Mata Helena berkaca-kaca saat sertifikat rumahnya kembali berada dalam genggaman tangannya. Jika saja rumah tersebut bukan satu-satunya harta peninggalan milik sang ayah, maka ia tidak perlu repot-repot mengumpulkan uang untuk menebusnya. Selain menjadi harta peninggalan sang ayah, rumah tersebut juga banyak menyimpan kenangan manis bersama orang tuanya ketika mereka masih hidup. Walau tidak besar, tapi rumah tersebut sangat berarti dalam hidupnya.
Helena meminta kepada Mayra dan Bi Mira untuk mulai mengemas barang masing-masing, sebab minggu depan ia akan mengajak mereka pindah ke rumah yang sudah ditebusnya tersebut. Walau mereka akan pindah, tapi Helena tidak berniat memberi tahu Felix. Semasih bekerja pada Felix ia tidak akan meninggalkan apartemen yang diberikan oleh laki-laki tersebut sebagai hadiah kesepakatan mereka.
“Len, besok Bibi mau membersihkan rumah sebelum minggu depan kita tempati.” Bi Mira meletakkan pisang goreng yang masih panas dan secangkir teh di atas coffee table. Saat Helena tadi memberitahunya untuk mulai berkemas, Bi Mira sedang berada di dapur membuat pisang goreng.
“Tidak usah, Bi. Nanti aku mau cari tukang untuk memeriksa kondisi rumah dulu sebelum kita tempati. Sekalian juga aku akan bayar orang untuk membersihkan rumah sekaligus merapikan halamannya,” Helena menolak keinginan Bi Mira. “Kalau Bibi pergi, nanti Mayra pasti ingin ikut,” imbuhnya sambil mulai mengambil satu buah pisang goreng yang tersaji di depannya.
Bi Mira hanya mengangguk sambil memerhatikan Helena. “Nak, apakah laki-laki yang membebaskanmu dari tempat pelacuran tersebut memperlakukanmu dengan baik?” Walau terdengar lancang, tapi rasa penasaran memaksanya untuk bertanya.
Mendengar pertanyaan Bi Mira yang tidak biasa membuat Helena mengurungkan niatnya untuk menyesap teh. Ia menjawab pertanyaan wanita yang sangat perhatian padanya dengan anggukan kepala. Sejak awal Bi Mira telah mengetahui dirinya dijual oleh wanita yang menggunakan topeng sebagai ibu tirinya. Jadi, saat keluar dari tempat jahaman tersebut, ia menceritakan dengan jujur bahwa ada orang yang membebaskannya secara bersyarat. Tanpa menutupi ia pun mengatakan syarat yang diajukan oleh Felix. Walau wanita paruh baya tersebut sangat sedih mendengar pengakuannya dan sempat melarangnya, tapi Bi Mira dengan berat hati menerima keputusan yang diambilnya.
Melihat anggukan kepala Helena membuat air mata Bi Mira menetes lancang. Selancang pertanyaannya tadi kepada wanita yang kini tatapannya datar. Sebagai sesama wanita, ia mengerti gejolak perasaan yang berkecamuk di dalam hati Helena. Gadis malang yang masa depannya dihancurkan secara sengaja oleh sang ibu tiri. Gadis yang tanpa persetujuan langsung dilemparkan ke tempat pelacuran oleh sang ibu tiri agar memperoleh uang demi memuaskan hasrat berjudinya.
“Walau pekerjaan yang aku lakoni sangat tidak terpuji dan hina di mata orang, tapi aku hanya melacurkan diri pada satu laki-laki saja, Bi,” ungkap Helena dengan jujur. “Aku melacurkan diri hanya pada laki-laki yang mengeluarkanku dari sarang pria hidung belang, Bi,” imbuhnya penuh ketegasan dan dengan nada datar.
Bi Mira berpindah ke samping Helena, kemudian langsung memeluk tubuh perempuan malang tersebut. “Bibi hanya takut kamu diperlakukan tidak manusiawi, Len,” ucapnya penuh kekhawatiran yang kini telah terisak.
Helena membalas pelukan Bi Mira. “Tidak, Bi. Buktinya tidak ada bekas lebam atau luka di sekujur tubuhku,” balasnya menenangkan. “Satu lagi, Bi, laki-laki tersebut hingga kini statusnya masih belum berkeluarga, jadi Bibi tidak usah khawatir kalau aku menjadi perebut suami orang,” sambungnya menegaskan.
“Bibi percaya pada perkataanmu, Nak.” Bi Mira mengurai pelukannya. Ia membiarkan jemari lentik Helena menghapus air mata yang membasahi pipinya.
“Mayra sudah tidur, Bi?” Helena menanyakan keberadaan sang adik yang tidak terlihat, sekaligus mengalihkan pembahasannya bersama Bi Mira.
“Sudah, Len. Selesai mengerjakan tugas sekolahnya, Mayra pamit tidur,” beri tahu Bi Mira.
Helena mengangguk. “Bibi kalau sudah mengantuk, tidur saja. Aku mau menonton dulu,” ujarnya saat matanya melihat jarum jam dinding sudah menunjuk angka sembilan.
“Jangan tidur terlalu malam, Len. Besok pagi kamu kerja,” Bi Mira mengingatkan Helena setelah berdiri. Ia tersenyum saat Helena menanggapinya dengan anggukan kepala.
***
Usai berkutat di dapur dan menghidangkan menu sarapannya di atas meja makan, Helena melepas celemeknya. Ia bergegas menuju kamar Felix untuk membangunkan laki-laki tersebut sekaligus ingin menyiapkan setelan kantornya. Helena menggelengkan kepala saat melihat Felix masih bergelung hangat di bawah selimut. Selain bertugas menghangatkan ranjang, membuat sekaligus menyiapkan makanan, dan membersihkan apartemen, ternyata ia juga harus menjadi pengasuh Felix.
“Fel, bangun,” panggil Helena setelah menarik selimut yang menutupi tubuh Felix. “Sarapannya sudah siap,” imbuhnya.
“Hm,” Felix hanya menjawabnya dengan gumaman malas tanpa membuka matanya.
Melihat reaksi Felix, Helena pun mengguncangkan pundak laki-laki yang masih tidur memunggunginya. Ia kembali mengulangi tindakannya tersebut agar Felix cepat membuka matanya. “Ayo bangun, Fel,” pintanya tak menyerah.
Mata Felix akhirnya terbuka karena panggilan dan ulah tangan Helena di pundaknya benar-benar mengusik tidurnya. Tanpa membalikkan badan, Felix menahan tangan Helena di pundaknya. “Aku masih ngantuk, Len,” ujarnya dengan serak. Suara khas bangun tidur.
“Sayangnya sekarang sudah pagi, Fel. Sarapanmu juga sudah siap,” Helena menanggapinya sambil mengulum senyum. Setiap bangun tidur, ia selalu menemukan sifat kekanakan Felix.
Felix menyerah dan akhirnya membalikkan badan. Setelah posisinya telentang ia menatap Helena berulang kali. Dengan cepat ia menyambar pergelangan tangan Helena, kemudian menariknya. “Mau ke mana?” tanyanya setelah tubuh Helena terjatuh di sampingnya. Ia melingkarkan tangannya pada perut Helena yang telah memperbaiki posisi duduknya.
Helena menghela napas melihat kelakuan Felix. “Fel, nanti kita terlambat ke kantor,” ucapnya dan menahan jari-jari tangan Felix yang mulai membuat pola abstrak pada perutnya.
Bukannya berhenti, kini jari-jari tangan Felix malah merambat menuju salah satu bukit kembar Helena. Ditangkupnya gundukan kenyal tersebut walau masih terhalang dua lapisan. Felix menepis tangan Helena yang menahannya. Ia menyeringai saat melihat angka yang ditunjuk oleh jarum jam di pergelangan tangan Helena. “Masih sempat,” ujarnya dan membuat Helena menatapnya bingung.
Helena kelabakan sekaligus memekik saat tangan Felix langsung menyerang gundukan kenyalnya dari luar blouse. Bukan hanya ulah tangan Felix membuatnya memekik, melainkan kondisi benda kenyal tersebut yang saat ini sedang sensitif. Rasa nyeri langsung menyengatnya saat Felix tanpa aba-aba meremasnya. “Fel, kita tidak bisa melakukannya sekarang,” tolaknya dengan susah payah.
Seketika Felix menghentikan aksi tangannya. Ia langsung duduk dan menatap Helena penuh selidik. “Sejak kapan aku memerlukan persetujuanmu dalam menjamah tubuhmu?” Felix langsung emosi mendengar penolakan Helena.
“Maksudku bukan seperti itu, Fel.” Meski merasa sakit hati atas perkataan Felix, tapi Helena tetap memberinya pengertian. “Aku tidak mungkin melayanimu dengan keadaan ….” Kalimat Helena terpotong karena Felix menyelanya.
“Apa?!” Felix menyela nyalang. Ia merasa frustrasi karena hasratnya yang sudah di ubun-ubun dijatuhkan.
“Aku kedatangan tamu bulanan,” Helena mencicit saat memberi tahu alasannya. Dini hari tadi Helena mengetahui tamu bulanannya datang saat ia buang air kecil.
“Shit!” Felix mengumpat setelah melemparkan bantal di sampingnya.
Mendengar umpatan dan melihat tindakan Felix membuat Helena terlonjak kaget. Ia bergeming pada posisinya sambil menundukkan kepala.
Setelah mengembuskan napasnya beberapa kali untuk meraih kewarasannya, akhirnya Felix kembali mengalihkan tatapannya ke arah Helena yang bergeming di sampingnya.
“Jika bibir bawahmu sedang kedatangan tamu, kalau begitu puaskan aku dengan ini.” Felix menyentuhkan ibu jarinya pada bibir Helena. “Dan kedua bukit ini juga masih bisa aku nikmati sekarang,” imbuhnya sambil kembali menangkup kedua bukit kembar Helena.
Helena tidak bisa menolak. Ia harus menjalankan apa pun titah Felix, karena bayaran yang didapatnya tergantung pada pelayanannya dan tingkat kepuasan laki-laki tersebut. “Baiklah,” ucapnya sambil tersenyum. Helena menaikkan kakinya yang tadi menggantung ke ranjang Felix agar bisa berhadapan dengan laki-laki tersebut.
“Pakaian kerjamu masih ada di sini?” Felix tersenyum setelah Helena mengangguk. Ia memang sengaja meminta Helena untuk menaruh beberapa potong pakaian di apartemennya, salah satunya setelan kantor. “Meeting pertama hari ini setelah jam makan siang?” tanyanya dan tangannya mulai menanggalkan blouse yang menutupi tubuh bagian atas Helena.“
“Iya,” jawab Helena pelan setelah merasakan dinginnya suhu kamar Felix langsung menyentuh kulit tubuhnya.
“Temani nanti saat aku rapat,” Felix meminta sambil merebahkan tubuh Helena di tengah-tengah ranjang. Felix melanjutkan aksinya dengan menanggalkan rok yang dipakai Helena, sehingga tubuh di bawahnya hanya berbalut pakaian dalam.
“Baik,” Helena menjawab sambil membusungkan dadanya karena tangan Felix telah menyelinap di bawah punggungnya untuk melepaskan pengait penutup bukit kembarnya. “Fel, jangan terlalu kuat,” Helena mengingatkan saat Felix mulai menyentuhkan ujung lidahnya pada salah satu puncak bukitnya yang telah menegang.
“Nyeri?” Pertanyaan Felix langsung diangguki oleh Helena. “Sedikit lebih bengkak dari biasanya,” komentarnya setelah memerhatikan sekaligus meremas benda kenyal milik Helena tersebut. “Aku akan memberikan mereka pijatan yang lembut,” imbuhnya.
***
Pulang kantor Helena absen mendatangi apartemen Felix atas perintah laki-laki tersebut. Tadi sebelum meninggalkan meja kerjanya, Felix memberitahukan kepada Helena bahwa mereka tidak bisa pulang bersama. Felix beralasan bahwa dirinya sudah ada janji makan malam dengan Hans.
Berhubung waktunya senggang, Helena berniat ke mall mencari buku cerita rakyat yang diinginkan Mayra. Namun, sebelumnya Helena akan mengambil mobilnya terlebih dulu yang terparkir di basement apartemen Felix, mengingat tadi pagi mereka berangkat ke kantor bersama. Pagi tadi mereka terlambat masuk kantor, karena Helena harus melayani hasrat Felix terlebih dulu di apartemen.
Usai memarkirkan mobilnya dengan rapi setibanya di mall yang dikunjunginya, Helena bergegas turun. Dengan santai ia berjalan memasuki mall dan langsung menuju tempat buku berada. Helena tidak membutuhkan waktu lama untuk memilih buku cerita yang diinginkan Mayra, sebab adiknya tersebut sudah memberitahunya.
Saat hendak menuju kasir untuk membayar buku yang dibelinya, Helena menajamkan indra penglihatannya ketika mengenali seseorang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Walau dihinggapi keraguan, tapi ia memberanikan diri untuk menyapa laki-laki yang sedang mengobrol dengan seorang perempuan cantik, “Wira?”
Merasa ada yang memanggil namanya, Wira menghentikan obrolannya dan langsung menoleh ke sumber suara. Senyumnya mengembang ketika mengetahui pemilik suara yang memanggil namanya. “Hai, Len,” balasnya dengan ramah.
Helena tersenyum puas karena ternyata ia tidak salah mengenali orang. “Sudah selesai?” tanyanya berbasa-basi. Ia mengalihkan tatapannya ke arah perempuan cantik yang berdiri di samping Wira.
“Tinggal bayar ke kasir saja,” Wira menjawab dan mengikuti arah tatapan Helena. “Kamu sama siapa, Len?” tanyanya sambil celingak-celinguk.
“Sendiri. Mayra menginginkan buku cerita rakyat, jadi aku ke sini mencarikannya,” beri tahu Helena tanpa mengalihkan tatapannya dari perempuan di samping Wira yang hanya menjadi pendengar.
“Oh ya, Len, kenalkan ini pacarku. Namanya Diandra,” Wira memperkenalkan perempuan yang dari tadi mendengarkannya mengobrol. “Dee, kenalkan ini Helena. Ia sahabatku,” sambungnya pada Diandra.
Diandra dan Helena saling menjabat tangan, mereka juga berbasa-basi sebentar. Karena masing-masing sudah menemukan buku yang dicari, ketiganya pun langsung menuju kasir untuk membayar barang belanjaannya. Usai membayar ketiganya memutuskan untuk mengisi perut masing-masing di food corner yang ada di mall tersebut, mengingat sudah waktunya makan malam. Selain untuk makan malam, tentu saja mereka ingin melanjutkan obrolannya tadi yang tertunda.
“Bagaimana keadaan Mayra, Len?” Wira kembali membuka obrolan ketika pramusaji sudah pergi setelah selesai menghidangkan makanan pesanan mereka.
“Baik, Wira. Mayra sudah bersekolah seperti biasa, walau tetap harus aku peringatkan untuk tidak banyak beraktivitas, terutama bermain,” jawab Helena setelah membasahi tenggorokannya dengan minuman dingin yang dipesannya. “Seandainya aku segera mendapat pendonor, pasti Mayra bisa beraktivitas normal seperti anak-anak lainnya,” imbuhnya sedih.
Melihat ekspresi sedih Helena membuat Diandra menarik kesimpulan jika Mayra tengah menderita suatu penyakit serius. “Pendonor? Memangnya Mayra menderita penyakit apa?” tanyanya lancang.
“Adikku menderita penyakit gagal ginjal, Dee,” Helena memberitahukan kondisi adiknya dengan jujur kepada Diandra. “Andaikan ginjalku cocok, aku pasti akan mendonorkannya satu untuk Mayra,” sambungnya nelangsa.
“Ternyata ginjalku juga tidak cocok setelah aku mengetahui hasil pemeriksaannya,” Wira menimpali dengan tidak kalah sedihnya.
Helena terkejut mendengar perkataan Wira. Ia terharu sekaligus tidak menyangka jika ternyata Wira melakukan pemeriksaan ginjal tanpa memberitahunya terlebih dulu. “Wira, terima kasih atas perhatian dan kepedulianmu yang sangat kepada Mayra,” ucapnya tulus.
“Mayra sudah seperti adikku sendiri, Len. Kamu tidak usah sungkan padaku,” Wira menepuk punggung tangan Helena dengan lembut. “Semoga saja pihak rumah sakit secepatnya memberi kabar jika ada pendonor untuk adikmu,” sambungnya menenangkan.
Helena mengangguk dan tersenyum. “Ayo, kita makan dulu,” ajaknya karena makanan di hadapannya sempat terlupakan. “Dee, kamu jangan mencemburuiku ya. Hubunganku dan Wira murni hanya sebatas sahabat,” ucapnya pada Diandra yang dari tadi memerhatikan interaksinya dengan Wira.
Diandra menanggapinya dengan senyuman. “Tenang saja, Len. Aku percaya dengan Kak Wira.” Ia menoleh ke arah Wira yang sudah mulai menyantap menu makan malamnya. “Len, apakah aku boleh bertemu dengan adikmu?” tanyanya sebelum mulai menikmati spaghetti kesukaannya.
Helena yang tengah meneguk lychee squash-nya mengangguk. “Tentu saja sangat boleh, Dee,” ucapnya menegaskan. “Nanti setelah aku pindah rumah saja kamu berkunjung, Dee. Lagi pula rumahku juga masih satu kompleks dengan tempat tinggal Wira dan Sonya,” beri tahunya.
“Nanti kita mengunjungi rumah Helena bersama-sama, Dee,” Wira menimpali dan langsung disetujui oleh Diandra. “Kapan rencananya kamu akan pindah, Len?” lanjutnya.
“Dalam waktu dekat, tapi pastinya belum tahu,” sahut Helena jujur. “Ngomong-ngomong, kamu masih kuliah atau sudah bekerja, Dee?” Helena bertanya sebelum menyuap nasi gorengnya.
“Dua-duanya. Aku kerja part time sebagai waitress di sebuah kafe milik teman. Oh ya, kalau kamu ada waktu silakan saja berkunjung, Len,” jawab Diandra sekaligus mempromosikan tempat kerjanya yang membuat Helena dan Wira tertawa. “Kamu kerja di mana, Len?” tanyanya balik.
“Iya, kapan-kapan aku ke sana,” Helena menyanggupi. “Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta di bidang advertising,” sambungnya.
“Len, seandainya kamu mengetahui ada lowongan pekerjaan di bidang desain khususnya fashion, tolong kabari aku ya,” pinta Diandra tanpa malu. “Kalau bisa yang mau menerima freelance,” lanjutnya sambil menyengir.
“Tenang saja, pasti aku akan membantumu mencari informasi mengenai lowongan di bidang fashion,” sahut Helena.
“Sebaiknya kalian habiskan dulu makanan masing-masing, ngobrolnya dilanjutkan nanti saja,” tegur Wira yang dari tadi hanya menjadi pendengar dan kini telah menghabiskan nasi gorengnya.
Diandra dan Helena kompak menanggapi teguran Wira dengan kekehan. Diandra meminta Wira agar memesankan makanan yang diminta Sonya sebelum mereka pulang. Sambil menunggu pesanan untuk Sonya, ketiganya kembali mengobrol sebelum menyudahi pertemuan yang tidak direncanakan tersebut.
Helena menatap Felix penuh tanya saat mereka bersiap untuk makan malam. Sejak pulang dari kantor, Felix hanya diam dan langsung menuju kamar tidurnya. Ketika dipanggil untuk makan malam setelah ia selesai memasak, Felix baru keluar kamar sambil menampilkan ekspresi datar. Saat Helena mengajaknya berbicara atau berinteraksi, Felix hanya memberikan tanggapan singkat. Ketika ditanya pun, laki-laki tersebut terlihat malas sekaligus sangat enggan untuk menjawabnya. Walau menyantap masakannya dengan lahap, tapi laki-laki di hadapannya hanya membisu. Sambil mengamati, dalam diam Helena meraba-raba kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap Felix.Selama makan malam berlangsung, hanya denting sendok yang terdengar. Bahkan, hingga makanan di piring masing-masing habis, Felix tetap mempertahankan kebungkamannya. Seharusnya malam ini Helena menemani Felix tidur, tapi berhubung sikap laki-laki tersebut seolah tidak menganggap keberadaannya, jadi ia putuskan akan pulang ke rumahnya sendiri
Walau rasa khawatir dan panik memenuhi benaknya, tapi Helena berusaha keras agar tetap terlihat tenang, mengingat saat ini dirinya masih berada di kantor. Ia tidak ingin gelagatnya dicurigai oleh Felix, sehingga membuat laki-laki tersebut bertanya-tanya. Helena meninggalkan meja kerjanya dan bergegas menuju toilet untuk menenangkan diri agar bisa menemukan alasan yang masuk akal, sebab ia ingin pulang lebih awal.Saat melihat pantulan wajah pucatnya di cermin besar yang ada di dalam toilet, tiba-tiba sebuah ide terbesit di benaknya. Helena terpaksa akan mengarang sebuah kebohongan tentang dirinya agar Felix percaya dan langsung memberinya izin pulang lebih cepat. Setelah meyakinkan diri, ia mengembuskan napasnya sedikit keras sebelum menemui Felix di ruang kerjanya.Helena memasuki ruangan Felix setelah ketukan pintunya direspons. Ia melihat Felix sedang serius menatap layar komputernya. “Fel,” panggilnya dengan nada pelan yang disengaja.Mendengar suara Helena yan
Helena mulai merasa tubuhnya remuk. Selama sepuluh hari ini ia benar-benar harus pintar membagi waktu. Antara bekerja, menjaga Mayra di rumah sakit, dan melakukan kewajibannya di apartemen Felix, termasuk melayani laki-laki tersebut di ranjang. Berhubung kondisi Mayra belum sepenuhnya stabil, makanya Helena memutuskan agar sang adik tetap dirawat di rumah sakit supaya selalu mendapat pemantauan dari tim medis. Demi staminanya agar tetap terjaga, Helena mengonsumsi suplemen setelah Wira menyarankan kepadanya untuk memeriksakan diri.Sepulangnya dari kantor Helena tidak ke apartemen Felix seperti hari-hari biasanya untuk menyiapkan makan malam atau menghangatkan ranjang laki-laki tersebut. Hari ini Felix diundang makan malam oleh Nyonya Narathama, yang tidak lain adalah ibu kandung Hans di kediaman pribadinya. Oleh karena itu, tanpa membuang waktu, Helena langsung menuju rumah sakit untuk menggantikan Bi Mira menjaga Mayra. Sampai saat ini Helena sengaja merahasiakan kondisi san
Helena tidak tahu harus berkata apa ketika mendengar kabar baik yang disampaikan oleh Wira melalui telepon. Netranya berkaca-kaca dan tenggorokannya tercekat karena saking bahagianya, seolah-olah ia menemukan sumber mata air di padang pasir yang tandus. Kini ia membenarkan sekaligus memercayai peribahasa yang mengatakan bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Dulu ia menganggap peribahasa tersebut hanyalah perkataan orang bijak yang mencoba bersikap tegar dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Doa yang setiap saat dipanjatkannya, kini mulai bersambut. Kesabaran yang selalu dipupuknya dalam menanti pun, sebentar lagi akan membuahkan hasil.Sepulangnya dari apartemen Felix, Helena akan ke rumah Wira untuk bertemu dengan seseorang yang berbaik hati ingin membantu kesembuhan adiknya. Selama sebulan ini sejak Mayra keluar dari rumah sakit, Helena selalu memikirkan kondisi sang adik untuk ke depannya. Namun, beban pikirannya tersebut kini sedikit terangkat karena kabar yang Wira beri ta
Walau Helena sangat senang karena kabar menggembirakan yang diterima kemarin dari Wira dan Diandra, tapi pagi ini ia berusaha terlihat biasa saja saat berhadapan dengan Felix. Helena sudah menyusun rencana agar nanti Felix memberinya izin keluar kantor setelah jam makan siang usai. Nanti ia berniat mendatangi rumah sakit untuk membicarakan mengenai jadwal operasi yang akan dijalani Mayra.“Fel,” Helena memanggil Felix yang telah menghabiskan sarapannya. “Fel, nanti usai jam makan siang aku boleh izin meninggalkan kantor sebentar?” tanyanya setelah Felix menatapnya dan memberikan isyarat untuk melanjutkan.“Mau ke mana?” Felix mengernyit sekaligus menyipitkan matanya.“Aku mau membawa adikku ke rumah sakit. Kemarin malam adikku demam,” Helena berdusta.Dalam hati Helena berulang kali menggumamkan kata maaf, ia terpaksa membawa-bawa nama Mayra agar Felix memberinya izin, walau tujuan utamanya ke rumah sakit memang untuk kepentingan sang adik. Helena terpaksa ke
Waktu terasa sangat cepat berlalu. Tanpa disadari sudah tiga bulan operasi pencangkokkan ginjal yang dijalani Diandra dan Mayra terlewati. Walau saat itu cukup menegangkan, tapi prosesnya berjalan dengan lancar. Helena tidak sendiri, ada Wira, Sonya, dan Bi Mira yang selalu setia bersamanya saat menunggu berlangsungnya operasi. Bahkan, ketiganya sangat berperan aktif dalam menjaga sekaligus mendampingi Diandra dan Mayra sewaktu menjalani masa pemulihan.Meski merasa tanggung jawabnya diringankan oleh keberadaan ketiga orang tersebut, tapi tidak membuat Helena lepas tangan. Sebisa mungkin ia selalu menyempatkan diri agar berada di antara Diandra dan Mayra, tanpa melupakan kewajibannya terhadap Felix. Helena benar-benar dituntut pintar dalam membagi waktu yang dimilikinya, agar semua tanggung jawab dan kewajibannya bisa terpenuhi.Kini, baik Diandra maupun Mayra diharuskan rajin mendatangi rumah sakit untuk melakukan kontrol pascaoperasi cangkok ginjal yang mereka pernah l
Berhubung hari ini merupakan ulang tahunnya, nanti malam Felix akan membuat perayaan sederhana di kafe bersama beberapa sahabat dekatnya yang tadi telah dihubunginya. Walau perayaannya sangat sederhana, tapi demi kelancaran acaranya nanti malam, ia memutuskan untuk tidak mengikutsertakan Helena di dalamnya. Alasan utamanya tentu saja untuk menghindari berbagai macam ucapan miring yang akan dialamatkan kepada Helena oleh mulut sahabat-sahabatnya, terutama Hans. Ia sengaja tidak memberi tahu Helena mengenai hari ulang tahunnya. Sebagai gantinya, besok lusa ia berencana mengajak Helena menginap di hotel sekaligus makan malam romantis. Dengan kata lain, ia akan merayakan hari ulang tahunnya secara istimewa hanya berdua bersama Helena.“Masuk,” Felix memberi perintah kepada seseorang yang mengetuk pintu ruangannya dari luar. “Len, nanti malam aku ada acara bersama teman-temanku, jadi kamu tidak perlu memasak untukku. Setelah jam kantor bubar, aku akan mengantarmu mengambil mobilmu
Tubuh Helena kaku. Kakinya pun terasa sangat sulit digerakkan, seolah sedang tertancap paku besar. Isakan pilu seseorang di sampingnya membuat telinganya berdegung nyeri. Cairan bening dari matanya tanpa diinstruksi menetes kian deras. Ia sangat berharap, yang saat ini dilihatnya hanyalah sebuah mimpi buruk dalam tidurnya. Laki-laki yang tanpa pamrih menolongnya kini tengah terbaring sambil memejamkan matanya sangat rapat di atas brankar dengan tubuh dipenuhi kabel. Dokter mengatakan Wira koma karena cedera berat pada kepalanya akibat benturan keras.“Dee, kita keluar ya,” ajak Helena lirih, mengingat kini Wira tengah menempati ruang ICU.Meski sangat berat, Diandra pun menurut. Ia membiarkan Helena menarik tubuhnya agar menjauh dari pinggir brankar tempat Wira terbaring.Di luar ruang ICU, Helena sangat terkejut saat melihat Sonya bersama salah seorang klien tetap di perusahaan tempatnya bekerja. Ternyata keterkejutan bukan hanya dirasakan olehnya semata, melainka
Pendingin yang menyala seolah tidak berfungsi karena tubuh dua orang di dalam kamar tetap basah oleh keringat. Sejak dibangun, kamarnya memang dirancang kedap suara agar aktivitas di dalamnya tidak terdengar dari luar. Felix masih bergerak aktif dalam meraih pelepasannya yang terakhir di malam ini, mengingat ia sudah berhasil membuat Helena mengerang nikmat sejak beberapa jam lalu. Dengan sekali sentakan kuat, cairan hangatnya kembali menyirami rahim Helena. Bersamaan dengan itu, Helena pun kembali berhasil mendapatkan pelepasannya yang entah sudah berapa kali. Ia berharap aktivitas panasnya bersama sang istri saat ini kembali berhasil memberikan seorang adik untuk Liam selain Evelyn, apalagi putrinya tersebut sudah berusia dua tahun.Felix menoleh ke arah Helena saat mereka berusaha menormalkan deru napasnya yang terengah-engah di puncak aktivitas panasnya. “Lagi?” tanyanya iseng.“Jika besok aku tidak bisa berjalan gara-gara meladenimu, kamu yang ha
Felix dan Helena sangat antusias menyambut kelahiran bayi mereka yang diprediksikan tiga minggu lagi. Berbagai macam keperluan untuk bayi pun sudah mereka siapkan bersama, malah Felix yang lebih bersemangat mengajak Helena berbelanja. Berhubung mereka belum mengetahui jenis kelamin bayinya, keduanya sepakat membeli segala keperluan yang berwarna netral agar bisa digunakan untuk anak laki-laki ataupun perempuan. Sebenarnya bukan karena sang bayi yang masih ingin menyembunyikan jenis kelaminnya dari orang tuanya, hanya saja mereka sengaja tidak menanyakannya kepada dokter. Asalkan anak mereka sehat dan nantinya lahir normal serta tanpa kekurangan apa pun, keduanya tidak terlalu mempermasalahkan jenis kelaminnya. Apalagi Felix sudah menyiapkan dua buah nama untuk anaknya tersebut.Berhubung rumah masa depannya bersama keluarga kecilnya sudah selesai dibangun, Felix dan Helena pun mengadakan syukuran sederhana. Untuk memeriahkan acaranya, mereka mengundang keluarga
Kerutan menghiasi kening Felix saat mendapati Helena melamun di atas ranjang setelah ia keluar dari kamar mandi. Sejak dalam perjalanan pulang tadi, Felix merasa Helena menjadi lebih pendiam. Awalnya ia menduga jika istrinya tersebut kelelahan karena ikut melayani para konsumen yang mendatangi salonnya. Namun setelah melihat sikap Helena kini, sepertinya dugaannya tersebut keliru.Felix bergegas menaiki ranjang, kemudian dengan cepat mengecup pipi Helena agar istrinya tersebut tersadar dari lamunannya. Tindakannya berhasil. Helena menoleh ke arahnya, sehingga kini mereka saling berhadapan.“Sedang memikirkan apa, hm? Dari tadi aku perhatikan kamu melamun,” Felix bertanya sambil mengusap pipi sekaligus menyelami sorot mata Helena.Helena tersenyum tipis sambil menikmati usapan lembut pada pipinya. “Tunggu sebentar ya,” pintanya sebelum menuruni ranjang. Setelah kakinya menyentuh lantai, ia berjalan
Walau Helena sudah resmi berstatus sebagai istrinya sejak tiga bulan lalu dan semua kebutuhan finansialnya kini telah menjadi tanggung jawabnya, tapi Felix tidak pernah melarang wanita tersebut untuk bekerja. Bukannya Felix keberatan atau tidak sanggup membiayai pengeluaran Helena, melainkan karena ia tahu bahwa istrinya tersebut mempunyai jiwa pekerja keras dan tidak suka berpangku tangan. Meski demikian, Felix tetap mengingatkan Helena agar tidak terlalu lelah dengan kegiatannya, mengingat saat ini mereka sedang merencanakan memiliki momongan. Felix sangat bersyukur karena Helena menyetujui idenya yang tidak ingin menunda memiliki anak.Felix sempat kecewa karena sepulangnya mereka dari berbulan madu, Helena tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Bahkan, setelah mereka tiga bulan menikah, benihnya di dalam rahim sang istri belum juga berhasil tumbuh dan berkembang. Meski kecewa, tapi Felix selalu bersikap biasa saja di hadapan Helena. Ia tidak ingin membuat Helena merasa
Hari bersejarah dalam hidup Helena dan Felix akhirnya terlewati secara bertahap sekaligus lancar. Usai melakukan pemberkatan tadi pagi di gereja sekaligus mengikrarkan janji suci yang disaksikan oleh keluarga dan para sahabatnya, kini mereka sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Acara tadi pagi diwarnai oleh tangis bahagia dan haru, mengingat yang mengantar Helena ke altar bukan ayahnya sendiri, melainkan Dennisꟷpapanya Diandra.Kini Helena mulai merasakan kakinya pegal karena ia berdiri terlalu lama, apalagi bobot tubuhnya ditopang oleh sepasanghigh heelsyang cukup tinggi. Walau tamu yang menghadiri acara resepsi pernikahannya cukup banyak, tapi ia tidak mengenal mereka semua karena orang-orang tersebut diundang oleh Felix dan mertuanya.Walau betisnya pegal dan mulai berdenyut nyeri, tapi Helena merasa lega karena pada akhirnya semua tahapan acara pernikahannya selesai tanpa hambatan apa pun. Kini ia dan Felix sudah berada di dalam kamar peng
Para karyawan di perusahaan Felix sangat terkejut sekaligus turut bahagia ketika mendapat undangan resepsi pernikahan dari sang atasan. Akan tetapi, keterkejutan kembali mereka rasakan saat melihat nama calon pengantin wanita yang akan bersanding nanti dengan sang atasan, terutama Wisnu. Laki-laki tersebut sangat tidak menyangka jika ternyata Felix akan menikah dengan salah satu rekan kerjanya dulu, yang juga merupakan mantan sekretaris sang atasan sendiri. Awalnya Wisnu menduga kedatangan Helena beberapa kali ke kantor Felix, karena wanita cantik tersebut masih menjalin hubungan baik dengan sang atasan, walau sudah tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan. Walau kini Helena akan menjadi istri sang atasan, tapi Wisnu tetap bahagia mendengar kabar tentang pernikahan mereka dan pasti datang pada acara resepsi tersebut.Keterkejutan Wisnu tidak berpengaruh pada Shinta, sebab ia sudah mengetahuinya terlebih dulu. Sejak pertemuannya yang tanpa disengaja dengan Helen
Helena menutup mulutnya saat tiba-tiba Felix berlutut di depannya sambil mengulurkan kotak kecil yang berisi sebuah cincin berwarna putih. Ia tidak menyangka jika malam ini Felix kembali menyatakan niatnya dan memintanya untuk mendampingi hidupnya selama napasnya berembus. Ia tidak bisa menghalau matanya yang mulai memanas, hingga akhirnya meneteskan cairan bening. Perasaan haru pun kini sudah menyesaki rongga dadanya. Saat ini untuk kedua kalinya ia melihat Felix berlutut di hadapannya. Jika dulu Felix berlutut karena semua kesalahan yang telah diperbuatnya dan memohon diberi kesempatan, tapi kini laki-laki tersebut memintanya agar bersedia menjadi pendamping hidupnya.“Len, aku sadar jika diriku bukanlah laki-laki sempurna yang pernah kamu kenal atau inginkan menjadi pendampingmu, tapi perasaan dan cintaku sungguh tulus padamu. Aku berjanji padamu akan selalu belajar memantaskan diri selama bersanding denganmu. Aku sangat berharap kamu bersedia menerima
Hubungan Felix dengan Lisa sudah membaik dan kembali seperti semula. Itu pun atas campur tangan Helena dalam memberikan penjelasan kepada sang calon kakak ipar. Felix juga sudah memberhentikan Mariska dua minggu setelah Lisa mengetahui bahwa dirinya mempekerjakan perempuan tersebut. Selain tidak mau membuat Lisa semakin marah dan membencinya atas keberadaan Mariska di kantornya, alasan lain yang mendukungnya karena wanita tersebut kembali berulah sekaligus mengabaikan tegurannya. Mariska kembali menggunakan pakaian kekurangan bahan dan ketat saat menginjakkan kaki di kantornya, sehingga lekukan tubuhnya terpampang jelas. Tentu saja tindakan wanita tersebut menimbulkan banyak desas-desus dan spekulasi negatif di antara para karyawan lainnya. Awalnya Felix ingin memberhentikan Mariska secara terhormat, tapi berhubung tingkah dan tindakan wanita tersebut seperti itu, maka ia pun tanpa basa-basi langsung memecatnya. Selain untuk mematahkan desas-desus dan spekulasi negatif yang sudah te
Dengan tidak bersemangat Felix menyesap jus jeruk yang dibuatkan Helena untuknya. Kini ia sedang berada di teras belakang rumah Helena dan mendudukihammockmilik wanita tersebut. Ia sudah menuruti saran Helena yang dikirimkan melalui pesan singkat siang tadi, dengan pura-pura tidak mengetahui keberadaan Lisa. Namun, saat datang tadi, ia melihat Lisa sedang mengajari Mayra di ruang keluarga. Ia pun pura-pura memasang ekspresi wajah terkejut saat bertatapan dengan sang kakak. Setelah Lisa melihat kedatangannya, kakaknya tersebut langsung mengajak Mayra ke kamar untuk melanjutkan acara belajarnya.“Sudah makan?” tanya Helena sambil menatap Felix yang wajahnya sangat kusut. Penampilan laki-laki tersebut saat ini lusuh, sangat berbeda dari biasanya.Felix mengalihkan tatapannya ke arah Helena, kemudian menggeleng pelan. “Tidak ada nafsu makan,” jawabnya lesu. “Aku pusing, Len,” adunya sambil