Mobil berhenti di carport rumah minimalis itu. Alya keluar lebih dulu tanpa menunggu Dean. Namun, dia tidak bisa masuk ke rumah karena ternyata pintunya dikunci.
Sementara Dean baru turun dari mobil. Sambil berjalan pria itu terus menatap istrinya dengan tatapan yang cukup tajam. Dean masih emosi dengan tingkah Alya. Wajah istrinya itu memang cantik, tapi kelakuannya membuat kepalanya hampir pecah. Sebagai seorang lelaki yang kodratnya suka melihat pemandangan yang indah-indah dari lawan jenis, Dean juga suka seperti kebanyakan pria lain, tapi tidak untuk perempuan yang statusnya ada hubungan dengannya. Dari dulu dia sangat mewanti-wanti kedua adiknya dalam berpakaian. Meski mereka tak berjilbab, tapi mereka menurut dengan memakai pakaian yang sopan. Dan ini, perempuan yang di mata hukum dan agama sah sebagai istrinya malah pamer body di depan semua orang.
"Gua nggak suka lo kayak tadi." ucap Dean saat mereka melangkah ke dalam. Dia tak menu
Setelah bersitegang beberapa menit perihal galon air minum. Akhirnya Dean mengantar Alya dengan mobilnya. Dean menunggu istrinya itu di parkiran minimarket. Pria tersebut memang tidak ikut masuk. Katanya, dia tidak suka belanja. Apalagi untuk kebutuhan rumah tangga.Rumah tangga?Ia mengeluarkan sebatang rokok dari bungkus. Menyulut dengan korek api dan menghisapnya. Dean menikmatinya, hanya rokok yang bisa menghilangkan kepenatan. Terkadang masih belum percaya jika kini dia sudah menikah. Sudah menyandang gelar sebagai seorang suami hanya demi membahagiakan sang ibu. Bahkan dalam hatinya saja masih dipenuhi oleh Dian. Gadis manis yang sudah menolaknya mentah-mentah.Menyender pada badan mobil di bagian samping pintu kemudi. Menghisap asap rokok melalui mulut dan ia keluarkan lewat hidung. Sambil kedua matanya melihat ke arah jalan raya yang dilalui banyak kendaraan. Tak lama, ada sebuah mobil putih yang berbelok memasuk
"Wah pengantin baru sumringah banget nih."Setibanya di lobby kantor, Dean langsung disambut oleh Raka. Sahabatnya itu meringis, memamerkan giginya yang rapi. Entah menertawakan pernikahannya atau benar-benar ikut bahagia."Hmm." gumam Dean membalas singkat. Ia jalan terus melewati tempat Raka berdiri."Asem."Umpatan Raka masih bisa didengar jelas olehnya. Dean tak mau ambil pusing. Ini adalah hari pertamanya bekerja seusai mengambil cuti selama sepuluh hari. Dia tidak mau moodnya hancur hanya karena Raka.Kejadian tempo hari masih terekam jelas di otaknya. Saat ia mengantar Alya ke minimarket dan malah bertemu Dian di sana. Adik sahabatnya itu tampak bukan seperti Dian yang biasanya. Dian yang baik, ceria dan murah senyum berubah menjadi gadis super jutek. Dan sialnya, walaupun begitu masih tetap saja bisa menggetarkan hatinya."Rasanya nggak pakai karet gimana?"Setelah menekan tombol lift, Dean menoleh. Mendapati Raka yang sudah m
Plak."Bau banget ih, sumpah." cerca seorang perempuan yang baru saja membuka kedua matanya. Ia pukul lengan berotot yang menjadi bantalnya semalam suntuk. Tidur miring menghadap ketiak sang suami.Dean mencebik. Bisa-bisanya Alya berkata seperti itu. Yang membuatnya tidak mandi adalah Alya sendiri. Istrinya itu yang tak mau ditinggal bahkan hanya untuk mengambil minum. Kalau sekarang saat mereka bangun tidur dalam keadaan bau badan yang menusuk, siapa yang harus disalahkan? Bukankah kesalahan memang berada pada Alya?"Nggak usah teriak bau kalau lo sendiri juga bau." balas Dean enteng. Ia mencoba menggerakkan lengannya yang kaku. Entah sudah berapa kali ia kesemutan sejak semalam. Alya yang lama-kelamaan tertidur membuatnya tak tega jika ingin membangunkan.Alya yang sudah dalam posisi duduk di tengah ranjang itu hanya mengembuskan napas pendek. Ia menoleh kepada Dean yang masih berbaring miring. Agak meringis karena bagian ranjang yang ditiduri lelaki i
Alya[Gue udah pulang. Nggak usah dijemput.]Dean mengantongi ponselnya lagi sebelum naik ke mobil. Entah mengapa setelah membaca pesan dari Alya membuatnya jadi lesu. Dia sudah berjanji akan menjemputnya, tapi Alya malah sudah pulang duluan. Rasa sesaknya hampir sama seperti saat ditolak Dian.Sebelum menghidupkan mesin mobil, pria itu merogoh saku celananya lagi. Mengambil ponsel dan mengetik beberapa kata untuk dikirimkan kepada Alya.[Mau makan apa?]Begitu tulisnya ketika ide pertanyaan lain muncul di otak. Sambil menunggu balasan, ia memutar kunci.Alya[Gua udah beli makanan. Lo nggak usah beli.]Seulas senyum Dean tanpa sadar terukir. Istrinya sore ini lumayan manis. Dia lalu menarik tuas transmisi. Kemudian melaju pulang.×Sampai di rumah, Dean langsung masuk. Di meja makan ia dapati sudah ada kantong makanan dari restoran cepat saji. Pria itu mendesah pelan. Dia tak begitu suka dengan ayam goren
Dean menarik napasnya dalam-dalam kemudian mengembuskannya dengan cepat. Ini adalah hari ke-empat dia tak mendapati Alya ada di rumah setelah pulang dari kantor. Istrinya itu memang sudah bilang akan lembur. Katanya sedang ada banyak pekerjaan di kantornya. Namun, Dean menangkap ada sesuatu yang aneh dari diri Alya. Mereka memang sering adu mulut. Pertikaian sudah menjadi hal biasa di dalam keseharian mereka, tapi pertikaian terakhir tentang Dean yang menyebut nama Dian saat tidur memang tidak bisa dianggap biasa saja. Dean merasa Alya seperti menghindarinya sejak hari itu. Dia bukannya terlalu percaya diri, tapi memang gelagat Alya yang berbeda sudah terlihat dengan nyata.Meremas rambutnya dengan kasar. Dean merasa frustasi. Keadaan seperti ini terasa sangat menyesakkan dada. Biasanya setelah bertengkar mereka akan akur lagi tanpa menunggu hari berganti. Namun, ini sudah empat hari dan itu sudah termasuk lama. Dia tak suka diacuhkan oleh Alya lebih lama lagi.Tak mau
"Akhirnya kalian pulang juga."Setiba di rumah, Dean dan Alya dibuat terkejut karena kedatangan Ibu Lis dan Lintang. Mereka berdua duduk menunggu di lantai teras."Bu." sapa Dean sembari mencium punggung tangan Sang ibunda. Diikuti oleh Alya yang melakukan hal sama. Keduanya lalu tersenyum cerah. "Kenapa nggak telpon dulu kalau mau kesini? Dean bisa jemput.""Sengaja biar jadi kejutan." jawab Ibu Lis sambil beralih kepada Alya. "Jam segini baru pulang kerja kamu, Al?" tanyanya saat memeluk menantunya itu sekilas.Di dalam pelukan ibu mertuanya, Alya mengangguk. Ia masih tersenyum palsu ketika pelukan itu terlepas. "Iya, Ma." jawabnya tak mau berbohong. Baju yang ia pakai sebenarnya sudah menjadi jawaban."Terus kamu, Mas?" Ibu Lis beralih kepada anaknya yang tengah membuka pintu.Dean menoleh ke arah Ibu dan istrinya. Pria itu menatap Alya sejenak sebelum berucap. "Habis jemput dia. Udah jelas kan, Bu." Lalu dia masuk begitu saja ke dalam ru
Beberapa saat Alya memilih diam. Ia biarkan saja sang suami mendekapnya erat. Dadanya bergemuruh kencang. Rasa yang sudah lama hilang itu kini kembali lagi menyapa hati. Tak jarang ia mengumpati dirinya sendiri. Mengapa ia bisa begitu mudah jatuh cinta kepada Dean?"Tolong jangan ngambek lagi." ucap Dean masih lirih.Hah... Ngambek... Bagaimana dia tidak kesal jika pria itu malah menyebut nama perempuan lain disaat mereka tengah bersama? Pria tersebut tentu tidak sadar ketika mengatakannya. Namun, telinga Alya juga sedang tidak mengalami gangguan. Hatinya merasakan sakit yang teramat dalam. Jika memang yang ada di pikirannya adalah Dian, mengapa dulu dia menawarkan pernikahan kontrak ini?Dimana pun laki-laki memang sama saja! Batin Alya."Gue minta maaf."Terhitung sejak malam setelah mereka pulang dari rumah sahabat pria tersebut. Dean memang sudah berulang kali memohon maaf. Lelaki itu juga sering mencandainya ketika mereka sedang ada di rumah.
Hari Kamis sore pukul lima kurang seperempat. Alya sampai di rumah setelah dari Bali. Wanita itu melambaikan tangan kepada sahabat-sahabatnya semasa SMA yang berada di taksi online. Lama tak bertemu nyatanya mereka masih cukup akrab. Alya memang sudah merencanakan ini jauh-jauh hari bahkan sebelum menikah dengan Dean.Ia dapati mobil Dean sudah terparkir rapi di carport. Menegaskan bahwa pria itu sedang ada di rumah. Alya lalu masuk sembari menggeret kopernya. Ada beberapa plastik pula yang berisi oleh-oleh.Sampai di ruang keluarga, Alya dibuat terkejut dengan keadaannya. Dia hanya pergi selama lima hari dan ruangan minimalis itu tak ubahnya sudah seperti kapal pecah. Cangkir bekas kopi dan piring kotor di atas meja tengah sofa. Ada kulit kacang yang berserak di lantai. Di meja makan juga ada sampah sterofoam bekas mie instan. Tak hanya satu, tapi sampai empat buah. Mungkin rumah ini akan jadi tempat pembuangan sampah jika Alya benar pergi selama seminggu.Tak
Dean mendorong troli belanja dengan Ana yang duduk di dalamnya. Sesekali pria itu memaju-mundurkan troli hingga tawa Ana yang gemelikik terdengar renyah. Anak itu suka dengan salah satu wahana permainannya ini. Semacam sudah hapal, Ana akan minta naik ke atas troli ketika mereka akan belanja bulanan. Agak di depan, Alya tak jarang mengomel pelan. Selalu mengingatkan sang suami agar tetap menjaga keselamatan sang buah hati. Di saat seperti itu hanya decakan kesal yang Dean berikan, tanpa disuruh pun dia akan menjaga keselamatan Ana.Usia kandungan Alya sudah lima bulan. Perutnya sudah terlihat dari balik gamis panjang yang ia kenakan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kesehatan Alya dan bayi di dalam kandungannya semua baik-baik saja. Dean mengucap syukur. Allah memang Maha Baik."Jangan kenceng-kenceng, Ana lagi makan.""Mama bawel." Dean pura-pura berbisik pada Ana yang sudah mengunyah biskuit coklat. Ketika ibunya menaruh makanan ke dalam troli, bocah yang s
Sebelah tangan jatuh di pangkuan Dean. Pria itu menoleh ke samping kiri, menatap sang istri yang menyandar lemah di bahunya. "Capek banget, tolong pijitin sebentar, Kang."Alya Savira Wiryawan.Perempuan cantik yang dikirim Tuhan untuk melengkapi hidup seorang Dean Giriandra. Datang saat hati Dean baru dibuat patah sepatah-patahnya. Dean tidak pernah menyangka jika akhirnya dia bisa jatuh cinta kepada istrinya tersebut. Bagi Dean, cinta datang karena terbiasa bersama itu tidak ada dalam kamusnya.Tentang Dian, Dean tak mau menampik jika di dalam hatinya masih tersimpan sedikit tempat untuk gadis itu. Adik sahabatnya yang manis dan mampu menggetarkan hatinya di saat ia baru mulai mengenal apa itu cinta. Dean sudah berusaha sekuat tenaga. Dia sudah jatuh dalam pesona seorang Alya, tapi Dian, dia tetap istimewa.Serakah? Tidak. Dean tidak pernah ingin memiliki keduanya.Alya sudah banyak mengorbankan hidupnya untuk semua. Alya yang begitu hebat ketika
Seminggu kemudian, Alya dan bayinya sudah diperbolehkan pulang. Dan yang membuat Dean terkejut adalah para sahabatnya sudah ada di sana. Setelah ditelisik, ternyata itu adalah kerjasama antara Raka dengan Ibu Lis. Bosnya itu juga sudah mengubah kamar kosong di lantai bawah menjadi sebuah kamar anak yang bernuansa pink. Khusus untuk Ana, kata Ara waktu mereka sampai di rumah."Om, ini yang pilih aku lho." ucap Ara menunjuk sebuah boneka beruang seukuran melebihi badannya yang berwarna pink. "Ini juga aku... Ini, ini, ini juga." imbuhnya sambil menunjuk sebuah lemari pakaian kecil, lemari mainan dan sofa mini. Semuanya berwarna merah muda.Dean berlutut di depan Ara. Ia mengusak poni yang menutup dahi. "Oh ya? Ara ikut Papa sama Om Raka belanja?"Ara mengangguk semangat hingga poninya terayun. "Heem, Ara ikut bikin juga. Ara juga punya boneka yang kayak gini." ujarnya yang sekarang sudah tak cadel lagi. Dia sudah bisa mengucap huruf R dengan cukup jelas. Anak itu
Dua hari setelah Alya sadar dari koma. Kini dia sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Bertemu langsung dengan anaknya. Perempuan itu menangis lagi, tak bisa membendung keharuan yang menyelimuti. Sekali lagi, tak bosan ia mengucap terima kasih kepada Sang Maha Pencipta."Ayo... Ayo Ana pinter... Cucunya Mbah Uti pinter." Ibu Lis membantu Alya yang sedang menyusui Ana. Bayi itu bingung puting karena sebelumnya sudah minum menggunakan botol susu. Putingnya kali ini tak sebesar puting buatan pabrik.Alya terus menyodorkan dadanya. Air susunya sudah deras, tapi Ana malah menangis tak mau menyedot. Tiba-tiba Ibu Lis mendekatkan posisi wajah Ana ke dada sang ibu. Beliau memasukkan puting Alya ke dalam mulut Ana yang terbuka. Bayi itu masih menolak. Tangisnya semakin kencang. Alya sendiri juga sudah tak tega. Namun, Ibu Lis tak menyerah begitu saja. "Masukin, Al. Biar asinya nggak ada yang keluar. Masak orang segini banyak kalah sama bayi." ucapnya gemas. "Nah begitu.
Kematian adalah perpisahan paling kejam. Jauhnya jarak tak akan bisa ditempuh dengan kendaraan apapun"Al, jangan pergi, Al. Jangan tinggalin kita... Ana gimana kalau kamu pergi."Gelisah, panik, takut, kosong.Dean meraih tangan Alya dan menggenggamnya erat untuk menyalurkan suhu tubuhnya yang hangat. Pria itu masih menangis di samping tubuh istrinya yang dingin."Al!"Plak plak."Bangun woe...!"Terperangah bangun ketika ia merasakan sakit di lengannya. Seketika kepalanya juga terasa sangat pusing. Dadanya berdegup kencang. Badannya lemas. Dean mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan putih itu. Ada ibu, ayah mertua dan sahabat beserta istrinya masing-masing. Kinan menggendong Ana dan Tiara berada di dekatnya. Mereka semua nampak bingung membalas tatapannya.Dean lalu beralih melihat ranjang pasien. Kosong. Benarkah Alya sudah pergi meninggalkannya? Meninggalkan anaknya juga?"Dih nangis."Dean menutu
"Kira-kira nanti aku bisa masuk surga, nggak ya?"Dean menoleh kepada istrinya yang masih memakai mukena. Seusai sholat subuh berjamaah, tiba-tiba Alya bertanya seperti itu. "Ngomong apa kamu?" Pria itu mendekap badan sang istri dari samping."Aku dulu nggak pernah sholat. Sering keluar malem. Mabuk juga... Aku pikir ini emang cara Allah ngehukum aku. Telat banget nggak sih? Aku inget Allah pas keadaanku udah begini?"Dean mengusap-usap bahu Alya, tak melarang wanita itu menangis di dadanya. Jika bicara dosa, dia lebih banyak berdosa. Tak hanya meninggalkan kewajiban lima waktu, mabuk dan keluar malam. Dean juga berzina. Jujur, sama seperti Alya. Dia juga baru ingat untuk menjalankan perintah-Nya setelah keadaan seperti ini. Lelaki tersebut sekarang rajin memohon kepada Allah, semoga istri dan anaknya selamat semua. Semoga nanti mereka berdua bisa mendampingi anak mereka melihat dunia. Egois, tak tahu diri...ya itulah dia. Ibaratnya baru sekali mendekat, tapi su
Dua bulan lagi, Alya melingkari kalender di tangannya. Kurang lebih hanya tinggal enam puluh hari lagi dan dia akan bertemu dengan anaknya. Minggu lalu sudah diadakan acara tujuh bulanan. Alya berdoa, semoga nanti anaknya baik-baik saja.Pemeriksaan telah rutin dilakukan. Bahkan yang terakhir, Alya sampai di tes darah dan urine. Tekanan darahnya tinggi dan hal itulah yang sangat dikhawatirkan."Jangan banyak pikiran, nanti kalau sudah cukup umur. Bayinya bisa segera dilahirkan tanpa menunggu hari perkiraan lahir."Begitu kata sang dokter, membeberkan fakta dan sedikit menghiburnya.Namun, bagaimana caranya untuk tetap bersikap tenang? Kepalanya sudah penuh dengan segala kemungkinan yang ada.Bagaimana jika anaknya tak bisa bertahan?Bagaimana jika dia yang tenyata dipanggil duluan?Bagaimana jika mereka tak bisa saling menjaga satu sama lain?Hasil pemeriksaan USG menyatakan jika anaknya berjenis kelamin perempuan. Wanita itu meras
Alya mengelus perutnya dengan perlahan. Di sampingnya sang suami masih fokus menyetir. Pikiran mereka mengelana tanpa tahu ujungnya.Kehamilan Alya sudah lima bulan lebih. Perutnya sudah membuncit dan terlihat lucu. Dean sering memainkannya jika akan tidur. Sering mengajaknya bicara pula. Saat-saat seperti itu adalah waktu yang membuat keduanya sangat dekat.Mobil berhenti di carport rumah. Dari kejauhan azan isya terdengar berkumandang. Seperti bulan-bulan sebelumnya jika waktu cek kehamilan tiba, sepulang dari kantor mereka akan langsung ke rumah sakit. Sekalian jalan, begitu kata Alya.Bulan pertama sampai ke-empat semua berjalan lancar. Meski Alya selalu kelelahan dan mual, tapi kandungannya terdeteksi baik-baik saja. Hingga sampailah pada pemeriksaan yang ke-lima. Dokter menyatakan jika Alya terkena preeklamsia, keadaan dimana kehamilannya ini sangat beresiko tinggi baik bagi janin maupun ibunya. Ternyata wajahnya yang dulu bengkak itu adalah sa
"Gue cuma makan siang sama dia. Nggak usah lebay deh." Alya membanting tasnya ke atas sofa ruang tamu. Lalu duduk sembari melepaskan sepatu pantofelnya.Suaminya itu marah, tak berhenti mengomel sejak ia naik ke mobil. Hanya karena tadi siang ia pergi makan siang dengan Alex. Alya sudah mengirim pesan pada Dean, tapi pria itu tak membacanya. Ponselnya tertinggal di kantor saat pergi ke kantor Alya, katanya. Pertengkaran memang seolah tak mau pergi dari kehidupan rumah tangga mereka.Sebenarnya yang salah siapa? Alya sudah mengirim pesan, tapi tak dibaca oleh si penerima. Atau ponsel yang tertinggal di meja."Gue udah WA lo juga ngasih tahu kalau lo nggak usah jemput ataupun bawain makanan buat gue. Salah gue dimana?" Penjelasan dari Alya diakhiri dengan kalimat tanya pembelaan diri."Salah lo karena nggak ngabarin gue dari pagi. Lo WA pas gue udah jalan ke kantor lo." sergah Dean tak mau mengalah. Marah, cemburu bercampur menjadi satu seperti es buah di d