi, jadi pukul 08.30 aku sudah sampai di kampus. Aku masih berada di parkiran sedang merapihkan rambutku di depan spion motor yang berantakan sehabis melepaskan helm dari kepalaku. Terdengar suara motor besar yang menarik perhatianku, sial itu Bang Rio yang juga baru datang. Aku berusaha tidak memperdulikan keberadaannya dengan terus merapihkan rambutku, sialnya Bang Rio memarkirkan motornya tepat di sebrang motorku. Ia yang melihatku langsung menyunggingkan senyum sinis antara meledek dan memancing emosiku. Aku tetap berusaha tenang tidak peduli dengan perbuatannya.Sebuah lengan merangkul leherku.“Sabar,, yang waras ngalah”ucap orang itu tepat di telingaku.“Ye eluu,, gue amperin ya ke rumah malah udah di sini”aku mengetahui bahwa orang itu Radit langsung menjitak kepalanya.“Nyett Bang Rio itu cuma pengen cari gara-gara, udah gak ada bahan masalah keknya di kampus jadi pengen bikin orang perang,
Bisakah kaki ini melangkah dengan pasti ke arah yang ia sukai?“Bim”suara makhluk ilusi menggema di telingaku.“Bimo..”suara itu kembali bertaut lagi kali ini bertambah dekat.“Bimo hey!”kini suara itu sudah berwujud manusia cantik yang berdiri dihadapanku. Sial sepertinya aku sudah berada di alam bawah sadar.“Hey Bimo kamu kenapa sih?”ucap suara itu sambil mengguncang-guncang tanganku.Aku tersadar dari lamunanku. Sial! ternyata aku masih berada di dunia nyata.“Eh, saya kira tadi saya pingsan”ucapku sambil mengusap gusar wajahku.“Bimo belum sarapan ya? Pucet banget mukanya”Dea mengarahkan tanganya ke dahiku “Bimo sakit?”ucapnya dengan raut wajah khawatir.“E-enggak kok”aku menyingkirkan pelan tangan Dea dari dahiku. “Cuma belum sempet sarapan aja kayaknya”jelasku apa adanya.Dea membuka resleting tasnya k
Hari ini adalah hari libur, hari dimana aku ingin menjadi orang pemalas di seluruh dunia. Aku tau hari sudah semakin siang, alarm ku sudah berapa kali saja memanggilku untuk segera bangun, namun bolak-balik ku patikan dengan sengaja. Sungguh jangan ada yang menggangguku untuk hari ini saja. Sadar ku dengar seorang mengetuk pintu, aku mencoba mengumpulkan nyawaku untuk segera bangun dari kasur. Aku mencoba berfikir dan teringat sesuatu “ini pasti si Radit, kan dia gak bakal betah lama-lama berantem sama gue”akupun segera membukakan pintu. Betapa kagetnya dengan seorang yang nampak di depanku bukanlah Radit melainkan sosok ilusiku yang tampak seperti nyata berdiri sempurna di hadapanku dengan senyum yang berseri. Jika pertahananku lemah aku bisa saja bertindak gegabah. Aku segera mewaraskan diri untuk bersikap normal. “E-eh kok bisa ke sini? Tau alamat saya dari mana?”tanyaku bingung juga panik. “Dari Danu”ucapnya santai. Aku mencoba berfikir sambil men
Kami bertatapan cukup lama dan akhirnya aku dapat mengumpulkan kesadaranku juga. “E-khem..”aku tersadar kemudian menjauh dari hadapannya berusaha mengatur nafas dan detak jantungku. Suasana mulai canggung. Dea terlihat mencuri-curi pandang padaku dan aku pura-pura tidak melihat seperti tidak pernah terjadi apa-apa. “Bim...”panggil Dea seperti butuh penjelasan “Keknya kamu pulang deh”potongku terburu. “Hah? Kok?”tanyanya kebingungan. “Takutnya Bang Fahmi nyariin kan repot saya, ini udah siang juga” “Ngusir nih?” “Ya enggak. Kalo kita kena masalah kita berdua yang kerepotan” “Kamu segitu takutnya ya sama Bang Fahmi?” “Cuma berusaha mencegah masalah saya gak mau ambil pusing, hidup saya udah ribet” “Oh oke, aku pulang Assalamualaikum.”ucapnya yang langsung beranjak meninggalkan kosanku, kemudian perlahan menghilang dari pandanganku. Dea terlihat kesal dengan ucapanku. Apakah ini salah?
Aku bukan penganut kepercayaan tentang cinta pada pandangan pertama. Jelas itu hanya nafsu yang terpancar saat menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Aku tidak bisa munafik pada seni indah di parasnya itu. Bila kubilang dia wanita paling cantik di dunia pun tidak masalah. Sebab nafsuku benar gila ternyata.Dia sempat menjadi penguasa hati. Aku juga sempat munafik untuk mengartikan rasa ini. Bukan lagi nafsu bila berurusan dengan hati. Harusnya aku tidak banyak gengsi. Karna yang harus di lakukan oleh manusia waras adalah syukuri atas apa yang Tuhan beri. Jangan banyak berasumsi dengan hal yang bersifat fiksi, kamu hanya akan terperangkap di ruang imajinasi. Itu kata risalah hati.Dia sempat kumiliki. Aku sempat menjadi sandaran, sempat menjadi orang yang dikasihi, sempat menjadi yang paling dibanggakan. Dengannya aku menyadari ada hal indah di balik dunia yang fana. Ada hal istimewa menjadi sosok manusia. Ada yang paling sempurna dari cinta yang sederh
Kami bertatapan cukup lama dan akhirnya aku dapat mengumpulkan kesadaranku juga. “E-khem..”aku tersadar kemudian menjauh dari hadapannya berusaha mengatur nafas dan detak jantungku. Suasana mulai canggung. Dea terlihat mencuri-curi pandang padaku dan aku pura-pura tidak melihat seperti tidak pernah terjadi apa-apa. “Bim...”panggil Dea seperti butuh penjelasan “Keknya kamu pulang deh”potongku terburu. “Hah? Kok?”tanyanya kebingungan. “Takutnya Bang Fahmi nyariin kan repot saya, ini udah siang juga” “Ngusir nih?” “Ya enggak. Kalo kita kena masalah kita berdua yang kerepotan” “Kamu segitu takutnya ya sama Bang Fahmi?” “Cuma berusaha mencegah masalah saya gak mau ambil pusing, hidup saya udah ribet” “Oh oke, aku pulang Assalamualaikum.”ucapnya yang langsung beranjak meninggalkan kosanku, kemudian perlahan menghilang dari pandanganku. Dea terlihat kesal dengan ucapanku. Apakah ini salah?
Hari ini adalah hari libur, hari dimana aku ingin menjadi orang pemalas di seluruh dunia. Aku tau hari sudah semakin siang, alarm ku sudah berapa kali saja memanggilku untuk segera bangun, namun bolak-balik ku patikan dengan sengaja. Sungguh jangan ada yang menggangguku untuk hari ini saja. Sadar ku dengar seorang mengetuk pintu, aku mencoba mengumpulkan nyawaku untuk segera bangun dari kasur. Aku mencoba berfikir dan teringat sesuatu “ini pasti si Radit, kan dia gak bakal betah lama-lama berantem sama gue”akupun segera membukakan pintu. Betapa kagetnya dengan seorang yang nampak di depanku bukanlah Radit melainkan sosok ilusiku yang tampak seperti nyata berdiri sempurna di hadapanku dengan senyum yang berseri. Jika pertahananku lemah aku bisa saja bertindak gegabah. Aku segera mewaraskan diri untuk bersikap normal. “E-eh kok bisa ke sini? Tau alamat saya dari mana?”tanyaku bingung juga panik. “Dari Danu”ucapnya santai. Aku mencoba berfikir sambil men
Bisakah kaki ini melangkah dengan pasti ke arah yang ia sukai?“Bim”suara makhluk ilusi menggema di telingaku.“Bimo..”suara itu kembali bertaut lagi kali ini bertambah dekat.“Bimo hey!”kini suara itu sudah berwujud manusia cantik yang berdiri dihadapanku. Sial sepertinya aku sudah berada di alam bawah sadar.“Hey Bimo kamu kenapa sih?”ucap suara itu sambil mengguncang-guncang tanganku.Aku tersadar dari lamunanku. Sial! ternyata aku masih berada di dunia nyata.“Eh, saya kira tadi saya pingsan”ucapku sambil mengusap gusar wajahku.“Bimo belum sarapan ya? Pucet banget mukanya”Dea mengarahkan tanganya ke dahiku “Bimo sakit?”ucapnya dengan raut wajah khawatir.“E-enggak kok”aku menyingkirkan pelan tangan Dea dari dahiku. “Cuma belum sempet sarapan aja kayaknya”jelasku apa adanya.Dea membuka resleting tasnya k
Hari ini aku mendapat jam kuliah pagi, jadi pukul 08.30 aku sudah sampai di kampus. Aku masih berada di parkiran sedang merapihkan rambutku di depan spion motor yang berantakan sehabis melepaskan helm dari kepalaku. Terdengar suara motor besar yang menarik perhatianku, sial itu Bang Rio yang juga baru datang. Aku berusaha tidak memperdulikan keberadaannya dengan terus merapihkan rambutku, sialnya Bang Rio memarkirkan motornya tepat di sebrang motorku. Ia yang melihatku langsung menyunggingkan senyum sinis antara meledek dan memancing emosiku. Aku tetap berusaha tenang tidak peduli dengan perbuatannya.Sebuah lengan merangkul leherku.“Sabar,, yang waras ngalah”ucap orang itu tepat di telingaku.“Ye eluu,, gue amperin ya ke rumah malah udah di sini”aku mengetahui bahwa orang itu Radit langsung menjitak kepalanya.“Nyett Bang Rio itu cuma pengen cari gara-gara, udah gak ada bahan masalah keknya di kampus jadi pengen bikin orang perang,
---Sore menjelang malam, langit seakan memberikan isyarat padaku untuk segera pulang. Benar sekali baru ingin beranjak ke parkiran adzan magrib pun berkumandang. Ku belokkan langkahku ke arah masjid untuk menunaikan kewajiban, selesainya baru kulangkah kakiku untuk segera pulang. Belum sempat menghidupkan motor salah satu lengan bersandar dipundakku.“Ngopi dulu yuk bree”kata siapa lagi kalau bukan Radit.“Nggak ah hemat gue”elakku bermaksud malas meladeni.“Aealah niat mau bayarin juga”“Next time deh, capek banget gue mau istirahat”“Lebay amat, kayak lu gak pernah begadang dua hari dua malem rasanya”“Mager gue sumpah dit. Ajak Danu, Bayu, Bagas atau sapa kek”“Nah mereka juga nongki cok bareng kita, mangkanya gue sekalian ajak lo”“Enggak dulu deh. Sumpah lagi gak selera gue”sambil menstrater motor namun dimatikan kembali
