Steve dan Maria bergandengan tangan seraya memasuki villa. Sesuai janji Nathan, ia hanya akan menghantar saja, tidak akan mengganggu acara honeymoon sang atasan.
Mereka bersitatap terus sambil mengulas senyum manis. Maria masih malu-malu pada suaminya, Steve. Terlihat pada rona wajahnya seperti warna buah persik.
“Apa kamu baru sadar, kalau aku itu sangat tampan?” goda Steve bertanya pada Maria.
“Iya, aku baru menyadarinya.” Tantang Maria dengan terkekeh malu setelah itu, hingga menutupi wajahnya dengan telapak tangannya sendiri.
Sesaat kemudian Steve meraih tangan istrinya, “Jangan ditutupi begitu, aku suka senyum kamu sayang.” Maria tak sanggup dihujami rayuan pulau dari Steve. Suami itu langsung saja melahap candu merekah dengan intens. Tangan Steve memegang dagu Maria, kemudian bergeser ke leher, lalu berkelana menyusuri tengkuknya yang polos. Memberikan sengatan kecil dengan mempererat candu mereka, agar tak berjarak.
Tangan Maria mendekati pinggang suaminya. Awalnya hanya bertengger, kemudian mengeratkan pegangan pada jas burung merak yang dikenakan Steven. Karenanya Steven semakin melilitkan lidah mereka, Maria tak kuat mendapat serangan itu. Punggung Steven dielus kuat, lalu ditarik mendekat pada tubuhnya. Keduanya beradu bagai gasing yang berputar pada pusarannya. Lama. Begitu pula ciuman mereka. Steve pun mengelus punggung polos Maria yang tak tertutupi.
Dengan terseot-seot Maria bernafas, “huhhhhh, Sayang aku ngap! Bisa habis nafasku ini.” Diikuti dengan melototnya mata Maria, meminta semesta agar tidak mengaburkan penglihatannya.
Steve tertawa renyah. Mengabulkan permintaan istrinya untuk memberi jeda akan candunya. Dirasa sudah cukup, Steve kemudian mengecup sekilas bibir kissable dari Maria, “Seperti nikotin kamu sayang.” Tangan Steve mengelus lembut bibir Maria, membersihkan sisa saliva yang keluar dari tempatnya.
“Sayang, mumpung ini belum terlalu sore. Aku mau ajak kamu pergi ke suatu tempat.”
Maria mengerjapkan matanya, “Kemana sayang?” dia penasaran akan tempat tujuan yang ingin ditunjukkan oleh Steve.
Steve berbisik, “Rahasia! Kamu mau mandi sendiri atau aku mandiin?” dengan suara serak, tak lupa hembusan nafas yang menyetrum tubuh istrinya.
Tanpa terduga, Maria melayangkan cubitan kecil pada pinggang Steven. Percaya gak kalau wajah Maria sekarang sudah menyerupai warna tomat busuk. Pinkish padam, meruam. Steve hanya cekikikan, dia tak marah sama sekali karena istrinya berlaku begitu. Malahan Steve semakin bersemangat untuk menggoda Maria.
“Aduh… duh.. duh,,, sayang… please ya… duh.,,,” racau Steve karena cubitan sudah berubah bentuk menjadi klitikan pada tulang rusuknya. Maria tahu bahwa Steve tidak tahan akan rasa geli.
Steve segera mengeratkan kedua tangan Maria mengudara, “Udah ya sayang, aku geli banget.” Manut. Maria berhenti. Mereka menatap penuh damba dan rindu. Berkata melalui pancaran mata mereka, kalau mereka merindu.
Wajah Steve mengarah lebih dekat pada Maria, tanpa ia sadari dekapan tangan jahil telah terlepas bebas. Maria tau, apa yang akan dilakukan laki-laki yang berstatuskan suaminya ini. Segera tangan Maria menangkup wajah lapar Steven.
“Puasa dulu ya sayang! Aku harus siap-siap dulu.” Maria terbirit menjauh dari Steve. Maria terkekeh berlalu, memilih masuk pada sebuah kamar yang pintunya berhiaskan sebuah ukiran seperti gantungan, bertuliskan ‘Happy Wedding’ Maria makin yakin kalau itu adalah pintu kamar mereka.
Ceklek…
Mata Maria terpesona. Kamar yang di masukinya luas dan di dalamnya penuh dengan fasilitas mewah. Ranjang luas yang telah ditaburi kelopak bunga mawar. Tak lupa ada sepasang angsa saling berhadapan. Pencahayaannya sedikit temaram, namun semakin mellow karena ada lilin-lilin kecil di atas nakas yang mengitari letak sofa. Dan ada lilin berbentuk hati di atas meja sofa.
“Beautiful. Steve gak kaleng-kaleng kalau soal romantis!”
Steven tak mengejar Maria. Dia membiarkan wanitanya berlarian sementara dia harus memastikan kendaraan yang akan mereka tunggangi menuju tempat spesial.
Steve mendial up sebuah nomor telepon dari seorang yang dipercayakan, “Halo, ada kan yang saya minta?”
Entah apa jawaban dari lawan bicara Steven. Yang pastinya, Steve mencebik sedikit sudut bibirnya dengan nakal. “Good, well done!” sambungan diputus sepihak oleh Steven.
“Baby, show time!” gumam Hexel Steven Wijaya.
Sementara itu, Maria telah selesai dengan ritual mandi pertama setelah perubahan status yang diterimanya hari ini. Maria berjalan dengan hati-hati, dia tak tega merusak semua hiasan yang telah dirangkai.
Before take a shower, Maria melihat sebuah bingkisan bertuliskan ‘Open me, please’ maka tangan Maria segera melakukannya. Maria tertegun memandangi sebuah gaun midi dress tanpa lengan, panjangnya hanya selutut berwarna peach yang sangat cocok dengan kulit putihnya. Selaras dengan warna rambut coklat alami Maria.
“Steve, you know me so well babe! Love you”
Maria telah berganti kostum, dari bathdrop ke gaun selututnya. Maria juga telah mengeringkan rambut coklatnya dengan hair dryer. Kebutuhan make up Maria juga telah tersedia, lengkap dengan skincare yang sering digunakannya.
“Steve, kamu membuatku seperti ratu disini. Apa yang aku inginkan, entah bagaimana sudah kamu sediain disini. Aku harus bagaimana padamu Steve?”
“Just be my wife forever honey!”
Maria berbalik melihat pada sumber suara yang tentu di kenalinya. Maria mengembangkan senyum manis, yang sudah membuat tubuh Steve panas lagi. Steve mendekat, sekedar mengelus lengan Maria tanpa kain.
Tubuh Maria menerima setiap sentuhan memabukkan yang diberikan Steve. Lagi , tak bosan Steve mengecup sekilas wajah Maria yang sudah terolesi skincare. Steve juga beralih pada tengkuk sensitive Maria, and … Maria mendesah pelan.
“Okay sayang, are you ready?” tanya Steve pada istrinya. Maria hanya terdiam, karena kehilangan sentuhan lembut Steve.
‘Apa sih maksud kamu Steve? Tadi ngelus-ngelus. Bikin meremang aja nih!’
Maria berdehem, “Would you like to wait a moment babe?” tanya Maria manja.
Steve mendelik wajah Maria, “Kamu itu udah cantik banget sayang. Gak perlu polesan lagi lah,” Steve tak sabar untuk mengajak Maria pergi.
Maria mengelus lembut lengan suaminya, “Sayang… I know that, but aku ingin terlihat lebih sempurna di matamu. Sebentar saja, yaaa?” Maria memampangkan eyes puppies.
Steve pasrah, “Sepuluh menit ya, no more that! Aku tunggu diluar.” Sebelum benar-benar pergi, Maria berkata, “It’s more than enough honey!”
Steve meninggalkan Maria yang masih ingin memoles sedikit make up pada wajahnya. Skincare done, ia beralih pada primer yang telah mengandung SPF UV+++ berteksturkan seperti foundation. Kemudian beralih ke eyeliner waterproof dan alis waterproof tentunya. Beralih ke perona pipi, ditambah sedikit highliter.
Maria menyentuh malu pada bibirnya sendiri. Dia juga tersipu malu sesaat, dia sedikit menggeleng-geleng lalu mengambil liptint matte tentunya waterproof. Supaya tidak transfer proof pada bibir Steve. Maria lalu berdiri dari kursi riasnya.
Memastikan kembali penampilannya pada cermin datar yang ada di hadapannya sekarang. “Astaga, maskara ihhh lupa… mana ya dia,” kedua belah mata Maria mencari keberadaan maskara pada palette make up.
“Itu dia,” segera Maria membubuhkan bulu mata lentik alaminya dengan maskara. “Perfect!”
Maria segera kabur dari sana, dia mencari keberadaan sang suami. Walau Steven sangat menyayangi dirinya, namun Steve tak mentolerir kata terlambat.
“hhhh… Masih ada sisa tiga menit babe!” Ujar Maria pada Steven. Laki-laki tersebut terpesona melihat Maria yang semakin cantik saja.
“Makin cantik gak?” goda Maria. “More and more honey!” Steve menggenggam erat tangan Maria, ia kecup di udara.
“Close your eyes babe,” pinta Steve dengan suara berat menggoda iman.
Maria melirik sejenak, “Kamu mau ngapain?” tanya dia sedikit bergidik ngeri. Ia takut, Steve akan unboxing dirinya disini. Kenapa begitu? Steven tipe seorang laki-laki yang tegas namun keras kepala dan terkadang bisa gila. Apalagi di villa ini hanya mereka berdua saja. Mata Maria tak menangkap walau itu hanya bayangan orang lain, selain mereka berdua.
Steve terkekeh, “Udah tutup aja. Aku gak akan melakukan hal itu disini… untuk yang pertama. Tapi mungkin yang kedua.” Steve mengerlingkan matanya dengan nakal.
Maria memukul manja pada dada Steven, “Sayang…” Gertak Maria yang tak percaya dengan ide gila Steve, yang bisa saja dia lakukan.
“Oke, aku tutup ya.” Maria memejamkan kedua matanya. Terlihat lengkungan eyeliner coklat tua yang mengikuti bentuk mata Maria. Cantik, itulah definisinya.
Steven meraih buket bunga mawar yang telah disiapkan, kemudian Steve menuntun Maria untuk berjalan. “Jalan perlahan, tetap tutup matanya ya. Just trust me honey!”
Maria terkikik pelan dengan pipinya yang mengembangkan senyum manis. Tak lupa deretan gigi putih yang terlihat bagus, hasil perawatan di klinik kecantikan langganan.
Steve dengan hati-hati dan sabar menuntun istrinya menuju boat yang terparkir di pinggir pantai. Villa Steve ini berhadapan dengan sebuah pantai yang indah. Apabila disebrangi akan membawa kita pada sebuah pulau buatan milik pribadi dari Hexel Steven Wijaya.
“Sedikit lagi sayang, sabar ya!”
“Ck… sayang, kamu mau tunjukin apa sih? Kejutan apa lagi ini?”
“Bentar lagi sayang, tahan dulu penasarannya ya.” Steve menenangkan Maria yang sudah penasaran dengan kejutannya.
“Sayang, tetap tutup mata ya, sebentar lagi aku akan angkat tubuh kamu, karena di depan jalanannya banyak kerikil, aku gak mau kaki kamu kesakitan.”
Hati Maria tersentuh kesekian kalinya, “Uhummmm… Steve, you’re real man!”
“Ya dong, bentar lagi kamu akan merasakan bagaimana perkasanya aku honey!” Steve langsung memanggul tubuh Maria untuk naik ke atas kapal boat.
Maria patuh pada perintah suaminya. Matanya masih memejam, tak mau membuka, apalagi tergoda untuk mengintip di celah sempit.
“aaaaaa… Steve, cepetan aku gak sabar ini!”
Maria berpegangan kuat pada dinding speed boat, tubuhnya melayang seakan dibawa oleh ombak. Dia selalu meneriaki nama Steve. “Steve, Oh my God. Aku takut Steve…” Yang punya nama malah terkikik, “Gak usah takut sayang, aku disini untuk kamu. Please hold my hand!” Maria mengeratkan tangannya pada Steve. “Bolehkah ku buka penutup mata ini? Aku penasaran sayang, kita lagi dimana ini? Kok tubuh aku melayang—layang rasanya?” Steve berbisik, “Belum saatnya, keep calm baby girl!” diakhiri dengan hembusan nafas hangat dari mulut Steve. Maria memegang tengkuknya, “Sayang, jangan aneh—aneh please.” Steve mengecup pucuk kepala Maria. Ia mengeratkan pelukannya di pinggang Maria. Tubuh Ma
Mereka terlelap seperti bayi kembar, saling berbagi pelukan hangat. Maria memunggungi Steve, tangan Steve mengapit perut Maria. Steve juga menekuk sedikit lutut Maria, hingga lutut mereka beradu. Sinar matahari menyusup melewati celah—celah kecil jendela kamar yang mereka huni. Sinar itu mengecup mata Maria. Mata Maria memicing sedikit, karena silauan cahaya itu tak nyaman bagi matanya. Maria bergerak dengan sedikit kesulitan. Ia baru menyadari kalau dirinya dipeluk oleh Steve dengan erat. Maria berupaya untuk membalikkan dirinya, ia sudah kangen melihat wajah tampan sang suami. Maria mengangkat lengan kokoh Steve dari perutnya. Ia pegangi sementara tubuhnya yang polos bergerak untuk menyejajarkan posisi dengan Steve. “Huh, akhirnya!”
Setelah acara dadakan di kamar mandi, keesokan harinya Maria bangun duluan. Ia pun bergegas membersihkan diri. Ia pun masuk ke dapur, memeriksa bahan masakan yang akan diolah untuk sarapan mereka.Ketika sedang sibuk berkutat dengan pisau, bawang—bawangan hingga talenan, ada saja yang mengusik kerjaan Maria.“Kamu ngapain disini?” Steve sudah memeluknya dari belakang, menciumi sebelah bahu Maria yang terbuka.Salah Maria juga, kenapa ia mengenakan midi dress selutut tanpa lengan. Maria juga mencepol seluruh rambut yang sudah ia hair dryer ke atas, otomatis leher jenjangnya akan terlihat lebih menggoda.“I wanna cook. Get away please…” usir Maria lembut, pada serigala lapar.Steve semakin m
Steven mengendarai mobil sport dengan tenang. Ia sengaja mempercepat kepulangannya dari kantor. Ia tak mau melewatkan jadwal cek up pertama Maria dengan dokter Gilsha.“Untung saja Nathan bisa menemukan dokter pengganti. Perempuan, yang penting dia junior dari dokter Gilbert. Artinya dokter Gilsha juga kompeten.”Maserati ghibli berwarna biru metalik telah menempati salah satu lahan parkir mobil pada garasi rumah Steven. Tuan rumah nan tampan tak ada bandingnya, turun seraya menebar pesonanya. Steve berjalan menuju ruang utama istananya dengan Maria.Sebuah rumah dengan interior klasik Italia. Rumah mewah berlantai tiga. Semua fasilitas ada di dalam istana mereka. Sebut saja, pasti ada. Bahkan rumah itu terlihat seperti hotel bintang tujuh. Padahal pemiliknya cuma dua orang, yang lainnya juga ikut tingga
Steve dan Maria dituntun oleh seorang suster jaga yang mendapat tugas untuk mendampingi dokter Gilsha. Pelayanan mereka ramah dan sopan.“Silahkan duduk,” dokter Gilsha mempersilahkan Steve dan Maria untuk duduk pada kursi konsultasi.Dokter Gilsha membuka resume Maria, ia baca lamat—lamat kondisi yang dijelaskan sebelumnya. Maria merasa deg degan karena ini hal pertama baginya.“Rileks aja ya Bu Maria,”“Oke bu dokter,” balas Maria dengan senyum kikuk.“Ibu sudah periksa pake test pack ya?”“Ya bu dokter, pagi ini saya periksa dengan urine pertama bu dokter. Saya pernah baca artikel, kata penulisnya urine pertama di pagi
Malam ini terasa beda bagi Steve dan Maria. Biasanya mereka akan melewati malam dengan berolahraga bersama sampai lelah. Namun mulai malam ini, mereka hanya berolahraga ringan saja. Sekedar bercumbu hingga mengelus kasar bagian favorit masing—masing. Setelah itu Steve akan bermain solo, menuntaskan hasratnya.Steve beranjak terburu—buru dari kasur mereka. Meninggalkan Maria dengan ekspresi yang sulit diartikan.Maria melihat bayangan Steve juga ikut masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar mereka. Hati Maria tak berlabel kini. Senang, karena ada bibit janin dalam rahimnya yang akan tumbuh berkembang menjadi bayi lucu. Dan sebagian lagi terluka, melihat Steve yang kelimpungan saat mengambil alih tugasnya.Maria semakin teriris saat mendengar Steve berfantasi seraya melolongkan namanya. Susah payah Mar
“owk…” “owk…” “owk…” Maria memegang kloset duduk itu dengan kuat. Hampir seluruh wajahnya masuk ke dalam kloset tersebut. Hari masih menunjukkan pukul 5 pagi. Tubuh Maria melemas. Tubuhnya tak mampu menopang diri lagi. Maria merosot lalu duduk di lantai kamar mandi. Kepalanya terasa pusing. Perutnya seperti memuat angin tornado, membuncah seperti lava gunung berapi yang ingin keluar dari sarang. “Astaga… sakit sekali rasanya.” Maria masih mengatur deru nafasnya, yang tak berimbang. Tangan Maria masih memegangi kepalanya, terasa mau pecah. Steve menggaruk sebelah pipinya pelan. Matanya masih terpejam. Reflek tubuh Steve mengeliat ke arah Maria, guna mencari pelipur tidurnya.
Kepala Nathan cenut—cenut, ia menumpukan kepalanya yang berat itu pada kedua tangannya yang menekan permukaan meja kerjanya. Nathan sudah berusaha untuk mencari ahli gizi dan psikiater terbaik di kota ini.Problemnya adalah semua yang ia dapatkan mempunyai gender yang sejenis dengannya. Tentunya itu hal terlarang bagi Steven, No Male. Nathan menjambak kasar rambut hitamnya. Penampilan Nathan sudah tidak karuan. Nathan yang rapi menghilang sementara waktu.“Oh... GOD” Nathan berjalan asal, ia meninggalkan kursi kebanggaannya. Seperti setrika yang ada pada pakaian lecek, maju mundur sampai pakaian itu rapi.Nathan melihat jam tangannya, matanya semakin sakit melihat jarum jam yang sudah mendekati waktu sore hari. Nathan belum juga mendapatkan nama perempuan yang diminta Steven.
Sebelum waktu subuh menyapa, Edwin sudah rapi mengenakan kemeja lengan panjang, celana bahan, juga menggamit blazer beige di lengan. Ia menjinjing tas kerjanya yang berwarna coklat. Oxford shoes yang dikenakan senada dengan warna tas. Menuruni anak tangga rumah berbelok ke ruang makan. Sesibuk apapun pekerjaan, Edwin tidak pernah melewatkan waktu makan. Petunia meneliti menu sarapan yang akan dilahap tuan muda Rusyadi itu.“Morning Petunia,” sapa Edwin layaknya anak ke ibu.“Good morning tuan Edwin, silahkan sarapan dulu,” Petunia menunjuk ke hidangan waffle saus blueberry juga secangkir kopi hitam.“Thank you Petunia,” Edwin menyeruput kopi panas itu santai, “Kabar Aluna bagaimana Petunia, masih suka menangis?” ujarnya seraya memotong waffle.Petunia berdiri di samping kanan Edwin, “Masih tuan. Nona Aluna menutup diri, hanya di kamar saja.”“Selera makannya bagaimana?” tanya Edwin datar.“Susah tuan, kalau tidak dipaksa nona tidak mau makan. Paling banyak cuma tiga kali suapan, saya
Satu jam Steven duduk termenung, menanti namanya yang dipanggil. Ia lesu. Wajahnya di lekuk, bahkan ia tak memperdulikan pandangan pasien lain. Penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi. Steven hanya bisa pasrah, kejadian ini belum masuk logikanya, tapi semua yang telah terjadi. Fakta adalah kenyataan yang tidak bisa ia rubah lagi.‘Aku harus apa-in Serena? Demi Tuhan, cinta ini hanya untuk Aluna. Bagaimana kalau Serena berbadan dua karenanya? Argh…’Kepala Steven semakin sakit. Ulah ia menerka—nerka kemungkinan terburuk yang akan menimpa hidupnya. Hatinya sudah terisi sosok Aluna, tidak ada tempat lain lagi, kecuali itu mama Matilda juga putra semata wayang Kenzie.‘Aku nggak sanggup menceritakan kejadian ini pada Aluna. Tentu ia akan menangis bersedih, bahkan menampar pipi ini den
Steven semakin tersiksa, nyeri di tangan kanan terasa kian hebat. Sakit sekali. Kidal—nya beraksi, melalui telepon intercom memanggil supir pribadi. Ia tak menunggu lama, tepat di deringan nada pertama terdengar sahutan di seberang.“Halo tuan,” ujar seorang pria bernada sopan dibalik sambungan.“Jemput saya ke ruangan sekarang, cepat Anto!” tutup Steven.Anto, si supir pribadi termenung. Ia bertanya—tanya, selama mengabdi belum pernah sekali pun naik ke ruangan sang majikan guna menjemputnya. Dan kali ini?Steven terkenal jadi seorang yang mandiri, tegas dan dingin. Kemarahannya akan lama susut, bahkan ribuan cara pun dilakukan belum tentu akan membantu. Steven tipikal seorang pendendam.“Ah,… sudahlah, lebih baik segera naik. Jangan sampai tuan marah juga ke saya!” Anto mengetahui retaknya hubungan kerja antara Steven dengan Hunter juga Nathan. Kini ia pun menjadi kaki tangan mereka diam—diam, tanpa diketahui si bos besar.Anto naik elevator eksekutif, ruang kedap signal titanium it
Steven kelimpungan dalam ruangan. Ia heran pada Aluna, kekasihnya itu kenapa tidak bisa di telpon. Nomornya dialihkan ke pesan suara. Ia tak bisa mendengar lagi pesan manis yang sempat direkam Aluna kemarin. Ribuan tanya tersisipkan, “Apa terjadi sesuatu dengan Aluna? Angkat dong sayang, ku mohon Aluna,…”Beban pikirannya kian bertambah, kemanakah Steven harus mencari Aluna?Pada siapa pula ia harus bertanya?“Sekolah ‘kan masih libur, gak mungkin ada orang disana. Pasti cuma ada pegawai tata usaha disana, Aluna ‘kan tenaga pengajar, mustahil ia kesana!” Steven menjambak rambutnya marah.Sebuah memori tersampir dalam ingatan Steven.“Ya,.. Hunter, jawabannya. Benar sekali!”Steven memanggil sang asisten melalui panggilan intercom, “Ke ruangan saya sekarang!” kemudian nada kereta api yang terdengar.Hunter melerai gagang intercom, lalu memandangnya penuh tanya, ‘Ada apa lagi ya?’ telepon sudah diletakkan pada tempatnya. Ia melangkah lebar hendak menemui sang atasan.Pintu ruangan priba
Amićo terparkir di halaman mansion. Steven keluar tanpa menutup pintu mobil, bahkan deru mesin mobil masih terdengar. Ia meninggalkan jagoan jalannya hidup—hidup. Steven menaiki anak tangga teras kemudian masuk ke dalam mansion. Ia mematung mendapati dua sosok yang masih ia kecam, kini sedang berdiri di depannya.“Ngapain kalian di rumah saya pagi—pagi?” sembur Steven masam.Mereka menunduk. Nathan berdehem, “Mohon beri kami maaf tuan. Tadi Kenzie mencari anda, bodyguard memberitahu kalau anda sedang keluar. Tadi Hunter yang mengantar Kenzie ke tempat kursus renang, dia sempat bertanya tentang anda.”“Lantas,.. kau beri jawaban apa pada putraku?” sahut Steven belum ingin senyum.“Saya hanya bilang kalau tuan sudah pergi ke kantor, ada rapat pagi ini dengan investor dari luar. Kenzie gak bertanya lagi, ia sudah paham dengan jam kerja anda yang sibuk.” Nathan memang ahli membuat alibi.“Kerja bagus,” sahut Steven lunak. Ia dirundung rasa bersalah pada Kenzie, tak seharusnya ia meninggal
Steven menggaruk jemarinya yang terasa gatal. Matanya masih terpejam. Tak lama ia menggeliat sedikit, melonggarkan otot—ototnya yang sedikit kram. Bughh,…‘Kenzie?’Pikirnya ada putranya sedang berbaring disebelah. Tanpa ragu, Steven merangkul hingga mendekap erat. Bahkan Steven membubuhkan kecupan di pucuk kepala.‘Hemm? Ini bukan wangi shampoo Kenzie!’Steven ingin tahu, siapakah gerangan yang mengisi sisi sebelah ranjangnya kini?Perlahan ia membuka matanya, sedikit ia paksa. Steven terperanjat, kasur yang ia huni berombak. Tubuh Steven bergetar karena mendapati ada seorang wanita tengah memunggungi dirinya. Nafasnya tersengal—sengal, matanya belum menyusut. Sungguh ia terkejut. Ia menyibak selimut yang menyelimuti mereka, kembali ia membelalak. Tak satupun helai kain menutupi tubuhnya. Keadaan sama juga pada wanita yang belum ia ketahui siapa namanya.‘Tapi king ku keset, nggak ada tanda—tanda habis main. Siapa nih perempuan?’Steven menelan saliva yang membumbung di tenggorokan.
Edwin terperangah sampai dirinya terhempas duduk di atas sofa. Sungguh ia terkejut mendengar pengakuan Aluna, ‘Kekasih?’ satu kata ini tertempel kuat dalam pikirannya. “Jadi putri papa ini menjalin hubungan asmara dengan anak dari pasien yang ada di rumah sakit kita?” sahut Lukman tak percaya. “Kami belum lama jadiannya pa. Aku minta maaf ya pa,” ungkap Aluna jujur. Kini, ia merasa sangat bersalah. “Kamu tahu status kekasihmu itu?” cicit Edwin menatap tajam. Aluna mengangguk, “Tentu saja abang. Putranya ‘kan aku yang ngajar di Vittorio. Aku juga wali kelasnya, semua data mereka aku yang pegang. Mustahil sekali aku gak tahu soal itu abang. I’m really sorry,..” “Kamu tahu soal ibu kandung murid mu itu?” cecar Edwin. “Setahuku, mommy 'nya Kenzie itu, istri Steven sudah tidak ada. Kenzie bilang kalau mommy 'nya sudah tenang di surga Bapa. Aku gak ngerebut suami orang pa, please abang ngertiin dong… aku juga gak minta sama Tuhan untuk rasa ini. Ngalir gitu aja,” jelas Aluna ke mereka.
Edwin mendapat laporan dari security rumah, jika ada paket untuk Aluna yang dikirim ke mansion. Mereka sengaja memberitahu padanya sebagai penanggung jawab seisi rumah. Lukman Rusyadi menunjuk Edwin untuk memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga Rusyadi. Lukman akui, dirinya semakin sepuh. Bulat tekadnya mendelegasikan satu tanggungan dirinya pada putra sulung satu—satunya.“Siapa pengirimnya?” selidik Edwin khas suara baritone.“Tidak ada namanya tuan. Paket dihantar oleh driver ojek online, waktu saya introgasi ia pun tidak tahu. Paket ini dia ambil dari seseorang bernama Poni.”“Taro paket itu di ruang kerja saya. Siapa yang tau soal paket itu?” sahut Edwin.“Baru tuan, saya tidak bisa menghubungi nona Aluna. Apa perlu saya—”“Tidak perlu. Kerjakan yang tadi saya suruh!” tandas Edwin.***Malam itu Edwin pergi ke ruang kerjanya. Selesai makan malam berdua Lukman, ia pamit duluan. Alasannya ada laporan mingguan yang belum selesai direvisi. Sesampainya di dekat meja kerja, mata
Vin valley residence, lokasi penginapan mewah yang dihuni Aluna. Strategis, dekat dengan tempat ia bekerja, Vittorio kiddy school. Hunter memberhentikan mobil yang dikemudikan, segera Nathan menghamburkan diri langsung keluar tanpa alih—alih permisi. Hunter cuma menatap punggung itu merasa kasihan, ‘Beruntung sekali anda tuan Steven Wijaya!’ tak lama ia pun menyusul langkah kaki yang masih menjejak.Mereka sudah tahu lokasi unit milik Aluna. Kini mereka telah berdiri tepat di depan pintu, dengan keberanian penuh Hunter menekan bel yang menempel di dinding. Sekali, belum juga keluar. Tatapan mata Nathan menyuruhnya mengulangi lagi. Hunter menggeleng, “Sepertinya tidak ada orang didalam tuan.”Nathan menghembuskan nafasnya, tapi sesak belum juga berkurang, “Kemana mereka?” monolog-nya bertanya.Hunter melirik, “Belum pasti mereka sedang bersama tuan,” sahutnya yakin.Bidikan mata Nathan tak setuju, “Seyakin itu kau, Nathan?”“Nada pesan yang disematkan miss Aluna terdengar padat, ia sep