Setelah Helena pulang usai menemaninya makan malam, Felix malas berada di apartemen sendirian, jadi ia memutuskan mengunjungi kelab malam untuk mencari hiburan. Sebenarnya sejak menjadikan Helena sebagai penghangat ranjangnya, Felix hampir tidak pernah lagi mendatangi kelab malam, meski hanya untuk sekadar menikmati minuman beralkohol. Namun, untuk malam ini akan menjadi pengecualian bagi dirinya.
Saat tiba di basement apartemennya, Felix melihat mobil Hans yang hendak parkir. Ia menghela napas saat melihat kantong plastik yang ada di tangan Hans, setelah sahabatnya tersebut keluar dari mobil. Malam ini ia terpaksa harus membatalkan niatnya untuk mencari hiburan di tempat yang dipenuhi oleh dentuman musik, para wanita sexy dan berbagai minuman beralkohol.
“Mau ke mana, Hans?” Felix pura-pura menanyakan tujuan Hans yang kini berjalan menghampirinya.
“Tentu saja ke rumah keduaku,” Hans menjawabnya tanpa ragu.
Pupil mata Felix melebar mendengar jawaban seenaknya yang diberikan Hans. “Enak saja. Sejak kapan apartemenku menjadi rumah keduamu? Lagi pula siapa yang mengizinkamu ke sana, sedangkan pemiliknya ada di hadapanmu dan akan pergi mencari hiburan,” decaknya kesal.
Hans mengabaikan kekesalan Felix, malah dengan santainya ia kembali berkata, “Tidak perlu mengunjungi kelab malam jika ingin menikmati minuman beralkohol, karena aku sudah membawakannya khusus untukmu.”
“Shit!” umpat Felix karena kekesalannya bertambah atas perkataan Hans. “Aku pergi ke kelab malam bukan hanya ingin meneguk minuman beralkohol, melainkan untuk cuci mata,” tanggapnya kesal.
“Cuci mata sekalian menyeret jalang untuk menghangatkan ranjangmu?” cibir Hans sambil menyeringai. “Memangnya permainan sekretarismu itu sudah tidak bisa memuaskanmu lagi di ranjang?” tanyanya menyelidik.
Felix menatap tajam Hans, kemudian mengembuskan napasnya kasar. “Hari ini kamu menang karena berhasil membuatku batal mengunjungi kelab malam,” ujarnya tanpa berniat menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Hans sebelumnya. Ia berjalan mendahului Hans menuju lift yang akan mengantarkannya ke lantai tempat unit apartemennya berada.
Hans tersenyum menang karena berhasil mengusik ketenangan hati Felix. Ia mengabaikan serentetan gerutuan yang keluar dari mulut sahabatnya tersebut. Dengan langkah tenang ia mengekori Felix yang berjalan di depannya menuju lift.
***
Sambil menikmati beer di tangannya, Felix sesekali terkekeh mendengarkan kekesalan Hans yang menceritakan mengenai pertemuannya dengan calon adik iparnya. Dari ekspresi wajah yang diperlihatkan oleh Hans, Felix dapat mengetahui jika sahabatnya tersebut memang sedang sangat kesal. Rasa penasaran menggelitik benak Felix atas sosok calon adik ipar yang diceritakan oleh Hans. Felix juga menyangsikan ucapan Hans yang mengatakan jika calon adik iparnya memiliki sikap kasar dan tidak mempunyai sopan santun ketika berbicara dengan orang lain. Bahkan, kata-kata yang dilontarkan pun dianggap cenderung kurang ajar.
Menurut perkiraan Felix, tidak mungkin rasanya Deanita mempunyai adik yang karakternya sangat bertolak belakang dengan wanita tersebut, apalagi mereka berasal dari keluarga berpendidikan sekaligus terhormat.
“Jika saja Diandra bukan adiknya Dea yang nantinya juga akan menjadi adik iparku, sudah pasti aku beri pelajaran mulutnya agar berhenti melontarkan kata-kata kurang ajar.” Hans meremas kaleng beer kosong di tangannya karena geram ketika mengingat kata-kata yang Diandra lontarkan saat berbicara dengan kakak serta ibunya. Untung saja adiknya tidak berani bersikap atau berkata kurang ajar kepada ibunya. Andai Lavenia berani seperti Diandra, ia sudah pasti akan mengusir adiknya tersebut.
”Kamu ingin memberinya pelajaran dengan sumpalan mulutmu, kemudian melumatnya secara kasar sampai membuat Diandra terengah-engah karena kehabisan napas?” cibir Felix dan terkekeh. Sudah menjalin persahabatan selama bertahun-tahun, tentu saja Felix mengetahui karakter dan sifat yang dimiliki Hans.
Hans mendengkus mendengar cibiran frontal Felix. “Aku tidak sudi menyumpal apalagi sampai melumat mulutnya. Aku tidak mau mengotori mulutku hanya untuk memberinya pelajaran. Wanita kurang ajar sepertinya tidak pantas aku cecap mulutnya,” tanggapnya sarkasme.
“Hati-hati dengan lidahmu, Hans,” Felix memperingatkan. “Jangan sampai suatu saat nanti kamu malah jatuh cinta juga pada Diandra, apalagi sampai menjadikan mulutnya sebagai candumu. Sangat bahaya dan memusingkan jika harus mencintai dua wanita sekaligus, terlebih mereka saudara kandung,” imbuhnya mengingatkan.
Hans tertawa mengejek. “Jika sampai hal tersebut terjadi padaku, berarti kewarasanku patut dipertanyakan,” balasnya. “Kamu yang seharusnya berhati-hati agar tidak jatuh cinta pada sekretaris sekaligus wanita penghangat ranjangmu itu,” serangnya telak.
“Sama sepertimu, jika aku sampai mempunyai perasaan lebih terhadap Helena, berarti kewarasanku juga patut diperiksakan,” balas Felix dengan santai. Sedikit pun ia tidak terintimidasi dengan serangan telak Hans.
Tanpa disadari, Felix dan Hans sudah meneguk habis beberapa kaleng beer sambil mengobrol. Kini mereka terlihat sibuk dengan pikiran masing-masing setelah menutup topik obrolannya yang dirasa tidak berbobot.
“Kamu yakin jika Dea adalah jodohmu, Hans?” Felix tiba-tiba membuka suara setelah mereka terdiam beberapa saat.
Hans langsung menatap Felix tidak suka. “Pertanyaanmu sungguh konyol, Fel,” balasnya.
Felix tertawa kosong. “Aku bertanya karena peduli padamu,” belanya.
“Tentu saja aku sangat yakin. Hanya Dea yang aku inginkan menjadi istri sekaligus ibu dari anak-anakku kelak,” Hans memberi tahu penuh keyakinan.
Felix mengangguk. Ia memercayai ucapan dan keyakinan sahabatnya. “Sebagai sahabatmu, aku hanya tidak ingin kamu mengalami nasib percintaan sepertiku,” ungkapnya jujur sekaligus menyiratkan kegetiran.
Bukannya berterima kasih karena sudah dipedulikan, tapi Hans menanggapinya dengan tertawa mengejek. “Dea sangat berbeda jauh dengan mantanmu yang jalang itu,” cibirnya. “Kamu jangan pernah menyamakan Dea dengan jalang kurang ajar itu. Kedua orang itu memiliki perbedaan yang teramat besar. Bagaikan langit dan bumi!” peringatnya tidak suka.
Felix menghela napas karena sepertinya Hans salah paham menangkap maksud kepeduliannya. “Tentu saja mereka tidak sama dan perbedaannya pun sangat kentara,” Felix menyutujui argumen Hans. “Aku akui kamu dan Dea sangat serasi menjadi pasangan, selama ini pun hubungan kalian lancar-lancar saja. Aku pernah berada di posisi kalian, sayangnya hubungan kami hancur berserakan karena orang ketiga,” imbuhnya dengan tatapan nanar.
Hans baru memahami maksud kekhawatiran Felix. Ia ikut iba atas tragedi percintaan yang menimpa sahabatnya. “Aku harap kelak kamu akan menemukan wanita yang benar-benar tulus mencintaimu, Fel.” Hanya kalimat dan harapan tersebut yang bisa ia ucapkan kepada Felix.
Felix mendengkus. “Kebanyakan wanita sekarang lebih mengutamakan uang dibandingkan ketulusan,” ucapnya dengan tatapan menerawang.
Mengingat hubungan percintaannya dulu membuat hati Felix berdenyut nyeri. Ketulusannya dalam mencintai seorang wanita ternyata berujung petaka yang mampu menghancurkan hubungan keluarganya sekaligus berhasil menyakiti banyak hati. Wanita yang dulu diyakini menjadi jodohnya ternyata dengan sengaja menancapkan belati pada hatinya dan keluarganya. Luka tersebut hingga detik ini masih menganga dan entah kapan akan terobati, karena kini ia sudah menutup rapat-rapat hatinya.
***
Helena memoles wajahnya dengan riasan tipis usai membersihkan diri dan berganti pakaian di kamar mandi yang ada di ruang rawat Mayra. Setelah menyelesaikan tugasnya di apartemen Felix kemarin, Helena pulang terlebih dulu sebelum kembali ke rumah sakit untuk menemani Bi Mira menjaga Mayra. Karena kemarin Helena sudah membawa setelan kerjanya, jadi hari ini ia bisa langsung berangkat dari rumah sakit menuju apartemen Felix.
“Kakak,” gumam Mayra yang baru membuka mata dan melihat Helena sedang duduk di sofa sambil merias wajah. Ia terkejut dengan keberadaan sang kakak di kamarnya. Seingatnya kemarin, hanya ada Bi Mira yang menemaninya di ruang perawatan. “Kakak, tidur di sini?” Mayra menyuarakan pertanyaan yang terlintas di benaknya.
Helena menjeda aktivitas tangannya saat mendengar suara adiknya. Ia tersenyum melihat wajah bantal sang adik yang tengah menatapnya. “Pagi, May,” sapanya terlebih dulu sebelum menanggapi pertanyaan Mayra. “Iya, Kakak tidur di sini. Kemarin malam kamu sudah tidur saat Kakak datang ke sini,” beri tahunya. “Bagaimana tidurmu? Nyenyak?” tanyanya sambil melanjutkan kegiatannya merias wajah.
“Sangat nyenyak, Kak,” jawab Mayra sambil menguap. “Bi Mira ke mana, Kak?” tanyanya saat tidak melihat sosok wanita paruh baya yang selalu menemaninya.
“Masih di kamar mandi,” beri tahu Helena setelah usai merias wajahnya. Ia memasukkan perlengkapan riasnya ke pouch komestiknya. “May, Kakak minta maaf karena nanti tidak bisa mengantarmu pulang,” pintanya merasa sangat bersalah.
Mayra menanggapi permintaan sang kakak dengan anggukan kepala dan senyuman. “Tidak apa-apa, Kak, lagi pula sudah ada Bi Mira yang bersamaku,” ucapnya menenangkan. “Seharusnya aku yang berterima kasih, karena Kakak sudah meluangkan waktu untuk menemaniku menjalani cuci darah,” imbuhnya saat memerhatikan Helena menguncir kuda rambutnya.
Setelah selesai menguncir rambutnya, Helena mendekati Mayra yang masih berada di atas ranjang. “Kamu tidak usah berterima kasih, karena sudah menjadi kewajiban sekaligus tanggung jawab Kakak untuk mengantarmu menjalani perawatan.” Helena duduk di pinggir ranjang, kemudian memeluk pundak Mayra dari samping. “Harusnya setiap kamu menjalani perawatan, Kakak selalu bisa mengantar dan menemanimu,” sambungnya.
Mayra melingkarkan tangannya pada pinggang Helena. “Tidak apa, Kak. Lagi pula Kakak harus kerja agar bisa membayar semua biaya perawatan dan pengobatanku. Selain Bi Mira, Kak Wira juga ada dan selalu ikut menemaniku jika aku menjalani perawatan,” ucapnya menenangkan agar Helena tidak semakin merasa bersalah atau bersedih.
“Kamu tidak sarapan dulu, Len?” tanya Bi Mira yang baru keluar dari kamar mandi saat melihat Helena telah berpakaian rapi.
Helena menoleh, kemudian menggeleng. “Nanti aku sarapan di kantor saja, Bi. Aku takut terlambat tiba di apartemen atasanku,” ucapnya setelah Mayra melepaskan pelukan pada pinggangnya. “Bi, aku mau membayar tagihan rumah sakit dulu, dan langsung berangkat.” Helena mencium punggung tangan dan pipi Bi Mira yang sudah berdiri di sampingnya. “Kamu pulang sama Bibi ya, May,” ujarnya pada Mayra setelah ia berdiri. Sebelum mengambil clutch-nya di atas sofa, Helena mengecup pipi Mayra.
“Hati-hati, Kak,” ucap Mayra sambil melambaikan tangannya.
“Jangan lupa sarapan, Len,” Bi Mira mengingatkan dan langsung diangguki oleh Helena.
***
Helena mengernyit melihat pemandangan tidak biasa setelah memasuki apartemen Felix. Beberapa kaleng beer yang isinya telah habis berserakan menghiasi coffee table, padahal kemarin saat ia tinggalkan keadaan apartemen tersebut sudah bersih. Setelah meletakkan clutch-nya di atas meja makan, Helena segera membersihkan sampah kaleng beer tersebut yang sangat mengganggu pemandangan di dalam apartemen Felix.
“Sudah dari tadi, Len?” tanya Felix yang baru keluar dari kamar tidurnya.
Helena menoleh dan tersenyum geli melihat penampilan berantakan baru bangun Felix. “Baru saja,” jawabnya.
“Kemarin malam Hans ke sini dan ia memintaku untuk menemaninya minum,” Felix memberi tahu Helena tanpa wanita tersebut bertanya.
“Aku kira kamu yang minum beer sebanyak ini,” ujar Helena sambil membawa kantong plastik berisi sampah kaleng beer. “Kamu mau sarapan apa, Fel?” tanyanya setelah berada di dapur dan memasang apron.
