Walau matahari sudah bergeser ke arah barat, tapi sinarnya masih cukup terang menyinari bumi. Menepati ucapannya tadi, kini Helena bersama Mayra dan Bi Mira sudah berada di sebuah tempat peristirahatan terakhir milik orang-orang terkasih sekaligus sangat berarti di dalam hidupnya. Selain ingin menyapa ibunya, Helena juga mengunjungi peristirahatan terakhir sang ayah yang makamnya memang bersebelahan. Sebelum mengembuskan napas terakhir, sang ayah meminta padanya agar dikebumikan berdampingan dengan wanita yang telah melahirkan buah cintanya.
Helena mengajak Mayra meletakkan seikat bunga sedap malam di masing-masing gundukan tanah yang dilapisi batu granit. Helena berharap raga-raga yang telah terbaring damai sekaligus tertutup tanah melihat kedatangannya dan menyambutnya dengan pelukan hangat.
Helena hanya diam saat melihat Mayra mengusap ukiran nama yang tertera di atas makam milik sang ibu. Setetes air mata dengan lancang melewati pipinya ketika menyaksikan Mayra mencium nisan milik wanita yang telah melahirkannya.
“Ma, aku dan Mayra memang tidak mempunyai pertalian darah, tapi keluargaku kini hanya gadis kecil yang sekarang sedang membelai pusaramu. Walau perbuatan ibunya yang membuatku menjadi wanita murahan, tapi aku sangat menyayangi Mayra, Ma. Bantulah aku dalam menemukan donor ginjal untuk Mayra, Ma,” Helena memohon dalam hati kepada mendiang sang ibu. “Mayra anak yang malang, Ma. Gadis kecil ini ditinggalkan begitu saja oleh wanita yang sangat tidak pantas disebut sebagai seorang ibu. Bahkan, kini Mayra harus berjuang melawan penyakit yang dideritanya,” imbuhnya dalam hati.
“Nak, jika waktu itu Bibi tidak bertemu dengan orang tuamu, mungkin Bibi akan hidup menggelandang di jalanan hingga kini,” Bi Mira berucap tanpa mengalihkan tatapannya dari kedua makam di depannya. “Bibi hanya orang asing, tapi orang tuamu sangat mengasihi Bibi dan memperlakukan Bibi layaknya keluarga sendiri. Kebaikan dan kemurahan hati orang tuamu akan selalu Bibi ingat hingga akhir hayat. Kamu harus bangga mempunyai orang tua seperti mereka, Len.” Bi Mira mengalihkan fokusnya ke arah Helena sambil menyunggingkan senyumnya.
Tanpa bisa dicegah, air mata Helena semakin banyak jatuh membasahi pipinya yang kini telah memerah, mengingat sudah sejak tadi ia menahan tangis.
“Aku sangat bangga menjadi anak mereka, Bi.” Helena tersenyum dan mengangguk tanpa mengalihkan tatapannya dari kedua makam orang tuanya.
“Setelah orang tuamu beristirahat dengan damai, kini kamu yang melanjutkan kebaikan sekaligus kemurahan hati mereka. Tanpa pamrih kamu tetap membiarkan kami hidup bersamamu. Bahkan, kamu dengan ikhlas merawat sekaligus menjaga Mayra, padahal gadis malang ini jelas-jelas bukan tanggung jawabmu,” ucap Bi Mira sangat pelan, agar pendengaran Mayra tidak berhasil menjangkaunya.
“Aku sama seperti kalian yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Walau jalan yang aku hadapi kini penuh liku dan sangat sulit, tapi keberadaan kalian selalu memberiku semangat dalam menjalani kehidupan ini. Sekarang kita sudah menjadi satu keluarga baru. Maka dari itu, apa pun yang terjadi pada kalian, kini sudah menjadi tanggung jawabku,” Helena menanggapi ucapan Bi Mira seraya menatap wajah wanita paruh baya di sampingnya.
Bi Mira sangat terharu mendengar tanggapan Helena. Ia memeluk Helena yang postur tubuhnya memang lebih tinggi darinya. “Terima kasih, Nak. Bibi tidak akan bisa membalas semua kebaikan dan kemurahan hati kalian. Kamu dan orang tuamu,” ujarnya serak.
Helena yang sudah merendahkan sedikit tubuhnya saat Bi Mira memeluknya, kini mengusap punggung wanita paruh baya tersebut. “Dengan menjaga Mayra saat aku tinggal bekerja saja sudah cukup untukku, Bi,” timpalnya.
“Sekali lagi terima kasih, Nak. Semoga Tuhan selalu melindungi dan memberkatimu, Sayang.” Bi Mira mengusap cairan yang membasahi kedua pipi Helena setelah mengurai pelukannya.
Setelah memastikan tidak ada jejak air mata di wajahnya, Helena menghampiri Mayra yang masih setia berjongkok di sisi makam sang ibu. “May, sudah sore. Ayo kita pulang,” ajaknya setelah menepuk kedua bahu Mayra.
Mayra mengangguk sambil mengulas senyum. “Tante, aku pulang dulu ya. Kapan-kapan aku datang lagi,” pamitnya pada makam yang batu nisannya terukir nama Septia Clara.
“Panggil saja Mama Cla, May. Kakak yakin Mama pasti menyukainya,” Helena mengusulkan.
“Benarkah, Kak?” tanya Mayra dengan sorot mata berbinar.
“Iya,” jawab Helena tanpa ragu.
Dari pancaran sorot mata Mayra, Helena bisa melihat jika sang adik sangat merindukan belaian kasih sayang seorang ibu yang saat ini sudah tidak didapatnya lagi. Ia tersenyum lebar saat melihat Mayra mengaggukkan kepala setelah mendengar jawabannya.
“Mama Cla, sekarang aku pulang dulu ya. Lain kali aku akan mengunjungi Mama lagi,” Mayra berpamitan ulang. Sebelum berdiri menyusul Helena, untuk yang terakhir kalinya ia kembali mengecup batu nisan milik ibu kandung dari kakak tirinya tersebut. “Kak, aku mau berpamitan juga dengan Papa Mike,” pintanya yang langsung diangguki oleh Helena.
“Ma, Pa, aku sangat menyayangi kalian,” gumam Helena sangat pelan.
Helena tidak pernah melarang Mike untuk menikahi wanita bernama Siska Noviana. Semasih wanita tersebut bisa membahagiakan Mike, ia akan mendukung keputusan sang ayah.
Awalnya Helena bersyukur karena sang ayah bertemu dengan wanita yang mempunyai sifat penuh keibuan dan penyayang seperti Siska. Namun pada kenyataannya, penilaiannya tersebut salah besar. Setelah sang ayah meninggal, sifat asli ibu tirinya baru keluar dan yang lebih membuatnya terkejut ia mengetahui bahwa wanita tersebut mempunyai kegemaran berjudi. Helena sangat membenci Siska karena wanita tersebut menjadikannya jaminan di meja judi. Bahkan, wanita culas tersebut menggadaikan rumah peninggalan orang tuanya demi bisa memuaskan hasratnya beraksi di meja judi.
•••
Helena menggeliat saat mendengar alarm ponselnya berbunyi. Helena enggan membuka mata, ia hanya menggerakkan salah satu tangannya di atas nakas untuk mencari keberadaan benda pipih yang suara nyaringnya telah menginterupsi tidurnya. Tanpa mengubah posisi berbaringnya, Helena menatap layar ponselnya. Dengan berat hati Helena harus menyudahi aksinya bergelung hangat di kasur empuknya, mengingat hari ini ia harus kembali menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang bawahan.
“Semangat, Helena,” Helena menyemangati dirinya sendiri saat ia sudah duduk di pinggir ranjang dan mengikat tinggi rambutnya. Sebelum menuju kamar mandi, ia meregangkan sebentar otot-otot tubuhnya.
Seperti kebiasaannya, sebelum berangkat ke kantor dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai sekretaris Felix, Helena terlebih dulu akan mendatangi apartemen laki-laki tersebut untuk mengurus segala keperluan sang atasan. Mulai dari menyiapkan setelan kantor yang akan Felix kenakan hingga membuatkan sarapan untuk laki-laki tersebut.
Helena merasa tubuhnya lebih segar setelah hampir setengah jam berada di kamar mandi. Sambil bersenandung pelan ia mengambil setelan yang akan dikenakannya untuk bekerja. Walau Helena mempunyai pekerjaan sampingan menjadi penghangat ranjang sang atasan, tapi saat menjalankan peran dan tugasnya sebagai sekretaris, ia tetap menjaga profersional sekaligus kesopanannya, terutama dalam hal berpakaian. Helena hanya akan mengabaikan harga dirinya saat berada di apartemen Felix dan melayani hasrat laki-laki tersebut, mengingat peran yang ia lakoni sudah berbeda.
Usai mengenakan pakaian formalnya dan memoles wajahnya dengan riasan tipis, Helena memeriksa clutch-nya untuk memastikan barang bawaannya tidak ada yang tertinggal. Helena sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah bisa ikut sarapan bersama Mayra dan Bi Mira, karena ia takut terlambat tiba di apartemen Felix
•••
Helena memarkirkan mobilnya di basement setelah tiba di gedung apartemen yang ditempati Felix, seperti perintah laki-laki tersebut setiap ia datang. Sebenarnya letak apartemen atasannya tersebut cukup dekat dari tempat tinggalnya, sehingga Helena tidak membutuhkan waktu lama untuk menjangkaunya.
Setelah turun dari mobil, Helena bergegas memasuki lift di basement yang menghubungkannya ke lantai unit apartemen Felix berada.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Helena sopan saat melihat Felix sedang berjalan di atas treadmill. Helena cukup terkejut melihat atasannya tersebut sudah bangun saat ia membuka pintu apartemen.
Mendengar sapaan formal Helena, Felix mengetatkan rahangnya di tempat. “Hm,” balasnya datar dan tanpa menoleh.
Helena mencoba untuk tetap tenang setelah mendengar nada bicara Felix yang tidak bersahabat. “Tumben sudah bangun, Pak?” Helena berbasa-basi untuk mencairkan suasana. Helena memang sudah mengantongi kode akses apartemen Felix, jadi ia tidak harus menunggu dibukakan pintu untuk melakukan tugasnya.
“Buatkan nasi goreng,” perintah Felix datar tanpa menanggapi pertanyaan basa-basi Helena. Ia menyudahi langkah kakinya yang bergerak beraturan di atas treadmill.
“Baik, Pak,” Helena menjawab setenang mungkin. “Bapak mau sarapan atau mandi dulu?” tanyanya saat melihat Felix sudah turun dari treadmill.
“Sarapan,” jawab Felix sambil berjalan ke arah balkon.
“Baik, Pak, saya akan segera menyiapkan makanan yang Bapak minta,” ujar Helena dan bergegas menuju dapur. “Jika bukan karena masih sangat bergantung pada uangnya, sudah jauh-jauh hari aku mengundurkan diri menjadi asisten rumah tangganya,” gerutunya dalam hati.
Saat menyadari belum ada nasi putih yang siap diolah, Helena menyusul Felix ke balkon dan memberitahukannya. Helena tidak mau menerima amukan Felix karena dianggap terlalu lama membuat menu sarapan seperti yang diinginkan oleh laki-laki tersebut.
“Pak, karena belum ada nasi yang siap diolah, jadi saya harus memasak beras terlebih dulu,” beri tahu Helena jujur.
Felix menatap Helena tanpa ekspresi setelah membalikkan badan. “Saya akan mandi,” ujarnya datar. Ia langsung melewati Helena dan berjalan menuju kamarnya.
Helena hanya mengendikkan bahu dan menatap punggung Felix yang mulai menjauh. Helena kembali ke dapur untuk memasak beras, sebelum ia menyusul Felix ke kamar dan menyiapkan setelan kerja yang akan digunakan oleh laki-laki tersebut.
•••
Mematuhi perintah yang dititahkan Felix, hari ini Helena ke kantor mengendarai mobilnya sendiri. Biasanya ia dan Felix menggunakan mobil yang sama ketika berangkat menuju kantor, tapi pengecualian untuk hari ini. Walau benaknya bertanya-tanya mengenai perubahan sikap Felix yang tidak seperti biasanya, tapi Helena tetap memendamnya. Ia melaksanakan setiap perintah yang dikeluarkan oleh mulut Felix agar dirinya tetap berada pada zona aman.
Helena meletakkan clutch yang dibawanya terlebih dulu sebelum menyalakan komputer setelah tiba di meja kerjanya. Sambil menunggu komputernya bisa dioperasikan, ia menyiapkan beberapa laporan yang harus diserahkan kepada Felix untuk diperiksa. Selain memberikan laporan, Helena juga akan menyampaikan kepada atasannya tersebut mengenai jadwalnya hari ini. Sesuai jadwal yang tertulis pada buku agendanya, hari ini atasannya tersebut hanya memiliki dua pertemuan dengan rekan bisnisnya.
Helena merapikan pakaiannya sebelum meninggalkan meja kerjanya. Dengan tenang ia mengetuk pintu ruang kerja Felix. Setelah mendapat respons dari dalam ruangan, ia pun langsung masuk. Sambil berjalan menghampiri meja kerja Felix, Helena memerhatikan wajah tanpa ekspresi laki-laki yang tengah sibuk menatap layar laptopnya.
“Pak, ini laporan yang harus Bapak periksa.” Helena menyerahkan beberapa map berisi laporan.
Tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop di hadapannya, Felix menjawab, “Taruh saja, nanti saya periksa.” Setelah melihat Helena mematuhi perintahnya, ia kembali membuka mulut, “Jadwal saya hari ini.”
“Jam sepuluh Bapak ada janji temu dengan pihak Catharina Queen di Lav Coffee. Jam dua Bapak kedatangan tamu dari pihak YD Furniture,” beri tahu Helena secara rinci.
Felix mengangguk usai mendengar Helena menyampaikan jadwalnya hari ini. “Beri tahu Wisnu untuk datang ke ruangan saya. Ia yang akan menemani saya ke Lav Coffee nanti. Sekarang kamu boleh keluar,” titahnya.
“Baik, Pak. Saya permisi.” Usai berpamitan, Helena meninggalkan ruangan Felix.
Setelah keluar dari ruangan Felix, Helena segera menyambar gagang telepon yang ada di atas meja kerjanya untuk menghubungi Wisnu. Ia menyampaikan perintah yang diterima dari sang atasan kepada kepala tim desain grafis di tempatnya bekerja.
Usai menjalankan tugasnya, Helena menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya. Baru saja ia mulai menggerakkan jari-jemarinya di atas keyboard sambil menatap layar komputer, tiba-tiba penglihatannya mengabur dan diikuti oleh kepalanya yang sedikit pusing. Ia menghela napas saat menyadari dirinya belum sarapan. Biasanya Helena akan sarapan bersama Felix, seperti permintaan laki-laki tersebut sejak mempekerjakannya. Namun, berhubung tadi Felix mengabaikan keberadaannya, jadi ia tidak berani untuk ikut sarapan bersama laki-laki tersebut.
Helena mengurungkan niatnya untuk berdiri saat pintu ruangan Felix terbuka. Ia menatap Felix yang memasang ekpresi datar.
“Langsung suruh Wisnu masuk setelah ia datang,” perintah Felix tanpa basa-basi.
“Baik, Pak,” Helena berusaha menanggapi perintah Felix dengan nada sewajarnya, sebab pusing di kepalanya semakin ia rasakan.
Setelah Felix kembali memasuki ruangannya, Helena memejamkan matanya sebentar untuk menghalau pusing di kepalanya yang kian terasa. “Apakah kemarahan Felix hingga kini masih berlanjut?” tanyanya pada diri sendiri.
Tidak ingin kepalanya semakin tersiksa oleh rasa pusing, dengan perlahan Helena berdiri dan berjalan menuju pantry yang terletak di pojok lantai tempatnya berada. Ia ingin membuat air putih hangat untuk meredakan pusing kepalanya akibat perut kosong. Helena juga akan mengisi perut kosongnya dengan beberapa keping biskuit yang ia beli sewaktu hari Jumat lalu dan disimpan pada cabinet di pantry.
•••
Wisnu yang telah tiba di lantai tempat atasannya berada mengernyit saat tidak melihat batang hidung Helena duduk di balik meja kerjanya. Ia tidak berani langsung memasuki ruangan Felix, mengingat aturan yang diberlakukan oleh atasannya tersebut. Wisnu mengira Helena sedang berada di dalam ruangan sang atasan, jadi ia memutuskan untuk menduduki salah satu sofa yang tersedia tidak jauh dari meja kerja rekannya tersebut.
Wisnu mengangkat wajahnya saat mendengar suara heels yang mengetuk permukaan lantai. Sudah lebih dari lima menit ia menunggu di sofa empuk yang didudukinya.
“Pagi, Len,” Wisnu memberi salam sebelum berdiri. Ia merasa bingung saat melihat ekspresi dan reaksi yang Helena berikan atas sapaannya. “Kamu kenapa?” tanyanya.
“Sudah dari tadi?” Helena bertanya tanpa memberikan balasan atas sapaan yang Wisnu lontarkan. Ia mengembuskan napas kasar ketika melihat Wisnu menjawab pertanyaannya dengan anggukan kepala. “Langsung masuk saja, Wis. Pak Felix sudah menunggumu di dalam,” pintanya.
“Baiklah, aku menemui Pak Felix dulu,” balas Wisnu tanpa bertanya lebih lanjut. Ia dapat melihat dengan jelas ketakutan yang dipancarkan oleh raut wajah Helena.
Helena mengangguk lemah. “Semoga saja Felix tidak mengetahui jika Wisnu sudah cukup lama berada di luar ruangannya,” batinnya berharap. Tanpa membuang waktu dan tidak memikirkan yang ditakutkannya, ia lebih memilih untuk kembali menyelesaikan pekerjaannya.
Setibanya di Lav Coffee, Felix segera menanyakan keberadaan orang yang ingin ditemuinya. Felix mengangguk setelah mendengar jawaban salah seorang karyawan yang memang ditugaskan untuk menunggu kedatangannya, kemudian ia pun dibimbing menuju lantai dua. Sambil menaiki satu per satu anak tangga, ia melihat pengunjung mulai berdatangan dan menduduki kursi-kursi yang tadinya kosong.“Silakan masuk, Pak,” ujar karyawan tadi dengan ramah dan sopan setelah menggeser pintu kaca di hadapannya.“Terima kasih,” balas Felix tidak kalah ramah. Tidak lupa ia juga menyunggingkan senyum tipisnya.“Tumben bukan Lenna yang menemanimu?” tanya pemilik Lav Coffee tanpa basa-basi setelah melihat Felix berada di dalam ruangannya.“Sekretarisku sedang banyak tugas yang harus segera diselesaikan,” Felix menjawab setelah duduk, tanpa menunggu dipersilakan terlebih dulu oleh pemilik ruangan. Selain menjadi salah satu klien setianya, L
Helena terbangun dari tidurnya saat merasa perutnya keroncongan. Sebelum bangun dari posisi berbaringnya, dengan perlahan ia mengangkat tangan Felix yang bertengger di pinggangnya, kemudian memindahkannya ke atas kasur. Ia tersenyum saat menatap mata Felix terpejam rapat dan wajahnya yang terlihat damai. Mereka ketiduran setelah menuntaskan ronde kedua permainannya. Karena mereka melewatkan waktu makan malamnya, kini perut Helena pun dilanda kelaparan.Setelah turun dari ranjang dengan hati-hati agar Felix tidak terbangun, Helena langsung memungut pakaiannya yang berserakan di lantai sebelum menuju kamar mandi untuk menyegarkan wajahnya. Helena terpaksa menutupi tubuh telanjangnya dengan kemeja yang tadi Felix kenakan di kantor, mumpung baju tersebut belum dimasukkan ke keranjang cucian kotor. Sebelum keluar kamar dan menuju dapur, Helena menyelimuti tubuh polos Felix.Tanpa membuang waktu Helena langsung menyiapkan bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat sebuah masaka
Setelah Helena pulang usai menemaninya makan malam, Felix malas berada di apartemen sendirian, jadi ia memutuskan mengunjungi kelab malam untuk mencari hiburan. Sebenarnya sejak menjadikan Helena sebagai penghangat ranjangnya, Felix hampir tidak pernah lagi mendatangi kelab malam, meski hanya untuk sekadar menikmati minuman beralkohol. Namun, untuk malam ini akan menjadi pengecualian bagi dirinya.Saat tiba di basement apartemennya, Felix melihat mobil Hans yang hendak parkir. Ia menghela napas saat melihat kantong plastik yang ada di tangan Hans, setelah sahabatnya tersebut keluar dari mobil. Malam ini ia terpaksa harus membatalkan niatnya untuk mencari hiburan di tempat yang dipenuhi oleh dentuman musik, para wanita sexy dan berbagai minuman beralkohol.“Mau ke mana, Hans?” Felix pura-pura menanyakan tujuan Hans yang kini berjalan menghampirinya.“Tentu saja ke rumah keduaku,” Hans menjawabnya tanpa ragu.Pupil mata Felix melebar mendengar jawaban seenaknya
Mata Helena berkaca-kaca saat sertifikat rumahnya kembali berada dalam genggaman tangannya. Jika saja rumah tersebut bukan satu-satunya harta peninggalan milik sang ayah, maka ia tidak perlu repot-repot mengumpulkan uang untuk menebusnya. Selain menjadi harta peninggalan sang ayah, rumah tersebut juga banyak menyimpan kenangan manis bersama orang tuanya ketika mereka masih hidup. Walau tidak besar, tapi rumah tersebut sangat berarti dalam hidupnya.Helena meminta kepada Mayra dan Bi Mira untuk mulai mengemas barang masing-masing, sebab minggu depan ia akan mengajak mereka pindah ke rumah yang sudah ditebusnya tersebut. Walau mereka akan pindah, tapi Helena tidak berniat memberi tahu Felix. Semasih bekerja pada Felix ia tidak akan meninggalkan apartemen yang diberikan oleh laki-laki tersebut sebagai hadiah kesepakatan mereka.“Len, besok Bibi mau membersihkan rumah sebelum minggu depan kita tempati.” Bi Mira meletakkan pisang goreng yang masih panas dan secangkir teh di a
Helena menatap Felix penuh tanya saat mereka bersiap untuk makan malam. Sejak pulang dari kantor, Felix hanya diam dan langsung menuju kamar tidurnya. Ketika dipanggil untuk makan malam setelah ia selesai memasak, Felix baru keluar kamar sambil menampilkan ekspresi datar. Saat Helena mengajaknya berbicara atau berinteraksi, Felix hanya memberikan tanggapan singkat. Ketika ditanya pun, laki-laki tersebut terlihat malas sekaligus sangat enggan untuk menjawabnya. Walau menyantap masakannya dengan lahap, tapi laki-laki di hadapannya hanya membisu. Sambil mengamati, dalam diam Helena meraba-raba kesalahan yang telah diperbuatnya terhadap Felix.Selama makan malam berlangsung, hanya denting sendok yang terdengar. Bahkan, hingga makanan di piring masing-masing habis, Felix tetap mempertahankan kebungkamannya. Seharusnya malam ini Helena menemani Felix tidur, tapi berhubung sikap laki-laki tersebut seolah tidak menganggap keberadaannya, jadi ia putuskan akan pulang ke rumahnya sendiri
Walau rasa khawatir dan panik memenuhi benaknya, tapi Helena berusaha keras agar tetap terlihat tenang, mengingat saat ini dirinya masih berada di kantor. Ia tidak ingin gelagatnya dicurigai oleh Felix, sehingga membuat laki-laki tersebut bertanya-tanya. Helena meninggalkan meja kerjanya dan bergegas menuju toilet untuk menenangkan diri agar bisa menemukan alasan yang masuk akal, sebab ia ingin pulang lebih awal.Saat melihat pantulan wajah pucatnya di cermin besar yang ada di dalam toilet, tiba-tiba sebuah ide terbesit di benaknya. Helena terpaksa akan mengarang sebuah kebohongan tentang dirinya agar Felix percaya dan langsung memberinya izin pulang lebih cepat. Setelah meyakinkan diri, ia mengembuskan napasnya sedikit keras sebelum menemui Felix di ruang kerjanya.Helena memasuki ruangan Felix setelah ketukan pintunya direspons. Ia melihat Felix sedang serius menatap layar komputernya. “Fel,” panggilnya dengan nada pelan yang disengaja.Mendengar suara Helena yan
Helena mulai merasa tubuhnya remuk. Selama sepuluh hari ini ia benar-benar harus pintar membagi waktu. Antara bekerja, menjaga Mayra di rumah sakit, dan melakukan kewajibannya di apartemen Felix, termasuk melayani laki-laki tersebut di ranjang. Berhubung kondisi Mayra belum sepenuhnya stabil, makanya Helena memutuskan agar sang adik tetap dirawat di rumah sakit supaya selalu mendapat pemantauan dari tim medis. Demi staminanya agar tetap terjaga, Helena mengonsumsi suplemen setelah Wira menyarankan kepadanya untuk memeriksakan diri.Sepulangnya dari kantor Helena tidak ke apartemen Felix seperti hari-hari biasanya untuk menyiapkan makan malam atau menghangatkan ranjang laki-laki tersebut. Hari ini Felix diundang makan malam oleh Nyonya Narathama, yang tidak lain adalah ibu kandung Hans di kediaman pribadinya. Oleh karena itu, tanpa membuang waktu, Helena langsung menuju rumah sakit untuk menggantikan Bi Mira menjaga Mayra. Sampai saat ini Helena sengaja merahasiakan kondisi san
Helena tidak tahu harus berkata apa ketika mendengar kabar baik yang disampaikan oleh Wira melalui telepon. Netranya berkaca-kaca dan tenggorokannya tercekat karena saking bahagianya, seolah-olah ia menemukan sumber mata air di padang pasir yang tandus. Kini ia membenarkan sekaligus memercayai peribahasa yang mengatakan bahwa akan ada pelangi setelah hujan. Dulu ia menganggap peribahasa tersebut hanyalah perkataan orang bijak yang mencoba bersikap tegar dalam menghadapi kenyataan hidupnya. Doa yang setiap saat dipanjatkannya, kini mulai bersambut. Kesabaran yang selalu dipupuknya dalam menanti pun, sebentar lagi akan membuahkan hasil.Sepulangnya dari apartemen Felix, Helena akan ke rumah Wira untuk bertemu dengan seseorang yang berbaik hati ingin membantu kesembuhan adiknya. Selama sebulan ini sejak Mayra keluar dari rumah sakit, Helena selalu memikirkan kondisi sang adik untuk ke depannya. Namun, beban pikirannya tersebut kini sedikit terangkat karena kabar yang Wira beri ta
Pendingin yang menyala seolah tidak berfungsi karena tubuh dua orang di dalam kamar tetap basah oleh keringat. Sejak dibangun, kamarnya memang dirancang kedap suara agar aktivitas di dalamnya tidak terdengar dari luar. Felix masih bergerak aktif dalam meraih pelepasannya yang terakhir di malam ini, mengingat ia sudah berhasil membuat Helena mengerang nikmat sejak beberapa jam lalu. Dengan sekali sentakan kuat, cairan hangatnya kembali menyirami rahim Helena. Bersamaan dengan itu, Helena pun kembali berhasil mendapatkan pelepasannya yang entah sudah berapa kali. Ia berharap aktivitas panasnya bersama sang istri saat ini kembali berhasil memberikan seorang adik untuk Liam selain Evelyn, apalagi putrinya tersebut sudah berusia dua tahun.Felix menoleh ke arah Helena saat mereka berusaha menormalkan deru napasnya yang terengah-engah di puncak aktivitas panasnya. “Lagi?” tanyanya iseng.“Jika besok aku tidak bisa berjalan gara-gara meladenimu, kamu yang ha
Felix dan Helena sangat antusias menyambut kelahiran bayi mereka yang diprediksikan tiga minggu lagi. Berbagai macam keperluan untuk bayi pun sudah mereka siapkan bersama, malah Felix yang lebih bersemangat mengajak Helena berbelanja. Berhubung mereka belum mengetahui jenis kelamin bayinya, keduanya sepakat membeli segala keperluan yang berwarna netral agar bisa digunakan untuk anak laki-laki ataupun perempuan. Sebenarnya bukan karena sang bayi yang masih ingin menyembunyikan jenis kelaminnya dari orang tuanya, hanya saja mereka sengaja tidak menanyakannya kepada dokter. Asalkan anak mereka sehat dan nantinya lahir normal serta tanpa kekurangan apa pun, keduanya tidak terlalu mempermasalahkan jenis kelaminnya. Apalagi Felix sudah menyiapkan dua buah nama untuk anaknya tersebut.Berhubung rumah masa depannya bersama keluarga kecilnya sudah selesai dibangun, Felix dan Helena pun mengadakan syukuran sederhana. Untuk memeriahkan acaranya, mereka mengundang keluarga
Kerutan menghiasi kening Felix saat mendapati Helena melamun di atas ranjang setelah ia keluar dari kamar mandi. Sejak dalam perjalanan pulang tadi, Felix merasa Helena menjadi lebih pendiam. Awalnya ia menduga jika istrinya tersebut kelelahan karena ikut melayani para konsumen yang mendatangi salonnya. Namun setelah melihat sikap Helena kini, sepertinya dugaannya tersebut keliru.Felix bergegas menaiki ranjang, kemudian dengan cepat mengecup pipi Helena agar istrinya tersebut tersadar dari lamunannya. Tindakannya berhasil. Helena menoleh ke arahnya, sehingga kini mereka saling berhadapan.“Sedang memikirkan apa, hm? Dari tadi aku perhatikan kamu melamun,” Felix bertanya sambil mengusap pipi sekaligus menyelami sorot mata Helena.Helena tersenyum tipis sambil menikmati usapan lembut pada pipinya. “Tunggu sebentar ya,” pintanya sebelum menuruni ranjang. Setelah kakinya menyentuh lantai, ia berjalan
Walau Helena sudah resmi berstatus sebagai istrinya sejak tiga bulan lalu dan semua kebutuhan finansialnya kini telah menjadi tanggung jawabnya, tapi Felix tidak pernah melarang wanita tersebut untuk bekerja. Bukannya Felix keberatan atau tidak sanggup membiayai pengeluaran Helena, melainkan karena ia tahu bahwa istrinya tersebut mempunyai jiwa pekerja keras dan tidak suka berpangku tangan. Meski demikian, Felix tetap mengingatkan Helena agar tidak terlalu lelah dengan kegiatannya, mengingat saat ini mereka sedang merencanakan memiliki momongan. Felix sangat bersyukur karena Helena menyetujui idenya yang tidak ingin menunda memiliki anak.Felix sempat kecewa karena sepulangnya mereka dari berbulan madu, Helena tidak menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Bahkan, setelah mereka tiga bulan menikah, benihnya di dalam rahim sang istri belum juga berhasil tumbuh dan berkembang. Meski kecewa, tapi Felix selalu bersikap biasa saja di hadapan Helena. Ia tidak ingin membuat Helena merasa
Hari bersejarah dalam hidup Helena dan Felix akhirnya terlewati secara bertahap sekaligus lancar. Usai melakukan pemberkatan tadi pagi di gereja sekaligus mengikrarkan janji suci yang disaksikan oleh keluarga dan para sahabatnya, kini mereka sudah resmi menjadi pasangan suami istri. Acara tadi pagi diwarnai oleh tangis bahagia dan haru, mengingat yang mengantar Helena ke altar bukan ayahnya sendiri, melainkan Dennisꟷpapanya Diandra.Kini Helena mulai merasakan kakinya pegal karena ia berdiri terlalu lama, apalagi bobot tubuhnya ditopang oleh sepasanghigh heelsyang cukup tinggi. Walau tamu yang menghadiri acara resepsi pernikahannya cukup banyak, tapi ia tidak mengenal mereka semua karena orang-orang tersebut diundang oleh Felix dan mertuanya.Walau betisnya pegal dan mulai berdenyut nyeri, tapi Helena merasa lega karena pada akhirnya semua tahapan acara pernikahannya selesai tanpa hambatan apa pun. Kini ia dan Felix sudah berada di dalam kamar peng
Para karyawan di perusahaan Felix sangat terkejut sekaligus turut bahagia ketika mendapat undangan resepsi pernikahan dari sang atasan. Akan tetapi, keterkejutan kembali mereka rasakan saat melihat nama calon pengantin wanita yang akan bersanding nanti dengan sang atasan, terutama Wisnu. Laki-laki tersebut sangat tidak menyangka jika ternyata Felix akan menikah dengan salah satu rekan kerjanya dulu, yang juga merupakan mantan sekretaris sang atasan sendiri. Awalnya Wisnu menduga kedatangan Helena beberapa kali ke kantor Felix, karena wanita cantik tersebut masih menjalin hubungan baik dengan sang atasan, walau sudah tidak lagi menjadi bagian dari perusahaan. Walau kini Helena akan menjadi istri sang atasan, tapi Wisnu tetap bahagia mendengar kabar tentang pernikahan mereka dan pasti datang pada acara resepsi tersebut.Keterkejutan Wisnu tidak berpengaruh pada Shinta, sebab ia sudah mengetahuinya terlebih dulu. Sejak pertemuannya yang tanpa disengaja dengan Helen
Helena menutup mulutnya saat tiba-tiba Felix berlutut di depannya sambil mengulurkan kotak kecil yang berisi sebuah cincin berwarna putih. Ia tidak menyangka jika malam ini Felix kembali menyatakan niatnya dan memintanya untuk mendampingi hidupnya selama napasnya berembus. Ia tidak bisa menghalau matanya yang mulai memanas, hingga akhirnya meneteskan cairan bening. Perasaan haru pun kini sudah menyesaki rongga dadanya. Saat ini untuk kedua kalinya ia melihat Felix berlutut di hadapannya. Jika dulu Felix berlutut karena semua kesalahan yang telah diperbuatnya dan memohon diberi kesempatan, tapi kini laki-laki tersebut memintanya agar bersedia menjadi pendamping hidupnya.“Len, aku sadar jika diriku bukanlah laki-laki sempurna yang pernah kamu kenal atau inginkan menjadi pendampingmu, tapi perasaan dan cintaku sungguh tulus padamu. Aku berjanji padamu akan selalu belajar memantaskan diri selama bersanding denganmu. Aku sangat berharap kamu bersedia menerima
Hubungan Felix dengan Lisa sudah membaik dan kembali seperti semula. Itu pun atas campur tangan Helena dalam memberikan penjelasan kepada sang calon kakak ipar. Felix juga sudah memberhentikan Mariska dua minggu setelah Lisa mengetahui bahwa dirinya mempekerjakan perempuan tersebut. Selain tidak mau membuat Lisa semakin marah dan membencinya atas keberadaan Mariska di kantornya, alasan lain yang mendukungnya karena wanita tersebut kembali berulah sekaligus mengabaikan tegurannya. Mariska kembali menggunakan pakaian kekurangan bahan dan ketat saat menginjakkan kaki di kantornya, sehingga lekukan tubuhnya terpampang jelas. Tentu saja tindakan wanita tersebut menimbulkan banyak desas-desus dan spekulasi negatif di antara para karyawan lainnya. Awalnya Felix ingin memberhentikan Mariska secara terhormat, tapi berhubung tingkah dan tindakan wanita tersebut seperti itu, maka ia pun tanpa basa-basi langsung memecatnya. Selain untuk mematahkan desas-desus dan spekulasi negatif yang sudah te
Dengan tidak bersemangat Felix menyesap jus jeruk yang dibuatkan Helena untuknya. Kini ia sedang berada di teras belakang rumah Helena dan mendudukihammockmilik wanita tersebut. Ia sudah menuruti saran Helena yang dikirimkan melalui pesan singkat siang tadi, dengan pura-pura tidak mengetahui keberadaan Lisa. Namun, saat datang tadi, ia melihat Lisa sedang mengajari Mayra di ruang keluarga. Ia pun pura-pura memasang ekspresi wajah terkejut saat bertatapan dengan sang kakak. Setelah Lisa melihat kedatangannya, kakaknya tersebut langsung mengajak Mayra ke kamar untuk melanjutkan acara belajarnya.“Sudah makan?” tanya Helena sambil menatap Felix yang wajahnya sangat kusut. Penampilan laki-laki tersebut saat ini lusuh, sangat berbeda dari biasanya.Felix mengalihkan tatapannya ke arah Helena, kemudian menggeleng pelan. “Tidak ada nafsu makan,” jawabnya lesu. “Aku pusing, Len,” adunya sambil