Helena terbangun dari tidurnya saat merasa perutnya keroncongan. Sebelum bangun dari posisi berbaringnya, dengan perlahan ia mengangkat tangan Felix yang bertengger di pinggangnya, kemudian memindahkannya ke atas kasur. Ia tersenyum saat menatap mata Felix terpejam rapat dan wajahnya yang terlihat damai. Mereka ketiduran setelah menuntaskan ronde kedua permainannya. Karena mereka melewatkan waktu makan malamnya, kini perut Helena pun dilanda kelaparan.
Setelah turun dari ranjang dengan hati-hati agar Felix tidak terbangun, Helena langsung memungut pakaiannya yang berserakan di lantai sebelum menuju kamar mandi untuk menyegarkan wajahnya. Helena terpaksa menutupi tubuh telanjangnya dengan kemeja yang tadi Felix kenakan di kantor, mumpung baju tersebut belum dimasukkan ke keranjang cucian kotor. Sebelum keluar kamar dan menuju dapur, Helena menyelimuti tubuh polos Felix.
Tanpa membuang waktu Helena langsung menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sebuah masakan, mengingat perutnya sudah sangat lapar. Dengan cekatan Helena mulai berkutat di dapur.
Sambil merebus ayam untuk dicari kaldunya, tangan Helena dengan terampil memotong beberapa jenis sayuran yang akan diolahnya menjadi sebuah masakan. Ia akan membuat sup ayam yang dicampur sayuran dan sosis untuk memanjakan perutnya.
Beberapa menit sibuk membuat masakan, Helena kaget saat tiba-tiba pundaknya menopang dagu seseorang. Bahkan, kini pinggangnya pun sudah dilingkari sepasang lengan kekar dari belakang.
“Kamu lapar juga?” Helena bertanya tanpa menoleh, sebab ia sudah mengetahui laki-laki yang menempel di punggungnya.
“Tentu saja,” Felix menjawabnya sebelum menguap. “Rasanya seperti tidak makan dua hari,” imbuhnya yang membuat Helena tertawa ringan.
“Salah siapa tadi kita tidak makan dulu?” sindir Helena. “Langsung main tancap saja,” cibirnya.
“Siapa juga yang menyuruhmu menyusulku ke kamar? Padahal tadi aku hanya berganti pakaian,” Felix mengelak dengan memutar pertanyaan. “Kamu yang terlalu bernafsu saat melihatku shirtless dan hanya memakai boxer brief untuk menutupi bagian bawah tubuhku,” tuduhnya.
Helena menyikut perut Felix, meski tuduhan tersebut benar adanya. “Itu bukan aku, Fel, tapi dewi jalang di dalam tubuhku yang terlepas begitu saja,” batin Helena memberikan tanggapan. “Kenakalan tanganmu tolong ditangguhkan dulu ya, Fel. Aku lagi masak dan biar kita bisa cepat makan,” tegurnya saat salah satu tangan Felix telah merambat ke arah gundukan di dadanya yang hanya dilapisi kemeja laki-laki tersebut.
Felix mengabaikan teguran Helena. “Tanganku tidak akan nakal, hanya menempel dan memegangnya saja,” ujarnya sambil menempelkan telapak tangannya pada salah satu gundukan kenyal milik Helena meski disentuh dari luar kemeja.
Helena hanya bisa menghela napas menghadapi tingkah Felix. Walau sedikit kesusahan bergerak karena Felix setia menempel di punggungnya, akhirnya masakan Helena pun matang.
“Fel, bantu aku membawa mangkuk ke meja makan. Masakanku sudah matang.” Helena menggerakkan sebelah bahunya agar Felix mengangkat dagunya.
“Baiklah.” Setelah melihat Helena mematikan kompor, Felix meremas lembut gundukan yang tadi dipegangnya. Ia tertawa saat mendengar desahan Helena karena ulah tangannya.
***
Karena perut mereka sama-sama lapar, akhirnya sup ayam yang dicampur sayur dan sosis pun tidak tersisa. Ternyata perut mereka membutuhkan banyak asupan makanan setelah tadi keduanya melakukan kegiatan yang menguras tenaga. Sebelum Helena kembali ke dapur membawa peralatan makannya dan mencucinya, mereka menyempatkan diri untuk mengobrol.
“Akhirnya perutku kenyang juga, tenagaku pun sudah kembali. Itu artinya nanti aku siap untuk melanjutkan ronde ketiga,” ujar Felix frontal sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah Helena.
“Aku mau tidur, silakan kamu garap saja tubuhku,” Helena menanggapinya dengan acuh tak acuh.
“Aku tidak yakin kamu bisa tidur nyenyak saat tubuhmu digarap,” balas Felix menyangsingkan. “Yang ada kamu akan mengimbangi gerakanku,” imbuhnya.
Helena hanya menatap Felix malas. “Oh ya, Fel, boleh aku bertanya sesuatu?” tanyanya mengalihkan pembahasan saat tiba-tiba sebuah pertanyaan terlintas di benaknya.
