“Jadi, ayo kita menikah lagi.” Untuk sesaat, Lintang hanya terpaku di tempat dengan tatapan kosong. Sejurus kemudian, ia menggeleng dengan kedua tangan berada di kepala. Mundur beberapa langkah, karena masih tidak percaya dengan perkataan Raga barusan. “Mas Raga tahu betul kalau itu nggak mungkin.” Lintang bahkan melempar tawa garing pada Raga. Mana mungkin Lintang mau masuk ke dalam lubang yang sama dua kali. Ia pasti benar-benar bodoh, jika tetap melakukannya. “Nggak ada yang nggak mungkin.” Raga bergeming. Tidak beranjak ke mana pun, agar gadis itu tidak pergi meninggalkannya. Masih banyak hal yang harus dibicarakan, dan Raga tidak mau moment kali ini hilang begitu saja. Kalau bisa, Raga harus mendapatkan jawabannya kali ini juga. “Ayo kita coba sekali lagi.” “Buat apa?” Suara Lintang sedikit meninggi. “Kita sudah pernah nikah satu kali, dan itu nggak berhasil. Mas Raga tahu betul, kalau kita nggak saling cinta. Jadi, jangan memaksakan diri, cuma karena Rama. Biarlah nan–” “Aku
“Hwaaah, Mama cantik!” seru Rama yang sejak tadi berguling-guling di tempat tidur Lintang. Menunggu LIntang selesai berdandan, karena akan pergi makan malam berdua dengan Raga. Rama tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk ikut serta, karena Raga melarangnya.“Kalau Rama mau Papa nikah sama mama Lintang, jangan pernah ngerengek minta ikut, kalau Papa cuma jalan berdua dengan mama.”Karena sederet kalimat itulah, Rama tidak melontarkan protes, maupun rengekan untuk ikut pergi. Daripada sang papa tidak jadi menikah dengan Lintang, lebih baik Rama diam dan menuruti ucapan Raga. “Beneran Mama cantik?” Lintang menyangga kedua pipi, yang mulai bersemu karena ucapan Rama. Bocah kecil itu, sudah pandai membuat Lintang salah tingkah seperti ini. “Beneran!” seru Rama lalu bertelungkup, dan memangku wajahnya dengan kedua tangan. “Mama kayak cewek beneran!”Lintang tergelak. Memangnya, selama ini Lintang bukan seorang wanita tulen? Ia hanya malas berdandan dan berpenampilan feminim, karena tuntu
Jadi, inilah yang dinamakan kencan. Mengapa Lintang baru menyadari hal itu, saat sudah duduk manis di hadapan Raga. Harusnya, ia menolak ajakan makan malam yang sungguh terasa sangat intim dan romantis ini. Ditemani sinar bulan purnama, dan hanya ada mereka berdua di area outdoor restoran mewah tersebut. “Mas.” Lintang sedikit mencondongkan tubuh, saat pelayan sudah pergi dari sisi mejanya. “Di sini sepi, kenapa nggak pindah di dalam aja?”“Kita lagi pacaran, ngapain harus cari tempat yang rame.”Pacaran katanya? Lintang sampai ternganga lebar, saat mendengar pernyataan Raga. Memangnya, kapan Lintang pernah mengatakan bersedia menjadi kekasih pria itu? “Jangan semena-mena kalau ngomong,” sahut Lintang lalu berdecak. Menarik diri, dan melipat kedua tangan di atas meja. “Memangnya siapa yang pacaran.”“Kita,” balas Raga dengan mudahnya. “Kamu nggak sadar, dengan perjanjian tadi pagi? Dalam jangka waktu satu bulan ke depan, kamu adalah pacarku.”“Jangan diplesetin ke mana-mana.” Decaka
Lintang menghempas sisir yang baru digunakankan, ke meja rias. Hatinya masih saja merasa tidak karuan, setelah makan malam bersama Raga malam tadi. Ada rasa kesal, tetapi, tidak sedikit pula hal manis yang dilakukan pria itu pada Lintang. Karena itulah, pagi ini perasaan Lintang semakin tidak karuan saja. Itu baru satu hari. Lantas, bagaimana dengan 29 hari ke depan? Lintang harus benar-benar memasang benteng setinggi mungkin, agar tidak termakan dengan semua sikap manis Raga. Karena ia masih yakin, Raga melakukan semua itu hanya karena Rama, bukan karena sungguh-sungguh menyukai Lintang. Tok tok!Suara ketukan yang terdengar tidak sabar itu, pastilah ulah Rama. Setelah mandi pagi, bocah itu pasti akan lebih dulu menemui Lintang, dan berbicara banyak hal. “Pagi, Ma,” sapa Rama langsung berlari memasuki kamar, setelah Lintang membuka pintu. “Jadi, tadi malam aku sudah ngomong sama opa.”Lintang berbalik tanpa menutup pintu. Berjalan menghampiri Rama, yang sudah duduk di tengah-tengah
“Belum tidur? Atau, kebangun?” Raga baru saja sampai di ujung tangga lantai dua, dan menghentikan langkah. Ia melihat Lintang keluar dari kamar, saat waktu hampir menunjukkan pukul 12 malam. Gadis itu baru saja menyalakan lampu di lantai dua, dan tampak terkejut melihat Raga. “Mas Raga … baru pulang?” Lintang tidak meneruskan langkah. Masih berdiri di samping saklar, karena baru saja menyalakan lampu. Tatapannya sedikit bergeser ke belakang Raga, yakni melihat ke arah tangga. “Safir ke mana?” Dahi Raga mengerut. Ia kembali melangkah, tetapi tidak menuju ke kamarnya. Kakinya mengayun pelan dan lelah, ke arah Lintang. “Ngapain kamu tanya Safir?” Lintang mengangkat kedua alisnya. Meskipun pria itu terlihat lelah dan tidak karuan, tetapi Raga masih punya tenaga untuk meninggikan kalimatnya di depan Lintang. Memangnya, apa salahnya jika Lintang bertanya masalah Safir? Kenapa juga nada bicara Raga tiba-tiba meninggi seperti itu? “Kan, tadi pagi berangkat sama Safir. Jadi, wajar aja kala
Bagi Lintang, kembali menginjakkan kaki ke kediaman Dewantara bukanlah hal menyenangkan. Masa lalu yang sebenarnya sudah ia tinggalkan, kini harus kembali menyergap setelah melihat setiap sudut ruang di dalamnya. Walaupun, malam ini sambutan Anwar terlihat baik, tetapi Lintang yakin tidak demikian dengan saudara tirinya. Begitu pula dengan Indri, yang mungkin hanya memasang senyum palsu bagi Lintang dan Raga malam ini.Setidaknya, hal itulah yang ada di benak Lintang.Namun, sebelum makan malam dimulai, Anwar mengajak Lintang untuk bicara empat mata sebentar. Untuk satu hal itu, Lintang akhirnya setuju dan tidak bisa menolak, karena Anwar mengatakannya di depan Rama. Paling tidak, Lintang harus menunjukkan sebuah sikap yang baik di depan bocah itu, sebagai contoh. Memang terasa munafik, tetapi Lintang mau tidak mau harus melakukannya.“Kamu ada rencana rujuk dengan Raga?” tanya Anwar setelah keduanya berada di teras samping rumah. “Nggak ada.” Lintang melihat Anwar duduk dengan per
“Makasih, Bik,” ujar Lintang setelah mendapati kardus yang berisi barang-barangnya. Memang tidak banyak. Hanya ada empat wadah berukuran kardus mi instan, yang tergeletak di hadapannya. “Sama-sam–” “Cuma segini, Bik?” tanya Raga memutus ucapan asisten rumah tangga, yang sudah lama bekerja di rumah itu. “Nggak ada kardus lainnya?” “Iya, Mas. Yang lain sudah dikasih ke orang,” ujar sang bibik. “Disuruh Ibu, sama non Biya. Jadi, cuma ini sisanya.” “Nggak papa, Bik,” sambar Lintang sembari berjongkok. “Tolong panggilkan pak Darto. Saya minta tolong bawain kardus-kardusnya ke mobil. Mau saya bawa aja.” Sang bibik mengangguk, dan segera berpamitan pergi dari gudang. Raga ikut berjongkok. Memberi sedikit jarak dengan Lintang. “Aku minta maaf kalau kamu ngerasa nggak nyaman ada di sini.” “Nasinya sudah jadi bubur, mau diapain lagi.” Karena keempat kardus milik Lintang sudah dilakban rapat dan rapi semua, maka ia tidak berniat membukanya. Untuk itu, Lintang kembali bangkit, lalu keluar
“Jadi begini, Pa.” Raga membuang napas besar sebentar. Memegang ponsel, yang menghubungan panggilan video dengan Ario di hadapan. Tidak lama setelah Lintang memberi jawaban, Raga meminta izin untuk menelepon sang papa. Ia tidak pergi ke mana pun, dan masih berada di meja makan bersama yang lainnya. “Aku sama Lintang mau menikah.” “Menikah?” tanya Ario sedikit bingung. Ya, menikah. Beberapa saat lalu, Lintang menjawab pertanyaan Rama dengan anggukan. Ia menerima “lamaran” licik Raga yang tidak terduga, dan bersedia menikah dengan pria itu. Berharap, sepulang dari kediaman Dewantara, ia bisa membicarakan semua itu dengan Raga. Atau dengan kata lain, Lintang ingin meluapkan emosi pada pria itu. “Iya, Lintang sudah setuju, dan pak Anwar sekeluarga di sini juga setuju,” jawab Raga sambil menahan senyum di depan semua orang. Berusaha bersikap serius, dan memendam sebuah gejolak yang sebenarnya sudah ingin meledak. Raga tinggal menjalankan satu langkah lagi malam ini, dan setelah itu Lin