Aku terus berjalan menyusuri jalanan kampus yang entah akan membawaku kemana. Pikiranku jadi kusut dari sehabis menemui Bang Fahmi. Pesan dari kata-katanya membuatku gila untuk memikirkan nasibku depannya. Akupun memilih untuk pulang saja, jadi ku langkahkan kaki menuju ke tempat parkir. Sialnya aku bertemu Dea sedang termenung di bangku taman. Niatku tidak ingin memperdulikannya tetapi hati ini tidak tega. Akhirnya akupun menemuinya.“Ngapain?”tanyaku yang tiba-tiba muncul.“Eh Bimo?”ucapnya membuka tangkupan tangan dari wajahnya. Aku tau dia habis menangis terlihat jelas di matanya yang sembab.“Eh-enggak”Dea menggeleng kaku.“berarti iya”aku mencoba duduk di sampingnya.“Abis ngadep Bang Fahmi nih saya”“Dimarahin ya?”tanyanya penasaran sambil menghadapku dan menatapku intens.“Cuma dikasih peringatan supaya gak bawa pegi ceweknya sembarangan lagi”j
Sesampainya di kostsan aku seperti ingin mengutuk diriku. Wahai Bimo apa-apaan ini? Kamu bukanlah orang yang sangat penurut bukan? Merawat kucing? Kamu merawat dirimu saja tidak becus. Aku terus memaki-maki frustasi diriku sendiri lalu terduduk di hadapan anakan kucing itu, dan terdiam menatapnya.“Heh,, emangnya lo mau sama gue?”ucapku ke anak kucing itu yang terlihat bingung menatapku.Drtttt... Drtttt... Handphoneku yang sedang aku cas di atas meja belajar berbunyi pertanda ada satu pesan masuk. Sejak bersama Dea tadi ternyata hanphoneku mati bukan karna lowbat tapi sengaja ku matikan saja, dan baru ku aktifkan lagi saat ingin mengecas handphone.Ku lirik siapa yang mengirim pesan. Aku langsung menyunggingkan senyum saat mengetahui pesan itu dari Dea.Bim.. jangan lupa dikasi makan ya Mikunya. Makanannya ada di dalam tasnya juga kok aku taruh di sana. Sekali lagi makasi ya udah mau ngasuh Miku-ujar pesannya.Miku? Ya ampun d
Ilusi ini memang tidak mau pergi. Malah meledek aku yang dengan susah payahnya menghindar. Dia justru berdiri sebagai pawang, dengan sejuta pesonanya yang menawan. Jadi apa salahku menikmati anugrah Tuhan yang indah ini. Aku tidak akan melanggar hukum alam. Akan ku pastikan semuanya baik-baik saja.“Dea..”sapaku padanya yang sedari ku lihat sedang berjalan ke arah gerbang kampus.“Bimo?”tanyanya heran karna melihatku tiba-tiba menghampirinya.“Belum jadi makan kan?”tanyaku yang semoga sesuai dengan yang ku mau.“Kok tau?”tanyanya kebingungan yang berhasil membuat senyumku mengembang.“Tadi saya lihat kamu malah balik ke kelas lagi, ayuk makan saya lapar sekarang”ajakku sambil terus berjalan di sampingnya.“Makan ke kantin kan?”tanyanya memastikan.“Diluar aja yuk, bosen makan makanan kantin g
“Diem aja? Canggung ya?”tanyanya memecahkan keheningan kami di atas motor tuaku yang sedang berjalan menuju rumahnya.“Emh,, ya gimana mbanya pacar senior saya”balasku agak gugup.“Tapi saya seumuran kamu kok, angkatan 17 kan?”tanyanya memastikan.“Owalah seumuran toh, bagus deh”balasku juga seadanya masih berusaha fokus mengendarai motor dan fokus menjaga degup kencang dari jantungku.“Bagus kenapa?”tanyanya berusaha memastikan.“Bagus, jadi ngurangin kadar kecanggungan hehe”“Bisa ketawa juga toh?”“Saya bukan sejenis patung mba”“Mba lagi, kan dibilang kita seumuran”“Kalo saya panggil Dea emang boleh?”“Ya boleh lah nama aku emang Adira Dealova kamu bisa manggil aku Dira, Dea, atau Lova, senyamannya kamu aja Bim. Iss.. Bimo ini loh”jelasnya sambil tertawa kecil. Kulihat dia dari k