Home / Romansa / Unexpected Life / 7 | Our Little Champ

Share

7 | Our Little Champ

last update Last Updated: 2021-05-07 05:20:14

Steve dan Maria dituntun oleh seorang suster jaga yang mendapat tugas untuk mendampingi dokter Gilsha. Pelayanan mereka ramah dan sopan.

“Silahkan duduk,” dokter Gilsha mempersilahkan Steve dan Maria untuk duduk pada kursi konsultasi.

Dokter Gilsha membuka resume Maria, ia baca lamat—lamat kondisi yang dijelaskan sebelumnya. Maria merasa deg degan karena ini hal pertama baginya.

“Rileks aja ya Bu Maria,”

“Oke bu dokter,” balas Maria dengan senyum kikuk.

“Ibu sudah periksa pake test pack ya?”

“Ya bu dokter, pagi ini saya periksa dengan urine pertama bu dokter. Saya pernah baca artikel, kata penulisnya urine pertama di pagi hari bisa jadi acuan akurat.”

Dokter Gilsha mengembangkan senyum seraya mendengarkan penjelasan yang dipaparkan oleh Maria. Steve hanya mendengarkannya saja.

“Betul ibu. Tapi saya salut karena ibu dan bapak bergerak cepat untuk memeriksakannya ke dokter kandungan. Oke, silahkan ibu naik ke brankar ya saya periksa.”

Maria mengangguk paham, segera ia berdiri lalu berjalan. Steve tiba—tiba panik, “Bapak boleh bantu istrinya untuk naik ke brankar ya.” ujar dokter Gilsha pada Steve.

“Baik dokter,” Steve langsung memapah Maria untuk menaiki ranjang brankar.

Dokter Gilsha mengoleskan gel, teksturnya seperti aloe vera. Gel itu dioleskan ke seluruh permukaan perut Maria. Suster jaga membantu Maria untuk menaikan bajunya lebih ke atas.

“Bapak dan ibu lihat ke tv itu ya.”

Suster mengatur letak tv scan lebih ke arah Maria terbaring, Steve pun ikut membenarkan posisi berdirinya.

Tangan dokter Gilsha mulai memegang alat periksa itu dengan baik, ia gerakan searah jarum jam. Maria dan Steve semakin tertarik untuk melihat layar tv scan.

“Dia masih kecil, kira—kira sebesar biji kacang. Kalau melihat sikon seperti ini, usia kandungan ibu Maria masih di trimester pertama ya pak.”

“Apa sudah ketahuan jenis kelaminnya dokter?” tanya Steve dengan semangat.

“Nanti ya pak di trimester kedua. Kita akan lakukan USG untuk ngeliat dia laki—laki atau perempuan.” Balas dokter Gilsha dengan seulas senyum.

Steve dan Maria saling memangku tangan. Steve menggenggam erat tangan istri yang sangat ia puja ini. Maria sampai tak kuasa melihat ada nyawa yang menumpang hidup pada dia.

“Hei,” Steve mengusap air mata sang istri.

“Dia hidup disana sayang,” Maria menunjuk jari telunjuknya pada layar tv scan.

“Jadi bu Maria harus jaga kesehatan ya, karena dia masih kecil dan rentan. Mari kita rawat dia bersama—sama ya pak, bu.”

Steve dan Maria berbagi pandangan dan anggukan kepala. Kebahagiaan yang tidak dapat digambarkan oleh siapa pun. Berkat Tuhan yang bekerja dengan ajaib. Menitipkan seorang calon anak pada keluarga Steve dan Maria.

“Suster, tolong dibersihkan gel yang ada di permukaan perut ibu Maria!”

“Baik bu dokter,” suster perempuan itu segera mengambil tissue basah non alkohol dan tissue kering.

Steve membantu Maria untuk turun dari ranjang brankar. Maria mengulas senyum teduh pada suaminya. Mereka kembali duduk di hadapan dokter Gilsha. Sang dokter menuliskan beberapa resep vitamin yang harus dikonsumsi oleh Maria. Resep yang dibuat oleh dokter Gilsha, langsung terulur pada tangan suster.

“Usia kandungan sudah berjalan 4 minggu ya, bu Maria akan mengalami morning sickness. Tapi saya sudah kasih obat pereda mual dan penguat kandungan. Tolong resepnya diikuti dengan baik, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan kedepannya.”

“Baik bu dokter, saya akan mengingat semuanya dengan baik. Kami akan merawat calon anak kami dengan baik.” Ujar Maria terharu. Sesekali ia elus perut ratanya.

Steve terlihat agak panik, dokter Gilsha menangkap raut perubahan pada wajah dari suami Maria tersebut.

“Pak Steve, apakah ada yang ingin ditanyakan?”

Steve bergumam, “Sebenarnya ada dokter, tapi saya ga tau gimana mau bilangnya?”

“Ada apa sayang?” tanya Maria cemas.

“Santai saja pak, disini bapak bebas mau bertanya apa pun itu. Jangan sampai masih ada yang mengganjal saat keluar dari sini.”

“Bagaimana dengan itu dokter?” tanya Steve ragu.

Dokter Gilsha menaikan satu alisnya, “Itu? Apa pak Steven?” yang ditanya malah menggaruk tengkuknya dengan asal. Maria menaruh curiga, ia tatap Steve dengan mata memicing.

Dokter Gilsha memperhatikan mereka, “aaa… itu maksudnya soal hubungan intim? Benar begitu pak Steven?”

Suami Maria Alexandra ini tersenyum malu, “Iya bu dokter.” Maria memberikan cubitan kecil pada pinggang Steven. Sang suami langsung melenguh sakit.

Dokter Gilsha mengulum tawanya, malu dong kalau ia harus menertawakan pasien sendiri. Tidak baik untuk image dokter Gilsha.

“Tidak apa—apa bu Maria. Pak Steven hanya satu dari sekian banyak suami dari pasien saya yang bertanya soal itu. Wajar.” Dokter Gilsha mengembangkan senyumnya.

“Udah dong sayang, aku nya jangan dicubitin gitu, sakit. Bu dokter aja paham loh,” bujuk Steve pada Maria. Namun istrinya masih belum goyah. Doi masih marah pada Steve.

“Pak Steven dan bu Maria, saya harap kalian tidak berhubungan dulu di trimester pertama ini. Kondisi janin yang masih kecil dan rentan. Kita coba lihat dulu seminggu ke depan ya, semoga janin akan tumbuh kuat. Jadi jadwal kontrol berikutnya minggu depan ya, nanti suster akan mengingatkan lagi H-1. Bisa dipahami ya Pak Steven, Bu Maria?”

“Baik bu dokter, terimakasih banyak ya. Kami akan mengingatnya. Saya rasa control hari ini cukup sampai disini saja ya bu dokter. Kami permisi dulu.”

“Ah, ya Bu Maria. Terimakasih, sampai jumpa minggu depan.”

Maria menyeret Steven agar mempercepat langkahnya keluar dari ruangan dokter Gilsha. Steven masih lemas, masih terpikir soal puasanya di trisemester pertama kehamilan Maria.

Nathan segera berdiri tegak, “Sudah selesai nyonya?”

Maria terkesiap, “Loh Nathan? Kamu nungguin kami dari tadi?”

“Iya nyonya, takutnya nyonya dan tuan membutuhkan saya.” Ujar Nathan mengulum senyum.

Maria geleng—geleng kepala dibuatnya, “Next time, setelah kamu jadwalin gak usah di tungguin gini ya. You can go and do anything. Menunggu itu membosankan Nathan!”

Nathan hanya tersenyum kaku. Apa yang dibilang Maria benar, namun ia takut dompetnya tidak bisa makan kalau Steve tidak mengisinya.

“Ya sudah, kamu boleh pulang sekarang. Kami juga akan pulang. Kamu langsung pulang aja, gak usah nganterin kami. Oke?”

Nathan melirik pada Steven yang masih memasang muka masam, Maria melihat lirikan Nathan pada suaminya. “He’s okay. Don’t worry!”

Mereka benar—benar berpisah. Nathan hanya mengantar Steve dan Maria hingga pintu lift menuju velvet parking rumah sakit.

“Mau aku yang nyetir?” tanya Maria setelah mereka lolos dari pintu lift.

Mata Steve membelalak, “Are you kidding me?”

“I’m not. Itu lebih baik buat kita. Daripada kita berdua masuk rumah sakit nantinya. Eh, bertiga deh. Kan udah ada si little champ.” Maria mengelus perutnya bahagia.

Steve masih cemberut, Maria menangkup wajah suaminya, “Kamu gak suka ya kalau aku hamil? Humm?”

Steve mengambil tangan Maria yang menempel pada wajahnya, ia kecup dua tangan itu dengan lembut. “Aku gak suka sama aturan dokter Gilsha. Aku sangat suka kalau kamu hamil, itu hal yang aku tunggu—tunggu. Bisa bermain dengan anak aku setelah pulang ngantor. Dan bisa main sama kamu saat malamnya.”

Maria terkekeh mendengar ucapan polos dari bibir Steven. “Indah kan halu aku?” tanya Steve pada istrinya.

Maria menarik Steve, ia peluk tubuh Steve erat. Ia hirup wangi tubuh Steven. Pelukannya pun dibalas oleh Steven. “Sabar ya sayang, demi little champ. Kita memang dilarang berhubungan. Tapi tidak dengan ini…”

Maria melumat bibir Steve dengan lembut. Ia elus tengkuk Steve pelan. Dingin dari suhu tangan Maria bagai setruman listrik pada tubuh Steve. Sang suami sadar, ia membalas ciuman Maria dengan rakus. Permainan yang dimulai oleh Maria, langsung  diambil alih Steve. Ia pun mulai mendominasi.

Related chapters

  • Unexpected Life   8 | Fantasi Berakhir Sedih

    Malam ini terasa beda bagi Steve dan Maria. Biasanya mereka akan melewati malam dengan berolahraga bersama sampai lelah. Namun mulai malam ini, mereka hanya berolahraga ringan saja. Sekedar bercumbu hingga mengelus kasar bagian favorit masing—masing. Setelah itu Steve akan bermain solo, menuntaskan hasratnya.Steve beranjak terburu—buru dari kasur mereka. Meninggalkan Maria dengan ekspresi yang sulit diartikan.Maria melihat bayangan Steve juga ikut masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar mereka. Hati Maria tak berlabel kini. Senang, karena ada bibit janin dalam rahimnya yang akan tumbuh berkembang menjadi bayi lucu. Dan sebagian lagi terluka, melihat Steve yang kelimpungan saat mengambil alih tugasnya.Maria semakin teriris saat mendengar Steve berfantasi seraya melolongkan namanya. Susah payah Mar

    Last Updated : 2021-05-08
  • Unexpected Life   9 | Hidupku Bergantung Padamu

    “owk…” “owk…” “owk…” Maria memegang kloset duduk itu dengan kuat. Hampir seluruh wajahnya masuk ke dalam kloset tersebut. Hari masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tubuh Maria melemas. Tubuhnya tak mampu menopang diri lagi. Maria merosot lalu duduk di lantai kamar mandi. Kepalanya terasa pusing. Perutnya seperti memuat angin tornado, membuncah seperti lava gunung berapi yang ingin keluar dari sarang. “Astaga… sakit sekali rasanya.” Maria masih mengatur deru nafasnya, yang tak berimbang. Tangan Maria masih memegangi kepalanya, terasa mau pecah. Steve menggaruk sebelah pipinya pelan. Matanya masih terpejam. Reflek tubuh Steve mengeliat ke arah Maria, guna mencari pelipur tidurnya.

    Last Updated : 2021-05-09
  • Unexpected Life   10 | Maaf Itu Hanya Sekali

    Kepala Nathan cenut—cenut, ia menumpukan kepalanya yang berat itu pada kedua tangannya yang menekan permukaan meja kerjanya. Nathan sudah berusaha untuk mencari ahli gizi dan psikiater terbaik di kota ini.Problemnya adalah semua yang ia dapatkan mempunyai gender yang sejenis dengannya. Tentunya itu hal terlarang bagi Steven, No Male. Nathan menjambak kasar rambut hitamnya. Penampilan Nathan sudah tidak karuan. Nathan yang rapi menghilang sementara waktu.“Oh... GOD” Nathan berjalan asal, ia meninggalkan kursi kebanggaannya. Seperti setrika yang ada pada pakaian lecek, maju mundur sampai pakaian itu rapi.Nathan melihat jam tangannya, matanya semakin sakit melihat jarum jam yang sudah mendekati waktu sore hari. Nathan belum juga mendapatkan nama perempuan yang diminta Steven.

    Last Updated : 2021-05-10
  • Unexpected Life   11 | Hormon Bumil

    Nathan bergerak cepat. Setelah dari Hospital City Center ia langsung melajukan mobilnya ke rumah Steven. Dengan semangat ia membelah jalanan yang masih dilanda kemacetan. Nathan tak hentinya tersenyum. Suasana hatinya gembira ria. Bahkan di tengah kemacetan ibu kota, ia menyempatkan diri untuk bekerja. Berkas yang dimasukan ke dalam tas kerjanya, ia keluarkan satu buah. Ia pun mulai bekerja, memeriksa rincian laporan dari divisi kantor. Pembaharuan dari hasil rapat terakhir kemarin. Nathan yang terlalu fokus ke berkas laporan mendapat teguran dari pengendara lain. Mobilnya kena semprot klakson. Bukan hanya sekali tapi beberapa kali. “Astaga, lampu sudah hijau ternyata!” Nathan menaruh berkas di kursi sebelah pengemudi. I

    Last Updated : 2021-05-11
  • Unexpected Life   12 | Belinya Pake Motor Ya

    Setelah di bujuk oleh Steven akhirnya Maria mau berkonsultasi dengan dokter Angela spesialis gizi. Ia juga mau didampingi oleh dokter Michelle ahli psikologi. Maria pun berbicara heart to heart dengan para dokter.Dia bercerita apa yang dirasakan, dulu yang biasanya dia suka sekarang jadi mual melihatnya. Maria juga mendapat terapi bagaimana mengontrol emosi, agar stabil dan tidak mengganggu proses kehamilannya.Steven tampaknya harus menaikan gaji Nathan, sekalian memperbanyak bonus untuk diberikan pada Nathan. Asisten pribadi yang sangat handal, cekatan, pintar dan juga tampan.……… Six months later!Hari menunjukkan pukul 1 dini hari. Dimana semua orang sudah pada tidur, beristirahat supaya besok bisa melakukan aktifitas dengan baik.

    Last Updated : 2021-05-12
  • Unexpected Life   13 | Balada Sate Ayam

    “Oh nyonya lagi ngidam tuan?”“Sepertinya begitu, nanti kalau gak saya ikutin anak saya bikin ibunya rusuh. Saya juga yang pusing nantinya.”Security pun mengulum senyum, lalu Steve mulai tertawa, hingga mereka tertawa bersama. Teringat akan keanehan bumil kalau lagi ngidam.“Tuan, biasanya jam segini sate ayam yang masih buka itu harus keluar komplek dulu. Terus jalan ke arah jalan soetomo, nah disitu ada sate ayam Pak Ndut dia mangkal pake tenda tuan. Kami pernah beli di sana terus makan disini, sambil jaga tuan.”Steve tersenyum, “Terimakasih untuk infonya. Nanti saya kasih bonus ke kalian kalau nyonya suka sama rekomendasi dari kalian!”Para security pun tersenyum senang, me

    Last Updated : 2021-05-13
  • Unexpected Life   14 | Bucinnya Maria

    Kandungan Maria semakin lama semakin berkembang dan membesar. Ia semakin sulit bergerak. Bahkan sekarang usia kandungan Maria sudah memasuki usia tujuh bulan lebih, jalan ke delapan. “Ya Tuhan, ternyata begini rasanya hamil ya. Nikmat sekali rasanya!” Maria teringat pada sang mama, “Ma, mama apa kabar di surga?” mata Maria mulai memerah. Ia selalu saja sedih kalau teringat dengan mamanya. “Ma, Maria minta maaf ya. Aku belum bisa bahagiin mama dulu. Maaf juga karena aku jarang ada waktu sama mama.” Ujar Maria disela—sela tangisannya. (Flashback) Mama Maria meninggal dua tahun yang lalu. Ia berjuang melawan kanker getah bening yang dideritanya, namun mama Maria memilih untuk berhenti berjuang. Mama Maria ingin berada dekat dengan Tuhan. Ia juga kasihan melihat suami dan anaknya yang bekerja keras mencari uang untuk biaya pengobatannya. “Mas, kankerku itu sudah menyebar. Kemungkinan sembuhnya juga susah. Aku berhenti aja ya berobatnya. Ki

    Last Updated : 2021-05-14
  • Unexpected Life   15 | Si Keras Kepala

    Maria mengelus—elus baby bump yang semakin membesar. Dia dan dua orang maids sedang dalam perjalanan menuju salah satu mall terbesar di tengah kota. Maria teringat akan obrolannya pada Steven tadi saat panggilan video call. Mengingatnya Maria tersenyum—senyum sendiri. (Flashback) “Sayang, aku nelpon kamu karena aku mau minta izin sama kamu mau keluar, ke mall.” Maria bicara sangat manja pada Steven. “Yaudah aku jemput kamu ya. Kamu siap—siap gih?!” titah Steven. “Ich… kamu ya, ampun aku sama kamu yang over protektif banget. Gini aja, kamu langsung samperin aku di mall. Aku perginya ditemenin maids kok. Biar efektif waktunya, gimana?” tawar Maria. “Hmmmm………”

    Last Updated : 2021-07-06

Latest chapter

  • Unexpected Life   92 | Kerinduan Yang Tumpah

    Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya

  • Unexpected Life   91 | Penyesalan Yang Tak Manis

    Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den

  • Unexpected Life   90 | Luka Tak Berdarah

    Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it

  • Unexpected Life   89 | Masih segel ‘kah?

    Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba

  • Unexpected Life   88 | Seperti Jelangkung

    Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal

  • Unexpected Life   87 | I Need You*

    Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.

  • Unexpected Life   86 | Penguasa Rusyadi

    Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.

  • Unexpected Life   85 | Keluarga Rusyadi

    Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata

  • Unexpected Life   84 | Cek Ombak

    Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep

DMCA.com Protection Status