“Dirimu,” Felix menjawab cepat sambil tangannya mencubit bokong Helena yang tertutup rok pensil hitam. “Harum.” Felix menghirup aroma tubuh Helena dengan rakus, berharap pening di kepalanya segera hilang yang disebabkan oleh minuman dan obrolannya bersama Hans kemarin malam.
“Aku bukan makanan, Fel.” Helena mengabaikan telapak tangan Felix yang kini masih menempel di bokongnya. Jika ia memindahkannya, maka Felix akan kembali menempelkannya atau tangannya semakin berulah.
“Kamu makanan istimewaku, Len,” balas Felix tidak mau kalah. Ia sengaja menggoda Helena, tapi wanita tersebut tidak termakan godaannya.
“Tapi tidak mengenyangkan perut, melainkan kian membuat lapar.” Helena mulai mengambil beberapa butir telur dan akan mendadarnya. Ia akan membuat sandwich untuk sarapan Felix. “Kamu mau sarapan atau mandi dulu?” tanyanya sambil menoleh.
“Sarapan saja.” Felix langsung mengecup bibir Helena. “Manis,” bisiknya.
Usai berkata demikian, Felix menjauhkan tubuhnya dari Helena. Ia ingin mengambil air karena tenggorokannya terasa kering. Ia akan membiarkan Helena menyiapkan sarapannya agar nantinya mereka tidak terlambat datang ke kantor.
***
Berhubung Felix sedang tidak ada di kantor, Helena menerima ajakan Wisnu dan rekan kerjanya yang lain untuk makan siang bersama. Helena berani menerima ajakan Wisnu dan rekannya yang lain, tentu saja setelah Felix memberi kabar bahwa dirinya akan makan siang bersama Hans. Sebagai seorang karyawan, ia juga ingin merasakan keseruan berbaur bersama rekan kerjanya yang lain, seperti membicarakan hal-hal sepele atau menceritakan keluh kesah seputar pekerjaan masing-masing. Selama ini Helena merasa jika interaksinya sangatlah terbatas dengan karyawan yang ada di kantor, mengingat waktunya selalu tersita bersama Felix.
“Karena hari ini Mbak Helena ikut makan siang bersama kita, maka aku akan mentraktir kalian,” Wisnu berkata sebelum menikmati nasi goreng yang baru saja diantarkan.
Rekan-rekan kerja yang sebagian besar berada satu divisi dengan Wisnu langsung riuh mendengar berita menggembirakan tersebut, karena mereka tidak perlu mengeluarkan uang untuk mengenyangkan perut masing-masing.
“Mbak, sering-sering saja ikut makan siang, agar kami selalu mendapat traktiran dari Pak Wisnu,” celetuk salah satu anak buah Wisnu.
“Jangan mau, Len, yang ada nanti aku bangkrut,” Wisnu meminta Helena agar mengabaikan celetukan anak buahnya.
Helena yang duduk di hadapan Wisnu hanya terkekeh. “Aku tidak bisa janji. Tapi kalau ada waktu, aku pasti ikut makan siang bersama kalian lagi,” jawabnya realistis. Mana mungkin ia bisa sering-sering makan siang seperti sekarang, mengingat Felix yang selalu membuat ruang geraknya terbatas.
“Kamu tidak keberatan makan di tempat seperti ini, Len?” tanya Wisnu sambil menatap Helena yang mulai mencicipi kuah soto pesanannya.
“Tentu saja tidak, Wis, apalagi makanan di sini enak dan harganya juga bersahabat,” jawab Helena sambil manggut-manggut karena menyukai rasa kuah soto yang dipesannya.
“Syukurlah.” Wisnu menghela napas lega. “Biasanya kamu selalu makan siang bersama Pak Felix, pasti di tempat yang mahal dan makanannya pun mewah,” imbuhnya menduga.
“Tidak juga,” jawab Helena singkat. Ia tidak membenarkan seluruh dugaan Wisnu.
“Kapan-kapan aku akan mengajakmu makan siang di restoran yang sedikit berkelas, tapi hanya kita berdua,” Wisnu berucap pelan agar rekan-rekannya yang lain tidak mendengar. “Kalau mengajak mereka, nanti dompetku menjerit,” sambungnya sambil menampilkan ekspresi sedih sehingga membuat Helena terkekeh.
Sambil diselingi obrolan-obrolan remeh bersama Wisnu dan rekan kerjanya yang lain, Helena sangat menikmati makan siangnya hari ini. Rasanya baru kali ini ia menjadi seorang karyawan yang pada umumnya.
