“Oh nyonya lagi ngidam tuan?”
“Sepertinya begitu, nanti kalau gak saya ikutin anak saya bikin ibunya rusuh. Saya juga yang pusing nantinya.”
Security pun mengulum senyum, lalu Steve mulai tertawa, hingga mereka tertawa bersama. Teringat akan keanehan bumil kalau lagi ngidam.
“Tuan, biasanya jam segini sate ayam yang masih buka itu harus keluar komplek dulu. Terus jalan ke arah jalan soetomo, nah disitu ada sate ayam Pak Ndut dia mangkal pake tenda tuan. Kami pernah beli di sana terus makan disini, sambil jaga tuan.”
Steve tersenyum, “Terimakasih untuk infonya. Nanti saya kasih bonus ke kalian kalau nyonya suka sama rekomendasi dari kalian!”
Para security pun tersenyum senang, me
Kandungan Maria semakin lama semakin berkembang dan membesar. Ia semakin sulit bergerak. Bahkan sekarang usia kandungan Maria sudah memasuki usia tujuh bulan lebih, jalan ke delapan. “Ya Tuhan, ternyata begini rasanya hamil ya. Nikmat sekali rasanya!” Maria teringat pada sang mama, “Ma, mama apa kabar di surga?” mata Maria mulai memerah. Ia selalu saja sedih kalau teringat dengan mamanya. “Ma, Maria minta maaf ya. Aku belum bisa bahagiin mama dulu. Maaf juga karena aku jarang ada waktu sama mama.” Ujar Maria disela—sela tangisannya. (Flashback) Mama Maria meninggal dua tahun yang lalu. Ia berjuang melawan kanker getah bening yang dideritanya, namun mama Maria memilih untuk berhenti berjuang. Mama Maria ingin berada dekat dengan Tuhan. Ia juga kasihan melihat suami dan anaknya yang bekerja keras mencari uang untuk biaya pengobatannya. “Mas, kankerku itu sudah menyebar. Kemungkinan sembuhnya juga susah. Aku berhenti aja ya berobatnya. Ki
Maria mengelus—elus baby bump yang semakin membesar. Dia dan dua orang maids sedang dalam perjalanan menuju salah satu mall terbesar di tengah kota. Maria teringat akan obrolannya pada Steven tadi saat panggilan video call. Mengingatnya Maria tersenyum—senyum sendiri. (Flashback) “Sayang, aku nelpon kamu karena aku mau minta izin sama kamu mau keluar, ke mall.” Maria bicara sangat manja pada Steven. “Yaudah aku jemput kamu ya. Kamu siap—siap gih?!” titah Steven. “Ich… kamu ya, ampun aku sama kamu yang over protektif banget. Gini aja, kamu langsung samperin aku di mall. Aku perginya ditemenin maids kok. Biar efektif waktunya, gimana?” tawar Maria. “Hmmmm………”
Maria memasuki toko perlengkapan ibu dan anak—anak, Mom and Kiddy Care. Maids dengan setia mengekorinya. Mereka telah berkeliling khusus di lantai tiga mall ini.Nyonya besar itu tak hentinya bercerita, anything, bahkan terkesan curcol. Apalagi kalau bukan soal suaminya, Steven. Yang galak pada maids, tapi seketika berubah manis padanya.“Ini bagus nyonya?” maid mengeluarkan opininya. Maid itu suka dengan gambar yang ada di setelan baby boy dengan tema zoo, yang tercetak pada atasannya.“Iya, bagus ya. Saya juga suka nih nonton film Madagascar, pasti little champ juga suka. Ya kan sayang?” Maria mengelus perutnya. Ia mungkin membangunkan little champ agar bisa bereaksi.“Nyonya maaf, saya ke toilet sebentar ya. Saya udah gak tahan nyon
Ambulance berhenti di depan pintu instalasi gawat darurat. Brankar yang ditiduri Maria turun, lalu didorong dengan cepat. Maid mengikuti langkah petugas dengan terburu—buru.Dokter IGD langsung menyambut mereka, “Ibu ini kenapa?”“Beliau pingsan. Denyut nadinya lemah. Tekanan darah menurun. Kami langsung memberinya oksigen.” Papar petugas ambulance.“Baik,” dokter IGD beralih pada suster, “Suster, tolong panggil dokter Gilsha. Ibu ini harus diselamatkan beserta bayinya.”“Baik dokter,” suster langsung berlari mencari keberadaan dokter Gilsha, dokter ginekologi terbaik di hospital city center.Petugas ambulance pamit pada dokter IGD, menyerahkan keselamatan Mari
Mobil berhenti di lobby Hospital City Center, sesaat kemudian Steven langsung melompat, setelah pintu dibuka. Ia langsung berlari ke ruang IGD, tanpa memperdulikan Nathan.Semua isi pikiran hanya memuat Maria dan little champ panggilan untuk calon anak mereka. Steven terus berlari hingga ke pintu IGD rumah sakit. Ia melihat dua wanita yang tentu sangat dikenalnya.“Mana nyonya?”“Tuan? Nyonya ada di dalam tuan, ada sama dokter!” mereka menjawab dengan getir.Mimik wajah Steven memuat aura kemarahan, membuat wajahnya merah padam. Hidung mancungnya kembang kempis, menahan amarah yang ingin dikeluarkan. Layaknya gunung Merapi yang ingin memuntahkan lahar panasnya.“Urusan kita belum kelar, ingat itu
Dokter Gilsha memberi izin pada Steven untuk ikut mendampingi Maria di ruang operasi.“Saya izinkan, tapi dengan syarat bapak harus bisa mengontrol diri, emosional bapak ya. Jangan sampai mengganggu jalannya operasi nanti.”“Apa pak Steven bersedia?” tanya dokter Gilsha sebelum memasuki ruang operasi.“Saya bisa dokter,” tutur Steven lugas.Kata sepakat sudah didapat, Steven dituntun oleh seorang perawat guna membersihkan tangannya, juga dibantu untuk mengenakan jubah kesehatan. Dokter Gilsha masuk ke dalam ruang operasi. Pisau bedah sudah ditangan, Steven menguatkan hati demi anak dan istri.Di luar ruangan, Nathan terus memperhatikan pada lampu yang menyala. Nathan juga berdoa demi kelanc
“Dokter, tekanan darah pasien naik. Jauh sekali dokter. Bagaimana ini dok?” pungkas seorang suster ketika melihat pada monitor sistem. Dokter Gilsha mendengarnya. Ia tak mampu untuk melihat juga, karena tangannya sedang sibuk untuk melakukan beberapa jahitan pada kulit perut Maria yang menganga. Sebagai dokter ia harus mampu menyatukan kembali kulit tersebut sampai benar. Ini adalah bagian yang riskan, karena kalau ada bagian kulit yang membuka walau sedikit maka bisa dipastikan si ibu akan terinfeksi. Lama kelamaan hal kecil tersebut membesar dan terburuknya adalah, nyawa si ibu akan terancam. Steven panik! Tangannya tremor. Ia berusaha untuk membangunkan Maria. Meneriakan nama sang istri kencang. Suasana operasi menjadi gaduh. Konsentrasi dokter Gilsha terganggu. I
Franky sudah diizinkan untuk meninggalkan ruang rawat inap. Kondisinya sudah stabil. Namun pria paruh baya ini enggan beranjak dari sana. Ia berdalih ingin menemani sang putri yang masih jatuh koma. Steven membujuk sang papa mertua.“Pa, aku tahu papa terpukul dan tak mau menjarak dari Maria. Aku pun sama pa. Tapi kita bisa apa? Kita juga harus taat aturan pa.”Franky tersenyum getir, “Papa masih ingin disini Steve,” pintanya melirih.Steven menggenggam tangan Franky, “Kita pulang dulu ya pa. Ini udah sore, bentar lagi malam. Dokter tidak mengizinkan untuk berjaga di dalam. Sebaiknya papa juga istirahat dirumah. Papa baru sembuh.”Franky menggeleng, “Tapi Steve?” papa Maria terus menolak ajakan Steven.
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep