Setelah acara dadakan di kamar mandi, keesokan harinya Maria bangun duluan. Ia pun bergegas membersihkan diri. Ia pun masuk ke dapur, memeriksa bahan masakan yang akan diolah untuk sarapan mereka.
Ketika sedang sibuk berkutat dengan pisau, bawang—bawangan hingga talenan, ada saja yang mengusik kerjaan Maria.
“Kamu ngapain disini?” Steve sudah memeluknya dari belakang, menciumi sebelah bahu Maria yang terbuka.
Salah Maria juga, kenapa ia mengenakan midi dress selutut tanpa lengan. Maria juga mencepol seluruh rambut yang sudah ia hair dryer ke atas, otomatis leher jenjangnya akan terlihat lebih menggoda.
“I wanna cook. Get away please…” usir Maria lembut, pada serigala lapar.
Steve semakin memeluk erat, tangannya sudah mulai bergerilya tanpa izin. Maria pun mendesah dibuatnya.
“Steve… please! Aku mau buat sarapan untuk kita,” Maria pun meminta Steve jangan mengganggunya saat ini.
“Give me a morning kiss,” tawar Steve seraya mengulum telinga kiri Maria.
Sang istri kalah nego, Maria membalikkan tubuhnya menghadap Steve. Tangannya memeluk leher Steve. Cup.
Tangan Steve meremas bagian favoritnya, “Only kiss baby!” protes Maria dengan sebuah gigitan kecil pada bibir Steve. Pagutan mereka terlepas.
Steve malah tertawa digigit begitu, ia mengalah, “Kamu udah jago gigit—gigit ya sekarang?” goda Steve dengan mengelus dagu Maria.
“Siapa dulu dong gurunya,” ejek Maria seraya terkekeh sendiri.
“Oke, aku ngalah untuk tiga puluh menit ke depan ya. Lebih dari itu aku gak mau ada penolakan!” ujar Steve seraya mengecup pipi Maria.
“Thank you husband,” Maria melanjutkan acara masak nasi gorengnya.
Day by day, Maria sudah tidak malu lagi pada sang suami, Steve. Maria pun mulai berimprovisasi dalam berhubungan. Seminggu mereka berbulan madu, setiap hari mereka isi dengan memadu kasih, merajut asa, mengejar nirvana.
Di kamar oke, kamar mandi juga, dapur tak lupa, ruang tamu juga terjamah hingga balkon pun ter absen oleh Steve dan Maria. Mereka lakukan apapun untuk membuat pasangannya bahagia. Maria salut akan pengertian dan cara Steve mendiskusikan hal baru dengannya.
Volume cinta Maria pun meningkat pada Steve, hingga seluruh ruang di hatinya sudah tertempel nama sang suami.
-------
#Six Months Later
Maria merasa sangat ketakutan, tapi ia juga penasaran. Maria menarik nafasnya berkali—kali, merapalkan doa pada Tuhan semoga apa yang diinginkan papa dan mama mertuanya terkabul.
Maria celupkan sebuah alat tes kehamilan pada urine yang ia kumpulkan pagi ini. Maria menunggu beberapa detik. Ia angkat tespack itu dengan gemetar. Matanya masih memicing, belum berani untuk melihat hasilnya.
“Aduh, God please…” perlahan Maria membuka matanya selebar mungkin.
“Dua garis?” Maria mematung, ia tak tahu harus berkata apa sekarang ini. Tubuhnya tercenung.
Steve menggeliat, ia raba sisi sebelah yang biasanya dihuni tubuh Maria. Mata Steve masih terpejam, merasa ada yang aneh. Steve menepuk bedcover. Matanya ia buka. Sesaat kemudian Steve mendudukkan tubuhnya.
Shirtless, hanya boxer yang dikenakan.
“Maria kemana? Udah kabur aja dia?”
Steve melihat pintu kamar mandi terbuka sedikit. Ia menyeringai. Steve bangkit dengan semangat, lalu berjalan dengan mengendap—endap.
“Mau kemana humm?” Steve memeluk Maria dari belakang. Menghujami Maria dengan kecupan—kecupan manis di bahu dan tengkuknya.
Maria masih mengenakan lingerie dress cream dengan renda hitam, tanpa lengan yang panjangnya hanya sampai gundukan sintal milik Maria. Ia tidak mengenakan dalaman, karena Steve melarangnya. Dan mereka pun tadi malam membuang semua kain yang melekat pada tubuh. Steve heran karena Maria tak merespon kecupannya.
“Sayang, kenapa? Kok diem?” tanya Steve, lalu membalikkan tubuh Maria.
Mata Steve terbelalak, menangkap dua garis biru pada test pack yang dipegang Maria.
“Are you pregnant?” Steve menanyakan kembali.
“I think so, Steve…” air mata Maria menetes.
“Oh baby,” Steve merangkul tubuh Maria. Ia bawa Maria ke dalam pelukannya. Ia usap punggung itu dengan lembut tanpa nafsu. Steve mengecup puncak kepala Maria.
“Thanks God. Thank you so much!”
Maria sesegukan dalam pelukan Steve, “Loh kok nangis sayang? What’s going on?” tanya Steve semakin heran.
“I’m so happy. Gak lama lagi akan ada bayi di kamar kita sayang. Akan ada yang manggil aku mom, dan manggil kamu dad. Are you happy, Steve?”
Steve menangkup wajah Maria, “Sure, I’m. Makasih sayang, karena kamu sudah mau mengandung anakku.” Steve mengecup dahi Maria lama.
‘Tuhan, terimakasih karena telah menjadikan aku istri dari pria ini. Pria yang aku cintai, dan mencintaiku.’
“Oke, bumil gak boleh sedih. Dihapus air matanya. Dan nanti aku akan minta Nathan untuk jadwalin kamu periksa ke dokter kandungan ya. Kita pergi bareng—bareng. Aku pengen lihat jagoanku yang ada di dalam perut kamu.”
Maria terkikik, dielus lembut di bagian perutnya. “Sayang, ia mungkin masih kecil. Kecil sekali. Jadi kamu bersabar sedikit ya.”
“Begitu? Oke aku akan jadi seorang daddy yang sabar buat jagoanku.” Mereka kembali berpelukan.
--------
#Office
Nathan mengetuk pintu ruang kerja Steve. Ia dipersilahkan masuk oleh empunya ruangan. Nathan berjalan sambil mendekap sebuah tablet lipat.
“Permisi tuan,”
Steve mengawaskan notebook kerjanya, “Bagaimana, apa kau sudah menemukan dokter kandungan terbaik di kota ini?”
“Sudah tuan,” Nathan mengarahkan tablet pada Steve, supaya atasannya ini bisa melihat bahwa pilihannya tak salah.
“Dokter Gilbert?”
Steve menatap tajam pada asisten pribadinya ini, “Nathan, kenapa laki—laki? Kau ingin Mariaku dilihat oleh pria lain hah?”
Steve mengambil berkas yang cukup tebal, lalu ia gulung seperti bolu gulung. Steve melayangkan pukulan kertas gulung pada bahu Nathan. “Berani—beraninya kau Nathan?!”
Nathan hanya bergeming, menerima pukulan sang atasan. Steve akhirnya berhenti, kertas gulung tadi ia hempaskan ke atas meja kerjanya.
“Maaf tuan. Saya akan carikan dokter kandung yang perempuan.” Ujar Nathan sopan.
“Bagus. Harus yang terbaik, ramah dan yang penting ia seorang perempuan. Paham?” gertak Steve.
Nathan akhirnya keluar dari ruangan Steve. Ia berjalan ke arah ruangannya sendiri. Nathan menghempaskan dirinya pada kursinya.
“Ampun dah sama tuan posesif! Kok Maria bisa tahan ya sama dia?”
Nathan jadi senyum—senyum sendiri membayangkan Steve yang posesif dan overprotective pada Maria.
Nathan mendial up seseorang melalui jaringan interkom kantor,
[Nathan : Selamat pagi, saya Nathan. Saya sudah membuat janji temu dengan dokter Gilbert, bisa tolong disambungkan dengan beliau?]
[Suster : Sebentar ya pak,]
……… penyambungan jaringan!
[Gilbert : Selamat pagi pak Nathan?]
[Nathan : Selamat pagi dok, maaf saya mengganggu. Saya terpaksa harus membatalkan janji dengan dokter karena satu dan lain hal dokter.]
Nathan berbicara sopan dan pelan. Ia tak enak hati dengan dokter Gilbert. Padahal ia sudah susah payah untuk bisa membuat janji temu dengan sang dokter.
[Gilbert : Apa atasan pak Nathan tidak setuju kalau istrinya saya yang periksa?]
[Nathan : Loh kok dokter tau?]
Dokter Gilbert terkekeh, ia geli mendengar ekspresi polos Nathan.
[Gilbert : Tentu saya tau. Saya sudah sering menemui tipe suami yang seperti itu pak Nathan.]
Nathan menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Rupanya ia tidak bisa membohongi dokter Gilbert.
[Nathan : Sekali lagi saya minta maaf ya dokter. Ini salah saya, karena gegabah dalam membuat janji kunjungan. Saya akan membayar ganti rugi untuk waktu dokter yang terbuang karena hal ini.]
[Gilbert : Tak perlu pak Nathan. Saya tak suka uang ganti rugi seperti itu. Oya mau saya rekomendasikan dokter kandungan yang perempuan?]
[Nathan : Mau dokter, mau. Jujur saya sangat butuh, dan kalau bisa sore ini atau malam ini atasan saya bisa bawa istrinya check up ke dokter kandungan yang perempuan.]
[Gilbert : Baik, saya arahkan ke dokter Gilsha ya. Kebetulan beliau adalah adik kandung saya. Ia praktek disini juga. Nanti saya minta suster untuk menjadwalkan dengan dokter Gilsha. Bagaimana Pak Nathan?]
[Nathan : Terimakasih banyak dokter Gilbert. Terimakasih.]
[Gilbert : Oke, suster akan menjadwalkan ulang dengan dokter Gilsha. Semoga atasan pak Nathan setuju. Kalau mau resume? Langsung minta ke suster saja.]
[Nathan : Sekali lagi terimakasih banyak dokter Gilbert.]
……… Reschedule check up!
[Suster : Terimakasih atas ketersediaannya menunggu pak Nathan. Jadwal check up atas nama nyonya Maria Alexandra Wijaya dengan dokter Gilsha sore ini pukul 5 ya pak. Diharapkan sepuluh menit sebelumnya sudah ada di rumah sakit.]
[Nathan : Baik terima kasih suster. Satu lagi tolong kirimkan resume dokter Gilsha ke saya melalui surel.]
[Suster : Baik pak, saya akan kirimkan ke alamat surel yang kemarin.]
Sambungan berakhir. Nathan menarik nafas lega. “Satu masalah kelar!”
Nathan meneruskan surel yang diterima dari pihak rumah sakit Hospital City Center ke surel Steven.
Steven mengendarai mobil sport dengan tenang. Ia sengaja mempercepat kepulangannya dari kantor. Ia tak mau melewatkan jadwal cek up pertama Maria dengan dokter Gilsha.“Untung saja Nathan bisa menemukan dokter pengganti. Perempuan, yang penting dia junior dari dokter Gilbert. Artinya dokter Gilsha juga kompeten.”Maserati ghibli berwarna biru metalik telah menempati salah satu lahan parkir mobil pada garasi rumah Steven. Tuan rumah nan tampan tak ada bandingnya, turun seraya menebar pesonanya. Steve berjalan menuju ruang utama istananya dengan Maria.Sebuah rumah dengan interior klasik Italia. Rumah mewah berlantai tiga. Semua fasilitas ada di dalam istana mereka. Sebut saja, pasti ada. Bahkan rumah itu terlihat seperti hotel bintang tujuh. Padahal pemiliknya cuma dua orang, yang lainnya juga ikut tingga
Steve dan Maria dituntun oleh seorang suster jaga yang mendapat tugas untuk mendampingi dokter Gilsha. Pelayanan mereka ramah dan sopan.“Silahkan duduk,” dokter Gilsha mempersilahkan Steve dan Maria untuk duduk pada kursi konsultasi.Dokter Gilsha membuka resume Maria, ia baca lamat—lamat kondisi yang dijelaskan sebelumnya. Maria merasa deg degan karena ini hal pertama baginya.“Rileks aja ya Bu Maria,”“Oke bu dokter,” balas Maria dengan senyum kikuk.“Ibu sudah periksa pake test pack ya?”“Ya bu dokter, pagi ini saya periksa dengan urine pertama bu dokter. Saya pernah baca artikel, kata penulisnya urine pertama di pagi
Malam ini terasa beda bagi Steve dan Maria. Biasanya mereka akan melewati malam dengan berolahraga bersama sampai lelah. Namun mulai malam ini, mereka hanya berolahraga ringan saja. Sekedar bercumbu hingga mengelus kasar bagian favorit masing—masing. Setelah itu Steve akan bermain solo, menuntaskan hasratnya.Steve beranjak terburu—buru dari kasur mereka. Meninggalkan Maria dengan ekspresi yang sulit diartikan.Maria melihat bayangan Steve juga ikut masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar mereka. Hati Maria tak berlabel kini. Senang, karena ada bibit janin dalam rahimnya yang akan tumbuh berkembang menjadi bayi lucu. Dan sebagian lagi terluka, melihat Steve yang kelimpungan saat mengambil alih tugasnya.Maria semakin teriris saat mendengar Steve berfantasi seraya melolongkan namanya. Susah payah Mar
“owk…” “owk…” “owk…” Maria memegang kloset duduk itu dengan kuat. Hampir seluruh wajahnya masuk ke dalam kloset tersebut. Hari masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tubuh Maria melemas. Tubuhnya tak mampu menopang diri lagi. Maria merosot lalu duduk di lantai kamar mandi. Kepalanya terasa pusing. Perutnya seperti memuat angin tornado, membuncah seperti lava gunung berapi yang ingin keluar dari sarang. “Astaga… sakit sekali rasanya.” Maria masih mengatur deru nafasnya, yang tak berimbang. Tangan Maria masih memegangi kepalanya, terasa mau pecah. Steve menggaruk sebelah pipinya pelan. Matanya masih terpejam. Reflek tubuh Steve mengeliat ke arah Maria, guna mencari pelipur tidurnya.
Kepala Nathan cenut—cenut, ia menumpukan kepalanya yang berat itu pada kedua tangannya yang menekan permukaan meja kerjanya. Nathan sudah berusaha untuk mencari ahli gizi dan psikiater terbaik di kota ini.Problemnya adalah semua yang ia dapatkan mempunyai gender yang sejenis dengannya. Tentunya itu hal terlarang bagi Steven, No Male. Nathan menjambak kasar rambut hitamnya. Penampilan Nathan sudah tidak karuan. Nathan yang rapi menghilang sementara waktu.“Oh... GOD” Nathan berjalan asal, ia meninggalkan kursi kebanggaannya. Seperti setrika yang ada pada pakaian lecek, maju mundur sampai pakaian itu rapi.Nathan melihat jam tangannya, matanya semakin sakit melihat jarum jam yang sudah mendekati waktu sore hari. Nathan belum juga mendapatkan nama perempuan yang diminta Steven.
Nathan bergerak cepat. Setelah dari Hospital City Center ia langsung melajukan mobilnya ke rumah Steven. Dengan semangat ia membelah jalanan yang masih dilanda kemacetan. Nathan tak hentinya tersenyum. Suasana hatinya gembira ria. Bahkan di tengah kemacetan ibu kota, ia menyempatkan diri untuk bekerja. Berkas yang dimasukan ke dalam tas kerjanya, ia keluarkan satu buah. Ia pun mulai bekerja, memeriksa rincian laporan dari divisi kantor. Pembaharuan dari hasil rapat terakhir kemarin. Nathan yang terlalu fokus ke berkas laporan mendapat teguran dari pengendara lain. Mobilnya kena semprot klakson. Bukan hanya sekali tapi beberapa kali. “Astaga, lampu sudah hijau ternyata!” Nathan menaruh berkas di kursi sebelah pengemudi. I
Setelah di bujuk oleh Steven akhirnya Maria mau berkonsultasi dengan dokter Angela spesialis gizi. Ia juga mau didampingi oleh dokter Michelle ahli psikologi. Maria pun berbicara heart to heart dengan para dokter.Dia bercerita apa yang dirasakan, dulu yang biasanya dia suka sekarang jadi mual melihatnya. Maria juga mendapat terapi bagaimana mengontrol emosi, agar stabil dan tidak mengganggu proses kehamilannya.Steven tampaknya harus menaikan gaji Nathan, sekalian memperbanyak bonus untuk diberikan pada Nathan. Asisten pribadi yang sangat handal, cekatan, pintar dan juga tampan.……… Six months later!Hari menunjukkan pukul 1 dini hari. Dimana semua orang sudah pada tidur, beristirahat supaya besok bisa melakukan aktifitas dengan baik.
“Oh nyonya lagi ngidam tuan?”“Sepertinya begitu, nanti kalau gak saya ikutin anak saya bikin ibunya rusuh. Saya juga yang pusing nantinya.”Security pun mengulum senyum, lalu Steve mulai tertawa, hingga mereka tertawa bersama. Teringat akan keanehan bumil kalau lagi ngidam.“Tuan, biasanya jam segini sate ayam yang masih buka itu harus keluar komplek dulu. Terus jalan ke arah jalan soetomo, nah disitu ada sate ayam Pak Ndut dia mangkal pake tenda tuan. Kami pernah beli di sana terus makan disini, sambil jaga tuan.”Steve tersenyum, “Terimakasih untuk infonya. Nanti saya kasih bonus ke kalian kalau nyonya suka sama rekomendasi dari kalian!”Para security pun tersenyum senang, me
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep