“Mama itu dilema.” Retno menepuk pelan paha Raga, yang terlihat baru saja menggumam dan membuka mata. “Di satu sisi kasihan sama Lintang, dan mama ngerasa seperti manfaatin dia. Tapi, gimana, ya, Ga … kalau Lintang terus-terusan dekat sama Rama, mereka berdua pasti nggak bisa pisah.” “Badanku sakit semua.” Raga mengerang sambil melengkungkan punggungnya. Baru saja bangun dan langsung dicecar kalimat seperti itu, tentunya Raga perlu waktu untuk mencernanya. Untuk itulah, Raga belum bisa menanggapi perkataan sang mama. “Lintang di dalam?” Retno mengangguk. “Kamu pernah bilang, Lintang dekat sama laki-laki, kan?” Raga balas mengangguk, tetapi tidak mengerti dengan maksud sang mama. “Kenapa?” “Mereka sudah pacaran?” tanya Retno lagi. “Nggak sepertinya.” Raga mengusap wajahnya sebentar, lalu menoleh pada sang mama. “Mama ini kenapa?” Retno menghela. Masih memikirkan beberapa masalah yang mungkin saja terjadi ke depannya. “Kalau … Lintang pacaran dengan laki-laki lain, kira-kira Rama g
“Terus, kapan Mama sama papa, nikah?” “A-apa?” Pertanyaan yang dilempar Rama, seketika membuat Lintang tergagap. Apa bocah itu sudah mengerti dengan arti kata menikah? Lintang yakin, pasti ada seorang provokator yang mempengaruhi Rama sehingga bisa bicara seperti itu. Kemudian, ia pun menoleh pada Raga. Dari ekspresi wajahnya, pria juga tampak terkejut dengan pertanyaan Rama. Lintang menyimpulkan, bukan Raga sang provokatornya. Lantas … siapa? “Kapan, Mama sama papa nikah?” ulang Rama memberi pertanyaan yang sama dengan tidak sabar. Lintang menelan ludah dan saling lempar pandang dengan Raga untuk beberapa saat. “Nikah?” Lintang terkekeh garing sambil memijat leher bagian belakangnya. “Kenapa Rama tanyain itu?” Rama mengendik dengan wajah polosnya. “Om Safir bilang ke oma, katanya mama sama papa mau nikah.” Raga mengusap wajahnya sebentar. Ia menatap Lintang yang sedari tadi tampak kebingungan untuk memberi jawaban pada Rama. Untuk satu hal itu, Raga tidak berminat memberi komen
Melelahkan. Mungkin, seperti itulah yang dirasakan para wanita karir di luar sana, ketika status mereka juga merangkap sebagai seorang ibu. Sepulang kerja, Lintang memiliki kegiatan baru, yaitu “mengasuh” Rama. Lintang bukannya tidak suka, tetapi imbas dari semua itu adalah Rama akan semakin lengket dan menempel terus padanya. Kalau sudah begitu, bagaimana Lintang bisa melepaskan diri dari keluarga Sailendra? Terlebih lagi, Rama masih saja bertanya tentang kapan pernikahan antara Lintang dan Raga dilaksanakan. Bahkan, Ario dan Retno tidak bisa menjawab pertanyaan cucu mereka. Sepasang suami istri itu hanya terdiam seribu bahasa, saat Rama kembali bertanya dengan hal yang sama di meja makan. Yang lebih menjengkelkan lagi, Raga lagi-lagi kembali lepas tangan dan menyerahkan semuanya pada Lintang. Sementara Safir, sesekali terlihat melukis senyum sinis dengan wajah meledeknya. “Papa masih sibuk,” jawab Lintang memberi alasan, atas pertanyaan Rama yang masih sama saja. Bocah itu lagi-l
“Sssttt …” Raga meletakkan telunjuknya di bibir. Memberi isyarat pada Rama, agar tidak mengeluarkan suara apa pun. “Rama masuk duluan. Pelan-pelan, biar mama nggak bangun,” titahnya berbisik, sambil membuka sabuk pengaman Rama yang duduk di sebelahnya dengan amat perlahan. Setelah melakukan quality time bertiga sejak pagi, Lintang berakhir dengan tertidur pulas di kursi penumpang bagian belakang. Gadis itu masih duduk, sambil memeluk tas ranselnya dengan erat. Rama mengangguk. Ia sudah tidur lebih dulu siang tadi, jadi saat ini sudah tidak merasa mengantuk. Rama hanya merasa lelah, dan ingin segera merebahkan diri di kamarnya. “Terus, mama gimana?” tanya Rama tidak kalah pelan, sambil melihat ke belakang. “Nanti …” Raga ikut melihat ke belakang. Dalam remang penerangan lampu pelataran rumah, wajah lelah dan lelap Lintang sungguh terlihat menenangkan. “Biar Papa yang gendong ke dalam.” Rama kembali mengangguk, kemudian membuka pintu mobil dengan perlahan. Ia juga tidak ingin me
“Jadi, ayo kita menikah lagi.” Untuk sesaat, Lintang hanya terpaku di tempat dengan tatapan kosong. Sejurus kemudian, ia menggeleng dengan kedua tangan berada di kepala. Mundur beberapa langkah, karena masih tidak percaya dengan perkataan Raga barusan. “Mas Raga tahu betul kalau itu nggak mungkin.” Lintang bahkan melempar tawa garing pada Raga. Mana mungkin Lintang mau masuk ke dalam lubang yang sama dua kali. Ia pasti benar-benar bodoh, jika tetap melakukannya. “Nggak ada yang nggak mungkin.” Raga bergeming. Tidak beranjak ke mana pun, agar gadis itu tidak pergi meninggalkannya. Masih banyak hal yang harus dibicarakan, dan Raga tidak mau moment kali ini hilang begitu saja. Kalau bisa, Raga harus mendapatkan jawabannya kali ini juga. “Ayo kita coba sekali lagi.” “Buat apa?” Suara Lintang sedikit meninggi. “Kita sudah pernah nikah satu kali, dan itu nggak berhasil. Mas Raga tahu betul, kalau kita nggak saling cinta. Jadi, jangan memaksakan diri, cuma karena Rama. Biarlah nan–” “Aku
“Hwaaah, Mama cantik!” seru Rama yang sejak tadi berguling-guling di tempat tidur Lintang. Menunggu LIntang selesai berdandan, karena akan pergi makan malam berdua dengan Raga. Rama tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk ikut serta, karena Raga melarangnya.“Kalau Rama mau Papa nikah sama mama Lintang, jangan pernah ngerengek minta ikut, kalau Papa cuma jalan berdua dengan mama.”Karena sederet kalimat itulah, Rama tidak melontarkan protes, maupun rengekan untuk ikut pergi. Daripada sang papa tidak jadi menikah dengan Lintang, lebih baik Rama diam dan menuruti ucapan Raga. “Beneran Mama cantik?” Lintang menyangga kedua pipi, yang mulai bersemu karena ucapan Rama. Bocah kecil itu, sudah pandai membuat Lintang salah tingkah seperti ini. “Beneran!” seru Rama lalu bertelungkup, dan memangku wajahnya dengan kedua tangan. “Mama kayak cewek beneran!”Lintang tergelak. Memangnya, selama ini Lintang bukan seorang wanita tulen? Ia hanya malas berdandan dan berpenampilan feminim, karena tuntu
Jadi, inilah yang dinamakan kencan. Mengapa Lintang baru menyadari hal itu, saat sudah duduk manis di hadapan Raga. Harusnya, ia menolak ajakan makan malam yang sungguh terasa sangat intim dan romantis ini. Ditemani sinar bulan purnama, dan hanya ada mereka berdua di area outdoor restoran mewah tersebut. “Mas.” Lintang sedikit mencondongkan tubuh, saat pelayan sudah pergi dari sisi mejanya. “Di sini sepi, kenapa nggak pindah di dalam aja?”“Kita lagi pacaran, ngapain harus cari tempat yang rame.”Pacaran katanya? Lintang sampai ternganga lebar, saat mendengar pernyataan Raga. Memangnya, kapan Lintang pernah mengatakan bersedia menjadi kekasih pria itu? “Jangan semena-mena kalau ngomong,” sahut Lintang lalu berdecak. Menarik diri, dan melipat kedua tangan di atas meja. “Memangnya siapa yang pacaran.”“Kita,” balas Raga dengan mudahnya. “Kamu nggak sadar, dengan perjanjian tadi pagi? Dalam jangka waktu satu bulan ke depan, kamu adalah pacarku.”“Jangan diplesetin ke mana-mana.” Decaka
Lintang menghempas sisir yang baru digunakankan, ke meja rias. Hatinya masih saja merasa tidak karuan, setelah makan malam bersama Raga malam tadi. Ada rasa kesal, tetapi, tidak sedikit pula hal manis yang dilakukan pria itu pada Lintang. Karena itulah, pagi ini perasaan Lintang semakin tidak karuan saja. Itu baru satu hari. Lantas, bagaimana dengan 29 hari ke depan? Lintang harus benar-benar memasang benteng setinggi mungkin, agar tidak termakan dengan semua sikap manis Raga. Karena ia masih yakin, Raga melakukan semua itu hanya karena Rama, bukan karena sungguh-sungguh menyukai Lintang. Tok tok!Suara ketukan yang terdengar tidak sabar itu, pastilah ulah Rama. Setelah mandi pagi, bocah itu pasti akan lebih dulu menemui Lintang, dan berbicara banyak hal. “Pagi, Ma,” sapa Rama langsung berlari memasuki kamar, setelah Lintang membuka pintu. “Jadi, tadi malam aku sudah ngomong sama opa.”Lintang berbalik tanpa menutup pintu. Berjalan menghampiri Rama, yang sudah duduk di tengah-tengah