"Kia."
Mendengar namanya terpanggil, Kia menoleh ke belakang. Ada Karen di belakang sana yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Kia.
"Hai, Karen." Kia menyapa Karen balik.
"Kamu kemana aja kemarin? Kok gak masuk?" Pertanyaan Karen membuat Kia mengernyitkan dahinya. Bukannya kemarin Kia sudah menuliskan surat izin? Apa Karen tidak mengetahuinya?
"Aku sakit, Ren. Kemarin kan aku ada tulis surat izin, kamu gak tahu?"
"Surat izin? Kamu ada kirim surat?"
Kia menganggukkan kepalanya. "Iya, aku titipkan ke Astri, minta kasikan ke wali kelas kita."
"Enggak ada, Kia. Malah di buku absen, kamu dialpakan karena gak ada izin. Maka dari itu, sekarang aku tanya sama kamu, kemarin kamu kemana aja."
Kia membelalakkan matanya. "Apa? Alpa?"
Ternodai sudah absen Kia dengan tinta merah bertuliskan huruf A.
"Iya, kan gak ada surat izin. Tapi, beneran kemarin kamu tulis surat izin? Trus kamu titipin ke Astri?"
"Iya, beneran Ren. Aku masih ingat, kemarin pagi aku minta bi Tari panggilkan Astri ke kamarku karena aku lagi pusing. Jadi, Astri datang ke kamar aku, dan aku titipin surat itu." Dari penjelasan Kia, Karen merasa ada yang janggal. Jika memang benar Kia menitipkan surat kepada Astri, dan surat tersebut tidak sampai ke tangan wali kelasnya, berarti ....
"Jangan-jangan, Astri lupa kasi suratnya ke bu Sandra?" Karen berspekulasi. "Atau, yang lebih parahnya, Astri sengaja gak mau ngasi?"
Kia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar dugaan kedua dari Karen. "Enggak, enggak mungkin Astri sengaja. Lagian, kalau dia memang sengaja gak ngasi surat itu ke bu Sandra, apa untungnya buat dia?"
"Ya, kamu tahu sendiri kalau Astri memang gak suka sama kamu. Jadi, mungkin aja dia sengaja gak ngasi surat itu, supaya kamu alpa."
Kia terdiam mendengar ucapan Karen. Bisa jadi, ucapan sahabatnya itu benar. Selama ini, memang Astri kurang suka dengan Kia.
'Ah, gak mungkinlah Astri kayak begitu. Aku gak boleh berpikiran negatif sama Astri.'
"Ehm, ya udah deh. Biarin aja, nanti biar aku ketemu bu Sandra untuk konfirmasi ke dia aja."
"Oke deh, semoga Bu Sandra mau dengar penjelasan kamu dan ngubah keterangan alpa kamu menjadi izin sakit."
Kia mengamini ucapan Karen di dalam hatinya.
"Yuk, masuk kelas." Karen merangkul Kia yang sedikit lebih rendah darinya, berjalan masuk ke dalam kelas. Persahabatan mereka yang terjalin semenjak SMP, membuat mereka terlihat semakin dekat setiap harinya. Karenina Agastya, gadis yang akrab dipanggil Karen itulah satu-satunya sahabat Kia di sekolahnya. Selain dari Karen, tidak ada satupun teman di sekolah, ataupun teman sekelasnya yang mau berteman dengan Kia, mengingat wajahnya yang sedikit cacat. Oleh karena itu, Kia merasa sangat bersyukur ketika dipertemukan dengan gadis sebaik Karen.
***
“Karen, aku mau ke ruang guru dulu ya, mau ketemu bu Sandra.”
Karen menganggukkan kepalanya. “Iya, Kia. Semoga ibu mau dengarkan penjelasan kamu trus keterangan alpa kamu diganti ya.”
Kia tersenyum, kemudian mengangkat dua jempolnya kepada Karen.
Gadis itu melangkah keluar dari dalam kelasnya. Kia menyusuri koridor kelas, lalu menuruni tangga satu per satu. Ruangan kelas XI Ipa 1 yang sekarang tengah diduduki oleh Kia dan teman-temannya berada di lantai ketiga. Sementara, ruang guru berada di lantai pertama.
‘Kenapa tadi pas mau ke kelas, aku gak singgah dulu aja ke ruang guru? Kalau kayak gini, bolak-balik dong,’ batin Kia. Terkadang, ia mengutuki kebodohan dirinya sendiri akan hal ini.
Kia mengetuk pintu ruangan itu sebanyak tiga ketika sebelum ia membukanya. “Permisi.”
Kia lantas menutup kembali pintu itu
“Selamat pagi, Bu.”
“Iya, silakan duduk, Kia.” Kia mengangguk, lalu mengambil posisi duduk di kursi yang disediakan. Bu Sandra, wali kelasnya itu merangkap menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Oleh karena itu, tak heran jika beliau memiliki bagian dari ruangannya tersendiri.
“Kebetulan kamu datang ke sini, ada yang mau ibu tanyakan sama kamu, Kia.”
“Tanya soal apa ya, Bu?”
“Soal absen, kemarin kenapa kamu tidak masuk?” Sudah dapat Kia duga, pertanyaan inilah yang akan dilontarkan bu Sandra.
“Kemarin saya sakit, Bu. Jadi, saya tidak masuk sekolah.”
“Kalau kamu sakit, kenapa tidak mengirimkan surat izin? Kamu kan bisa titip ke Astri surat izinnya.” Bu Sandra memang sudah mengetahui hubungan persaudaraan antara Kia dan Astri, mengingat beliau memegang data anak kelasnya. Hanya saja, ia diminta untuk menjaga rahasia bahwa Kia ialah saudara Astri.
“Maaf, Bu. Saya sudah titipin surat kepada Astri, namun, ternyata dia tidak menyampaikannya.”
“Jadi, begitu ya.” Bu Sandra menganggukkan kepalanya, tanda ia paham akan kondisi Kia.
“Kalau begitu, nanti saya akan rubah keterangan alpa kamu menjadi izin sakit, ya. Ibu tahu, kamu gak mungkin alpa, kamu itu murid berprestasi di sekolah ini.” Mendengar ucapan bu Sandra, mata Kia sontak berbinar-binar.
“Ibu mau ubah absen saya?” tanya Kia yang masih tidak percaya.
“Iya, kali ini ibu ubahkan. Akan tetapi, untuk hari-hari kedepannya, ibu tidak akan berlaku yang sama lagi. Kamu harus benar-benar memastikan surat izin kamu sampai kepada Ibu, atau kepada sekretaris kelas.”
“Iya, Bu. Saya janji, lain kali saya gak akan teledor dalam mengirimkan surat izin lagi. Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu, saya permisi, Bu.”
Kia berjalan keluar dari ruang guru dengan wajah yang berseri. “Akhirnya, aku gak jadi alpa. Dengan begini, aku bisa lebih tenang, deh.”
‘Kurang ajar, rencana aku buat ngehancurin Kia gagal. Tapi, tenang aja. Kia, ini baru awal, dan untuk kedepannya aku akan buat kamu jauh lebih hancur.’
***
“Gimana absen kamu? Udah bicara sama bu Sandra?”
“Udah, Ren. Bu Sandra itu emang orangnya baik banget, ya. Dia mau dengarin penjelasan aku, dan mau ubahkan alpa aku menjadi izin sakit,” ucap Kia dengan rasa bahagia yang meliputi hatinya.
“Aku turut senang deh kalau gitu. Jadi, beasiswa kamu gak bakal terancam dicabut.”
Kia tersenyum miris. Karena papa dan mamanya yang tidak mempedulikannya, ia jadi harus mati-matian mempertahankan beasiswa yang ia pegang. Terkadang, gadis itu merasa dirinya terlalu ambisius dalam hal ini. Akan tetapi, Kia tidak bisa memungkiri, bahwa semua ambisinya ini adalah yang terbaik untuknya.
“Iya. Kalau aku sampai alpa sehari, aku gak tau deh gimana jadinya beasiswa aku.”
“Kamu tenang aja, Kia. Beasiswa kamu gak akan dicabut, secara kamu kan penyumbang piala terbanyak di sekolah ini.”
Ucapan Karen tentang Kia itu benar adanya, dan tidak melebih-lebihkan. Selama hampir 50 tahun sekolah ini berdiri, Kia lah yang memegang rekor penyumbang piala terbanyak. Sudah 15 perlombaan yang berhasil Kia juarai, satu diantaranya yang paling memuaskan ialah lomba sains internasional yang baru Kia juarai sebulan yang lalu. Tidak alang-alang, gadis itu menduduki peringkat nomor 1 di antara puluhan tim dari negara lain.
Itulah alasan Kia selalu dielu-elukan oleh guru di sekolahnya, dan alasan mengapa Kia selalu dibenci oleh teman-teman di sekolahnya. Mereka menganggap Kia terlalu berambisi hingga semua lomba ia ikuti, terlebih dengan wajah pas-pasan Kia, membuat teman sekolahnya semakin muak melihat wajah Kia selalu terpampang di madding sekolah.
***
Selamat datang di kehidupan. Suatu tempat dimana kamu akan merasa dibanggakan, juga dibenci dalam waktu bersamaan.
Suasana siang ini begitu panas dan terik. Matahari yang kini posisinya tepat di atas kepala, membuat siapa saja yang berada di bawahnya kegerahan. Namun, panasnya matahari itu tidak menurunkan semangat kaum adam yang tengah berlarian kesana kemari untuk mengejar sebuah benda bernama bola.Hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana kegiatan belajar di sekolah, diganti dengan kegiatan ekstrakurikuler. Ada begitu banyak ekstrakurikuler yang ditawarkan di Bayanaka High School, sekolah tempat Kia menuntut ilmunya sekarang.Sebelum membahas tentang ekstrakurikuler yang ditawarkan di sekolah tersebut, mari kita mengenal sedikit tentang Bayanaka High School. Bayanaka High School dibangun oleh seorang Profesor bernama Bayu Andakha. Diberi nama Bayanaka karena merupakan singkatan dari nama Bayu Andakha. Bayanaka sendiri sebenarnya mempunyai arti. Bayanaka diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘luar biasa’. Sesuai dengan arti
“Astri, ada yang mau aku tanyain sama kamu.”Mendengar namanya terpanggil, Astri hanya mengedikkan bahunya. Gadis itu masih fokus dengan layar ponselnya yang menampilkan video-video lucu.“Astri, aku pengen ngomong sama kamu. Ponselnya ditaruh dulu.”Astri tetap saja tidak bergeming, sepertinya gadis itu memang sengaja tidak menjawab ucapan Kia. Astri pura-pura tidak mendengar, padahal gadis itu sama sekali tidak menggunakan earphone di telinganya yang membuatnya tidak bisa mendengar. Kia yang merasa Astri tidak menanggapi ucapannya, menarik ponsel Astri dari tangan pemiliknya kemudian meletakkan ponsel itu di atas meja.“Kamu apa-apaan sih, Kia? Aku lagi seru-seruan nonton video, main tarik aja ponselku. Mana ponsel aku, sini kembaliin,” kesal Astri.Kia menggelengkan kepalanya. “Aku pengen ngomong dulu sama
Di sebuah gedung bernuansa serba putih, di sinilah Kia berada sekarang ini. Langkah kakinya yang dipercepat membawanya ke bagian administrasi rumah sakit.“Selamat pagi, Sus.”“Iya, selamat pagi, Dek. Ada yang bisa saya bantu?”Kia mengangguk. “Iya, Sus. Saya baru dapat kabar, kalau teman saya mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit ini.”“Maaf, kalau boleh tahu, nama temannya siapa ya? Biar saya bisa mengeceknya.”“Nama teman saya Karenina, Sus. Lengkapnya Karenina Agastya.”“Baik, tunggu sebentar ya, Dek. Saya cek dulu namanya.” Suster dengan name tag bertuliskan Linda itu segera mengetikkan nama yang disebutkan Kia di kolom pencarian pasien. “Mohon maaf, Dek. Tidak ada pasien bernama Karenina Agastya di sini.”Kia mengernyitkan dahinya. &ld
Di pojokan ruangan nan besar itu, terlihat Kia tengah sibuk mengatur lensa kameranya. Gadis itu juga beberapa kali meniup lensa kameranya yang terkena debu. Kamera yang diberikan oleh mendiang neneknya itu akan menemaninya dalam ekskul fotografi hari ini.Setelah sekian lama ekskul ini diliburkan karena sang kakak pengajar fotografi tengah di luar kota, akhirnya pada hari ini ekskul itu kembali dibuka. Kia merasa begitu antusias ketika ekskul yang dipilihnya itu akhirnya kembali dapat berjalan. Kia melihat kamera yang berada di tangannya lalu tersenyum.“Akhirnya, setelah sekian lama gak ekskul, hari ini mulai ekskul lagi. Aku senang banget, akhirnya bisa ditemani sama kamu lagi dalam ekskul ini,” ucap Kia kepada kamera kesayangannya. Selama ekskul ditiadakan, selama itu pula Kia menyimpan kameranya dengan baik. Ia tidak mau sembarang menggunakannya, jika bukan untuk ekskul dan memotret senja.
Baru saja berbunyi, sebuah bel kebahagiaan yang selalu dinantikan oleh setiap murid di seluruh penjuru dunia. Para tenaga didik berjalan keluar terlebih dahulu dari dalam kelas, menandakan bahwa kegiatan belajar-mengajar telah selesai dilaksanakan. DI belakangnya, puluhan murid berbondong-bondong keluar dari dalam ruangan kelas. Wajah mereka semua terlihat begitu sumringah, bagaikan telah terbebas dari penjara kesengsaraan.“Kia, mau pulang bareng Karen gak? Kebetulan hari ini Karen bawa motor nih.” Kia menimang sebentar ajakan Karen, beberapa detik kemudian gadis itu menggeleng. Kia baru teringat dengan janji Elvan yang akan mengantarnya ke tempat teman lelaki itu untuk memperbaiki kameranya.“Oh, kalau begitu, Karen pulang duluan ya. Kia nanti hati-hati pulangnya.”“Iya, Karen. Hati-hati.”Kia segera membereskan buku-bukunya ke dalam tas ranseln
Di bawah terang bulan yang bersinar menerangi kegelapan malam, Kia yang tengah duduk di koridor kamarnya itu menghela napasnya. Bukan kehidupan ini yang Kia inginkan. Kehidupan yang bergelimang harta dan miskin akan kasih sayang.Kia akui, keluarganya itu tidak seharmonis yang ditampilkan di depan khalayak umum. Papa dan mamanya sering bertengkar karena masalah pekerjaan. Entah itu dimulai dari papa yang menuduh mamanya berselingkuh dengan rekan kerjanya atau sebaliknya. Padahal, itu adalah hal yang lumrah ketika seorang pengusaha akan lebih sering bergaul dengan rekan kerjanya.Di setiap malam, Kia selalu memanjatkan doanya untuk kedua orang tuanya. Namun, sepertinya belum ada satupun doanya yang dijamah oleh Yang Maha Esa. Keluarganya masih tetap tidak seharmonis itu.Kia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Rasa dingin mulai menelusuk ke tulang-tulangnya. Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam kam
Memang betul apa yang dikatakan oleh bi Tari, keadaan sekolah pagi-pagi ini masih sepi. Bahkan, belum ada seorang guru, staff, ataupun murid yang datang. Yang ada hanyalah pak Muhardi—satpam yang sudah sedari tadi stand by di posnya.Kia berdiri di koridor kelasnya. Pandangannya ia arahkan ke langit biru yang begitu cerah pagi ini. Sayangnya, kondisi hati Kia tidak secerah keadaan langit itu. Jika dilakukan suatu pengandaian, maka hati Kia bagaikan langit yang tengah mendung dan siap menumpahkan hujannya kapan pun ia mau.Gadis itu menghela napasnya. Rasanya kehidupannya begitu berat untuk dijalani. Hidupnya bagaikan sebuah kesalahan, sehingga tak ada satupun orang yang mampu menghargainya. Hanya bi Tari dan Karen yang membuat hidupnya terasa masih berguna. Mungkin, jika tidak ada bi Tari dan Karen yang selalu menyemangatinya, Kia sendiri tidak tahu lagi apa yang mesti ia lakukan.“Pagi-pagi
Dengan kedua tangan yang terisi penuh, dengan perlahan Kia berjalan menuju meja makan. Masing-masing piring yang berada di kedua tangannya, satu persatu ia letakkan di atas meja. Gadis itu kemudian tersenyum puas, kala mendapati meja berbentuk persegi panjang itu sudah terlihat begitu menarik dengan beberapa jenis makanan yang sudah ia siapkan bersama bi Tari.“Wah, non Kia pintar banget tata letak makanannya. Jadi kelihatan seperti makan di restoran, non,” puji bi Tari.“Bibi bisa aja deh. Lagian, ini bukan karena penataannya yang bikin jadi menarik, melainkan karena masakan Bi Tari yang super lezat.” Kia membalikkan pujiannya kepada wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya.“Kia yakin, pasti papa, mama, dan Astri mau makan malam di rumah sekarang. Secara, ini kelihatan enak banget. Iya kan, Bi?”Bi Tari mengangguk. “Bibi juga yakin banget ka
Suara ketukan terdengar menggema pada sebuah kayu jati berwarna cokelat yang meninggi itu."Silakan masuk," ucap seorang wanita dari dalam sana. Si pengetuk tadi memutar knop pintu, kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan besar penuh kehormatan itu. Tidak lupa, ia menutup kembali pintu megah dari jati itu."Selamat pagi, Bu.""Selamat pagi juga, Kia. Silakan duduk."Kia mengangguk sopan, kemudian duduk di kursi sebelah Elvan. Tunggu dulu, Elvan? Dia juga sedang berada di sini?"Baiklah, karena Kia sudah datang. Jadi tanpa banyak berbasa-basi, saya ingin memberitahukan kalian bahwa kalian berdua terpilih untuk mengikuti LBS-P tahun ini." Ucapan Bu Anin selaku wakil kepala sekolah bidang kurikulum membuat kedua muridnya saling bertatap muka."Mohon maaf, Bu. Bukankah LBS-P hanya diikuti oleh satu orang saja?" tanya Elvan yang mewakili p
“Kia, sumpah deh, aku masih gak nyangka papa kamu sebaik itu. Padahal seharusnya, kamu itu masih dalam masa kurungan, tapi papa kamu udah izinin kamu bersekolah. Aku senang banget,” ucap Karen bertubi-tubi. Ia tidak bisa menahan rasa senangnya ketika hari ini Kia mulai kembali bersekolah.“Iya, Ren. Aku juga gak nyangka. Aku pikir hukuman aku bakal ditambah, eh rupanya malah dikurangi. Aku senang, senang banget. Papa itu emang baik, cuma ya kadang-kadang aja galak.”Kia menyeruput jus alpukat yang berada di depannya. Rasa bahagia benar-benar menyelimuti perasaannya sekarang ini. Bagaimana tidak? Papanya memberinya izin untuk bersekolah lebih cepat dibanding yang dikatakannya kemarin. Mungkin, itu sebuah hal sederhana. Namun, memang sesederhana itu bahagianya Kia.“Kita berdoa aja, semoga ini adalah petunjuk yang baik. Semoga ke depannya papa kamu bahkan mama kamu akan bisa
Kia membereskan buku tulisnya, kemudian menyusunnya rapi ke dalam rak buku. Gadis itu baru saja menyelesaikan tugas makalahnya. Sesuai dengan ucapan Karen tadi, ia langsung mengirimkan file-file berisi tugas dan materi kepada Kia. Ia juga menjelaskan beberapa tata cara pengerjaan tugas makalah yang diberikan.Kia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. Baru 1 hari, Kia berada di kamar secara terus-terusan. Namun, rasa bosan begitu menyelimuti perasaan gadis itu. Ponselnya tengah tersambung dengan stopkontak untuk mengisi energinya yang telah terkuras habis, sementara laptopnya bagaikan berada di tengah matahari 12 siang yang begitu panas karena baru digunakan untuk mengerjakan tugas. Kamarnya juga tidak seperti kamar milik Astri yang dilengkapi oleh televisi. Lantas, apa yang mesti Kia perbuat sekarang untuk mengusir rasa bosannya?“Baru sehari aja udah bosannya kayak gini, apalagi kalau 3 hari?”&nb
“Kia!” teriak Aris dan Gea bersamaan. Teriakan itu tidak sama sekali membuat Kia terkejut, melainkan membuat gadis itu semakin menundukkan kepalanya akibat rasa takut.“Kamu itu benar-benar anak gak tahu diuntung, ya!” bentak Aris. “Masih untung kami itu tidak mengusir kamu dari rumah ini, tapi apa balasanmu? Kamu menjadi anak yang pembangkang, tidak penurut! Mau jadi apa kamu nantinya jika sekarang saja sudah berani tidak taat pada perintah orang tua?”Kali ini Aris benar-benar dipenuhi oleh amarah. Dapat dilihat dari urat-urat di kepalanya yang tampak kala lelaki paruh baya itu membentak putrinya itu.“Saya benar-benar malu punya anak seperti kamu, Kia,” ucap Gea yang juga tak kalah emosi. “Mau kamu itu apa, wahai anak cacat? Mau mempermalukan kami, hah?!?”Kia tersentak. Gadis itu hendak angkat bicara, namun lidahn
Di sepanjang perjalanan pulang hingga saat Kia sudah tiba di rumahpun, gadis itu masih saja mempertahankan senyuman lebarnya. Gadis itu terus-menerus merapalkan rasa syukurnya karena berkat Karen, ia bisa pergi ke pesta tersebut. Ia juga merasa sangat berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, karena berkat izin-Nya, Kia bisa menginjakkan kakinya di lantai yang sama dengan idolanya. Terlebih, gadis itu sempat memperkenalkan diri dan mengajak pasangan Hidayat-Dania untuk berfoto bersama.“Senangnya, bisa foto bersama pak Hidayat dan bu Dania. Ternyata, memang aku gak salah mengidolakan mereka. Selain mereka sangat menginspirasi, mereka juga sangat ramah. Aku gak nyangka banget bisa dapatin momen-momen seperti ini.” Kia terus saja memamerkan sederetan gigi putihnya sembari menggeser beberapa foto yang berhasil ia abadikan bersama pasangan idolanya itu.Setelah dirasa cukup untuk melihat foto itu, Kia menaruh ponselnya ke a
Karen menepati janjinya untuk datang ke rumah Kia pukul setengah enam. Beruntungnya, datangnya Karen tidak berpapasan dengan mobil milik papanya yang baru saja melesat menuju tempat pesta.Saat ini, baik Kia maupun Karen sudah berada di dalam mobil. Ditemani oleh sang supir, Karen memerintahkan Pak Narto—supir pribadinya untuk menuju sebuah salon kecantikan.“Kita mau ngapain ke sana?” tanya Kia.“Mau rias wajah kita lah, gak lihat ini wajah kita masih netral banget tanpa bedak?”“Buat apa?”“Ya, buat ke pestanya pak Hidayat dong Kia sayang. Memangnya kamu mau kita ke pesta dengan wajah buluk gini? Malah jerawat aku satu lagi nimbul di dagu.” Karen mengambil sebuah cermin dari dalam tasnya, kemudian memandangi jerawatnya menggunakan cermin itu.“Iya juga, sih. Tapi, kala
“Ada apa, Astri? Kenapa pakai teriak-teriak segala?” tanya Kia yang baru saja datang. Gadis itu terlihat beberapa kali mengucek matanya.“Nih, pegangin dulu gaunnya.” Astri menyerahkan sebuah gaun berwarna putih kepada Kia. Kia yang melihat gaun itu sontak membelalakkan matanya. “Ini gaunnya buat aku? Wah, makasih ya, Astri. Aku pikir, nanti malam aku benar-benar gak dibolehin pergi ke pestanya pak Hidayat dan bu Dania. Makasih banyak ya, Astri.”Kia mengangkat tinggi tangannya yang memegang gaun itu. Kia tersenyum bahagia, ketika gaun sederhana dengan pita di bagian lengan kiri dan kanan itu akan dikenakannya nanti malam.“Apa? Gaun itu buat kamu? Jangan mimpi deh, Kia. Ini itu masih siang, kalau mau mimpi, pas malam aja.”Ucapan Astri membuat Kia mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu apa, Astri?”
Akibat semalaman, Kia menghabiskan waktunya untuk menangis meratapi nasib malangnya. Sekarang ia harus mengenakan kacamata hitam ke sekolah karena matanya yang membengkak. Jika bukan karena ia harus mempertahankan beasiswanya, mungkin Kia sudah memilih untuk tidak datang ke sekolah. Gadis itu merasa malu dengan keadaan matanya."Loh, loh, sejak kapan sekolah kita jadi tren pakai kacamata hitam?" tanya Lusi setengah meledek kepada temannya yang lain."Sejak bola api menyerang," jawab Erika."Sejak si cacat itu yang pakai, hahaha." Lena ikut menjawab. Ah, tepatnya meledek.Kia berusaha menulikan telinganya untuk tidak mendengar perbincangan dari teman sekelasnya itu. Gadis itu mengambil posisi duduk di bangkunya dan tetap dalam keadaan menggunakan kacamata hitamnya."Woi cacat, pakai kacamata hitam ni ye," ledek Aldo, teman sekelas Kia yang lainnya.&nb
Di dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda, seorang gadis tengah terbaring di atas ranjang empuknya. Tatapannya ia arahkan ke atas, melihat sebuah poster besar yang tertempel di langit-langit ruangannya. Poster itu bergambarkan pasangan suami istri yang merupakan pasangan artis terkenal, sekaligus menjadi panutan hidup bagi gadis itu.Pasangan suami istri itu ialah Hidayat Athafariz dan Dania Ghaisa. Sosok yang begitu menginspirasi Kia sedari kecil. Kia yang sedari dulu memiliki hobi menonton televisi seputar dunia artis, akhirnya memilih menjadikan pasangan suami istri itu sebagai panutan hidupnya. Hidayat dan Dania juga merupakan teman dari Aris dan Gea.Kehidupan Hidayat dan Dania yang dulu tidaklah sesukses sekarang. Mereka berulang kali harus mengalami hilangnya eksistensi mereka di dunia hiburan. Namun, kegagalan itu tidak membuat mereka menyerah begitu saja. Mereka selalu berusaha bangkit dengan semua jerih payah mereka.