Entah ungkapan apa yang tepat untuk menggambarkan situasinya saat ini. Dean merasa seperti tercekik. Isi kepalanya sudah penuh dengan rencana untuk membalas Alya. Tapi semuanya buyar saat ada Dian. Adik sahabatnya itu masih menguasai hatinya. Sejak tadi pria itu memilih diam dan fokus pada kemudinya. Alya yang duduk di sampingnya santai saja memainkan gawai. Gadis itu tadi sempat bercengkrama sebentar dengan Dian yang duduk di belakang.
Mobil berhenti di pinggir jalan di depan sebuah rumah bernuansa klasik. Tak begitu besar karena pagarnya tak cukup tinggi dan Dean bisa melihat Om Ded-Ded itu di teras bersama seorang wanita, mungkin istrinya. Oh, berarti Om Ded-Ded itu tidak single.
"Mampir dulu, Nak." seru Om Ded-Ded itu dari tempatnya duduk.
Dean akhirnya keluar untuk sekadar menyapa pria tua itu. Dia tidak mau dianggap tidak memiliki sopan santun. Dean meninggalkan Dian sendirian di dalam mobil.
Tegur sapa itu hanya sebentar karena Dean beralasan harus mengantar teman adiknya. Dan hal itu juga langsung diiyakan oleh Alya. Pria itu bahkan tak mau duduk barang sebentar.
Dean kembali masuk ke dalam mobilnya. Ia lirik Dian yang masih duduk di belakang sambil memejamkan mata. Kenapa gadis itu? Apa dia sakit? tanya Dean dalam hati.
Mobil melaju kembali dengan perlahan. Sampai di belokan gang, kendaraan itu berhenti lagi. Dean melirik Dian dari kaca spion tengah. Gadis berjilbab warna mocca itu kini sudah membuka mata. "Pindah ke depan, Di." ucapnya memerintah dengan lembut. Dia tidak mau jadi sopir.
"Di sini aja, Kak." jawab Dian lalu mengalihkan pandangannya ke luar mobil. Dean bisa melihat itu, lagi-lagi dari pantulan kaca spion tengah. Dian duduk tepat di belakang Dean.
"Kakak bukan sopir kamu." sahut Dean menyerukan isi hatinya tadi. Masih betah pria itu menatap spion.
Dian balas menatap mata Dean. Mereka bertatapan dengan kaca spion sebagai perantaranya. Dean tidak membalikkan badannya, pria itu duduk santai di depan. Cukup lama mereka begitu sampai akhirnya Dian memutar mata malas. Gadis itu membuka pintu mobil dan keluar.
Blam.
Cukup keras Dian menutup pintu mobilnya. Atau itu bisa juga disebut bantingan. Dean hanya tersenyum saja lalu menunduk, membuka ponselnya ketika benda itu mengeluarkan bunyi klunthing tanda ada pesan masuk.
Arya
[Makan malem di rumah gue gaes.]Raka
[Harus bawa gandengan.]Asem. Umpatan keluar dari dalam hati Dean. Raka memang senang jika dia menderita. Oh ya, bukankah ada Dian. Mereka semua pasti kaget nanti saat dia datang dengan Dian.
Dean mengangkat wajahnya demi melihat Dian yang akan memasuki mobil. Pria itu mengerutkan dahinya ketika tak mendapati gadis itu ada di sekitar kendaraannya. Dengan cepat ia melepaskan sabuk pengaman dan keluar. Tengok kanan-kiri, depan dan belakang mencari sosok Dian. "Di ...." teriaknya memanggil Dian yang sudah menaiki ojek online dan pergi meninggalkannya.
×××
Duduk di atas karpet dan menyender di kaki sofa, di ruang keluarga. Dean melihat Ara dan Gibran yang sedang bermain dakon. Kinan dan Tiara sedang menyiapkan makan malam. Arya dan Raka sedang ada di kamar Gibran. Katanya Raka ingin melihat hasil karyanya. Pret, palingan nanti juga menghujat.
"Taruh di sini dulu biar nggak kececer." ucap Dean memberi saran pada Ara karena anak itu terlihat kesulitan menggenggam biji-biji dakon yang lumayan banyak. Dean menunjuk permukaan karpet. "Tangan kamu, sih, kecil." lanjutnya lagi. Ara adalah bocah gemuk, tentu tangannya juga gembul seperti pipinya.
Ara menggeleng tak mau diganggu. Dia sedang fokus menaruh biji-biji dakon di dalam masing-masing lingkaran. Mengambil satu-satu dari tangan kirinya. "Nggak mau, nanti diambil Om Dean."
Dean mencebik. "Ya udah, taruh sini aja kalau gitu." serunya sambil membuka tangan kirinya.
Ara menoleh sebentar. Kedua matanya yang bulat hampir tertutup poni. Bocah itu lalu mengerjap lucu. Kemudian ia memberikan biji-biji dakon itu kepada Dean. Selanjutnya ia mengambil satu-satu dan menaruhnya di lingkaran. Membuat Gibran menghela napas jengah karena Ara terlalu lama.
Bagaimana ini? Tadi saja khawatir diambil Om Dean, kini bocah itu malah memberikannya pada Dean. Dasar Ara.
"Gandenganmu mana, Mas?" tanya Raka seperti biasa mengejek Dean. Tawa jenakanya keluar. Mereka berdua baru turun dari lantai atas.
Dean memutar bola matanya malas. Pertanyaan itu tak butuh jawaban. Pria itu meraih gawainya dan mengirimkan pesan pada adiknya. Mengetik dengan tangan kanannya.
[Tanyain temenmu tadi udah sampai rumah belum. Dia tadi minta diturunin di jalan. Katanya mau ke toko buku.]
Tidak mungkin Dean jujur jika Dian tiba-tiba pergi setelah ia suruh pindah duduk.
"Lho, mau dibawa ke mana?"
Dean mendongak, mengalihkan perhatiannya pada suara Tiara yang terdengar di telinganya. Terlihat Raka yang membawa piring-piring yang ada di meja makan menuju ke ruang keluarga.
"Makan di bawah aja." jawab Raka sambil menaruh piring itu di meja pendek, di samping Dean duduk.
Dean tak mau ikut campur. Mungkin Raka sedang ngidam ingin makan lesehan. Pria itu lalu beralih pada Ara dan Gibran lagi. Biji-biji dakon di tangannya masih ada. Ara memang terlalu lama. Gibran bahkan sampai menekuk siku menompang dagunya.
"Ayo, Kak Ara sama Kak Gibran cuci tangan dulu." seru Arya memerintah dan langsung diangguki oleh kedua bocah itu. Ara masih meninggalkan dua biji dakon di tangannya.
×
Makan malam berjalan dengan damai walau tanpa kehadiran Elyas dan istrinya. Mereka semua begitu menikmati masakan Kinan dan Tiara. Ikan bakar disandingkan dengan sambal, siapa yang bisa menolak kenikmatan dunia itu.
"Huh, pedesnya." tukas Raka sambil meneguk air minum langsung dari botol.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Dean. Sambal buatan Kinan memang pedas. Kata Arya bukan pedas, tapi sambalnya galak, sama galaknya seperti yang membuat. "Level seratus ini namanya." seru Dean menimpali. Keringat di mukanya sudah sebiji jagung.
Raka mengangguk setuju. Tapi tak ada niat dari mereka untuk menyudahi makan. Pantang mundur sebelum tandas.
"Kalau nggak pedes, namanya bukan sambel." ucap Tiara yang sama sekali tidak kepedasan. Wanita itu memang hanya makan sambal sedikit.
Kinan yang mendengarnya hanya tersenyum simpul. Dia dengan Arya sibuk mengawasi Ara dan Gibran. Jangan sampai anak-anak itu menelan duri ikan.
Malam ini adalah malam paling mengenaskan bagi Dean. Oke, dia memang menikmati hidangan. Tapi melihat kebersamaan Arya, Kinan dan anak-anaknya. Lalu Raka yang duduk menempel pada Tiara, membuat dia jadi iri. Dia memang akan menikah sebentar lagi. Tapi sayangnya bukan dengan gadis yang dicintainya.
"An, ngomong-ngomong Hara masih nanyain lo. Kemarin lusa gue ketemu dia." seru Raka yang sudah selesai makan.
Dean mengunyah nasi terakhirnya dengan santai. Sudah dibilang dia tidak bisa dengan orang militer, masih saja membicarakan hal itu.
"Bukannya dia udah nikah, ya?" tanya Arya. Dia tahu karena suami Hara adalah adik dari kenalannya.
Raka mengangguk sambil mengusap keringat di dahinya. "Hooh, tapi masih nanyain Dean. Tahu tuh anak mau ngapain."
"Ya Allah, lindungilah hambamu ini dari godaan istri orang." Dean menengadahkan kedua tangannya yang masih basah. "Jangan jadikan hamba pebinor, Ya Allah." sambungnya lagi.
"Amin." cicit Ara masih sambil mengunyah makanannya. Bocah itu menatap Dean dengan matanya yang lucu.
Dean tersenyum karena doanya ada yang mengamini. "Terima kasih Ara cantik. Duhh, gemesnya... jadi pengen cubit tantenya deh." ucapnya tak nyambung.
Raka tertawa dan Arya hanya menggeleng saja. Sementara Kinan dan Tiara saling berpandangan tak mengerti.
"Gue yakin kalau lo nembak Dian pasti ditolak." seloroh Raka masih sambil tertawa.
Dean diam saja. Ucapan Raka memang benar.
"Dian orangnya alusan, lah lo ...." sambung Raka lagi.
"Heleh, gua dulu itu anak polos. Lo berdua tuh yang bikin gue terkontaminasi." sahut Dean membela diri. "Ayo, Yan. Gue yang bayarin deh. Lo harus cobain, nanti pasti mau lagi. Gue beliin yang masih ting-ting." ucapnya meniru perkataan Raka dan Arya yang dulu mengajaknya masuk ke lembah kesesatan dan kenikmatan. Bibirnya sampai miring-miring. "Lo berdua alusan juga baru sekarang. Nggak usah sombong. Lo dulu juga penebar be... Hmmph."
Mulutnya tersumpal tempe goreng dan kerupuk disaat yang bersamaan. Tempe dari Raka dan kerupuk dari Arya.
Bersambung.
Tak langsung ke kamarnya saat ia sampai di rumah. Dean memilih naik ke kamar adik bungsunya, Lintang. Dia tadi langsung kabur setelah terjadi prahara di rumah Arya. Kinan dan Tiara ngambek kepada suami-suaminya. Sukurin, salah siapa menantang duluan."Dek, udah tidur?" tanyanya setelah mengetuk pintu itu dua kali."Belum, Kak." Terdengar jawaban dari dalam."Kakak boleh masuk?" tanya Dean lagi."Iya, Kak. Nggak dikunci kok."Dean membuka pintu itu. Melangkah masuk dan duduk di atas tempat tidur Lintang. Melihat adiknya yang masih sibuk belajar di meja belajarnya. "Gimana temenmu?"Lintang menoleh sebentar. "Iya, udah aku telpon tadi. Katanya juga mau ke toko buku. Udah sampai rumah kalau sekarang."Dean melongo, tapi dia masih bisa menutupi keterkejutannya. Kok bisa sama begitu. Dia tadi kan hanya mengarang saja.×××Ibu Lis dan Om Ded-Ded itu memang orang yang gercep sekali. Kini mereka semua sudah ada
"Turunin gue di depan situ aja."Dean menoleh ke samping kirinya. Melihat Alya yang menunjuk ke arah pinggir jalan. Mereka pulang berdua dengan dalih akan mencari baju pengantin. Berdua saja karena mereka tak mau diganggu. Pria itu sebenarnya heran dengan maksud Alya, tapi dia menepikan mobilnya juga."Gue tahu kalau lo lagi sibuk. Biar gue aja yang cari bajunya. Percaya sama gue, selera gue bagus." ucap Alya seraya melepaskan sabuk pengaman yang membelit badannya. Ia lalu membuka pintu.Dean mengangguk saja. Toh apa yang dikatakan Alya itu memang benar. Eh, tapi bagaimana bisa gadis itu tahu jika dia sedang sibuk. Apa memang kentara sekali jika dia sesibuk itu?×Pukul setengah empat sore, rapat dengan klien besar itu sudah selesai. Raka bilang dia boleh langsung pulang dan tak perlu kembali ke kantor. Katanya si bos itu juga akan langsung pulang. Kangen pada istri dan calon bayi kembar mereka begitu ucapnya. Dean bisa melihat dengan jelas k
Saya terima nikah dan kawinnya Alya Savira Wiryawan binti Dedi Wiryawan dengan mas kawin uang senilai dua juta dua puluh ribu rupiah dibayar tunai. Teringat akan ucapannya yang lantang dan mantap. Dean menggerakkan lehernya yang kaku. Sampai malam ini pun dia masih belum percaya jika statusnya sudah berganti. Dia kini sudah menikah. Dia menjadi suami dari seorang perempuan bernama Alya. Gadis santai yang menurutnya unik dan manis di saat tertentu. Dean melirik istrinya yang duduk di kursi kecil yang menghadap meja rias. Perempuan itu sedang mengeringkan rambutnya yang basah dengan bantuan hairdryer. Dengan tubuh yang dibalut handuk model kimono. Dean memperkirakan jika di dalamnya belum ada pakaian lain. Dasar memang. Sementara pria itu sendiri sejak tadi memilih tiduran di sofa sambil memainkan gawainya. Usai acara akad dan resepsi tadi, mereka pulang ke rumah keluarga Alya. "Lo nggak mandi?" tanya Alya tanpa menoleh. "Bentar." jawab Dean sek
Alya sudah sampai di teras, sementara Dean masih menurunkan barang bawaan mereka dari bagasi mobil. Sore di hari ke-tujuh mereka sah menjadi suami istri, mereka langsung pindah ke rumah baru. Atau lebih tepatnya rumah pinjaman dari Raka. Mereka beralasan pada kedua orang tua Alya jika mereka butuh waktu lebih banyak untuk berdua. Sebenarnya itu alasan Alya dan Dean hanya senyam-senyum menyetujui dengan segala cercaan dalam hati."Apa nggak kegedean ini rumah?" tanya Alya sambil mendongak, melihat lantai atas bangunan itu."Kecil begini dibilang gede." sahut Dean sambil memasukkan ujung kunci pada lubangnya.Alya membantu suaminya yang memasukkan koper-koper ke dalam rumah. Ada lima buah koper, satu milik Dean dan sisanya semua miliknya. Alya membawa pakaian, tas, sepatu dan peralatan make-upnya semua. Dean sempat protes tentang barang bawaan Alya yang begitu banyak, tapi kata Alya semua itu penting dan tidak boleh ada yang tertinggal. Daripada bolak-balik untuk
Hingar-bingar musik yang berdentam menyambut kedatangan Dean di salah satu club malam yang ia yakini didatangi oleh Alya. Club yang sama dengan club yang dulu sering ia kunjungi bersama para sahabatnya. Seingatnya dia juga sudah lama tidak datang kemari. Selain karena tiga temannya yang mendadak insaf, dia juga sudah merasa malas.Dean menyusul Alya setelah mondar-mandir seperti setrikaan listrik selama satu jam. Pria itu awalnya sudah menyibukkan diri dengan melanjutkan bermain game dan juga menghabiskan nasi gorengnya. Namun, entah kenapa pikirannya malah seperti terpusat pada Alya. Mendadak hatinya tidak tenang mengingat pakaian yang dikenakan wanita itu tadi. Dan juga jangan lupakan pria mesum yang menjemput istrinya itu. Dia tak berganti baju dengan pakaian khusus yang biasa ia gunakan jika pergi ke tempat maksiat ini. Dia tadi hanya berganti celana jeans dan mengambil jaket hitamnya.Dean menolak para wanita yang datang mendekatinya. Jika dulu dia akan dengan sen
Mobil berhenti di carport rumah minimalis itu. Alya keluar lebih dulu tanpa menunggu Dean. Namun, dia tidak bisa masuk ke rumah karena ternyata pintunya dikunci.Sementara Dean baru turun dari mobil. Sambil berjalan pria itu terus menatap istrinya dengan tatapan yang cukup tajam. Dean masih emosi dengan tingkah Alya. Wajah istrinya itu memang cantik, tapi kelakuannya membuat kepalanya hampir pecah. Sebagai seorang lelaki yang kodratnya suka melihat pemandangan yang indah-indah dari lawan jenis, Dean juga suka seperti kebanyakan pria lain, tapi tidak untuk perempuan yang statusnya ada hubungan dengannya. Dari dulu dia sangat mewanti-wanti kedua adiknya dalam berpakaian. Meski mereka tak berjilbab, tapi mereka menurut dengan memakai pakaian yang sopan. Dan ini, perempuan yang di mata hukum dan agama sah sebagai istrinya malah pamer body di depan semua orang."Gua nggak suka lo kayak tadi." ucap Dean saat mereka melangkah ke dalam. Dia tak menu
Setelah bersitegang beberapa menit perihal galon air minum. Akhirnya Dean mengantar Alya dengan mobilnya. Dean menunggu istrinya itu di parkiran minimarket. Pria tersebut memang tidak ikut masuk. Katanya, dia tidak suka belanja. Apalagi untuk kebutuhan rumah tangga.Rumah tangga?Ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus. Menyulut dengan korek api dan menghisapnya. Dean menikmatinya, hanya rokok yang bisa menghilangkan kepenatan. Terkadang masih belum percaya jika kini dia sudah menikah. Sudah menyandang gelar sebagai seorang suami hanya demi membahagiakan sang ibu. Bahkan dalam hatinya saja masih dipenuhi oleh Dian. Gadis manis yang sudah menolaknya mentah-mentah.Menyender pada badan mobil di bagian samping pintu kemudi. Menghisap asap rokok melalui mulut dan ia keluarkan lewat hidung. Sambil kedua matanya melihat ke arah jalan raya yang dilalui banyak kendaraan. Tak lama, ada sebuah mobil putih yang berbelok memasuk
"Wah pengantin baru sumringah banget nih."Setibanya di lobby kantor, Dean langsung disambut oleh Raka. Sahabatnya itu meringis, memamerkan giginya yang rapi. Entah menertawakan pernikahannya atau benar-benar ikut bahagia."Hmm." gumam Dean membalas singkat. Ia jalan terus melewati tempat Raka berdiri."Asem."Umpatan Raka masih bisa didengar jelas olehnya. Dean tak mau ambil pusing. Ini adalah hari pertamanya bekerja seusai mengambil cuti selama sepuluh hari. Dia tidak mau moodnya hancur hanya karena Raka.Kejadian tempo hari masih terekam jelas di otaknya. Saat ia mengantar Alya ke minimarket dan malah bertemu Dian di sana. Adik sahabatnya itu tampak bukan seperti Dian yang biasanya. Dian yang baik, ceria dan murah senyum berubah menjadi gadis super jutek. Dan sialnya, walaupun begitu masih tetap saja bisa menggetarkan hatinya."Rasanya nggak pakai karet gimana?"Setelah menekan tombol lift, Dean menoleh. Mendapati Raka yang sudah m
Dean mendorong troli belanja dengan Ana yang duduk di dalamnya. Sesekali pria itu memaju-mundurkan troli hingga tawa Ana yang gemelikik terdengar renyah. Anak itu suka dengan salah satu wahana permainannya ini. Semacam sudah hapal, Ana akan minta naik ke atas troli ketika mereka akan belanja bulanan. Agak di depan, Alya tak jarang mengomel pelan. Selalu mengingatkan sang suami agar tetap menjaga keselamatan sang buah hati. Di saat seperti itu hanya decakan kesal yang Dean berikan, tanpa disuruh pun dia akan menjaga keselamatan Ana.Usia kandungan Alya sudah lima bulan. Perutnya sudah terlihat dari balik gamis panjang yang ia kenakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Alya dan bayi di dalam kandungannya semua baik-baik saja. Dean mengucap syukur. Allah memang Maha Baik."Jangan kenceng-kenceng, Ana lagi makan.""Mama bawel." Dean pura-pura berbisik pada Ana yang sudah mengunyah biskuit coklat. Ketika ibunya menaruh makanan ke dalam troli, bocah yang s
Sebelah tangan jatuh di pangkuan Dean. Pria itu menoleh ke samping kiri, menatap sang istri yang menyandar lemah di bahunya. "Capek banget, tolong pijitin sebentar, Kang."Alya Savira Wiryawan.Perempuan cantik yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidup seorang Dean Giriandra. Datang saat hati Dean baru dibuat patah sepatah-patahnya. Dean tidak pernah menyangka jika akhirnya dia bisa jatuh cinta kepada istrinya tersebut. Bagi Dean, cinta datang karena terbiasa bersama itu tidak ada dalam kamusnya.Tentang Dian, Dean tak mau menampik jika di dalam hatinya masih tersimpan sedikit tempat untuk gadis itu. Adik sahabatnya yang manis dan mampu menggetarkan hatinya di saat ia baru mulai mengenal apa itu cinta. Dean sudah berusaha sekuat tenaga. Dia sudah jatuh dalam pesona seorang Alya, tapi Dian, dia tetap istimewa.Serakah? Tidak. Dean tidak pernah ingin memiliki keduanya.Alya sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk semua. Alya yang begitu hebat ketika
Seminggu kemudian, Alya dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Dan yang membuat Dean terkejut adalah para sahabatnya sudah ada di sana. Setelah ditelisik, ternyata itu adalah kerjasama antara Raka dengan Ibu Lis. Bosnya itu juga sudah mengubah kamar kosong di lantai bawah menjadi sebuah kamar anak yang bernuansa pink. Khusus untuk Ana, kata Ara waktu mereka sampai di rumah."Om, ini yang pilih aku lho." ucap Ara menunjuk sebuah boneka beruang seukuran melebihi badannya yang berwarna pink. "Ini juga aku... Ini, ini, ini juga." imbuhnya sambil menunjuk sebuah lemari pakaian kecil, lemari mainan dan sofa mini. Semuanya berwarna merah muda.Dean berlutut di depan Ara. Ia mengusak poni yang menutup dahi. "Oh ya? Ara ikut Papa sama Om Raka belanja?"Ara mengangguk semangat hingga poninya terayun. "Heem, Ara ikut bikin juga. Ara juga punya boneka yang kayak gini." ujarnya yang sekarang sudah tak cadel lagi. Dia sudah bisa mengucap huruf R dengan cukup jelas. Anak itu
Dua hari setelah Alya sadar dari koma. Kini dia sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Bertemu langsung dengan anaknya. Perempuan itu menangis lagi, tak bisa membendung keharuan yang menyelimuti. Sekali lagi, tak bosan ia mengucap terima kasih kepada Sang Maha Pencipta."Ayo... Ayo Ana pinter... Cucunya Mbah Uti pinter." Ibu Lis membantu Alya yang sedang menyusui Ana. Bayi itu bingung puting karena sebelumnya sudah minum menggunakan botol susu. Putingnya kali ini tak sebesar puting buatan pabrik.Alya terus menyodorkan dadanya. Air susunya sudah deras, tapi Ana malah menangis tak mau menyedot. Tiba-tiba Ibu Lis mendekatkan posisi wajah Ana ke dada sang ibu. Beliau memasukkan puting Alya ke dalam mulut Ana yang terbuka. Bayi itu masih menolak. Tangisnya semakin kencang. Alya sendiri juga sudah tak tega. Namun, Ibu Lis tak menyerah begitu saja. "Masukin, Al. Biar asinya nggak ada yang keluar. Masak orang segini banyak kalah sama bayi." ucapnya gemas. "Nah begitu.
Kematian adalah perpisahan paling kejam. Jauhnya jarak tak akan bisa ditempuh dengan kendaraan apapun"Al, jangan pergi, Al. Jangan tinggalin kita... Ana gimana kalau kamu pergi."Gelisah, panik, takut, kosong.Dean meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan suhu tubuhnya yang hangat. Pria itu masih menangis di samping tubuh istrinya yang dingin."Al!"Plak plak."Bangun woe...!"Terperangah bangun ketika ia merasakan sakit di lengannya. Seketika kepalanya juga terasa sangat pusing. Dadanya berdegup kencang. Badannya lemas. Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan putih itu. Ada ibu, ayah mertua dan sahabat beserta istrinya masing-masing. Kinan menggendong Ana dan Tiara berada di dekatnya. Mereka semua nampak bingung membalas tatapannya.Dean lalu beralih melihat ranjang pasien. Kosong. Benarkah Alya sudah pergi meninggalkannya? Meninggalkan anaknya juga?"Dih nangis."Dean menutu
"Kira-kira nanti aku bisa masuk surga, nggak ya?"Dean menoleh kepada istrinya yang masih memakai mukena. Seusai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Alya bertanya seperti itu. "Ngomong apa kamu?" Pria itu mendekap badan sang istri dari samping."Aku dulu nggak pernah sholat. Sering keluar malem. Mabuk juga... Aku pikir ini emang cara Allah ngehukum aku. Telat banget nggak sih? Aku inget Allah pas keadaanku udah begini?"Dean mengusap-usap bahu Alya, tak melarang wanita itu menangis di dadanya. Jika bicara dosa, dia lebih banyak berdosa. Tak hanya meninggalkan kewajiban lima waktu, mabuk dan keluar malam. Dean juga berzina. Jujur, sama seperti Alya. Dia juga baru ingat untuk menjalankan perintah-Nya setelah keadaan seperti ini. Lelaki tersebut sekarang rajin memohon kepada Allah, semoga istri dan anaknya selamat semua. Semoga nanti mereka berdua bisa mendampingi anak mereka melihat dunia. Egois, tak tahu diri...ya itulah dia. Ibaratnya baru sekali mendekat, tapi su
Dua bulan lagi, Alya melingkari kalender di tangannya. Kurang lebih hanya tinggal enam puluh hari lagi dan dia akan bertemu dengan anaknya. Minggu lalu sudah diadakan acara tujuh bulanan. Alya berdoa, semoga nanti anaknya baik-baik saja.Pemeriksaan telah rutin dilakukan. Bahkan yang terakhir, Alya sampai di tes darah dan urine. Tekanan darahnya tinggi dan hal itulah yang sangat dikhawatirkan."Jangan banyak pikiran, nanti kalau sudah cukup umur. Bayinya bisa segera dilahirkan tanpa menunggu hari perkiraan lahir."Begitu kata sang dokter, membeberkan fakta dan sedikit menghiburnya.Namun, bagaimana caranya untuk tetap bersikap tenang? Kepalanya sudah penuh dengan segala kemungkinan yang ada.Bagaimana jika anaknya tak bisa bertahan?Bagaimana jika dia yang tenyata dipanggil duluan?Bagaimana jika mereka tak bisa saling menjaga satu sama lain?Hasil pemeriksaan USG menyatakan jika anaknya berjenis kelamin perempuan. Wanita itu meras
Alya mengelus perutnya dengan perlahan. Di sampingnya sang suami masih fokus menyetir. Pikiran mereka mengelana tanpa tahu ujungnya.Kehamilan Alya sudah lima bulan lebih. Perutnya sudah membuncit dan terlihat lucu. Dean sering memainkannya jika akan tidur. Sering mengajaknya bicara pula. Saat-saat seperti itu adalah waktu yang membuat keduanya sangat dekat.Mobil berhenti di carport rumah. Dari kejauhan azan isya terdengar berkumandang. Seperti bulan-bulan sebelumnya jika waktu cek kehamilan tiba, sepulang dari kantor mereka akan langsung ke rumah sakit. Sekalian jalan, begitu kata Alya.Bulan pertama sampai ke-empat semua berjalan lancar. Meski Alya selalu kelelahan dan mual, tapi kandungannya terdeteksi baik-baik saja. Hingga sampailah pada pemeriksaan yang ke-lima. Dokter menyatakan jika Alya terkena preeklamsia, keadaan dimana kehamilannya ini sangat beresiko tinggi baik bagi janin maupun ibunya. Ternyata wajahnya yang dulu bengkak itu adalah sa
"Gue cuma makan siang sama dia. Nggak usah lebay deh." Alya membanting tasnya ke atas sofa ruang tamu. Lalu duduk sembari melepaskan sepatu pantofelnya.Suaminya itu marah, tak berhenti mengomel sejak ia naik ke mobil. Hanya karena tadi siang ia pergi makan siang dengan Alex. Alya sudah mengirim pesan pada Dean, tapi pria itu tak membacanya. Ponselnya tertinggal di kantor saat pergi ke kantor Alya, katanya. Pertengkaran memang seolah tak mau pergi dari kehidupan rumah tangga mereka.Sebenarnya yang salah siapa? Alya sudah mengirim pesan, tapi tak dibaca oleh si penerima. Atau ponsel yang tertinggal di meja."Gue udah WA lo juga ngasih tahu kalau lo nggak usah jemput ataupun bawain makanan buat gue. Salah gue dimana?" Penjelasan dari Alya diakhiri dengan kalimat tanya pembelaan diri."Salah lo karena nggak ngabarin gue dari pagi. Lo WA pas gue udah jalan ke kantor lo." sergah Dean tak mau mengalah. Marah, cemburu bercampur menjadi satu seperti es buah di d