Mata Helena berkaca-kaca saat sertifikat rumahnya kembali berada dalam genggaman tangannya. Jika saja rumah tersebut bukan satu-satunya harta peninggalan milik sang ayah, maka ia tidak perlu repot-repot mengumpulkan uang untuk menebusnya. Selain menjadi harta peninggalan sang ayah, rumah tersebut juga banyak menyimpan kenangan manis bersama orang tuanya ketika mereka masih hidup. Walau tidak besar, tapi rumah tersebut sangat berarti dalam hidupnya.Helena meminta kepada Mayra dan Bi Mira untuk mulai mengemas barang masing-masing, sebab minggu depan ia akan mengajak mereka pindah ke rumah yang sudah ditebusnya tersebut. Walau mereka akan pindah, tapi Helena tidak berniat memberi tahu Felix. Semasih bekerja pada Felix ia tidak akan meninggalkan apartemen yang diberikan oleh laki-laki tersebut sebagai hadiah kesepakatan mereka.“Len, besok Bibi mau membersihkan rumah sebelum minggu depan kita tempati.” Bi Mira meletakkan pisang goreng yang masih panas dan secangkir teh di a
Helena menatap Felix penuh tanya saat mereka bersiap untuk makan malam. Sejak pulang dari kantor, Felix hanya diam dan langsung menuju kamar tidurnya. Ketika dipanggil untuk makan malam setelah ia selesai memasak, Felix baru keluar kamar sambil menampilkan ekspresi datar. Saat Helena mengajaknya berbicara atau berinteraksi, Felix hanya memberikan tanggapan singkat. Ketika ditanya pun, laki-laki tersebut terlihat malas sekaligus sangat enggan untuk menjawabnya. Walau menyantap masakannya dengan lahap, tapi laki-laki di hadapannya hanya membisu. Sambil mengamati, dalam diam Helena meraba-raba kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap Felix.Selama makan malam berlangsung, hanya denting sendok yang terdengar. Bahkan, hingga makanan di piring masing-masing habis, Felix tetap mempertahankan kebungkamannya. Seharusnya malam ini Helena menemani Felix tidur, tapi berhubung sikap laki-laki tersebut seolah tidak menganggap keberadaannya, jadi ia putuskan akan pulang ke rumahnya sendiri
Walau rasa khawatir dan panik memenuhi benaknya, tapi Helena berusaha keras agar tetap terlihat tenang, mengingat saat ini dirinya masih berada di kantor. Ia tidak ingin gelagatnya dicurigai oleh Felix, sehingga membuat laki-laki tersebut bertanya-tanya. Helena meninggalkan meja kerjanya dan bergegas menuju toilet untuk menenangkan diri agar bisa menemukan alasan yang masuk akal, sebab ia ingin pulang lebih awal.Saat melihat pantulan wajah pucatnya di cermin besar yang ada di dalam toilet, tiba-tiba sebuah ide terbesit di benaknya. Helena terpaksa akan mengarang sebuah kebohongan tentang dirinya agar Felix percaya dan langsung memberinya izin pulang lebih cepat. Setelah meyakinkan diri, ia mengembuskan napasnya sedikit keras sebelum menemui Felix di ruang kerjanya.Helena memasuki ruangan Felix setelah ketukan pintunya direspons. Ia melihat Felix sedang serius menatap layar komputernya. “Fel,” panggilnya dengan nada pelan yang disengaja.Mendengar suara Helena yan
Helena mulai merasa tubuhnya remuk. Selama sepuluh hari ini ia benar-benar harus pintar membagi waktu. Antara bekerja, menjaga Mayra di rumah sakit, dan melakukan kewajibannya di apartemen Felix, termasuk melayani laki-laki tersebut di ranjang. Berhubung kondisi Mayra belum sepenuhnya stabil, makanya Helena memutuskan agar sang adik tetap dirawat di rumah sakit supaya selalu mendapat pemantauan dari tim medis. Demi staminanya agar tetap terjaga, Helena mengonsumsi suplemen setelah Wira menyarankan kepadanya untuk memeriksakan diri.Sepulangnya dari kantor Helena tidak ke apartemen Felix seperti hari-hari biasanya untuk menyiapkan makan malam atau menghangatkan ranjang laki-laki tersebut. Hari ini Felix diundang makan malam oleh Nyonya Narathama, yang tidak lain adalah ibu kandung Hans di kediaman pribadinya. Oleh karena itu, tanpa membuang waktu, Helena langsung menuju rumah sakit untuk menggantikan Bi Mira menjaga Mayra. Sampai saat ini Helena sengaja merahasiakan kondisi san
Helena tidak tahu harus berkata apa ketika mendengar kabar baik yang disampaikan oleh Wira melalui telepon. Netranya berkaca-kaca dan tenggorokannya tercekat karena saking bahagianya, seolah-olah ia menemukan sumber mata air di padang pasir yang tandus. Kini ia membenarkan sekaligus memercayai peribahasa yang mengatakan bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Dulu ia menganggap peribahasa tersebut hanyalah perkataan orang bijak yang mencoba bersikap tegar dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Doa yang setiap saat dipanjatkannya, kini mulai bersambut. Kesabaran yang selalu dipupuknya dalam menanti pun, sebentar lagi akan membuahkan hasil.Sepulangnya dari apartemen Felix, Helena akan ke rumah Wira untuk bertemu dengan seseorang yang berbaik hati ingin membantu kesembuhan adiknya. Selama sebulan ini sejak Mayra keluar dari rumah sakit, Helena selalu memikirkan kondisi sang adik untuk ke depannya. Namun, beban pikirannya tersebut kini sedikit terangkat karena kabar yang Wira beri ta
Walau Helena sangat senang karena kabar menggembirakan yang diterima kemarin dari Wira dan Diandra, tapi pagi ini ia berusaha terlihat biasa saja saat berhadapan dengan Felix. Helena sudah menyusun rencana agar nanti Felix memberinya izin keluar kantor setelah jam makan siang usai. Nanti ia berniat mendatangi rumah sakit untuk membicarakan mengenai jadwal operasi yang akan dijalani Mayra.“Fel,” Helena memanggil Felix yang telah menghabiskan sarapannya. “Fel, nanti usai jam makan siang aku boleh izin meninggalkan kantor sebentar?” tanyanya setelah Felix menatapnya dan memberikan isyarat untuk melanjutkan.“Mau ke mana?” Felix mengernyit sekaligus menyipitkan matanya.“Aku mau membawa adikku ke rumah sakit. Kemarin malam adikku demam,” Helena berdusta.Dalam hati Helena berulang kali menggumamkan kata maaf, ia terpaksa membawa-bawa nama Mayra agar Felix memberinya izin, walau tujuan utamanya ke rumah sakit memang untuk kepentingan sang adik. Helena terpaksa ke
Waktu terasa sangat cepat berlalu. Tanpa disadari sudah tiga bulan operasi pencangkokkan ginjal yang dijalani Diandra dan Mayra terlewati. Walau saat itu cukup menegangkan, tapi prosesnya berjalan dengan lancar. Helena tidak sendiri, ada Wira, Sonya, dan Bi Mira yang selalu setia bersamanya saat menunggu berlangsungnya operasi. Bahkan, ketiganya sangat berperan aktif dalam menjaga sekaligus mendampingi Diandra dan Mayra sewaktu menjalani masa pemulihan.Meski merasa tanggung jawabnya diringankan oleh keberadaan ketiga orang tersebut, tapi tidak membuat Helena lepas tangan. Sebisa mungkin ia selalu menyempatkan diri agar berada di antara Diandra dan Mayra, tanpa melupakan kewajibannya terhadap Felix. Helena benar-benar dituntut pintar dalam membagi waktu yang dimilikinya, agar semua tanggung jawab dan kewajibannya bisa terpenuhi.Kini, baik Diandra maupun Mayra diharuskan rajin mendatangi rumah sakit untuk melakukan kontrol pascaoperasi cangkok ginjal yang mereka pernah l
Berhubung hari ini merupakan ulang tahunnya, nanti malam Felix akan membuat perayaan sederhana di kafe bersama beberapa sahabat dekatnya yang tadi telah dihubunginya. Walau perayaannya sangat sederhana, tapi demi kelancaran acaranya nanti malam, ia memutuskan untuk tidak mengikutsertakan Helena di dalamnya. Alasan utamanya tentu saja untuk menghindari berbagai macam ucapan miring yang akan dialamatkan kepada Helena oleh mulut sahabat-sahabatnya, terutama Hans. Ia sengaja tidak memberi tahu Helena mengenai hari ulang tahunnya. Sebagai gantinya, besok lusa ia berencana mengajak Helena menginap di hotel sekaligus makan malam romantis. Dengan kata lain, ia akan merayakan hari ulang tahunnya secara istimewa hanya berdua bersama Helena.“Masuk,” Felix memberi perintah kepada seseorang yang mengetuk pintu ruangannya dari luar. “Len, nanti malam aku ada acara bersama teman-temanku, jadi kamu tidak perlu memasak untukku. Setelah jam kantor bubar, aku akan mengantarmu mengambil mobilmu
Pendingin yang menyala seolah tidak berfungsi karena tubuh dua orang di dalam kamar tetap basah oleh keringat. Sejak dibangun, kamarnya memang dirancang kedap suara agar aktivitas di dalamnya tidak terdengar dari luar. Felix masih bergerak aktif dalam meraih pelepasannya yang terakhir di malam ini, mengingat ia sudah berhasil membuat Helena mengerang nikmat sejak beberapa jam lalu. Dengan sekali sentakan kuat, cairan hangatnya kembali menyirami rahim Helena. Bersamaan dengan itu, Helena pun kembali berhasil mendapatkan pelepasannya yang entah sudah berapa kali. Ia berharap aktivitas panasnya bersama sang istri saat ini kembali berhasil memberikan seorang adik untuk Liam selain Evelyn, apalagi putrinya tersebut sudah berusia dua tahun.Felix menoleh ke arah Helena saat mereka berusaha menormalkan deru napasnya yang terengah-engah di puncak aktivitas panasnya. “Lagi?” tanyanya iseng.“Jika besok aku tidak bisa berjalan gara-gara meladenimu, kamu yang ha
Felix dan Helena sangat antusias menyambut kelahiran bayi mereka yang diprediksikan tiga minggu lagi. Berbagai macam keperluan untuk bayi pun sudah mereka siapkan bersama, malah Felix yang lebih bersemangat mengajak Helena berbelanja. Berhubung mereka belum mengetahui jenis kelamin bayinya, keduanya sepakat membeli segala keperluan yang berwarna netral agar bisa digunakan untuk anak laki-laki ataupun perempuan. Sebenarnya bukan karena sang bayi yang masih ingin menyembunyikan jenis kelaminnya dari orang tuanya, hanya saja mereka sengaja tidak menanyakannya kepada dokter. Asalkan anak mereka sehat dan nantinya lahir normal serta tanpa kekurangan apa pun, keduanya tidak terlalu mempermasalahkan jenis kelaminnya. Apalagi Felix sudah menyiapkan dua buah nama untuk anaknya tersebut.Berhubung rumah masa depannya bersama keluarga kecilnya sudah selesai dibangun, Felix dan Helena pun mengadakan syukuran sederhana. Untuk memeriahkan acaranya, mereka mengundang keluarga
Kerutan menghiasi kening Felix saat mendapati Helena melamun di atas ranjang setelah ia keluar dari kamar mandi. Sejak dalam perjalanan pulang tadi, Felix merasa Helena menjadi lebih pendiam. Awalnya ia menduga jika istrinya tersebut kelelahan karena ikut melayani para konsumen yang mendatangi salonnya. Namun setelah melihat sikap Helena kini, sepertinya dugaannya tersebut keliru.Felix bergegas menaiki ranjang, kemudian dengan cepat mengecup pipi Helena agar istrinya tersebut tersadar dari lamunannya. Tindakannya berhasil. Helena menoleh ke arahnya, sehingga kini mereka saling berhadapan.“Sedang memikirkan apa, hm? Dari tadi aku perhatikan kamu melamun,” Felix bertanya sambil mengusap pipi sekaligus menyelami sorot mata Helena.Helena tersenyum tipis sambil menikmati usapan lembut pada pipinya. “Tunggu sebentar ya,” pintanya sebelum menuruni ranjang. Setelah kakinya menyentuh lantai, ia berjalan
Walau Helena sudah resmi berstatus sebagai istrinya sejak tiga bulan lalu dan semua kebutuhan finansialnya kini telah menjadi tanggung jawabnya, tapi Felix tidak pernah melarang wanita tersebut untuk bekerja. Bukannya Felix keberatan atau tidak sanggup membiayai pengeluaran Helena, melainkan karena ia tahu bahwa istrinya tersebut mempunyai jiwa pekerja keras dan tidak suka berpangku tangan. Meski demikian, Felix tetap mengingatkan Helena agar tidak terlalu lelah dengan kegiatannya, mengingat saat ini mereka sedang merencanakan memiliki momongan. Felix sangat bersyukur karena Helena menyetujui idenya yang tidak ingin menunda memiliki anak.Felix sempat kecewa karena sepulangnya mereka dari berbulan madu, Helena tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Bahkan, setelah mereka tiga bulan menikah, benihnya di dalam rahim sang istri belum juga berhasil tumbuh dan berkembang. Meski kecewa, tapi Felix selalu bersikap biasa saja di hadapan Helena. Ia tidak ingin membuat Helena merasa
Hari bersejarah dalam hidup Helena dan Felix akhirnya terlewati secara bertahap sekaligus lancar. Usai melakukan pemberkatan tadi pagi di gereja sekaligus mengikrarkan janji suci yang disaksikan oleh keluarga dan para sahabatnya, kini mereka sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Acara tadi pagi diwarnai oleh tangis bahagia dan haru, mengingat yang mengantar Helena ke altar bukan ayahnya sendiri, melainkan Dennisꟷpapanya Diandra.Kini Helena mulai merasakan kakinya pegal karena ia berdiri terlalu lama, apalagi bobot tubuhnya ditopang oleh sepasanghigh heelsyang cukup tinggi. Walau tamu yang menghadiri acara resepsi pernikahannya cukup banyak, tapi ia tidak mengenal mereka semua karena orang-orang tersebut diundang oleh Felix dan mertuanya.Walau betisnya pegal dan mulai berdenyut nyeri, tapi Helena merasa lega karena pada akhirnya semua tahapan acara pernikahannya selesai tanpa hambatan apa pun. Kini ia dan Felix sudah berada di dalam kamar peng
Para karyawan di perusahaan Felix sangat terkejut sekaligus turut bahagia ketika mendapat undangan resepsi pernikahan dari sang atasan. Akan tetapi, keterkejutan kembali mereka rasakan saat melihat nama calon pengantin wanita yang akan bersanding nanti dengan sang atasan, terutama Wisnu. Laki-laki tersebut sangat tidak menyangka jika ternyata Felix akan menikah dengan salah satu rekan kerjanya dulu, yang juga merupakan mantan sekretaris sang atasan sendiri. Awalnya Wisnu menduga kedatangan Helena beberapa kali ke kantor Felix, karena wanita cantik tersebut masih menjalin hubungan baik dengan sang atasan, walau sudah tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan. Walau kini Helena akan menjadi istri sang atasan, tapi Wisnu tetap bahagia mendengar kabar tentang pernikahan mereka dan pasti datang pada acara resepsi tersebut.Keterkejutan Wisnu tidak berpengaruh pada Shinta, sebab ia sudah mengetahuinya terlebih dulu. Sejak pertemuannya yang tanpa disengaja dengan Helen
Helena menutup mulutnya saat tiba-tiba Felix berlutut di depannya sambil mengulurkan kotak kecil yang berisi sebuah cincin berwarna putih. Ia tidak menyangka jika malam ini Felix kembali menyatakan niatnya dan memintanya untuk mendampingi hidupnya selama napasnya berembus. Ia tidak bisa menghalau matanya yang mulai memanas, hingga akhirnya meneteskan cairan bening. Perasaan haru pun kini sudah menyesaki rongga dadanya. Saat ini untuk kedua kalinya ia melihat Felix berlutut di hadapannya. Jika dulu Felix berlutut karena semua kesalahan yang telah diperbuatnya dan memohon diberi kesempatan, tapi kini laki-laki tersebut memintanya agar bersedia menjadi pendamping hidupnya.“Len, aku sadar jika diriku bukanlah laki-laki sempurna yang pernah kamu kenal atau inginkan menjadi pendampingmu, tapi perasaan dan cintaku sungguh tulus padamu. Aku berjanji padamu akan selalu belajar memantaskan diri selama bersanding denganmu. Aku sangat berharap kamu bersedia menerima
Hubungan Felix dengan Lisa sudah membaik dan kembali seperti semula. Itu pun atas campur tangan Helena dalam memberikan penjelasan kepada sang calon kakak ipar. Felix juga sudah memberhentikan Mariska dua minggu setelah Lisa mengetahui bahwa dirinya mempekerjakan perempuan tersebut. Selain tidak mau membuat Lisa semakin marah dan membencinya atas keberadaan Mariska di kantornya, alasan lain yang mendukungnya karena wanita tersebut kembali berulah sekaligus mengabaikan tegurannya. Mariska kembali menggunakan pakaian kekurangan bahan dan ketat saat menginjakkan kaki di kantornya, sehingga lekukan tubuhnya terpampang jelas. Tentu saja tindakan wanita tersebut menimbulkan banyak desas-desus dan spekulasi negatif di antara para karyawan lainnya. Awalnya Felix ingin memberhentikan Mariska secara terhormat, tapi berhubung tingkah dan tindakan wanita tersebut seperti itu, maka ia pun tanpa basa-basi langsung memecatnya. Selain untuk mematahkan desas-desus dan spekulasi negatif yang sudah te
Dengan tidak bersemangat Felix menyesap jus jeruk yang dibuatkan Helena untuknya. Kini ia sedang berada di teras belakang rumah Helena dan mendudukihammockmilik wanita tersebut. Ia sudah menuruti saran Helena yang dikirimkan melalui pesan singkat siang tadi, dengan pura-pura tidak mengetahui keberadaan Lisa. Namun, saat datang tadi, ia melihat Lisa sedang mengajari Mayra di ruang keluarga. Ia pun pura-pura memasang ekspresi wajah terkejut saat bertatapan dengan sang kakak. Setelah Lisa melihat kedatangannya, kakaknya tersebut langsung mengajak Mayra ke kamar untuk melanjutkan acara belajarnya.“Sudah makan?” tanya Helena sambil menatap Felix yang wajahnya sangat kusut. Penampilan laki-laki tersebut saat ini lusuh, sangat berbeda dari biasanya.Felix mengalihkan tatapannya ke arah Helena, kemudian menggeleng pelan. “Tidak ada nafsu makan,” jawabnya lesu. “Aku pusing, Len,” adunya sambil