Felix mengangguk. “Tanyakan saja,” suruhnya.
“Sebelumnya aku minta maaf dan tidak bermaksud untuk membuatmu kembali marah,” pinta Helena sebelum ke inti pertanyaan. “Kenapa kamu sangat membenci tahu? Sampai-sampai kamu sangat marah setiap kali aku membeli bahan makanan itu,” tanyanya penasaran.
Ekspresi wajah Felix seketika berubah setelah mendengar pertanyaan Helena. Ia menatap sorot mata Helena yang penuh keingintahuan. “Haruskah aku mengatakan secara jujur padanya yang jelas bukan siapa-siapa?” batinnya menimbang.
Menyadari perubahan raut wajah Felix menjadi dingin membuat Helena takut. “Jika kamu tidak ingin menjawabnya, abaikan saja, Fel. Anggap saja aku tidak pernah menanyakannya,” pintanya mencicit. Helena memang takut melihat Felix jika sudah memasang wajah datar atau dingin.
“Kenapa kamu tiba-tiba menanyakannya?” tanya Felix dengan nada datar, tapi penuh selidik.
“Aku hanya penasaran saja, sebab kemarin kamu sangat marah padaku,” Helena berkata jujur. “Waktu pertama kali aku bekerja pun, kamu juga sangat marah saat melihat makanan dari tahu di atas meja. Bahkan, kamu membuang masakanku.” Kini ia lebih memilih menundukkan kepalanya.
“Karena bahan makanan itu mengingatkanku pada seseorang yang sangat aku benci dalam hidupku,” akhirnya Felix memberi tahu Helena alasannya ia membenci bahan makanan tahu.
Walau sedikit terkejut mendengar alasan Felix, tapi Helena menganggukkan kepalanya pelan. “Pasti dulunya seseorang tersebut sangat spesial di dalam hidup Felix, sehingga dampaknya separah ini,” komentarnya dalam hari. “Ya sudah, kalau begitu sebaiknya kamu mandi lebih dulu. Aku mau mencuci peralatan bekas makan kita,” ucapnya sambil tangannya mulai mengumpulkan peralatan yang mereka pakai makan tadi.
Tanpa menunggu tanggapan Felix, Helena bergegas berdiri dan membawa peralatan bekas makan mereka ke dapur. Kini Helena sudah mengetahui alasannya, jadi untuk ke depannya ia tidak akan menyinggung mengenai bahan makanan itu lagi agar terhindar dari kemarahan Felix.
***
Walau matanya masih mengantuk dan tubuhnya terlampau malas untuk beranjak dari ranjang, tapi Helena tetap harus bangun. Ia harus menyiapkan sarapan untuk Felix sebelum laki-laki tersebut berangkat ke kantor. Dengan sangat hati-hati ia menjauhkan tangan Felix yang memeluk posesif perut polosnya dari belakang. Mereka memang tidak pernah mengenakan sehelai benang pun saat tidur bersama, terlebih setelah usai melakukan aktivitas ranjang. Bukan Helena yang mempunyai ide seperti itu, melainkan Felix sendiri.
Helena merasa sekujur tubuhnya sangat pegal dan kaku, terutama pada area sensitifnya bagian bawah. Usai mengisi perutnya kemarin malam dengan sup sederhana, Felix kembali melanjutkan permainannya yang sempat terjeda karena mereka ketiduran.
Setelah turun dari ranjang, Helena mencari keberadaan gaun tidurnya yang kemarin malam dilempar entah ke mana oleh Felix usai ia mandi. Sebelum menuju dapur, ia ingin ke kamar mandi terlebih dulu untuk sekadar membasuh wajah.
Helena merasa sedikit lebih segar setelah wajahnya terkena air. Ia berjalan menuju pintu dan membukanya tanpa menimbulkan suara agar tidak mengganggu tidur Felix. Berhubung kemarin malam ia dan Felix melakukan kegiatan yang benar-benar sangat melelahkan, maka pagi ini Helena memutuskan membuat nasi goreng spesial sebagai menu sarapan untuk mengembalikan tenaga mereka. Sebagai minuman pendamping sarapan mereka, Helena juga membuat dua gelas jus buah alpukat. Setelah nasi gorengnya matang dan terhidang di atas meja, ia baru akan membangunkan Felix.
Hampir setengah jam Helena berkutat di dapur, akhirnya nasi goreng spesial buatannya selesai juga. Saat sedang memindahkan nasi goreng di wajan ke piring di tangannya, Helena terkejut oleh sepasang lengan kekar yang memeluk pinggangnya secara tiba-tiba dari belakang. Walau Felix sering melakukannya dan sudah menjadi kebiasaan laki-laki tersebut, tapi tetap saja Helena akan terkejut.
“Baru saja aku ingin membangunkanmu karena nasi gorengku sudah matang,” ujar Helena dan melanjutkan kegiatan tangannya yang tadi terhenti sejenak.
