“Belum tidur? Atau, kebangun?” Raga baru saja sampai di ujung tangga lantai dua, dan menghentikan langkah. Ia melihat Lintang keluar dari kamar, saat waktu hampir menunjukkan pukul 12 malam. Gadis itu baru saja menyalakan lampu di lantai dua, dan tampak terkejut melihat Raga. “Mas Raga … baru pulang?” Lintang tidak meneruskan langkah. Masih berdiri di samping saklar, karena baru saja menyalakan lampu. Tatapannya sedikit bergeser ke belakang Raga, yakni melihat ke arah tangga. “Safir ke mana?” Dahi Raga mengerut. Ia kembali melangkah, tetapi tidak menuju ke kamarnya. Kakinya mengayun pelan dan lelah, ke arah Lintang. “Ngapain kamu tanya Safir?” Lintang mengangkat kedua alisnya. Meskipun pria itu terlihat lelah dan tidak karuan, tetapi Raga masih punya tenaga untuk meninggikan kalimatnya di depan Lintang. Memangnya, apa salahnya jika Lintang bertanya masalah Safir? Kenapa juga nada bicara Raga tiba-tiba meninggi seperti itu? “Kan, tadi pagi berangkat sama Safir. Jadi, wajar aja kala
Bagi Lintang, kembali menginjakkan kaki ke kediaman Dewantara bukanlah hal menyenangkan. Masa lalu yang sebenarnya sudah ia tinggalkan, kini harus kembali menyergap setelah melihat setiap sudut ruang di dalamnya. Walaupun, malam ini sambutan Anwar terlihat baik, tetapi Lintang yakin tidak demikian dengan saudara tirinya. Begitu pula dengan Indri, yang mungkin hanya memasang senyum palsu bagi Lintang dan Raga malam ini.Setidaknya, hal itulah yang ada di benak Lintang.Namun, sebelum makan malam dimulai, Anwar mengajak Lintang untuk bicara empat mata sebentar. Untuk satu hal itu, Lintang akhirnya setuju dan tidak bisa menolak, karena Anwar mengatakannya di depan Rama. Paling tidak, Lintang harus menunjukkan sebuah sikap yang baik di depan bocah itu, sebagai contoh. Memang terasa munafik, tetapi Lintang mau tidak mau harus melakukannya.“Kamu ada rencana rujuk dengan Raga?” tanya Anwar setelah keduanya berada di teras samping rumah. “Nggak ada.” Lintang melihat Anwar duduk dengan per
“Makasih, Bik,” ujar Lintang setelah mendapati kardus yang berisi barang-barangnya. Memang tidak banyak. Hanya ada empat wadah berukuran kardus mi instan, yang tergeletak di hadapannya. “Sama-sam–” “Cuma segini, Bik?” tanya Raga memutus ucapan asisten rumah tangga, yang sudah lama bekerja di rumah itu. “Nggak ada kardus lainnya?” “Iya, Mas. Yang lain sudah dikasih ke orang,” ujar sang bibik. “Disuruh Ibu, sama non Biya. Jadi, cuma ini sisanya.” “Nggak papa, Bik,” sambar Lintang sembari berjongkok. “Tolong panggilkan pak Darto. Saya minta tolong bawain kardus-kardusnya ke mobil. Mau saya bawa aja.” Sang bibik mengangguk, dan segera berpamitan pergi dari gudang. Raga ikut berjongkok. Memberi sedikit jarak dengan Lintang. “Aku minta maaf kalau kamu ngerasa nggak nyaman ada di sini.” “Nasinya sudah jadi bubur, mau diapain lagi.” Karena keempat kardus milik Lintang sudah dilakban rapat dan rapi semua, maka ia tidak berniat membukanya. Untuk itu, Lintang kembali bangkit, lalu keluar
“Jadi begini, Pa.” Raga membuang napas besar sebentar. Memegang ponsel, yang menghubungan panggilan video dengan Ario di hadapan. Tidak lama setelah Lintang memberi jawaban, Raga meminta izin untuk menelepon sang papa. Ia tidak pergi ke mana pun, dan masih berada di meja makan bersama yang lainnya. “Aku sama Lintang mau menikah.” “Menikah?” tanya Ario sedikit bingung. Ya, menikah. Beberapa saat lalu, Lintang menjawab pertanyaan Rama dengan anggukan. Ia menerima “lamaran” licik Raga yang tidak terduga, dan bersedia menikah dengan pria itu. Berharap, sepulang dari kediaman Dewantara, ia bisa membicarakan semua itu dengan Raga. Atau dengan kata lain, Lintang ingin meluapkan emosi pada pria itu. “Iya, Lintang sudah setuju, dan pak Anwar sekeluarga di sini juga setuju,” jawab Raga sambil menahan senyum di depan semua orang. Berusaha bersikap serius, dan memendam sebuah gejolak yang sebenarnya sudah ingin meledak. Raga tinggal menjalankan satu langkah lagi malam ini, dan setelah itu Lin
“Yakin, ya, Lin?” Sekali lagi, Retno bertanya mengenai keputusan Lintang di depan kedua keluarga. “Setelah ini, kamu nggak akan bisa tarik kembali omonganmu. Jadi, sebelum semuanya terlanjur, coba pikirkan lagi baik-baik semuanya.” Lintang yang duduk di sebelah Raga, menghela. Ia mengangguk tidak ikhlas, lalu tertunduk penuh ragu meskipun keputusan sudah diucapkan. Bukannya tidak mau mengubah keputusan, tetapi Lintang sudah tidak memiliki jalan yang lebih baik lagi. “Kalau belum yakin, kamu masih bisa pikir–” “Nggak bisa, Ma,” sanggah Raga segera. “Kasihan Rama kalau harus ditunda-tunda terus. Aku juga sudah bilang itu ke Lintang, dan semuanya harus selesai malam ini juga. Karena, mau sampai kapan aku bohong ke Rama? Sementara Lintang, nggak akan bisa ngasih keputusan kalau nggak didesak seperti ini. Keluar dari rumah, atau nikah.” Tangan Lintang reflek memukul paha Raga dengan keras, hingga pria itu mengaduh. “Aku sudah bilang iya! Kita nikah! Jadi, ya, udah! Nggak usah bicara sa
“Mas Raga?”Tangan Raga baru saja terangkat untuk mengetuk pintu kamar Lintang, tetapi gadis itu sudah lebih dulu membukanya. Menatap datar, tanpa menunjukkan keramahan sama sekali. “Ngapain?” Lintang menutup pintu kamar, lalu berlalu begitu saja. “Cincin nikah,” ujar Raga segera menyusul Lintang yang berjalan menuju tangga. Menyamakan langkahnya, lalu menuruni anak tangga bersama-sama. “Aku mau ajak kamu beli cincin nikah yang baru, karena yang lama waktu itu punyanya Safir sama Biya.”“Nggak bisa,” tolak Lintang lalu tersenyum melihat Rama, yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ada Eni yang segera mengangguk sopan, lalu pergi lebih dulu dengan membawa tas sekolah bocah itu. “Aku, kerja hari ini. Mas Raga, kan, juga kerja.”“Kita jalan pas makan siang, Lin.”“Waktunya sempit,” ujar Lintang kembali memberi alasan penolakan. “Kantor Mas Raga di mana, kantorku di mana. Jauh!”Tenang … sabar …Raga tidak boleh emosi, karena sang istri tidak mengacuhkannya.“Ganteng banget, siiih,”
Lintang langsung menghela besar, saat baru saja masuk melewati pintu pagar. Di teras rumah, sudah ada Raga yang berdiri sembari memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Memandang datar kepadanya. Untuk apa pria itu berdiri di sana?Sementara Lintang, terus saja membawa motornya menuju garasi dan memarkirkannya lebih dulu. “Hari sudah hampir malam, tapi kamu baru pulang.”Lintang langsung berjengit kaget, karena suara Raga tiba-tiba berada di belakangnya. Padahal, ia baru saja menurunkan standar motor, tetapi pria itu sudah berada di garasi, menyusulnya. “Mas!” hardik Lintang spontan berbalik, dan memegangi dadanya. “Jangan ngagetin orang!”“Ini sudah jam berapa?” tanya Raga mengabaikan ocehan Lintang. “Kenapa duluan aku yang sampai rumah?”Mulai … Pria kembali menunjukkan keposesifannya pada Lintang. “Jalanan macet,” ujar Lintang beralasan. Kemudian, ia memilih memasuki rumah melalui pintu garasi belakang. “Aku baru datang, capek, jadi nggak usah ngomel-ngomel!”Raga menarik
“Terserah!”Lintang geregetan. Sudah pasrah dan menyerah, karena tidak mampu menyeret tubuh Raga keluar dari kamarnya. Pada akhirnya, Lintang membiarkan pria itu tidur di kamarnya, tetapi hanya berada di sofa.“Pokoknya, Mas Raga nggak boleh tidur di ranjang!” lanjut Lintang langsung berbalik pergi menuju lemari. Mencari kaos longgar lengan panjang, sebuah jaket, celana pendek, dan sebuah celana panjang. Malam ini, ia akan memakai semua pakaian itu untuk tidur dan menyalakan pendingin ruangan dengan suhu yang paling rendah. Biar saja pria itu kedinginan, dan keluar dari kamar Lintang dengan sendirinya.“Hm.” Raga hanya menggumam. Mengambil satu buah bantal dari tempat tidur Lintang, kemudian meletakkannya di ujung sofa. Satu yang Raga lupa, sofa di kamar Lintang hanya terdiri dari dua seater. Tidak seperti di kamar Raga, yang ukurannya lebih panjang. Tentu saja sofa tersebut tidak akan mampu menampung tubuh Raga dengan sempurna.Saat melihat Lintang pergi menuju kamar mandi, Raga bera