Ibu Lis adalah orang yang tak suka dibantah. Begitu pula dengan Dean. Tapi, lelaki itu tak akan bisa membantah sang ibu jika beliau sudah mengeluarkan perintah. Seperti siang ini, seperti anak kecil yang akan mendapat hukuman jika tak mau menuruti ucapan ibunya. Dean sudah duduk malas di sebuah cafe bersama seorang perempuan yang katanya anak Om Ded-ded itu. Alya Savira.
"Jadi, apa alasan lo nerima perjodohan ini?" tanya Dean setelah basa-basi mereka yang benar-benar basi. Alya bilang dia akan menerima perjodohan itu. Gampang sekali dia.
Alya menoleh sekilas pada pria itu. Punggungnya masih bersandar dan kedua tangannya masih bersedekap. "Ya... Cuma biar ganti status aja. Lagian lo juga nggak buruk rupa." jawabnya santai. Gadis itu tak berniat menyeruput kopinya lagi.
Dean berdecak dalam hati. Perempuan ini cocok sekali dengan sang ibu. Buruk rupa? Hah?
"Bokap gue udah tua. Dia minta gue cepet-cepet nikah." sambung Alya.
Dean melirik Alya sekilas. Jika dilihat-lihat, Alya ini lumayan. Dia benar cantik seperti kata ibunya. Dagunya lancip dan hidungnya bangir. Rambutnya hitam kecoklatan sebatas bahu. Sepertinya lembut.
"Umur berapa, sih, lo?" tanya Dean.
"Penting?" Alya balas bertanya. Alisnya naik sedikit.
Dean menggeleng. Masih sulit jika harus menerima perjodohan itu juga. Tapi, demi ibunya, mungkin dia akan menawarkan perjanjian dengan gadis ini. Lagipula dia juga butuh pelampiasan. "Kita nikah kontrak."
Alya seketika menoleh. Ia tatap Dean cukup lama sebelum berucap. "Boleh."
"Tiga bulan." seru Dean tanpa tedeng aling-aling.
"Kecepetan. Bokap gue pasti curiga." sahut Alya dan meurunkan tangannya. Ia seruput lagi kopinya yang mulai dingin. "Satu tahun."
"Kelamaan." balas Dean tak setuju.
"Sepuluh bulan?"
"Lima."
"Lo pikir ibu lo nggak curiga?"
"Delapan bulan. Deal?" Dean menyodorkan tangannya dan langsung disambut oleh Alya. Segampang itu mereka membuat keputusan.
Alya kemudian mengeluarkan selembar kertas dan pulpen dari dalam tas jinjingnya. Gadis itu menuliskan banyak kalimat di atas kertas putih itu. Cukup lama ia berkutat dengan pulpennya sebelum menyerahkan kertas itu pada pria di depannya. "Lo bisa nambahin." ucapnya sambil meletakkan pulpen di meja, agak dekat dengan posisi Dean.
Dean meraih kertas itu dan mulai membacanya. Gadis ini pintar seperti dugaannya. Dia sudah mempersiapkan semuanya dengan apik.
1. Wajib memenuhi hak dan kewajiban, nafkah lahir dan batin.
"Lo maniak." Dean berucap frontal. Nafkah lahir batin, apa gadis itu minta ditiduri?
Alya mendesah malas. "Nggak lucu kalau gue nanti masih perawan pas udah jadi janda."
Hah? Dean hampir terbahak. "Lo masih perawan?" tanya Dean agak sangsi karena penampilan Alya yang menurutnya seksi. Blouse tanpa lengan dipadukan dengan rok span di atas lutut yang ketat. Gadis itu memang membawa blazer, tapi tak dipakai. Dean tadi bahkan sempat menikmati bongkahan pantatnya saat gadis itu berjalan ke toilet. Memang sebagai sesama manusia tidak boleh menilai orang lain dari penampilannya. Tapi, Dean juga bukan orang yang bodoh. Seingatnya dia cukup sering melihat Alya di bar langganannya dulu. Bergoyang bersama teman-temannya saat hari sudah larut untuk seorang perempuan. Dan Dean tahu jika Alya bukan perempuan polos macam istri Arya atau istri Raka. Alya dengan kehidupan malamnya tidak bisa menjamin jika gadis itu masih perawan.
Alya mendelik menatap Dean. Marah, tersinggung, tentu saja. Tapi ia tak mau memperkeruh suasana. Dia diam saja tak menjawab.
"Terus nanti kalau lo hamil, gimana?" tanya Dean lagi.
"Bagus, berarti gue ada temen. Karena gue nggak ada niat mau nikah lagi setelah ini." jawab Alya sekenanya. Dia tidak berbohong saat dia bilang tidak berniat untuk menikah lagi setelah nanti bercerai dengan Dean. Dia sudah muak dengan semua yang orang lain sering menyebutnya cinta. Cinta cinta ta* anj**g. Alya sudah beberapa kali menjalin hubungan dengan lawan jenis. Tapi semuanya selalu berakhir dengan kegagalan. Jika tak diselingkuhi, dia hanya dimanfaatkan.
2. Tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.
Dean mengangguk setelah membaca poin ke-dua. Dia setuju karena dia juga tidak mau urusannya dicampuri oleh Alya.
3. Tinggal terpisah dari orang tua.
"Gue nggak mungkin ninggalin nyokap gue." lirih Dean.
"Cih, anak mami." ejek Alya dan langsung mendapat lirikan maut dari pria di depannya itu. "Gue nggak mau kalau tiap hari harus akting mesra-mesraan sama lo. Gue nggak mau muntah tiap hari juga."
Asem. Umpat Dean dalam hati, tapi membenarkan juga ucapan Alya. Dia juga tidak mau bersandiwara terus-menerus.
4. Harus datang saat acara keluarga.
Lagi-lagi Dean menyetujui poin ini karena baginya keluarga adalah nomor satu.
Dean lalu mengambil pulpen di atas meja. Menuliskan beberapa kata di atas kertas. Selanjutnya memberikannya pada Alya.
5. Harus ada saat dibutuhkan.
Setelah membacanya, Alya melirik Dean lagi. Dibutuhkan yang bagaimana maksudnya? Ambigu sekali orang ini, batinnya.
×××××××××
Beberapa hari setelah pertemuan Dean dan Alya. Ibunya dan Om Ded-Ded itu sudah mengetahui jika mereka berdua menerima perjodohan. Ibu Lis terlihat sangat bahagia. Beliau bahkan sudah sibuk menghubungi saudara-saudaranya yang berada di Wonogiri.
Dean diam saja, dia tentu bungkam soal pernikahan kontrak itu. Bisa disembelih saat kurban nanti jika ibunya sampai tahu.
"Oh, udah pulang kamu, Mas?" Saking sibuknya di dapur dengan calon menantu, Ibu Lis sampai tidak tahu jika puteranya sudah pulang.
Dean hanya menatap sang ibu dan Alya bergantian. Misi apa yang sedang perempuan itu bawa saat ini? Ini terlalu cepat untuk pengakraban diri. Tanggal pernikahan mereka belum ditentukan.
"Alya, katanya pulang kerja mampir di toko kue. Lihat, Mama dibeliin Bolu talas." ucap Ibu Lis sumringah sambil menunjuk bolu berwarna ungu itu di meja.
Ibunya memang gampangan. Disogok bolu talas saja sudah senang bukan main.
Dean melirik Alya, gadis itu tersenyum simpul menatapnya.
"Lintang udah pulang, Buk?" tanyanya tanpa bergabung dengan mereka yang duduk di ruang makan. Pasalnya, adiknya itu tadi tak minta dijemput. Katanya akan pulang bersama temannya.
"Udah. Lagi sama temennya di kamar." jawab Ibu Lis lalu menoleh kepada Alya yang duduk di sampingnya. "Alya, nanti kamu makan malam di sini, ya."
Alya tersenyum canggung. "Maaf Tante, sebelum Magrib, Alya udah harus ada di rumah."
Cuih, pintar sekali perempuan ini bersandiwara. Sebelum Magrib sudah di rumah. Lalu yang joget-joget sampai larut malam itu siapa? Kloningannya? Batin Dean sudah muak. Pria itu lalu memilih untuk pergi dari sana dan menuju kamarnya yang terletak tak jauh dari dapur.
"Dean, nanti anterin Alya pulang, ya. Dia tadi naik ojek."
Langkah Dean terhenti di depan pintu kamarnya. Dari situ dia masih bisa melihat dua perempuan beda generasi itu. Sudah ingin melontarkan protes, tapi dia melihat senyum sinis Alya. Gadis itu mengejeknya dan dia harus membuat perhitungan. "Iya. Dean mandi dulu."
×
Tak lama, Dean hanya butuh waktu 15 menit untuk membersihkan diri. Setelah berganti baju dengan kaos pendek dan celana yang juga pendek. Pria itu sudah keluar dari kamar dengan membawa kunci mobilnya.
"Alya pulang dulu, ya, Ma."
Wow, secepat itu Alya merebut hati Ibu Lis. Tunggu, bukankah sejak Om Ded-Ded itu datang, Ibunya sudah senang bukan kepalang.
"Iya, besok main lagi, ya." Ibu Lis mengusap bahu Alya sembari mereka berjalan.
"Kak." Tiba-tiba ada sebuah suara dari arah tangga. Muncul Lintang dari balik tembok. "Kak Dean mau nganterin Kak Alya?""Iya." singkat saja jawaban Dean. Sejak kapan adiknya itu kenal dengan Alya?
"Sekalian titip temenku, ya, Kak. Anterin juga. Rumahnya deket kok." pinta gadis berkacamata itu serius. "Dian, kamu ikut Kakakku aja, ya." lanjut Lintang saat temannya sudah muncul dan berdiri di sampingnya.
Dian. Aisha Dianitha Pramono. Sejak kapan mereka berteman?
Bersambung.
Entah ungkapan apa yang tepat untuk menggambarkan situasinya saat ini. Dean merasa seperti tercekik. Isi kepalanya sudah penuh dengan rencana untuk membalas Alya. Tapi semuanya buyar saat ada Dian. Adik sahabatnya itu masih menguasai hatinya. Sejak tadi pria itu memilih diam dan fokus pada kemudinya. Alya yang duduk di sampingnya santai saja memainkan gawai. Gadis itu tadi sempat bercengkrama sebentar dengan Dian yang duduk di belakang.Mobil berhenti di pinggir jalan di depan sebuah rumah bernuansa klasik. Tak begitu besar karena pagarnya tak cukup tinggi dan Dean bisa melihat Om Ded-Ded itu di teras bersama seorang wanita, mungkin istrinya. Oh, berarti Om Ded-Ded itu tidak single."Mampir dulu, Nak." seru Om Ded-Ded itu dari tempatnya duduk.Dean akhirnya keluar untuk sekadar menyapa pria tua itu. Dia tidak mau dianggap tidak memiliki sopan santun. Dean meninggalkan Dian sendirian di dalam mobil.Tegur sapa itu hanya sebentar karena Dean beralasan harus
Tak langsung ke kamarnya saat ia sampai di rumah. Dean memilih naik ke kamar adik bungsunya, Lintang. Dia tadi langsung kabur setelah terjadi prahara di rumah Arya. Kinan dan Tiara ngambek kepada suami-suaminya. Sukurin, salah siapa menantang duluan."Dek, udah tidur?" tanyanya setelah mengetuk pintu itu dua kali."Belum, Kak." Terdengar jawaban dari dalam."Kakak boleh masuk?" tanya Dean lagi."Iya, Kak. Nggak dikunci kok."Dean membuka pintu itu. Melangkah masuk dan duduk di atas tempat tidur Lintang. Melihat adiknya yang masih sibuk belajar di meja belajarnya. "Gimana temenmu?"Lintang menoleh sebentar. "Iya, udah aku telpon tadi. Katanya juga mau ke toko buku. Udah sampai rumah kalau sekarang."Dean melongo, tapi dia masih bisa menutupi keterkejutannya. Kok bisa sama begitu. Dia tadi kan hanya mengarang saja.×××Ibu Lis dan Om Ded-Ded itu memang orang yang gercep sekali. Kini mereka semua sudah ada
"Turunin gue di depan situ aja."Dean menoleh ke samping kirinya. Melihat Alya yang menunjuk ke arah pinggir jalan. Mereka pulang berdua dengan dalih akan mencari baju pengantin. Berdua saja karena mereka tak mau diganggu. Pria itu sebenarnya heran dengan maksud Alya, tapi dia menepikan mobilnya juga."Gue tahu kalau lo lagi sibuk. Biar gue aja yang cari bajunya. Percaya sama gue, selera gue bagus." ucap Alya seraya melepaskan sabuk pengaman yang membelit badannya. Ia lalu membuka pintu.Dean mengangguk saja. Toh apa yang dikatakan Alya itu memang benar. Eh, tapi bagaimana bisa gadis itu tahu jika dia sedang sibuk. Apa memang kentara sekali jika dia sesibuk itu?×Pukul setengah empat sore, rapat dengan klien besar itu sudah selesai. Raka bilang dia boleh langsung pulang dan tak perlu kembali ke kantor. Katanya si bos itu juga akan langsung pulang. Kangen pada istri dan calon bayi kembar mereka begitu ucapnya. Dean bisa melihat dengan jelas k
Saya terima nikah dan kawinnya Alya Savira Wiryawan binti Dedi Wiryawan dengan mas kawin uang senilai dua juta dua puluh ribu rupiah dibayar tunai. Teringat akan ucapannya yang lantang dan mantap. Dean menggerakkan lehernya yang kaku. Sampai malam ini pun dia masih belum percaya jika statusnya sudah berganti. Dia kini sudah menikah. Dia menjadi suami dari seorang perempuan bernama Alya. Gadis santai yang menurutnya unik dan manis di saat tertentu. Dean melirik istrinya yang duduk di kursi kecil yang menghadap meja rias. Perempuan itu sedang mengeringkan rambutnya yang basah dengan bantuan hairdryer. Dengan tubuh yang dibalut handuk model kimono. Dean memperkirakan jika di dalamnya belum ada pakaian lain. Dasar memang. Sementara pria itu sendiri sejak tadi memilih tiduran di sofa sambil memainkan gawainya. Usai acara akad dan resepsi tadi, mereka pulang ke rumah keluarga Alya. "Lo nggak mandi?" tanya Alya tanpa menoleh. "Bentar." jawab Dean sek
Alya sudah sampai di teras, sementara Dean masih menurunkan barang bawaan mereka dari bagasi mobil. Sore di hari ke-tujuh mereka sah menjadi suami istri, mereka langsung pindah ke rumah baru. Atau lebih tepatnya rumah pinjaman dari Raka. Mereka beralasan pada kedua orang tua Alya jika mereka butuh waktu lebih banyak untuk berdua. Sebenarnya itu alasan Alya dan Dean hanya senyam-senyum menyetujui dengan segala cercaan dalam hati."Apa nggak kegedean ini rumah?" tanya Alya sambil mendongak, melihat lantai atas bangunan itu."Kecil begini dibilang gede." sahut Dean sambil memasukkan ujung kunci pada lubangnya.Alya membantu suaminya yang memasukkan koper-koper ke dalam rumah. Ada lima buah koper, satu milik Dean dan sisanya semua miliknya. Alya membawa pakaian, tas, sepatu dan peralatan make-upnya semua. Dean sempat protes tentang barang bawaan Alya yang begitu banyak, tapi kata Alya semua itu penting dan tidak boleh ada yang tertinggal. Daripada bolak-balik untuk
Hingar-bingar musik yang berdentam menyambut kedatangan Dean di salah satu club malam yang ia yakini didatangi oleh Alya. Club yang sama dengan club yang dulu sering ia kunjungi bersama para sahabatnya. Seingatnya dia juga sudah lama tidak datang kemari. Selain karena tiga temannya yang mendadak insaf, dia juga sudah merasa malas.Dean menyusul Alya setelah mondar-mandir seperti setrikaan listrik selama satu jam. Pria itu awalnya sudah menyibukkan diri dengan melanjutkan bermain game dan juga menghabiskan nasi gorengnya. Namun, entah kenapa pikirannya malah seperti terpusat pada Alya. Mendadak hatinya tidak tenang mengingat pakaian yang dikenakan wanita itu tadi. Dan juga jangan lupakan pria mesum yang menjemput istrinya itu. Dia tak berganti baju dengan pakaian khusus yang biasa ia gunakan jika pergi ke tempat maksiat ini. Dia tadi hanya berganti celana jeans dan mengambil jaket hitamnya.Dean menolak para wanita yang datang mendekatinya. Jika dulu dia akan dengan sen
Mobil berhenti di carport rumah minimalis itu. Alya keluar lebih dulu tanpa menunggu Dean. Namun, dia tidak bisa masuk ke rumah karena ternyata pintunya dikunci.Sementara Dean baru turun dari mobil. Sambil berjalan pria itu terus menatap istrinya dengan tatapan yang cukup tajam. Dean masih emosi dengan tingkah Alya. Wajah istrinya itu memang cantik, tapi kelakuannya membuat kepalanya hampir pecah. Sebagai seorang lelaki yang kodratnya suka melihat pemandangan yang indah-indah dari lawan jenis, Dean juga suka seperti kebanyakan pria lain, tapi tidak untuk perempuan yang statusnya ada hubungan dengannya. Dari dulu dia sangat mewanti-wanti kedua adiknya dalam berpakaian. Meski mereka tak berjilbab, tapi mereka menurut dengan memakai pakaian yang sopan. Dan ini, perempuan yang di mata hukum dan agama sah sebagai istrinya malah pamer body di depan semua orang."Gua nggak suka lo kayak tadi." ucap Dean saat mereka melangkah ke dalam. Dia tak menu
Setelah bersitegang beberapa menit perihal galon air minum. Akhirnya Dean mengantar Alya dengan mobilnya. Dean menunggu istrinya itu di parkiran minimarket. Pria tersebut memang tidak ikut masuk. Katanya, dia tidak suka belanja. Apalagi untuk kebutuhan rumah tangga.Rumah tangga?Ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus. Menyulut dengan korek api dan menghisapnya. Dean menikmatinya, hanya rokok yang bisa menghilangkan kepenatan. Terkadang masih belum percaya jika kini dia sudah menikah. Sudah menyandang gelar sebagai seorang suami hanya demi membahagiakan sang ibu. Bahkan dalam hatinya saja masih dipenuhi oleh Dian. Gadis manis yang sudah menolaknya mentah-mentah.Menyender pada badan mobil di bagian samping pintu kemudi. Menghisap asap rokok melalui mulut dan ia keluarkan lewat hidung. Sambil kedua matanya melihat ke arah jalan raya yang dilalui banyak kendaraan. Tak lama, ada sebuah mobil putih yang berbelok memasuk
Dean mendorong troli belanja dengan Ana yang duduk di dalamnya. Sesekali pria itu memaju-mundurkan troli hingga tawa Ana yang gemelikik terdengar renyah. Anak itu suka dengan salah satu wahana permainannya ini. Semacam sudah hapal, Ana akan minta naik ke atas troli ketika mereka akan belanja bulanan. Agak di depan, Alya tak jarang mengomel pelan. Selalu mengingatkan sang suami agar tetap menjaga keselamatan sang buah hati. Di saat seperti itu hanya decakan kesal yang Dean berikan, tanpa disuruh pun dia akan menjaga keselamatan Ana.Usia kandungan Alya sudah lima bulan. Perutnya sudah terlihat dari balik gamis panjang yang ia kenakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Alya dan bayi di dalam kandungannya semua baik-baik saja. Dean mengucap syukur. Allah memang Maha Baik."Jangan kenceng-kenceng, Ana lagi makan.""Mama bawel." Dean pura-pura berbisik pada Ana yang sudah mengunyah biskuit coklat. Ketika ibunya menaruh makanan ke dalam troli, bocah yang s
Sebelah tangan jatuh di pangkuan Dean. Pria itu menoleh ke samping kiri, menatap sang istri yang menyandar lemah di bahunya. "Capek banget, tolong pijitin sebentar, Kang."Alya Savira Wiryawan.Perempuan cantik yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidup seorang Dean Giriandra. Datang saat hati Dean baru dibuat patah sepatah-patahnya. Dean tidak pernah menyangka jika akhirnya dia bisa jatuh cinta kepada istrinya tersebut. Bagi Dean, cinta datang karena terbiasa bersama itu tidak ada dalam kamusnya.Tentang Dian, Dean tak mau menampik jika di dalam hatinya masih tersimpan sedikit tempat untuk gadis itu. Adik sahabatnya yang manis dan mampu menggetarkan hatinya di saat ia baru mulai mengenal apa itu cinta. Dean sudah berusaha sekuat tenaga. Dia sudah jatuh dalam pesona seorang Alya, tapi Dian, dia tetap istimewa.Serakah? Tidak. Dean tidak pernah ingin memiliki keduanya.Alya sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk semua. Alya yang begitu hebat ketika
Seminggu kemudian, Alya dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Dan yang membuat Dean terkejut adalah para sahabatnya sudah ada di sana. Setelah ditelisik, ternyata itu adalah kerjasama antara Raka dengan Ibu Lis. Bosnya itu juga sudah mengubah kamar kosong di lantai bawah menjadi sebuah kamar anak yang bernuansa pink. Khusus untuk Ana, kata Ara waktu mereka sampai di rumah."Om, ini yang pilih aku lho." ucap Ara menunjuk sebuah boneka beruang seukuran melebihi badannya yang berwarna pink. "Ini juga aku... Ini, ini, ini juga." imbuhnya sambil menunjuk sebuah lemari pakaian kecil, lemari mainan dan sofa mini. Semuanya berwarna merah muda.Dean berlutut di depan Ara. Ia mengusak poni yang menutup dahi. "Oh ya? Ara ikut Papa sama Om Raka belanja?"Ara mengangguk semangat hingga poninya terayun. "Heem, Ara ikut bikin juga. Ara juga punya boneka yang kayak gini." ujarnya yang sekarang sudah tak cadel lagi. Dia sudah bisa mengucap huruf R dengan cukup jelas. Anak itu
Dua hari setelah Alya sadar dari koma. Kini dia sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Bertemu langsung dengan anaknya. Perempuan itu menangis lagi, tak bisa membendung keharuan yang menyelimuti. Sekali lagi, tak bosan ia mengucap terima kasih kepada Sang Maha Pencipta."Ayo... Ayo Ana pinter... Cucunya Mbah Uti pinter." Ibu Lis membantu Alya yang sedang menyusui Ana. Bayi itu bingung puting karena sebelumnya sudah minum menggunakan botol susu. Putingnya kali ini tak sebesar puting buatan pabrik.Alya terus menyodorkan dadanya. Air susunya sudah deras, tapi Ana malah menangis tak mau menyedot. Tiba-tiba Ibu Lis mendekatkan posisi wajah Ana ke dada sang ibu. Beliau memasukkan puting Alya ke dalam mulut Ana yang terbuka. Bayi itu masih menolak. Tangisnya semakin kencang. Alya sendiri juga sudah tak tega. Namun, Ibu Lis tak menyerah begitu saja. "Masukin, Al. Biar asinya nggak ada yang keluar. Masak orang segini banyak kalah sama bayi." ucapnya gemas. "Nah begitu.
Kematian adalah perpisahan paling kejam. Jauhnya jarak tak akan bisa ditempuh dengan kendaraan apapun"Al, jangan pergi, Al. Jangan tinggalin kita... Ana gimana kalau kamu pergi."Gelisah, panik, takut, kosong.Dean meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan suhu tubuhnya yang hangat. Pria itu masih menangis di samping tubuh istrinya yang dingin."Al!"Plak plak."Bangun woe...!"Terperangah bangun ketika ia merasakan sakit di lengannya. Seketika kepalanya juga terasa sangat pusing. Dadanya berdegup kencang. Badannya lemas. Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan putih itu. Ada ibu, ayah mertua dan sahabat beserta istrinya masing-masing. Kinan menggendong Ana dan Tiara berada di dekatnya. Mereka semua nampak bingung membalas tatapannya.Dean lalu beralih melihat ranjang pasien. Kosong. Benarkah Alya sudah pergi meninggalkannya? Meninggalkan anaknya juga?"Dih nangis."Dean menutu
"Kira-kira nanti aku bisa masuk surga, nggak ya?"Dean menoleh kepada istrinya yang masih memakai mukena. Seusai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Alya bertanya seperti itu. "Ngomong apa kamu?" Pria itu mendekap badan sang istri dari samping."Aku dulu nggak pernah sholat. Sering keluar malem. Mabuk juga... Aku pikir ini emang cara Allah ngehukum aku. Telat banget nggak sih? Aku inget Allah pas keadaanku udah begini?"Dean mengusap-usap bahu Alya, tak melarang wanita itu menangis di dadanya. Jika bicara dosa, dia lebih banyak berdosa. Tak hanya meninggalkan kewajiban lima waktu, mabuk dan keluar malam. Dean juga berzina. Jujur, sama seperti Alya. Dia juga baru ingat untuk menjalankan perintah-Nya setelah keadaan seperti ini. Lelaki tersebut sekarang rajin memohon kepada Allah, semoga istri dan anaknya selamat semua. Semoga nanti mereka berdua bisa mendampingi anak mereka melihat dunia. Egois, tak tahu diri...ya itulah dia. Ibaratnya baru sekali mendekat, tapi su
Dua bulan lagi, Alya melingkari kalender di tangannya. Kurang lebih hanya tinggal enam puluh hari lagi dan dia akan bertemu dengan anaknya. Minggu lalu sudah diadakan acara tujuh bulanan. Alya berdoa, semoga nanti anaknya baik-baik saja.Pemeriksaan telah rutin dilakukan. Bahkan yang terakhir, Alya sampai di tes darah dan urine. Tekanan darahnya tinggi dan hal itulah yang sangat dikhawatirkan."Jangan banyak pikiran, nanti kalau sudah cukup umur. Bayinya bisa segera dilahirkan tanpa menunggu hari perkiraan lahir."Begitu kata sang dokter, membeberkan fakta dan sedikit menghiburnya.Namun, bagaimana caranya untuk tetap bersikap tenang? Kepalanya sudah penuh dengan segala kemungkinan yang ada.Bagaimana jika anaknya tak bisa bertahan?Bagaimana jika dia yang tenyata dipanggil duluan?Bagaimana jika mereka tak bisa saling menjaga satu sama lain?Hasil pemeriksaan USG menyatakan jika anaknya berjenis kelamin perempuan. Wanita itu meras
Alya mengelus perutnya dengan perlahan. Di sampingnya sang suami masih fokus menyetir. Pikiran mereka mengelana tanpa tahu ujungnya.Kehamilan Alya sudah lima bulan lebih. Perutnya sudah membuncit dan terlihat lucu. Dean sering memainkannya jika akan tidur. Sering mengajaknya bicara pula. Saat-saat seperti itu adalah waktu yang membuat keduanya sangat dekat.Mobil berhenti di carport rumah. Dari kejauhan azan isya terdengar berkumandang. Seperti bulan-bulan sebelumnya jika waktu cek kehamilan tiba, sepulang dari kantor mereka akan langsung ke rumah sakit. Sekalian jalan, begitu kata Alya.Bulan pertama sampai ke-empat semua berjalan lancar. Meski Alya selalu kelelahan dan mual, tapi kandungannya terdeteksi baik-baik saja. Hingga sampailah pada pemeriksaan yang ke-lima. Dokter menyatakan jika Alya terkena preeklamsia, keadaan dimana kehamilannya ini sangat beresiko tinggi baik bagi janin maupun ibunya. Ternyata wajahnya yang dulu bengkak itu adalah sa
"Gue cuma makan siang sama dia. Nggak usah lebay deh." Alya membanting tasnya ke atas sofa ruang tamu. Lalu duduk sembari melepaskan sepatu pantofelnya.Suaminya itu marah, tak berhenti mengomel sejak ia naik ke mobil. Hanya karena tadi siang ia pergi makan siang dengan Alex. Alya sudah mengirim pesan pada Dean, tapi pria itu tak membacanya. Ponselnya tertinggal di kantor saat pergi ke kantor Alya, katanya. Pertengkaran memang seolah tak mau pergi dari kehidupan rumah tangga mereka.Sebenarnya yang salah siapa? Alya sudah mengirim pesan, tapi tak dibaca oleh si penerima. Atau ponsel yang tertinggal di meja."Gue udah WA lo juga ngasih tahu kalau lo nggak usah jemput ataupun bawain makanan buat gue. Salah gue dimana?" Penjelasan dari Alya diakhiri dengan kalimat tanya pembelaan diri."Salah lo karena nggak ngabarin gue dari pagi. Lo WA pas gue udah jalan ke kantor lo." sergah Dean tak mau mengalah. Marah, cemburu bercampur menjadi satu seperti es buah di d