Steven mengendarai mobil sport dengan tenang. Ia sengaja mempercepat kepulangannya dari kantor. Ia tak mau melewatkan jadwal cek up pertama Maria dengan dokter Gilsha.
“Untung saja Nathan bisa menemukan dokter pengganti. Perempuan, yang penting dia junior dari dokter Gilbert. Artinya dokter Gilsha juga kompeten.”
Maserati ghibli berwarna biru metalik telah menempati salah satu lahan parkir mobil pada garasi rumah Steven. Tuan rumah nan tampan tak ada bandingnya, turun seraya menebar pesonanya. Steve berjalan menuju ruang utama istananya dengan Maria.
Sebuah rumah dengan interior klasik Italia. Rumah mewah berlantai tiga. Semua fasilitas ada di dalam istana mereka. Sebut saja, pasti ada. Bahkan rumah itu terlihat seperti hotel bintang tujuh. Padahal pemiliknya cuma dua orang, yang lainnya juga ikut tinggal dengan nyaman. Para maid, security hingga driver, mereka tinggal pada pavilion istana Steven yang tak kalah mewah dan nyaman dari bangunan utama.
“Selamat datang tuan,” sapa maid yang membukakan pintu utama untuk Steve. Tuan tampan membalas dengan anggukan kepala.
“Silahkan diminum tuan,” maid lain menyodorkan baki yang berisi air pada Steve.
Steve mengambil segelas welcome drink yang disediakan oleh maids. Setelah menenggaknya, ia letakkan kembali tersebut.
“Nyonya dimana?”
“Di dalam kamar tuan, sedang siap—siap.”
“Oke,” Steve berjalan seraya mendapat hormat dari para maids. Steve berjalan dengan gagahnya diantara salam hormat para pegawainya.
Steve membuka pintu kamar utama, yeps it’s their bedroom. Kamar yang sudah banyak menampung desahan, keringat dan tawa mereka. Bahkan tangisan kebahagiaan mereka juga terjadi di dalam kamar ini. Maids yang membantu Maria juga memberi hormat mereka pada Steve.
Suami Maria ini juga membalasnya lalu meminta mereka untuk meninggalkan kamar. Mereka sudah paham dengan kode yang diberikan oleh Steve. Dengan sigap, dua orang maid yang membantu Maria untuk dandan keluar dari kamar.
Pintu kamar tertutup kembali.
Steve mendekati Maria yang sedang duduk santai di depan lemari perhiasannya. Terlihat Maria masih memilih—milih set perhiasan yang cocok ia kenakan untuk pergi dengan Steve.
Maria tidak tahu kalau Steve sudah didalam kamar, sedang memperhatikannya. Maria selalu menaruh fokus dalam melakukan pekerjaannya. Itulah pesona Maria yang tidak bisa ditolak oleh Steve.
Steve meletakkan tangannya di bahu Maria, lalu ia kecup puncak kepala istrinya. Maria terkesiap, untuk dia tidak terjengkang ke belakang.
“Oh God, Steve…” pekik Maria pada suaminya.
Steve mengembangkan senyum menawannya. Salah satu magnet alami yang ada pada diri pria yang berstatuskan suami Maria Alexandra.
“Kamu kenapa bingung gitu kelihatannya?”
Maria tersenyum kaku, “As you know, aku itu memang selalu bingung kalau disuruh milih perhiasan. Semuanya cantik. Makanya aku butuh maid yang paham soal fashion style.”
“Apa aku perlu membelikanmu perhiasan baru?” goda Steve pada Maria. Pertanyaan yang membuat Maria menepuk punggung tangan Steve.
“Sayang, kamu itu jangan terlalu manjain aku dong. Perhiasan ini masih bagus dan dua hari yang lalu kan kamu baru aja kasih aku set perhiasan terbaru kan. Buat apa buang—buang uang sayang?”
Steve tertawa geli, ia heran kenapa Maria selalu memberikan penolakan atas fasilitas yang dia berikan.
“Kayaknya manusia, khususnya wanita yang tipe kayak kamu gak ada lagi di dunia ini. It’s only you. Selalu merendah, gak pernah sombong, gak suka pamer, selalu nolak kalau dimanja. Terus uang aku harus aku kemana in dong kalau bukan untuk kamu habisin?”
Maria berdiri. Ia mensejajarkan diri dengan Steve. Ia rangkul bahu Steve. Tatapan mereka bersirobok.
“Investment! Kamu bisa memperluas bisnis kamu supaya masa depan kita, especially our little champ will be guarantee.”
Steve selalu tergoda dengan Maria. Bibir Maria yang lembut dan basah itu membuat Steve ingin memakannya segera.
Cup!
Maria menepuk bahu Steve pelan, pagutan mereka terlepas. “Sayang, jangan rusak make up aku dong!”
Steve tersenyum menang, “Kalau gitu jangan goda aku dong!”
“Aku? Goda kamu? Ck… kamu nya aja yang nafsuan sama aku!” ujar Maria tegas.
……… Going to Hospital City Center!
Steve memarkirkan mobil mewahnya di velvet parking rumah sakit. Steve keluar lebih dulu. Ia membukakan pintu mobil untuk Maria. Sebelah tangan Steve memberikan perlindungan, agar kepala sang istri tidak berbenturan dengan atap mobil.
“Thank you baby,” ucap Maria seraya memberikan love air pada Steve.
“May pleasure princess!”
Steve mengapit pinggang Maria dengan posesif. Steve menekan tombol navigasi lift, agar pintu lift terbuka.
“Sayang, aku suka dengan kamu yang menaruh perhatian penuh padaku. Tapi ini bukankah sedikit berlebihan?” Maria berucap sedikit pelan, supaya tidak menyinggung perasaan suami posesif nya ini.
Steve menarik tubuh Maria agar semakin menempel padanya, “Tidak! Aku hanya melindungi milikku dari penglihatan orang lain.”
Steve melirik Maria dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Walau sudah memakai pakaian yang sopan, tetap inner beauty Maria tidak bisa ditolak oleh mata pria.
Maria pun terbawa arus untuk memperhatikan penampilannya juga. Memilih mengenakan atasan putih seperti kemeja lengan panjang, dengan potongan leher yang rendah. Maria padukan kemeja yang mengembang panjang ke belakang itu, dengan celana kulot berwarna terracotta. Tak lupa heels hitam dengan tinggi 5 senti saja.
Maria mengikat rambut coklat alaminya rendah, dengan sedikit berantakan di sisi telinganya. Tak lupa poni sampingnya yang bervolume. Menambah kesan imut nan menggemaskan.
“Kenapa, apa aku mengenakan pakaian yang kurang pas?” tanya Maria heran.
Steve menghela nafasnya, “Tidak, ayo masuk!” Steve tak melepas tangannya dari pinggang Maria.
Steve mengais gawainya yang ada di dalam saku jas bagian dalam. Tangannya belum beranjak dari pinggang Maria. Steve mendial up nomor seseorang.
“Dimana?”
“Di depan tuan!”
Steve melihat ke arah depan, ternyata sang asisten pribadinya sudah berdiri tegak menanti kedatangan mereka. Nathan mendekati Steve dan Maria. Ia berjalan bagai sedang mengitari panggung catwalk.
“Mari tuan ikuti saya,” Nathan menunjukkan arah jalur rumah sakit menuju bangsal ginekologi.
“Kurangi pesona kau Nathan, Saya tak suka!” ujar Steve seraya berlalu bersama Maria.
Maria memberi kode dengan matanya pada Nathan, ‘tolong maklumi ya Nathan.’ Yang kena kode malah tersenyum simpul.
Steve berbisik di cuping telinga Maria, “Kamu nanti aku beri hukuman!”
Maria menjauh dari Steve, tapi tak bisa karena eratnya pegangan Steve di pinggang Maria. “Kenapa aku dihukum sayang?”
“Kamu telah berani melirik pria lain. Bahkan kamu sekarang dalam pelukanku Maria.” Ujar Steve geram pada istrinya.
Maria terkekeh, “Dia bukan orang lain sayang, dia asisten pribadi kamu loh. Bahkan dulu aku sama dia saling bekerja sama untuk menjaga kinerja kamu di kantor. Kamu salah menaruh cemburu sayang.”
Steve merubah air mukanya, dari geram menjadi tersiksa. “Tetap saja aku gak suka sayang. Walau aku tau Nathan tidak akan berani merebut kamu dari aku.” Steve berucap lemas. Maria mengelus dagu Steve dengan sayang. Mereka membuat iri para mata yang melihat kemesraan mereka.
Bahkan Nathan dibuat gerah oleh mereka, ‘Mereka gak tau sikon ya? Di lorong rumah sakit aja masih sempet buat mesra mesraan?!’
……… Bangsal Ginekologi
Nathan mengetuk pintu ruang kerja yang bertuliskan dr.Gilsha Maureen Jayamaro.,Sp.OG – Sebelumnya Nathan sudah mengkonfirmasi kehadiran pada suster. Jadilah ia langsung menghantarkan atasannya ini langsung ke ruangan dokter Gilsha.
“Masuk,” balas dokter Gilsha ramah.
Nathan membuka pintu ruang praktek dokter Gilsha, tak lupa ia menyapa dokter cantik tersebut. “Dokter Gilsha, yang ditunggu sudah datang.”
Dokter Gilsha yang sedang memeriksa berkas pasien lain, segera menutup berkas tersebut lalu menyusunnya pada portofolio ‘soon to recheck!’
“Silahkan antar masuk langsung pak Nathan.”
Nathan berdiri sedikit ke pinggir, ia memberi celah untuk Steve dan Maria. Nathan menutup pintu pelan, setelah tuan dan nyonya itu masuk. Ia memilih menunggu mereka di luar.
‘Tuan Steve itu semakin aneh! masa iya, dia minta saya untuk mengurangi pesona saya? Emangnya saya limit kuota bantuan pemerintah apa?!’
Steve dan Maria dituntun oleh seorang suster jaga yang mendapat tugas untuk mendampingi dokter Gilsha. Pelayanan mereka ramah dan sopan.“Silahkan duduk,” dokter Gilsha mempersilahkan Steve dan Maria untuk duduk pada kursi konsultasi.Dokter Gilsha membuka resume Maria, ia baca lamat—lamat kondisi yang dijelaskan sebelumnya. Maria merasa deg degan karena ini hal pertama baginya.“Rileks aja ya Bu Maria,”“Oke bu dokter,” balas Maria dengan senyum kikuk.“Ibu sudah periksa pake test pack ya?”“Ya bu dokter, pagi ini saya periksa dengan urine pertama bu dokter. Saya pernah baca artikel, kata penulisnya urine pertama di pagi
Malam ini terasa beda bagi Steve dan Maria. Biasanya mereka akan melewati malam dengan berolahraga bersama sampai lelah. Namun mulai malam ini, mereka hanya berolahraga ringan saja. Sekedar bercumbu hingga mengelus kasar bagian favorit masing—masing. Setelah itu Steve akan bermain solo, menuntaskan hasratnya.Steve beranjak terburu—buru dari kasur mereka. Meninggalkan Maria dengan ekspresi yang sulit diartikan.Maria melihat bayangan Steve juga ikut masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar mereka. Hati Maria tak berlabel kini. Senang, karena ada bibit janin dalam rahimnya yang akan tumbuh berkembang menjadi bayi lucu. Dan sebagian lagi terluka, melihat Steve yang kelimpungan saat mengambil alih tugasnya.Maria semakin teriris saat mendengar Steve berfantasi seraya melolongkan namanya. Susah payah Mar
“owk…” “owk…” “owk…” Maria memegang kloset duduk itu dengan kuat. Hampir seluruh wajahnya masuk ke dalam kloset tersebut. Hari masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tubuh Maria melemas. Tubuhnya tak mampu menopang diri lagi. Maria merosot lalu duduk di lantai kamar mandi. Kepalanya terasa pusing. Perutnya seperti memuat angin tornado, membuncah seperti lava gunung berapi yang ingin keluar dari sarang. “Astaga… sakit sekali rasanya.” Maria masih mengatur deru nafasnya, yang tak berimbang. Tangan Maria masih memegangi kepalanya, terasa mau pecah. Steve menggaruk sebelah pipinya pelan. Matanya masih terpejam. Reflek tubuh Steve mengeliat ke arah Maria, guna mencari pelipur tidurnya.
Kepala Nathan cenut—cenut, ia menumpukan kepalanya yang berat itu pada kedua tangannya yang menekan permukaan meja kerjanya. Nathan sudah berusaha untuk mencari ahli gizi dan psikiater terbaik di kota ini.Problemnya adalah semua yang ia dapatkan mempunyai gender yang sejenis dengannya. Tentunya itu hal terlarang bagi Steven, No Male. Nathan menjambak kasar rambut hitamnya. Penampilan Nathan sudah tidak karuan. Nathan yang rapi menghilang sementara waktu.“Oh... GOD” Nathan berjalan asal, ia meninggalkan kursi kebanggaannya. Seperti setrika yang ada pada pakaian lecek, maju mundur sampai pakaian itu rapi.Nathan melihat jam tangannya, matanya semakin sakit melihat jarum jam yang sudah mendekati waktu sore hari. Nathan belum juga mendapatkan nama perempuan yang diminta Steven.
Nathan bergerak cepat. Setelah dari Hospital City Center ia langsung melajukan mobilnya ke rumah Steven. Dengan semangat ia membelah jalanan yang masih dilanda kemacetan. Nathan tak hentinya tersenyum. Suasana hatinya gembira ria. Bahkan di tengah kemacetan ibu kota, ia menyempatkan diri untuk bekerja. Berkas yang dimasukan ke dalam tas kerjanya, ia keluarkan satu buah. Ia pun mulai bekerja, memeriksa rincian laporan dari divisi kantor. Pembaharuan dari hasil rapat terakhir kemarin. Nathan yang terlalu fokus ke berkas laporan mendapat teguran dari pengendara lain. Mobilnya kena semprot klakson. Bukan hanya sekali tapi beberapa kali. “Astaga, lampu sudah hijau ternyata!” Nathan menaruh berkas di kursi sebelah pengemudi. I
Setelah di bujuk oleh Steven akhirnya Maria mau berkonsultasi dengan dokter Angela spesialis gizi. Ia juga mau didampingi oleh dokter Michelle ahli psikologi. Maria pun berbicara heart to heart dengan para dokter.Dia bercerita apa yang dirasakan, dulu yang biasanya dia suka sekarang jadi mual melihatnya. Maria juga mendapat terapi bagaimana mengontrol emosi, agar stabil dan tidak mengganggu proses kehamilannya.Steven tampaknya harus menaikan gaji Nathan, sekalian memperbanyak bonus untuk diberikan pada Nathan. Asisten pribadi yang sangat handal, cekatan, pintar dan juga tampan.……… Six months later!Hari menunjukkan pukul 1 dini hari. Dimana semua orang sudah pada tidur, beristirahat supaya besok bisa melakukan aktifitas dengan baik.
“Oh nyonya lagi ngidam tuan?”“Sepertinya begitu, nanti kalau gak saya ikutin anak saya bikin ibunya rusuh. Saya juga yang pusing nantinya.”Security pun mengulum senyum, lalu Steve mulai tertawa, hingga mereka tertawa bersama. Teringat akan keanehan bumil kalau lagi ngidam.“Tuan, biasanya jam segini sate ayam yang masih buka itu harus keluar komplek dulu. Terus jalan ke arah jalan soetomo, nah disitu ada sate ayam Pak Ndut dia mangkal pake tenda tuan. Kami pernah beli di sana terus makan disini, sambil jaga tuan.”Steve tersenyum, “Terimakasih untuk infonya. Nanti saya kasih bonus ke kalian kalau nyonya suka sama rekomendasi dari kalian!”Para security pun tersenyum senang, me
Kandungan Maria semakin lama semakin berkembang dan membesar. Ia semakin sulit bergerak. Bahkan sekarang usia kandungan Maria sudah memasuki usia tujuh bulan lebih, jalan ke delapan. “Ya Tuhan, ternyata begini rasanya hamil ya. Nikmat sekali rasanya!” Maria teringat pada sang mama, “Ma, mama apa kabar di surga?” mata Maria mulai memerah. Ia selalu saja sedih kalau teringat dengan mamanya. “Ma, Maria minta maaf ya. Aku belum bisa bahagiin mama dulu. Maaf juga karena aku jarang ada waktu sama mama.” Ujar Maria disela—sela tangisannya. (Flashback) Mama Maria meninggal dua tahun yang lalu. Ia berjuang melawan kanker getah bening yang dideritanya, namun mama Maria memilih untuk berhenti berjuang. Mama Maria ingin berada dekat dengan Tuhan. Ia juga kasihan melihat suami dan anaknya yang bekerja keras mencari uang untuk biaya pengobatannya. “Mas, kankerku itu sudah menyebar. Kemungkinan sembuhnya juga susah. Aku berhenti aja ya berobatnya. Ki
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep