Malam ini terasa beda bagi Steve dan Maria. Biasanya mereka akan melewati malam dengan berolahraga bersama sampai lelah. Namun mulai malam ini, mereka hanya berolahraga ringan saja. Sekedar bercumbu hingga mengelus kasar bagian favorit masing—masing. Setelah itu Steve akan bermain solo, menuntaskan hasratnya.
Steve beranjak terburu—buru dari kasur mereka. Meninggalkan Maria dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Maria melihat bayangan Steve juga ikut masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar mereka. Hati Maria tak berlabel kini. Senang, karena ada bibit janin dalam rahimnya yang akan tumbuh berkembang menjadi bayi lucu. Dan sebagian lagi terluka, melihat Steve yang kelimpungan saat mengambil alih tugasnya.
Maria semakin teriris saat mendengar Steve berfantasi seraya melolongkan namanya. Susah payah Maria bangkit dari ranjang king size mereka. Ia bawa kakinya melipir ke pintu kamar mandi. Bulir bening sudah jatuh dari pelupuk mata Maria.
Steve semakin memacu dirinya demi mengejar penuntasan yang sempat tersendat. Saat bersamaan tubuh Maria merosot jatuh ke lantai. Ia semakin sesegukan, merasa tak berguna sebagai seorang istri.
Nafas Steve terseok—seok. Keringat Steve mulai mengucur dari pelipis turun ke wajah, hingga seluruh tubuhnya pun ikut basah. Tangan Steve menekan kran shower ke bawah. Air mulai keluar dari shower, mengalir bagai small waterfall. Basah, sekujur tubuh.
Steve mengambil body foam, lalu dilumuri ke seluruh tubuh. Ia juga mengambil shampoo. Tangannya mulai memijat kepalanya yang sedikit pusing.
……… done!
Steve mengenakan bathrobe, kakinya melangkah gontai menuju wardrobe. Steve melewati Maria begitu saja.
Jubah mandi telah berganti dengan piyama satin premium berwarna hitam dengan list white line pada ujung lengan, celana dan pinggiran baju.
“Sayang?”
Steve mengelus bedcover yang menutupi sisi ranjang yang biasa dihuni Maria. Karena merasa ada yang aneh, Steve menyibak selimut tebal itu. Matanya membulat, karena isinya hanya bantal dan guling. Bukan tubuh dari Maria istrinya.
“Sayang… Maria… Lexi… Sayang…” pekik Steve gusar.
Steve menjabak kasar rambutnya yang masih setengah basah. “Kamu dimana sayang?”
Kuping Steve mulai mendengar sayup—sayup suara tangisan, sedikit merinding pada tengkuknya. “Gak mungkinlah. Cuma perasaan saja!”
Suara itu terdengar sangat sedih, temponya mulai naik. Steve terpikir sebuah nama, “Apa Mariaku menangis?”
Kaki Steve mulai mencari sumber suara. Ia mengitari kamar mereka dengan cepat. Ia juga memanggil nama Maria. Namun belum ada balasan.
Steve terdiam, ia pandangi tubuh sang istri yang terduduk dengan menekuk kedua lututnya di lantai. Bersandar pada dinding dekat kamar mandi. Wajahnya tenggelam diantara lututnya.
“Baby?”
Steve bawa Maria ke dalam pelukannya, tangis Maria semakin kencang. Maria pukul—pukul dirinya sendiri.
“Hei, kamu kenapa?” tangan Steve menangkap tangan Maria. Ia tak mau Maria menyakiti dirinya sendiri.
Maria belum menjawab pertanyaan sang suami. Lidahnya kelu, bibirnya pun terkatup kuat. Hanya tangisan yang mampu ia keluarkan sekarang.
Steve tak lagi bertanya. Ia peluk tubuh istri yang sangat dicintai, ia usap lembut punggungnya Maria yang tertutupi dress tidur selutut warna hitam. Steve menepuk pelan punggung Maria, seperti seorang ayah yang sedang menidurkan putri kecilnya.
“Forgive me hubby!”
Maria meminta maaf pada Steve. Berulang kali kalimat maaf dalam Bahasa asing tersebut ia ucapkan.
“Kamu kenapa sayang? Hum? Ada yang sakit? Apa bayi kita rewel disini?” tanya Steve seraya menempelkan telapak tangannya pada perut Maria.
“Bukan itu Steve… Bukan itu! Aku merasa gagal menjadi seorang istri yang baik untukmu.”
Steve terkesiap, tubuhnya menjauh dari Maria. Ia tak percaya bahwa kupingnya mendengar kalimat itu keluar dari mulut sang istri.
“Hush!”
Steve tempelkan jari telunjuknya pada bibir Maria. Ia tatap mata Maria dengan lembut. “You’re the best wife ever baby! Dan aku beruntung karena Tuhan memberikan kamu untukku. Jadi jangan berpikiran yang aneh—aneh lagi ya.”
Steve mengusap sisa air mata yang membasahi bare face istrinya. Maria pejamkan mata, ia resapi sentuhan tangan Steve yang menenangkan.
“Steve… tadi aku denger apa yang kamu lakukan di kamar mandi.” Ucapan Maria membuat Steve terkaget.
Maria kembali sesegukan, “Aku akan ikhlas… kalau kamu mau cari wanita lain. Yang bisa kamu ajak untuk main.”
“Sweetheart… what are you talking about?”
Steve menangkup wajah Maria yang basah, “Look at me! Kamu itu udah cukup buatku. I don’t need anyone else. Aku gamau denger hal itu lagi. Paham.”
Tubuh Maria bergetar, tangisnya pecah lagi. “Maafin aku sayang. Aku putus asa waktu denger kamu sebut namaku begitu. Aku sakit.”
‘Astaga… ini salah gua. Seharusnya gua bisa kontrol diri. Gara—gara nafsu bejat gua, Maria jadi sedih begini. Lo harus puasa Steve. PUASA!’
Steve membiarkan Maria menumpahkan rasa sedihnya. Ia mengusap lembut tubuh bergetar Maria. Steve dengan sabar mengusir rasa sedih yang menyelimuti Maria saat ini.
Maria mulai tenang. Ia gendong Maria dengan bridal style. Steve mendekap erat tubuh Maria. Ia dudukan Maria di ranjang. Beberapa bantal ia letakkan sebagai sandaran Maria.
“Minum ya?!”
Steve mengambil segelas air minum, lalu ia berikan pada Maria. Perlahan air diminum oleh Maria.
“Udah.”
Gelas belum kosong, namun sudah diberikan lagi oleh Maria pada Steve. “Kenapa gak di habisin sayang?” tanya Steve lembut.
Maria menggeleng, “Udah cukup sayang.” Steve mengulum senyum menawan pada Maria, kemudian dibalas pula oleh Maria.
“Mariaku, aku minta maaf karena fantasiku membuat kamu terluka begitu dalam. Tapi sejujurnya, ini seperti dejavu untukku sayang.”
Maria menautkan kedua alisnya, “Maksud kamu apa?”
Steve tersenyum konyol, “To be honest, dulu sebelum kita menikah. Hampir setiap malam aku ngebayangin kamu. Dan aku selalu begitu, seperti tadi.”
Maria terdiam, “Dejavu yang kamu maksud itu, ini?” tanya Maria tak percaya.
“Iya!”
Maria memukul—mukul Steve manja, “Ich… Steve! Kamu kenapa bayangin aku sih? Hah?” Maria seperti tak terima jadi objek fantasi sang suami.
“Ya gak apa—apa dong. Kan aku ngebayangin calon istriku sendiri saat itu. And you know what? Aku tak salah pilih wanita ternyata. Kamu nikmat banget sayang!”
Maria bersemu merah, Steve malah terkekeh geli menceritakan pengalamannya pada sang istri. “Memangnya setiap laki—laki itu selalu begitu ya sayang?” tanya Maria polos.
“Maksud kamu objek fantasi?” tanya Steve dibalas anggukan kepala oleh Maria.
“Kayaknya iya deh sayang. Aku sih lebih suka bayangin kamu, dari pada main dengan perempuan lain. Aku bukanlah maniak kelamin. Lagi pula kebersihan itu yang utama kan?”
Maria menganggukan kepalanya. Ia setuju dengan pernyataan Steve. Bukannya tak mungkin, mereka yang maniak bisa terserang penyakit kelamin. Suka berganti pasangan, lebih parahnya tak menjaga kebersihan diri mereka sendiri.
Maria menggeser posisi duduknya di ranjang. Ia kembangkan kedua tangannya, kode minta dipeluk oleh Steve. Suami itu langsung naik ke ranjang, kemudian memeluk tubuh Maria.
Maria menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Steve, hangat disana. Steve berusaha menahan gelinya, “Sayang, bisa gak kepalanya gak goyang—goyang?”
“Kamu kegelian ya?”
“Sedikit!” kemudian mereka tertawa bersama.
“Kita itu harus fokus pada si little champ. Dia harus jadi sayang. Kita harus mengabadikan bukti cinta kita ini.” Steve memegang perut rata Maria.
“Baik bapak suami.” Balas Maria seraya memberikan puppy eyes pada Steve.
Tangan Steve mulai iseng dengan menoel hidung Maria, “Bagus, nanti aku minta maid buat menyiapkan makanan bergizi. Aku akan meminta Nathan mencari ahli gizi terbaik di kota ini.”
“Sayang, kamu jangan apa—apa minta ke Nathan gitu, kasihan dia?!” ucap Maria lembut.
Steve mengelus punggung Maria lagi, “Sayang, Nathan bekerja sesuai dengan salary yang akan dia dapatkan. Bahkan aku sering kasih bonus ke dia, so jangan mikirin dia lagi ya. Aku gak suka!”
“Ups… sorry!”
Steve mengikik, “Oke sekarang kita tidur ya. Udah malam, dan little champ juga harus banyak istirahat.” Maria semakin menenggelamkan diri dalam pelukan Steve. Mereka saling memeluk, hingga tertidur.
“owk…” “owk…” “owk…” Maria memegang kloset duduk itu dengan kuat. Hampir seluruh wajahnya masuk ke dalam kloset tersebut. Hari masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tubuh Maria melemas. Tubuhnya tak mampu menopang diri lagi. Maria merosot lalu duduk di lantai kamar mandi. Kepalanya terasa pusing. Perutnya seperti memuat angin tornado, membuncah seperti lava gunung berapi yang ingin keluar dari sarang. “Astaga… sakit sekali rasanya.” Maria masih mengatur deru nafasnya, yang tak berimbang. Tangan Maria masih memegangi kepalanya, terasa mau pecah. Steve menggaruk sebelah pipinya pelan. Matanya masih terpejam. Reflek tubuh Steve mengeliat ke arah Maria, guna mencari pelipur tidurnya.
Kepala Nathan cenut—cenut, ia menumpukan kepalanya yang berat itu pada kedua tangannya yang menekan permukaan meja kerjanya. Nathan sudah berusaha untuk mencari ahli gizi dan psikiater terbaik di kota ini.Problemnya adalah semua yang ia dapatkan mempunyai gender yang sejenis dengannya. Tentunya itu hal terlarang bagi Steven, No Male. Nathan menjambak kasar rambut hitamnya. Penampilan Nathan sudah tidak karuan. Nathan yang rapi menghilang sementara waktu.“Oh... GOD” Nathan berjalan asal, ia meninggalkan kursi kebanggaannya. Seperti setrika yang ada pada pakaian lecek, maju mundur sampai pakaian itu rapi.Nathan melihat jam tangannya, matanya semakin sakit melihat jarum jam yang sudah mendekati waktu sore hari. Nathan belum juga mendapatkan nama perempuan yang diminta Steven.
Nathan bergerak cepat. Setelah dari Hospital City Center ia langsung melajukan mobilnya ke rumah Steven. Dengan semangat ia membelah jalanan yang masih dilanda kemacetan. Nathan tak hentinya tersenyum. Suasana hatinya gembira ria. Bahkan di tengah kemacetan ibu kota, ia menyempatkan diri untuk bekerja. Berkas yang dimasukan ke dalam tas kerjanya, ia keluarkan satu buah. Ia pun mulai bekerja, memeriksa rincian laporan dari divisi kantor. Pembaharuan dari hasil rapat terakhir kemarin. Nathan yang terlalu fokus ke berkas laporan mendapat teguran dari pengendara lain. Mobilnya kena semprot klakson. Bukan hanya sekali tapi beberapa kali. “Astaga, lampu sudah hijau ternyata!” Nathan menaruh berkas di kursi sebelah pengemudi. I
Setelah di bujuk oleh Steven akhirnya Maria mau berkonsultasi dengan dokter Angela spesialis gizi. Ia juga mau didampingi oleh dokter Michelle ahli psikologi. Maria pun berbicara heart to heart dengan para dokter.Dia bercerita apa yang dirasakan, dulu yang biasanya dia suka sekarang jadi mual melihatnya. Maria juga mendapat terapi bagaimana mengontrol emosi, agar stabil dan tidak mengganggu proses kehamilannya.Steven tampaknya harus menaikan gaji Nathan, sekalian memperbanyak bonus untuk diberikan pada Nathan. Asisten pribadi yang sangat handal, cekatan, pintar dan juga tampan.……… Six months later!Hari menunjukkan pukul 1 dini hari. Dimana semua orang sudah pada tidur, beristirahat supaya besok bisa melakukan aktifitas dengan baik.
“Oh nyonya lagi ngidam tuan?”“Sepertinya begitu, nanti kalau gak saya ikutin anak saya bikin ibunya rusuh. Saya juga yang pusing nantinya.”Security pun mengulum senyum, lalu Steve mulai tertawa, hingga mereka tertawa bersama. Teringat akan keanehan bumil kalau lagi ngidam.“Tuan, biasanya jam segini sate ayam yang masih buka itu harus keluar komplek dulu. Terus jalan ke arah jalan soetomo, nah disitu ada sate ayam Pak Ndut dia mangkal pake tenda tuan. Kami pernah beli di sana terus makan disini, sambil jaga tuan.”Steve tersenyum, “Terimakasih untuk infonya. Nanti saya kasih bonus ke kalian kalau nyonya suka sama rekomendasi dari kalian!”Para security pun tersenyum senang, me
Kandungan Maria semakin lama semakin berkembang dan membesar. Ia semakin sulit bergerak. Bahkan sekarang usia kandungan Maria sudah memasuki usia tujuh bulan lebih, jalan ke delapan. “Ya Tuhan, ternyata begini rasanya hamil ya. Nikmat sekali rasanya!” Maria teringat pada sang mama, “Ma, mama apa kabar di surga?” mata Maria mulai memerah. Ia selalu saja sedih kalau teringat dengan mamanya. “Ma, Maria minta maaf ya. Aku belum bisa bahagiin mama dulu. Maaf juga karena aku jarang ada waktu sama mama.” Ujar Maria disela—sela tangisannya. (Flashback) Mama Maria meninggal dua tahun yang lalu. Ia berjuang melawan kanker getah bening yang dideritanya, namun mama Maria memilih untuk berhenti berjuang. Mama Maria ingin berada dekat dengan Tuhan. Ia juga kasihan melihat suami dan anaknya yang bekerja keras mencari uang untuk biaya pengobatannya. “Mas, kankerku itu sudah menyebar. Kemungkinan sembuhnya juga susah. Aku berhenti aja ya berobatnya. Ki
Maria mengelus—elus baby bump yang semakin membesar. Dia dan dua orang maids sedang dalam perjalanan menuju salah satu mall terbesar di tengah kota. Maria teringat akan obrolannya pada Steven tadi saat panggilan video call. Mengingatnya Maria tersenyum—senyum sendiri. (Flashback) “Sayang, aku nelpon kamu karena aku mau minta izin sama kamu mau keluar, ke mall.” Maria bicara sangat manja pada Steven. “Yaudah aku jemput kamu ya. Kamu siap—siap gih?!” titah Steven. “Ich… kamu ya, ampun aku sama kamu yang over protektif banget. Gini aja, kamu langsung samperin aku di mall. Aku perginya ditemenin maids kok. Biar efektif waktunya, gimana?” tawar Maria. “Hmmmm………”
Maria memasuki toko perlengkapan ibu dan anak—anak, Mom and Kiddy Care. Maids dengan setia mengekorinya. Mereka telah berkeliling khusus di lantai tiga mall ini.Nyonya besar itu tak hentinya bercerita, anything, bahkan terkesan curcol. Apalagi kalau bukan soal suaminya, Steven. Yang galak pada maids, tapi seketika berubah manis padanya.“Ini bagus nyonya?” maid mengeluarkan opininya. Maid itu suka dengan gambar yang ada di setelan baby boy dengan tema zoo, yang tercetak pada atasannya.“Iya, bagus ya. Saya juga suka nih nonton film Madagascar, pasti little champ juga suka. Ya kan sayang?” Maria mengelus perutnya. Ia mungkin membangunkan little champ agar bisa bereaksi.“Nyonya maaf, saya ke toilet sebentar ya. Saya udah gak tahan nyon
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep