Jadi, inilah yang dinamakan kencan. Mengapa Lintang baru menyadari hal itu, saat sudah duduk manis di hadapan Raga. Harusnya, ia menolak ajakan makan malam yang sungguh terasa sangat intim dan romantis ini. Ditemani sinar bulan purnama, dan hanya ada mereka berdua di area outdoor restoran mewah tersebut. “Mas.” Lintang sedikit mencondongkan tubuh, saat pelayan sudah pergi dari sisi mejanya. “Di sini sepi, kenapa nggak pindah di dalam aja?”“Kita lagi pacaran, ngapain harus cari tempat yang rame.”Pacaran katanya? Lintang sampai ternganga lebar, saat mendengar pernyataan Raga. Memangnya, kapan Lintang pernah mengatakan bersedia menjadi kekasih pria itu? “Jangan semena-mena kalau ngomong,” sahut Lintang lalu berdecak. Menarik diri, dan melipat kedua tangan di atas meja. “Memangnya siapa yang pacaran.”“Kita,” balas Raga dengan mudahnya. “Kamu nggak sadar, dengan perjanjian tadi pagi? Dalam jangka waktu satu bulan ke depan, kamu adalah pacarku.”“Jangan diplesetin ke mana-mana.” Decaka
Lintang menghempas sisir yang baru digunakankan, ke meja rias. Hatinya masih saja merasa tidak karuan, setelah makan malam bersama Raga malam tadi. Ada rasa kesal, tetapi, tidak sedikit pula hal manis yang dilakukan pria itu pada Lintang. Karena itulah, pagi ini perasaan Lintang semakin tidak karuan saja. Itu baru satu hari. Lantas, bagaimana dengan 29 hari ke depan? Lintang harus benar-benar memasang benteng setinggi mungkin, agar tidak termakan dengan semua sikap manis Raga. Karena ia masih yakin, Raga melakukan semua itu hanya karena Rama, bukan karena sungguh-sungguh menyukai Lintang. Tok tok!Suara ketukan yang terdengar tidak sabar itu, pastilah ulah Rama. Setelah mandi pagi, bocah itu pasti akan lebih dulu menemui Lintang, dan berbicara banyak hal. “Pagi, Ma,” sapa Rama langsung berlari memasuki kamar, setelah Lintang membuka pintu. “Jadi, tadi malam aku sudah ngomong sama opa.”Lintang berbalik tanpa menutup pintu. Berjalan menghampiri Rama, yang sudah duduk di tengah-tengah
“Belum tidur? Atau, kebangun?” Raga baru saja sampai di ujung tangga lantai dua, dan menghentikan langkah. Ia melihat Lintang keluar dari kamar, saat waktu hampir menunjukkan pukul 12 malam. Gadis itu baru saja menyalakan lampu di lantai dua, dan tampak terkejut melihat Raga. “Mas Raga … baru pulang?” Lintang tidak meneruskan langkah. Masih berdiri di samping saklar, karena baru saja menyalakan lampu. Tatapannya sedikit bergeser ke belakang Raga, yakni melihat ke arah tangga. “Safir ke mana?” Dahi Raga mengerut. Ia kembali melangkah, tetapi tidak menuju ke kamarnya. Kakinya mengayun pelan dan lelah, ke arah Lintang. “Ngapain kamu tanya Safir?” Lintang mengangkat kedua alisnya. Meskipun pria itu terlihat lelah dan tidak karuan, tetapi Raga masih punya tenaga untuk meninggikan kalimatnya di depan Lintang. Memangnya, apa salahnya jika Lintang bertanya masalah Safir? Kenapa juga nada bicara Raga tiba-tiba meninggi seperti itu? “Kan, tadi pagi berangkat sama Safir. Jadi, wajar aja kala
Bagi Lintang, kembali menginjakkan kaki ke kediaman Dewantara bukanlah hal menyenangkan. Masa lalu yang sebenarnya sudah ia tinggalkan, kini harus kembali menyergap setelah melihat setiap sudut ruang di dalamnya. Walaupun, malam ini sambutan Anwar terlihat baik, tetapi Lintang yakin tidak demikian dengan saudara tirinya. Begitu pula dengan Indri, yang mungkin hanya memasang senyum palsu bagi Lintang dan Raga malam ini.Setidaknya, hal itulah yang ada di benak Lintang.Namun, sebelum makan malam dimulai, Anwar mengajak Lintang untuk bicara empat mata sebentar. Untuk satu hal itu, Lintang akhirnya setuju dan tidak bisa menolak, karena Anwar mengatakannya di depan Rama. Paling tidak, Lintang harus menunjukkan sebuah sikap yang baik di depan bocah itu, sebagai contoh. Memang terasa munafik, tetapi Lintang mau tidak mau harus melakukannya.“Kamu ada rencana rujuk dengan Raga?” tanya Anwar setelah keduanya berada di teras samping rumah. “Nggak ada.” Lintang melihat Anwar duduk dengan per
“Makasih, Bik,” ujar Lintang setelah mendapati kardus yang berisi barang-barangnya. Memang tidak banyak. Hanya ada empat wadah berukuran kardus mi instan, yang tergeletak di hadapannya. “Sama-sam–” “Cuma segini, Bik?” tanya Raga memutus ucapan asisten rumah tangga, yang sudah lama bekerja di rumah itu. “Nggak ada kardus lainnya?” “Iya, Mas. Yang lain sudah dikasih ke orang,” ujar sang bibik. “Disuruh Ibu, sama non Biya. Jadi, cuma ini sisanya.” “Nggak papa, Bik,” sambar Lintang sembari berjongkok. “Tolong panggilkan pak Darto. Saya minta tolong bawain kardus-kardusnya ke mobil. Mau saya bawa aja.” Sang bibik mengangguk, dan segera berpamitan pergi dari gudang. Raga ikut berjongkok. Memberi sedikit jarak dengan Lintang. “Aku minta maaf kalau kamu ngerasa nggak nyaman ada di sini.” “Nasinya sudah jadi bubur, mau diapain lagi.” Karena keempat kardus milik Lintang sudah dilakban rapat dan rapi semua, maka ia tidak berniat membukanya. Untuk itu, Lintang kembali bangkit, lalu keluar
“Jadi begini, Pa.” Raga membuang napas besar sebentar. Memegang ponsel, yang menghubungan panggilan video dengan Ario di hadapan. Tidak lama setelah Lintang memberi jawaban, Raga meminta izin untuk menelepon sang papa. Ia tidak pergi ke mana pun, dan masih berada di meja makan bersama yang lainnya. “Aku sama Lintang mau menikah.” “Menikah?” tanya Ario sedikit bingung. Ya, menikah. Beberapa saat lalu, Lintang menjawab pertanyaan Rama dengan anggukan. Ia menerima “lamaran” licik Raga yang tidak terduga, dan bersedia menikah dengan pria itu. Berharap, sepulang dari kediaman Dewantara, ia bisa membicarakan semua itu dengan Raga. Atau dengan kata lain, Lintang ingin meluapkan emosi pada pria itu. “Iya, Lintang sudah setuju, dan pak Anwar sekeluarga di sini juga setuju,” jawab Raga sambil menahan senyum di depan semua orang. Berusaha bersikap serius, dan memendam sebuah gejolak yang sebenarnya sudah ingin meledak. Raga tinggal menjalankan satu langkah lagi malam ini, dan setelah itu Lin
“Yakin, ya, Lin?” Sekali lagi, Retno bertanya mengenai keputusan Lintang di depan kedua keluarga. “Setelah ini, kamu nggak akan bisa tarik kembali omonganmu. Jadi, sebelum semuanya terlanjur, coba pikirkan lagi baik-baik semuanya.” Lintang yang duduk di sebelah Raga, menghela. Ia mengangguk tidak ikhlas, lalu tertunduk penuh ragu meskipun keputusan sudah diucapkan. Bukannya tidak mau mengubah keputusan, tetapi Lintang sudah tidak memiliki jalan yang lebih baik lagi. “Kalau belum yakin, kamu masih bisa pikir–” “Nggak bisa, Ma,” sanggah Raga segera. “Kasihan Rama kalau harus ditunda-tunda terus. Aku juga sudah bilang itu ke Lintang, dan semuanya harus selesai malam ini juga. Karena, mau sampai kapan aku bohong ke Rama? Sementara Lintang, nggak akan bisa ngasih keputusan kalau nggak didesak seperti ini. Keluar dari rumah, atau nikah.” Tangan Lintang reflek memukul paha Raga dengan keras, hingga pria itu mengaduh. “Aku sudah bilang iya! Kita nikah! Jadi, ya, udah! Nggak usah bicara sa
“Mas Raga?”Tangan Raga baru saja terangkat untuk mengetuk pintu kamar Lintang, tetapi gadis itu sudah lebih dulu membukanya. Menatap datar, tanpa menunjukkan keramahan sama sekali. “Ngapain?” Lintang menutup pintu kamar, lalu berlalu begitu saja. “Cincin nikah,” ujar Raga segera menyusul Lintang yang berjalan menuju tangga. Menyamakan langkahnya, lalu menuruni anak tangga bersama-sama. “Aku mau ajak kamu beli cincin nikah yang baru, karena yang lama waktu itu punyanya Safir sama Biya.”“Nggak bisa,” tolak Lintang lalu tersenyum melihat Rama, yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ada Eni yang segera mengangguk sopan, lalu pergi lebih dulu dengan membawa tas sekolah bocah itu. “Aku, kerja hari ini. Mas Raga, kan, juga kerja.”“Kita jalan pas makan siang, Lin.”“Waktunya sempit,” ujar Lintang kembali memberi alasan penolakan. “Kantor Mas Raga di mana, kantorku di mana. Jauh!”Tenang … sabar …Raga tidak boleh emosi, karena sang istri tidak mengacuhkannya.“Ganteng banget, siiih,”
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se
Farya buru-buru keluar dari mobilnya, ketika melihat Fajar baru saja melewati pintu kantor. Pria itu sudah mengenakan jaket kulit, dan membawa helm full face di tangan kirinya. Sungguh terlihat berbeda, dengan Fajar yang ditemuinya saat di restoran dan siang tadi ketika mereka makan bersama Eko. “Jar!” Karena tidak memakai high heel, maka Fayra bisa dengan bebas berlari kecil menghampiri Fajar. “Aku mau ngomong bentar.” “Fayra?” Fajar kembali dibuat bingung dengan wanita satu itu. Kenapa lagi Fayra datang ke kantornya, di saat Fajar hendak pulang dan ingin mengistirahatkan tubuh secepatnya. Bukankah, akting mereka berdua siang tadi cukup meyakinkan? “Iya, Fayra!” Baru juga bertemu siang tadi, tetapi Fajar kembali bengong saat melihatnya. Apa ada yang salah dengan penampilan Fayra saat ini? “Ngobrol bentar, yuk!” “Ngobrol apa lagi?” “Ada tempat duduk, nggak?” Fayra menoleh ke kiri dan ke kanan, untuk mencari sebuah tempat untuk bicara singkat dengan Fajar. Namun, sepertinya tida
“Fayra?” Fajar menggumam sendiri, sesaat setelah meletakkan gagang telepon di meja kerjanya. Tatapannya tertuju pada jam digital di sudut layar komputer, sembari mengingat kejadian di restoran kemarin. Raga menghampirinya, dan meminta bantuan Fajar untuk menemani adik mendiang istrinya yang sedang melakukan kencan buta. Entah mengapa, Fajar saat itu setuju membantu Fayra agar tidak dijodohkan dengan pria pilihan papanya. Melihat dari wajah frustrasi Fayra, serta penampilan yang terlihat memelas itu, membuat Fajar tidak tega menolaknya. Alhasil, Fajar tidak menyesal membantu Fayra setelah bertemu dengan pria yang hendak dijodohkan dengan wanita itu. Pria kaya yang pongah, dan menurut Fajar sama sekali tidak cocok dijodohkan dengan Fayra yang sangat sederhana. Bisa-bisa, pria itu akan “menindas” Fayra jika mereka benar-benar menikah nantinya. Namun, untuk apa wanita itu mendatangi Fajar di saat jam makan siang hampir tiba seperti sekarang? Fajar men-sleep komputernya terlebih dahu
“Ayo turun.” Safir memberi perintah pada putrinya, yang hari ini tepat berusia satu tahun. Di depan mereka, sudah ada satu buah meja panjang yang berisi dua buah cake ulang tahun, dengan lilin angka yang sama. Fira menggeleng, sembari mengeratkan pelukannya pada leher Safir. Bibir merah nan mungil itu mengerucut, lalu merebahkan kepala di pundak Safir. “Ya begitu itu, kalau kebanyakan digendong, Pi,” ujar Intan sambil mengulurkan kedua tangannya pada Fira. “Duduk sama Mimi, yok. Habis ini ada mama Lintang.” Agar ketiga bayi yang ada di keluarga Sailendra tidak kebingungan saat memanggil mama dan papanya, maka Intan dan Safir memutuskan untuk mengganti panggilan mereka pada Fira. Yang tadinya juga menggunakan papa dan mama, akhirnya mereka ganti menjadi pipi dan mimi, daripada harus mencari-cari nama panggilan lain. “Sama aku aja,” balas Safir. Ia tidak keberatan menggendong putrinya ke mana-mana. Karena Safir sadar, waktu akan cepat sekali berlalu dan pasti ada waktunya Fira tida