Felix memegang dan memutar kepala Helena ke arahnya, agar ia bisa mengecup bibir tipis milik wanita tersebut. Ia tersenyum saat Helena membalas kecupannya dengan lumatan singkat.
“Sebenarnya aku ingin menunggumu membangunkanku, tapi hidungku tidak bisa diajak kompromi saat mencium aroma masakanmu,” gerutu Felix.
Helena hanya terkekeh menanggapi gerutuan Felix. “Itu artinya kamu sedang kelaparan, makanya pasukan cacing di dalam perutmu tidak mau berkompromi denganmu,” balasnya.
“Kamu benar. Aku sangat kelaparan karena tenagaku habis setelah digunakan untuk menyentuhmu tiada henti. Bahkan, hingga dini hari tadi.” Felix mengulum senyum melihat wajah Helena memerah setelah mendengar perkataan mesumnya.
Felix membantu Helena membawa nasi goreng yang akan mereka santap ke meja makan. “Aku yakin kamu jauh lebih kelaparan dibandingkan denganku. Apalagi setelah kamu mengalami klimaks yang tak terhitung. Ditambah kemarin kita hanya makan malam dengan sup ayam dan sayur saja,” ucapnya frontal. Ia menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum puas melihat rona yang menghiasi pipi Helena.
Meski yang dikatakan Felix sesuai kenyataan, tapi Helena lebih memilih bungkam. Ia mengekori Felix menuju meja makan sambil membawa dua gelas jus alpukat. “Selamat makan.”
Helena sengaja mengabaikan perkataan frontal Felix yang membahas mengenai aktivitas ranjang mereka. Ia tidak habis pikir jika mereka akan melakukan kegiatan panas tersebut sejak pulang dari kantor hingga dini hari tadi, walau tetap ada jeda.
Felix tersenyum lebar menanggapi sikap Helena yang mengabaikan ucapannya. “Setelah aku berangkat ke kantor, sebaiknya kamu lanjutkan tidurmu di sini. Pulihkan tenagamu agar besok bisa kembali bekerja seperti biasanya,” sarannya.
Sambil menyuap makanannya Helena menggelengkan kepala mendengar saran Felix. “Aku akan beristirahat di apartemenku. Sore nanti aku ke sini lagi untuk membuatkanmu menu makan malam,” ujarnya. Sesuai rencananya, hari ini ia akan mengantar sekaligus menemani Mayra ke rumah sakit untuk cuci darah.
Tanpa berniat menolak, Felix langsung menyetujui yang diinginkan Helena. “Nanti malam aku ingin makan iga bakar,” ia memberitahukan menu yang ingin dinikmatinya saat makan malam nanti.
“Baiklah, nanti aku akan membuatkannya untukmu,” balas Helena seraya tersenyum.
Helena tersenyum puas saat diam-diam melihat Felix yang dengan lahap menyantap makanan buatannya.
***
Terpaksa Helena mengarang alasan mengenai keabsenannya ke kantor saat tadi Bi Mira bertanya padanya. Helena memberitahukan jika ia sengaja tidak masuk kantor karena ingin mengantar sekaligus menemani Mayra ke rumah sakit untuk cuci darah. Ia juga berdusta kepada Bi Mira dan Mayra dengan mengatakan kemarin malam dirinya diminta menjaga apartemen sang atasan karena laki-laki tersebut sedang pergi ke luar kota. Ia bernapas lega karena Bi Mira atau Mayra tidak bertanya lebih lanjut.
Helena hanya pergi bersama Mayra ke rumah sakit, sedangkan Bi Mira tetap tinggal di rumah. Ia akan meminta Bi Mira menyusulnya ke rumah sakit saat sore nanti, untuk menggantikannya menjaga Mayra. Sebab, seperti biasanya Helena akan mengajak Mayra menginap di rumah sakit satu malam setiap setelah menjalani cuci darah. Ia hanya ingin memastikan keadaan sang adik baik-baik saja dan tetap berada dalam pengawasan tenaga medis.
Helena menatap Mayra yang masih memejamkan mata setelah usai menjalani cuci darah. Ia segera mengalihkan kefokusannya saat mendengar langkah seseorang memasuki ruang perawatan Mayra yang memang tidak tertutup. Bibirnya menyunggingkan senyum saat melihat pemilik langkah tersebut.
“Aku kira kamu sudah pulang setelah Mayra dipindahkan ke sini,” ucap Helena pada laki-laki yang kini sedang berdiri di sampingnya sambil menatap Mayra.
Laki-laki tersebut hanya menggeleng. “Di luar saja kita mengobrol, agar istirahat Mayra tidak terganggu,” ajaknya.
Helena langsung menyetujui ajakan laki-laki yang dulu menjadi tetangganya, sebelum rumahnya digadaikan oleh sang ibu tiri. Wira, nama laki-laki tersebut dan pernah Helena impikan menjadi kekasihnya. Karena Helena tidak mempunyai keberanian untuk menyatakan perasaannya terlebih dulu, maka rasa yang dimilikinya tersebut pun hingga kini tetap ia pendam seorang diri. Namun kini, keinginan untuk menjadi kekasih Wira harus dikuburnya dalam-dalam, mengingat sekarang dirinya sudah sangat tidak pantas. Wira berhak mendapatkan perempuan baik-baik yang akan mendampingi hidupnya kelak, bukan wanita penghangat ranjang seperti dirinya.
“Bagaimana kabar Sonya? Sudah lama aku tidak pernah bertemu dengannya,” Helena bertanya ketika berjalan bersebelahan meninggalkan ruang rawat Mayra.
“Baik. Kalau kamu ada waktu, datanglah ke rumah agar kalian bisa bertemu. Ajak juga Mayra dan Bi Mira kalau kamu datang ke rumah,” jawab Wira setelah mereka berdua duduk di bangku panjang yang ada di luar ruang perawatan Mayra.
“Tidak lama lagi kami pasti bisa sering berkunjung ke rumah kalian.” Helena mengulum senyum ketika melihat ekspresi terkejut Wira. “Aku sudah lunas membayar tebusan rumah yang digadaikan oleh wanita itu,” beri tahunya tanpa berniat mengalihkan tatapannya dari wajah Wira. Menatap sorot mata Wira yang teduh selalu mampu memberinya ketenangan.
“Aku salut dengan kerja keras yang kamu lakukan, Len.” Wira membawa Helena ke dalam pelukannya. Ia terharu dengan perjalanan hidup yang dilalui oleh sahabatnya. “Sebagai sahabatmu, aku minta maaf karena tidak bisa memberikan banyak bantuan,” pintanya.
“Kamu tidak menghakimiku dan tetap mau berteman denganku saja, aku sudah sangat berterima kasih padamu, Wira. Padahal kamu sudah mengetahui pekerjaan seperti apa yang aku lakukan demi mendapatkan uang lebih. Ketulusan dan keikhlasanmu dalam membantuku merawat Mayra, tidak ternilai dengan bayaran sebanyak apa pun. Bahkan, jika aku memberimu banyak uang, tetap saja itu tidak akan pernah cukup,” ucap Helena saat membalas pelukan Wira. Bahkan, ia tidak malu untuk menumpahkan air matanya pada kemeja yang digunakan oleh Wira.
“Aku tidak berhak menghakimi apa yang dilakukan oleh seseorang. Kamu berani melakoni pekerjaan tersebut karena ada alasan kuat dan mendesak yang mendasarinya. Sebagai seorang sahabat aku hanya ingin suatu saat nanti kamu mendapat dan menikmati kebahagiaanmu.” Wira mengurai pelukannya. Tanpa ragu ia menyusut cairan yang membasahi pipi sahabatnya. “Mayra pasti sangat bangga mempunyai kakak sepertimu,” pujinya, kemudian mencubit gemas pipi Helena yang masih lembap karena air mata.
Helena menurunkan tangan Wira yang usil mencubit gemas pipinya. Ia menghela napas saat mengingat hingga kini dirinya belum juga menemukan donor ginjal untuk adiknya yang malang. “Entah kapan aku bisa menemukan atau ada orang yang bersedia mendonorkan ginjalnya untuk Mayra,” ucapnya nelangsa.
Wira mengusap punggung tangan Helena. “Kita harus bersabar, Len. Kita juga harus yakin jika suatu saat nanti pasti akan ada orang yang berbaik hati mendonorkan ginjalnya kepada Mayra,” ujarnya menenangkan. “Aku akan selalu mengabarimu jika menemukan informasi mengenai donor ginjal,” sambungnya.
“Terima kasih banyak, Wira. Aku berjanji akan melakukan apa pun untuk membalas semua kebaikanmu,” Helena berucap bersungguh-sungguh. “Perempuan yang akan menjadi kekasih atau istrimu kelak pasti sangat beruntung, mengingat laki-laki sekarang kebanyakan lebih memikirkan urusan selangkangan dibandingkan hati nurani. Sekalinya memberikan pertolongan, pasti diikuti oleh harga yang harus dibayar,” imbuhnya seolah menyuarakan isi hatinya.
“Apakah laki-laki tersebut melakukan kekerasan saat kalian berhubungan?” selidik Wira tanpa malu.
Mendengar pertanyaan sensitif yang dilontarkan Wira seketika membuat wajah Helena memerah karena malu. Ia menunduk dan menggelengkan kepala sebagai bentuk jawabannya. “Jangan menatapku seperti itu, Wira,” tegurnya saat merasakan Wira masih menatapnya penuh selidik. Ia benar-benar malu karena Wira melayangkan pertanyaan yang berhubungan dengan aktivitas intimnya.
Wira mengacak rambut Helena. “Ayo kita makan siang di kantin,” ajaknya.
Helena mengangkat wajahnya. “Kamu akan menemaniku di sini sampai sore?” tanyanya ingin tahu.
“Tentu saja tidak. Usai makan siang baru aku pulang,” jawab Wira setelah berdiri. “Tiba di rumah aku biar langsung mandi dan tidur,” jelasnya.
Helena manggut-manggut. “Kalau begitu aku mau melihat Mayra sebentar, sekalian mengambil dompet,” ujarnya. “Hari ini aku yang mentraktir makan siangmu,” selanya cepat saat melihat Wira akan protes. Ia terkekeh mendengar dengusan Wira atas selaannya. Ia pun bergegas kembali menuju ruang perawatan Mayra untuk mengambil dompetnya sekaligus melihat sang adik.
Setelah Helena pulang usai menemaninya makan malam, Felix malas berada di apartemen sendirian, jadi ia memutuskan mengunjungi kelab malam untuk mencari hiburan. Sebenarnya sejak menjadikan Helena sebagai penghangat ranjangnya, Felix hampir tidak pernah lagi mendatangi kelab malam, meski hanya untuk sekadar menikmati minuman beralkohol. Namun, untuk malam ini akan menjadi pengecualian bagi dirinya.Saat tiba di basement apartemennya, Felix melihat mobil Hans yang hendak parkir. Ia menghela napas saat melihat kantong plastik yang ada di tangan Hans, setelah sahabatnya tersebut keluar dari mobil. Malam ini ia terpaksa harus membatalkan niatnya untuk mencari hiburan di tempat yang dipenuhi oleh dentuman musik, para wanita sexy dan berbagai minuman beralkohol.“Mau ke mana, Hans?” Felix pura-pura menanyakan tujuan Hans yang kini berjalan menghampirinya.“Tentu saja ke rumah keduaku,” Hans menjawabnya tanpa ragu.Pupil mata Felix melebar mendengar jawaban seenaknya
Mata Helena berkaca-kaca saat sertifikat rumahnya kembali berada dalam genggaman tangannya. Jika saja rumah tersebut bukan satu-satunya harta peninggalan milik sang ayah, maka ia tidak perlu repot-repot mengumpulkan uang untuk menebusnya. Selain menjadi harta peninggalan sang ayah, rumah tersebut juga banyak menyimpan kenangan manis bersama orang tuanya ketika mereka masih hidup. Walau tidak besar, tapi rumah tersebut sangat berarti dalam hidupnya.Helena meminta kepada Mayra dan Bi Mira untuk mulai mengemas barang masing-masing, sebab minggu depan ia akan mengajak mereka pindah ke rumah yang sudah ditebusnya tersebut. Walau mereka akan pindah, tapi Helena tidak berniat memberi tahu Felix. Semasih bekerja pada Felix ia tidak akan meninggalkan apartemen yang diberikan oleh laki-laki tersebut sebagai hadiah kesepakatan mereka.“Len, besok Bibi mau membersihkan rumah sebelum minggu depan kita tempati.” Bi Mira meletakkan pisang goreng yang masih panas dan secangkir teh di a
Helena menatap Felix penuh tanya saat mereka bersiap untuk makan malam. Sejak pulang dari kantor, Felix hanya diam dan langsung menuju kamar tidurnya. Ketika dipanggil untuk makan malam setelah ia selesai memasak, Felix baru keluar kamar sambil menampilkan ekspresi datar. Saat Helena mengajaknya berbicara atau berinteraksi, Felix hanya memberikan tanggapan singkat. Ketika ditanya pun, laki-laki tersebut terlihat malas sekaligus sangat enggan untuk menjawabnya. Walau menyantap masakannya dengan lahap, tapi laki-laki di hadapannya hanya membisu. Sambil mengamati, dalam diam Helena meraba-raba kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap Felix.Selama makan malam berlangsung, hanya denting sendok yang terdengar. Bahkan, hingga makanan di piring masing-masing habis, Felix tetap mempertahankan kebungkamannya. Seharusnya malam ini Helena menemani Felix tidur, tapi berhubung sikap laki-laki tersebut seolah tidak menganggap keberadaannya, jadi ia putuskan akan pulang ke rumahnya sendiri
Walau rasa khawatir dan panik memenuhi benaknya, tapi Helena berusaha keras agar tetap terlihat tenang, mengingat saat ini dirinya masih berada di kantor. Ia tidak ingin gelagatnya dicurigai oleh Felix, sehingga membuat laki-laki tersebut bertanya-tanya. Helena meninggalkan meja kerjanya dan bergegas menuju toilet untuk menenangkan diri agar bisa menemukan alasan yang masuk akal, sebab ia ingin pulang lebih awal.Saat melihat pantulan wajah pucatnya di cermin besar yang ada di dalam toilet, tiba-tiba sebuah ide terbesit di benaknya. Helena terpaksa akan mengarang sebuah kebohongan tentang dirinya agar Felix percaya dan langsung memberinya izin pulang lebih cepat. Setelah meyakinkan diri, ia mengembuskan napasnya sedikit keras sebelum menemui Felix di ruang kerjanya.Helena memasuki ruangan Felix setelah ketukan pintunya direspons. Ia melihat Felix sedang serius menatap layar komputernya. “Fel,” panggilnya dengan nada pelan yang disengaja.Mendengar suara Helena yan
Helena mulai merasa tubuhnya remuk. Selama sepuluh hari ini ia benar-benar harus pintar membagi waktu. Antara bekerja, menjaga Mayra di rumah sakit, dan melakukan kewajibannya di apartemen Felix, termasuk melayani laki-laki tersebut di ranjang. Berhubung kondisi Mayra belum sepenuhnya stabil, makanya Helena memutuskan agar sang adik tetap dirawat di rumah sakit supaya selalu mendapat pemantauan dari tim medis. Demi staminanya agar tetap terjaga, Helena mengonsumsi suplemen setelah Wira menyarankan kepadanya untuk memeriksakan diri.Sepulangnya dari kantor Helena tidak ke apartemen Felix seperti hari-hari biasanya untuk menyiapkan makan malam atau menghangatkan ranjang laki-laki tersebut. Hari ini Felix diundang makan malam oleh Nyonya Narathama, yang tidak lain adalah ibu kandung Hans di kediaman pribadinya. Oleh karena itu, tanpa membuang waktu, Helena langsung menuju rumah sakit untuk menggantikan Bi Mira menjaga Mayra. Sampai saat ini Helena sengaja merahasiakan kondisi san
Helena tidak tahu harus berkata apa ketika mendengar kabar baik yang disampaikan oleh Wira melalui telepon. Netranya berkaca-kaca dan tenggorokannya tercekat karena saking bahagianya, seolah-olah ia menemukan sumber mata air di padang pasir yang tandus. Kini ia membenarkan sekaligus memercayai peribahasa yang mengatakan bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Dulu ia menganggap peribahasa tersebut hanyalah perkataan orang bijak yang mencoba bersikap tegar dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Doa yang setiap saat dipanjatkannya, kini mulai bersambut. Kesabaran yang selalu dipupuknya dalam menanti pun, sebentar lagi akan membuahkan hasil.Sepulangnya dari apartemen Felix, Helena akan ke rumah Wira untuk bertemu dengan seseorang yang berbaik hati ingin membantu kesembuhan adiknya. Selama sebulan ini sejak Mayra keluar dari rumah sakit, Helena selalu memikirkan kondisi sang adik untuk ke depannya. Namun, beban pikirannya tersebut kini sedikit terangkat karena kabar yang Wira beri ta
Walau Helena sangat senang karena kabar menggembirakan yang diterima kemarin dari Wira dan Diandra, tapi pagi ini ia berusaha terlihat biasa saja saat berhadapan dengan Felix. Helena sudah menyusun rencana agar nanti Felix memberinya izin keluar kantor setelah jam makan siang usai. Nanti ia berniat mendatangi rumah sakit untuk membicarakan mengenai jadwal operasi yang akan dijalani Mayra.“Fel,” Helena memanggil Felix yang telah menghabiskan sarapannya. “Fel, nanti usai jam makan siang aku boleh izin meninggalkan kantor sebentar?” tanyanya setelah Felix menatapnya dan memberikan isyarat untuk melanjutkan.“Mau ke mana?” Felix mengernyit sekaligus menyipitkan matanya.“Aku mau membawa adikku ke rumah sakit. Kemarin malam adikku demam,” Helena berdusta.Dalam hati Helena berulang kali menggumamkan kata maaf, ia terpaksa membawa-bawa nama Mayra agar Felix memberinya izin, walau tujuan utamanya ke rumah sakit memang untuk kepentingan sang adik. Helena terpaksa ke
Waktu terasa sangat cepat berlalu. Tanpa disadari sudah tiga bulan operasi pencangkokkan ginjal yang dijalani Diandra dan Mayra terlewati. Walau saat itu cukup menegangkan, tapi prosesnya berjalan dengan lancar. Helena tidak sendiri, ada Wira, Sonya, dan Bi Mira yang selalu setia bersamanya saat menunggu berlangsungnya operasi. Bahkan, ketiganya sangat berperan aktif dalam menjaga sekaligus mendampingi Diandra dan Mayra sewaktu menjalani masa pemulihan.Meski merasa tanggung jawabnya diringankan oleh keberadaan ketiga orang tersebut, tapi tidak membuat Helena lepas tangan. Sebisa mungkin ia selalu menyempatkan diri agar berada di antara Diandra dan Mayra, tanpa melupakan kewajibannya terhadap Felix. Helena benar-benar dituntut pintar dalam membagi waktu yang dimilikinya, agar semua tanggung jawab dan kewajibannya bisa terpenuhi.Kini, baik Diandra maupun Mayra diharuskan rajin mendatangi rumah sakit untuk melakukan kontrol pascaoperasi cangkok ginjal yang mereka pernah l
Pendingin yang menyala seolah tidak berfungsi karena tubuh dua orang di dalam kamar tetap basah oleh keringat. Sejak dibangun, kamarnya memang dirancang kedap suara agar aktivitas di dalamnya tidak terdengar dari luar. Felix masih bergerak aktif dalam meraih pelepasannya yang terakhir di malam ini, mengingat ia sudah berhasil membuat Helena mengerang nikmat sejak beberapa jam lalu. Dengan sekali sentakan kuat, cairan hangatnya kembali menyirami rahim Helena. Bersamaan dengan itu, Helena pun kembali berhasil mendapatkan pelepasannya yang entah sudah berapa kali. Ia berharap aktivitas panasnya bersama sang istri saat ini kembali berhasil memberikan seorang adik untuk Liam selain Evelyn, apalagi putrinya tersebut sudah berusia dua tahun.Felix menoleh ke arah Helena saat mereka berusaha menormalkan deru napasnya yang terengah-engah di puncak aktivitas panasnya. “Lagi?” tanyanya iseng.“Jika besok aku tidak bisa berjalan gara-gara meladenimu, kamu yang ha
Felix dan Helena sangat antusias menyambut kelahiran bayi mereka yang diprediksikan tiga minggu lagi. Berbagai macam keperluan untuk bayi pun sudah mereka siapkan bersama, malah Felix yang lebih bersemangat mengajak Helena berbelanja. Berhubung mereka belum mengetahui jenis kelamin bayinya, keduanya sepakat membeli segala keperluan yang berwarna netral agar bisa digunakan untuk anak laki-laki ataupun perempuan. Sebenarnya bukan karena sang bayi yang masih ingin menyembunyikan jenis kelaminnya dari orang tuanya, hanya saja mereka sengaja tidak menanyakannya kepada dokter. Asalkan anak mereka sehat dan nantinya lahir normal serta tanpa kekurangan apa pun, keduanya tidak terlalu mempermasalahkan jenis kelaminnya. Apalagi Felix sudah menyiapkan dua buah nama untuk anaknya tersebut.Berhubung rumah masa depannya bersama keluarga kecilnya sudah selesai dibangun, Felix dan Helena pun mengadakan syukuran sederhana. Untuk memeriahkan acaranya, mereka mengundang keluarga
Kerutan menghiasi kening Felix saat mendapati Helena melamun di atas ranjang setelah ia keluar dari kamar mandi. Sejak dalam perjalanan pulang tadi, Felix merasa Helena menjadi lebih pendiam. Awalnya ia menduga jika istrinya tersebut kelelahan karena ikut melayani para konsumen yang mendatangi salonnya. Namun setelah melihat sikap Helena kini, sepertinya dugaannya tersebut keliru.Felix bergegas menaiki ranjang, kemudian dengan cepat mengecup pipi Helena agar istrinya tersebut tersadar dari lamunannya. Tindakannya berhasil. Helena menoleh ke arahnya, sehingga kini mereka saling berhadapan.“Sedang memikirkan apa, hm? Dari tadi aku perhatikan kamu melamun,” Felix bertanya sambil mengusap pipi sekaligus menyelami sorot mata Helena.Helena tersenyum tipis sambil menikmati usapan lembut pada pipinya. “Tunggu sebentar ya,” pintanya sebelum menuruni ranjang. Setelah kakinya menyentuh lantai, ia berjalan
Walau Helena sudah resmi berstatus sebagai istrinya sejak tiga bulan lalu dan semua kebutuhan finansialnya kini telah menjadi tanggung jawabnya, tapi Felix tidak pernah melarang wanita tersebut untuk bekerja. Bukannya Felix keberatan atau tidak sanggup membiayai pengeluaran Helena, melainkan karena ia tahu bahwa istrinya tersebut mempunyai jiwa pekerja keras dan tidak suka berpangku tangan. Meski demikian, Felix tetap mengingatkan Helena agar tidak terlalu lelah dengan kegiatannya, mengingat saat ini mereka sedang merencanakan memiliki momongan. Felix sangat bersyukur karena Helena menyetujui idenya yang tidak ingin menunda memiliki anak.Felix sempat kecewa karena sepulangnya mereka dari berbulan madu, Helena tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Bahkan, setelah mereka tiga bulan menikah, benihnya di dalam rahim sang istri belum juga berhasil tumbuh dan berkembang. Meski kecewa, tapi Felix selalu bersikap biasa saja di hadapan Helena. Ia tidak ingin membuat Helena merasa
Hari bersejarah dalam hidup Helena dan Felix akhirnya terlewati secara bertahap sekaligus lancar. Usai melakukan pemberkatan tadi pagi di gereja sekaligus mengikrarkan janji suci yang disaksikan oleh keluarga dan para sahabatnya, kini mereka sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Acara tadi pagi diwarnai oleh tangis bahagia dan haru, mengingat yang mengantar Helena ke altar bukan ayahnya sendiri, melainkan Dennisꟷpapanya Diandra.Kini Helena mulai merasakan kakinya pegal karena ia berdiri terlalu lama, apalagi bobot tubuhnya ditopang oleh sepasanghigh heelsyang cukup tinggi. Walau tamu yang menghadiri acara resepsi pernikahannya cukup banyak, tapi ia tidak mengenal mereka semua karena orang-orang tersebut diundang oleh Felix dan mertuanya.Walau betisnya pegal dan mulai berdenyut nyeri, tapi Helena merasa lega karena pada akhirnya semua tahapan acara pernikahannya selesai tanpa hambatan apa pun. Kini ia dan Felix sudah berada di dalam kamar peng
Para karyawan di perusahaan Felix sangat terkejut sekaligus turut bahagia ketika mendapat undangan resepsi pernikahan dari sang atasan. Akan tetapi, keterkejutan kembali mereka rasakan saat melihat nama calon pengantin wanita yang akan bersanding nanti dengan sang atasan, terutama Wisnu. Laki-laki tersebut sangat tidak menyangka jika ternyata Felix akan menikah dengan salah satu rekan kerjanya dulu, yang juga merupakan mantan sekretaris sang atasan sendiri. Awalnya Wisnu menduga kedatangan Helena beberapa kali ke kantor Felix, karena wanita cantik tersebut masih menjalin hubungan baik dengan sang atasan, walau sudah tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan. Walau kini Helena akan menjadi istri sang atasan, tapi Wisnu tetap bahagia mendengar kabar tentang pernikahan mereka dan pasti datang pada acara resepsi tersebut.Keterkejutan Wisnu tidak berpengaruh pada Shinta, sebab ia sudah mengetahuinya terlebih dulu. Sejak pertemuannya yang tanpa disengaja dengan Helen
Helena menutup mulutnya saat tiba-tiba Felix berlutut di depannya sambil mengulurkan kotak kecil yang berisi sebuah cincin berwarna putih. Ia tidak menyangka jika malam ini Felix kembali menyatakan niatnya dan memintanya untuk mendampingi hidupnya selama napasnya berembus. Ia tidak bisa menghalau matanya yang mulai memanas, hingga akhirnya meneteskan cairan bening. Perasaan haru pun kini sudah menyesaki rongga dadanya. Saat ini untuk kedua kalinya ia melihat Felix berlutut di hadapannya. Jika dulu Felix berlutut karena semua kesalahan yang telah diperbuatnya dan memohon diberi kesempatan, tapi kini laki-laki tersebut memintanya agar bersedia menjadi pendamping hidupnya.“Len, aku sadar jika diriku bukanlah laki-laki sempurna yang pernah kamu kenal atau inginkan menjadi pendampingmu, tapi perasaan dan cintaku sungguh tulus padamu. Aku berjanji padamu akan selalu belajar memantaskan diri selama bersanding denganmu. Aku sangat berharap kamu bersedia menerima
Hubungan Felix dengan Lisa sudah membaik dan kembali seperti semula. Itu pun atas campur tangan Helena dalam memberikan penjelasan kepada sang calon kakak ipar. Felix juga sudah memberhentikan Mariska dua minggu setelah Lisa mengetahui bahwa dirinya mempekerjakan perempuan tersebut. Selain tidak mau membuat Lisa semakin marah dan membencinya atas keberadaan Mariska di kantornya, alasan lain yang mendukungnya karena wanita tersebut kembali berulah sekaligus mengabaikan tegurannya. Mariska kembali menggunakan pakaian kekurangan bahan dan ketat saat menginjakkan kaki di kantornya, sehingga lekukan tubuhnya terpampang jelas. Tentu saja tindakan wanita tersebut menimbulkan banyak desas-desus dan spekulasi negatif di antara para karyawan lainnya. Awalnya Felix ingin memberhentikan Mariska secara terhormat, tapi berhubung tingkah dan tindakan wanita tersebut seperti itu, maka ia pun tanpa basa-basi langsung memecatnya. Selain untuk mematahkan desas-desus dan spekulasi negatif yang sudah te
Dengan tidak bersemangat Felix menyesap jus jeruk yang dibuatkan Helena untuknya. Kini ia sedang berada di teras belakang rumah Helena dan mendudukihammockmilik wanita tersebut. Ia sudah menuruti saran Helena yang dikirimkan melalui pesan singkat siang tadi, dengan pura-pura tidak mengetahui keberadaan Lisa. Namun, saat datang tadi, ia melihat Lisa sedang mengajari Mayra di ruang keluarga. Ia pun pura-pura memasang ekspresi wajah terkejut saat bertatapan dengan sang kakak. Setelah Lisa melihat kedatangannya, kakaknya tersebut langsung mengajak Mayra ke kamar untuk melanjutkan acara belajarnya.“Sudah makan?” tanya Helena sambil menatap Felix yang wajahnya sangat kusut. Penampilan laki-laki tersebut saat ini lusuh, sangat berbeda dari biasanya.Felix mengalihkan tatapannya ke arah Helena, kemudian menggeleng pelan. “Tidak ada nafsu makan,” jawabnya lesu. “Aku pusing, Len,” adunya sambil