"Kia."
Mendengar namanya terpanggil, Kia menoleh ke belakang. Ada Karen di belakang sana yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Kia.
"Hai, Karen." Kia menyapa Karen balik.
"Kamu kemana aja kemarin? Kok gak masuk?" Pertanyaan Karen membuat Kia mengernyitkan dahinya. Bukannya kemarin Kia sudah menuliskan surat izin? Apa Karen tidak mengetahuinya?
"Aku sakit, Ren. Kemarin kan aku ada tulis surat izin, kamu gak tahu?"
"Surat izin? Kamu ada kirim surat?"
Kia menganggukkan kepalanya. "Iya, aku titipkan ke Astri, minta kasikan ke wali kelas kita."
"Enggak ada, Kia. Malah di buku absen, kamu dialpakan karena gak ada izin. Maka dari itu, sekarang aku tanya sama kamu, kemarin kamu kemana aja."
Kia membelalakkan matanya. "Apa? Alpa?"
Ternodai sudah absen Kia dengan tinta merah bertuliskan huruf A.
"Iya, kan gak ada surat izin. Tapi, beneran kemarin kamu tulis surat izin? Trus kamu titipin ke Astri?"
"Iya, beneran Ren. Aku masih ingat, kemarin pagi aku minta bi Tari panggilkan Astri ke kamarku karena aku lagi pusing. Jadi, Astri datang ke kamar aku, dan aku titipin surat itu." Dari penjelasan Kia, Karen merasa ada yang janggal. Jika memang benar Kia menitipkan surat kepada Astri, dan surat tersebut tidak sampai ke tangan wali kelasnya, berarti ....
"Jangan-jangan, Astri lupa kasi suratnya ke bu Sandra?" Karen berspekulasi. "Atau, yang lebih parahnya, Astri sengaja gak mau ngasi?"
Kia menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar dugaan kedua dari Karen. "Enggak, enggak mungkin Astri sengaja. Lagian, kalau dia memang sengaja gak ngasi surat itu ke bu Sandra, apa untungnya buat dia?"
"Ya, kamu tahu sendiri kalau Astri memang gak suka sama kamu. Jadi, mungkin aja dia sengaja gak ngasi surat itu, supaya kamu alpa."
Kia terdiam mendengar ucapan Karen. Bisa jadi, ucapan sahabatnya itu benar. Selama ini, memang Astri kurang suka dengan Kia.
'Ah, gak mungkinlah Astri kayak begitu. Aku gak boleh berpikiran negatif sama Astri.'
"Ehm, ya udah deh. Biarin aja, nanti biar aku ketemu bu Sandra untuk konfirmasi ke dia aja."
"Oke deh, semoga Bu Sandra mau dengar penjelasan kamu dan ngubah keterangan alpa kamu menjadi izin sakit."
Kia mengamini ucapan Karen di dalam hatinya.
"Yuk, masuk kelas." Karen merangkul Kia yang sedikit lebih rendah darinya, berjalan masuk ke dalam kelas. Persahabatan mereka yang terjalin semenjak SMP, membuat mereka terlihat semakin dekat setiap harinya. Karenina Agastya, gadis yang akrab dipanggil Karen itulah satu-satunya sahabat Kia di sekolahnya. Selain dari Karen, tidak ada satupun teman di sekolah, ataupun teman sekelasnya yang mau berteman dengan Kia, mengingat wajahnya yang sedikit cacat. Oleh karena itu, Kia merasa sangat bersyukur ketika dipertemukan dengan gadis sebaik Karen.
***
“Karen, aku mau ke ruang guru dulu ya, mau ketemu bu Sandra.”
Karen menganggukkan kepalanya. “Iya, Kia. Semoga ibu mau dengarkan penjelasan kamu trus keterangan alpa kamu diganti ya.”
Kia tersenyum, kemudian mengangkat dua jempolnya kepada Karen.
Gadis itu melangkah keluar dari dalam kelasnya. Kia menyusuri koridor kelas, lalu menuruni tangga satu per satu. Ruangan kelas XI Ipa 1 yang sekarang tengah diduduki oleh Kia dan teman-temannya berada di lantai ketiga. Sementara, ruang guru berada di lantai pertama.
‘Kenapa tadi pas mau ke kelas, aku gak singgah dulu aja ke ruang guru? Kalau kayak gini, bolak-balik dong,’ batin Kia. Terkadang, ia mengutuki kebodohan dirinya sendiri akan hal ini.
Kia mengetuk pintu ruangan itu sebanyak tiga ketika sebelum ia membukanya. “Permisi.”
Kia lantas menutup kembali pintu itu
“Selamat pagi, Bu.”
“Iya, silakan duduk, Kia.” Kia mengangguk, lalu mengambil posisi duduk di kursi yang disediakan. Bu Sandra, wali kelasnya itu merangkap menjadi wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Oleh karena itu, tak heran jika beliau memiliki bagian dari ruangannya tersendiri.
“Kebetulan kamu datang ke sini, ada yang mau ibu tanyakan sama kamu, Kia.”
“Tanya soal apa ya, Bu?”
“Soal absen, kemarin kenapa kamu tidak masuk?” Sudah dapat Kia duga, pertanyaan inilah yang akan dilontarkan bu Sandra.
“Kemarin saya sakit, Bu. Jadi, saya tidak masuk sekolah.”
“Kalau kamu sakit, kenapa tidak mengirimkan surat izin? Kamu kan bisa titip ke Astri surat izinnya.” Bu Sandra memang sudah mengetahui hubungan persaudaraan antara Kia dan Astri, mengingat beliau memegang data anak kelasnya. Hanya saja, ia diminta untuk menjaga rahasia bahwa Kia ialah saudara Astri.
“Maaf, Bu. Saya sudah titipin surat kepada Astri, namun, ternyata dia tidak menyampaikannya.”
“Jadi, begitu ya.” Bu Sandra menganggukkan kepalanya, tanda ia paham akan kondisi Kia.
“Kalau begitu, nanti saya akan rubah keterangan alpa kamu menjadi izin sakit, ya. Ibu tahu, kamu gak mungkin alpa, kamu itu murid berprestasi di sekolah ini.” Mendengar ucapan bu Sandra, mata Kia sontak berbinar-binar.
“Ibu mau ubah absen saya?” tanya Kia yang masih tidak percaya.
“Iya, kali ini ibu ubahkan. Akan tetapi, untuk hari-hari kedepannya, ibu tidak akan berlaku yang sama lagi. Kamu harus benar-benar memastikan surat izin kamu sampai kepada Ibu, atau kepada sekretaris kelas.”
“Iya, Bu. Saya janji, lain kali saya gak akan teledor dalam mengirimkan surat izin lagi. Terima kasih banyak, Bu. Kalau begitu, saya permisi, Bu.”
Kia berjalan keluar dari ruang guru dengan wajah yang berseri. “Akhirnya, aku gak jadi alpa. Dengan begini, aku bisa lebih tenang, deh.”
‘Kurang ajar, rencana aku buat ngehancurin Kia gagal. Tapi, tenang aja. Kia, ini baru awal, dan untuk kedepannya aku akan buat kamu jauh lebih hancur.’
***
“Gimana absen kamu? Udah bicara sama bu Sandra?”
“Udah, Ren. Bu Sandra itu emang orangnya baik banget, ya. Dia mau dengarin penjelasan aku, dan mau ubahkan alpa aku menjadi izin sakit,” ucap Kia dengan rasa bahagia yang meliputi hatinya.
“Aku turut senang deh kalau gitu. Jadi, beasiswa kamu gak bakal terancam dicabut.”
Kia tersenyum miris. Karena papa dan mamanya yang tidak mempedulikannya, ia jadi harus mati-matian mempertahankan beasiswa yang ia pegang. Terkadang, gadis itu merasa dirinya terlalu ambisius dalam hal ini. Akan tetapi, Kia tidak bisa memungkiri, bahwa semua ambisinya ini adalah yang terbaik untuknya.
“Iya. Kalau aku sampai alpa sehari, aku gak tau deh gimana jadinya beasiswa aku.”
“Kamu tenang aja, Kia. Beasiswa kamu gak akan dicabut, secara kamu kan penyumbang piala terbanyak di sekolah ini.”
Ucapan Karen tentang Kia itu benar adanya, dan tidak melebih-lebihkan. Selama hampir 50 tahun sekolah ini berdiri, Kia lah yang memegang rekor penyumbang piala terbanyak. Sudah 15 perlombaan yang berhasil Kia juarai, satu diantaranya yang paling memuaskan ialah lomba sains internasional yang baru Kia juarai sebulan yang lalu. Tidak alang-alang, gadis itu menduduki peringkat nomor 1 di antara puluhan tim dari negara lain.
Itulah alasan Kia selalu dielu-elukan oleh guru di sekolahnya, dan alasan mengapa Kia selalu dibenci oleh teman-teman di sekolahnya. Mereka menganggap Kia terlalu berambisi hingga semua lomba ia ikuti, terlebih dengan wajah pas-pasan Kia, membuat teman sekolahnya semakin muak melihat wajah Kia selalu terpampang di madding sekolah.
***
Selamat datang di kehidupan. Suatu tempat dimana kamu akan merasa dibanggakan, juga dibenci dalam waktu bersamaan.
Suasana siang ini begitu panas dan terik. Matahari yang kini posisinya tepat di atas kepala, membuat siapa saja yang berada di bawahnya kegerahan. Namun, panasnya matahari itu tidak menurunkan semangat kaum adam yang tengah berlarian kesana kemari untuk mengejar sebuah benda bernama bola.Hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana kegiatan belajar di sekolah, diganti dengan kegiatan ekstrakurikuler. Ada begitu banyak ekstrakurikuler yang ditawarkan di Bayanaka High School, sekolah tempat Kia menuntut ilmunya sekarang.Sebelum membahas tentang ekstrakurikuler yang ditawarkan di sekolah tersebut, mari kita mengenal sedikit tentang Bayanaka High School. Bayanaka High School dibangun oleh seorang Profesor bernama Bayu Andakha. Diberi nama Bayanaka karena merupakan singkatan dari nama Bayu Andakha. Bayanaka sendiri sebenarnya mempunyai arti. Bayanaka diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘luar biasa’. Sesuai dengan arti
“Astri, ada yang mau aku tanyain sama kamu.”Mendengar namanya terpanggil, Astri hanya mengedikkan bahunya. Gadis itu masih fokus dengan layar ponselnya yang menampilkan video-video lucu.“Astri, aku pengen ngomong sama kamu. Ponselnya ditaruh dulu.”Astri tetap saja tidak bergeming, sepertinya gadis itu memang sengaja tidak menjawab ucapan Kia. Astri pura-pura tidak mendengar, padahal gadis itu sama sekali tidak menggunakan earphone di telinganya yang membuatnya tidak bisa mendengar. Kia yang merasa Astri tidak menanggapi ucapannya, menarik ponsel Astri dari tangan pemiliknya kemudian meletakkan ponsel itu di atas meja.“Kamu apa-apaan sih, Kia? Aku lagi seru-seruan nonton video, main tarik aja ponselku. Mana ponsel aku, sini kembaliin,” kesal Astri.Kia menggelengkan kepalanya. “Aku pengen ngomong dulu sama
Di sebuah gedung bernuansa serba putih, di sinilah Kia berada sekarang ini. Langkah kakinya yang dipercepat membawanya ke bagian administrasi rumah sakit.“Selamat pagi, Sus.”“Iya, selamat pagi, Dek. Ada yang bisa saya bantu?”Kia mengangguk. “Iya, Sus. Saya baru dapat kabar, kalau teman saya mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit ini.”“Maaf, kalau boleh tahu, nama temannya siapa ya? Biar saya bisa mengeceknya.”“Nama teman saya Karenina, Sus. Lengkapnya Karenina Agastya.”“Baik, tunggu sebentar ya, Dek. Saya cek dulu namanya.” Suster dengan name tag bertuliskan Linda itu segera mengetikkan nama yang disebutkan Kia di kolom pencarian pasien. “Mohon maaf, Dek. Tidak ada pasien bernama Karenina Agastya di sini.”Kia mengernyitkan dahinya. &ld
Di pojokan ruangan nan besar itu, terlihat Kia tengah sibuk mengatur lensa kameranya. Gadis itu juga beberapa kali meniup lensa kameranya yang terkena debu. Kamera yang diberikan oleh mendiang neneknya itu akan menemaninya dalam ekskul fotografi hari ini.Setelah sekian lama ekskul ini diliburkan karena sang kakak pengajar fotografi tengah di luar kota, akhirnya pada hari ini ekskul itu kembali dibuka. Kia merasa begitu antusias ketika ekskul yang dipilihnya itu akhirnya kembali dapat berjalan. Kia melihat kamera yang berada di tangannya lalu tersenyum.“Akhirnya, setelah sekian lama gak ekskul, hari ini mulai ekskul lagi. Aku senang banget, akhirnya bisa ditemani sama kamu lagi dalam ekskul ini,” ucap Kia kepada kamera kesayangannya. Selama ekskul ditiadakan, selama itu pula Kia menyimpan kameranya dengan baik. Ia tidak mau sembarang menggunakannya, jika bukan untuk ekskul dan memotret senja.
Baru saja berbunyi, sebuah bel kebahagiaan yang selalu dinantikan oleh setiap murid di seluruh penjuru dunia. Para tenaga didik berjalan keluar terlebih dahulu dari dalam kelas, menandakan bahwa kegiatan belajar-mengajar telah selesai dilaksanakan. DI belakangnya, puluhan murid berbondong-bondong keluar dari dalam ruangan kelas. Wajah mereka semua terlihat begitu sumringah, bagaikan telah terbebas dari penjara kesengsaraan.“Kia, mau pulang bareng Karen gak? Kebetulan hari ini Karen bawa motor nih.” Kia menimang sebentar ajakan Karen, beberapa detik kemudian gadis itu menggeleng. Kia baru teringat dengan janji Elvan yang akan mengantarnya ke tempat teman lelaki itu untuk memperbaiki kameranya.“Oh, kalau begitu, Karen pulang duluan ya. Kia nanti hati-hati pulangnya.”“Iya, Karen. Hati-hati.”Kia segera membereskan buku-bukunya ke dalam tas ranseln
Di bawah terang bulan yang bersinar menerangi kegelapan malam, Kia yang tengah duduk di koridor kamarnya itu menghela napasnya. Bukan kehidupan ini yang Kia inginkan. Kehidupan yang bergelimang harta dan miskin akan kasih sayang.Kia akui, keluarganya itu tidak seharmonis yang ditampilkan di depan khalayak umum. Papa dan mamanya sering bertengkar karena masalah pekerjaan. Entah itu dimulai dari papa yang menuduh mamanya berselingkuh dengan rekan kerjanya atau sebaliknya. Padahal, itu adalah hal yang lumrah ketika seorang pengusaha akan lebih sering bergaul dengan rekan kerjanya.Di setiap malam, Kia selalu memanjatkan doanya untuk kedua orang tuanya. Namun, sepertinya belum ada satupun doanya yang dijamah oleh Yang Maha Esa. Keluarganya masih tetap tidak seharmonis itu.Kia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Rasa dingin mulai menelusuk ke tulang-tulangnya. Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam kam
Memang betul apa yang dikatakan oleh bi Tari, keadaan sekolah pagi-pagi ini masih sepi. Bahkan, belum ada seorang guru, staff, ataupun murid yang datang. Yang ada hanyalah pak Muhardi—satpam yang sudah sedari tadi stand by di posnya.Kia berdiri di koridor kelasnya. Pandangannya ia arahkan ke langit biru yang begitu cerah pagi ini. Sayangnya, kondisi hati Kia tidak secerah keadaan langit itu. Jika dilakukan suatu pengandaian, maka hati Kia bagaikan langit yang tengah mendung dan siap menumpahkan hujannya kapan pun ia mau.Gadis itu menghela napasnya. Rasanya kehidupannya begitu berat untuk dijalani. Hidupnya bagaikan sebuah kesalahan, sehingga tak ada satupun orang yang mampu menghargainya. Hanya bi Tari dan Karen yang membuat hidupnya terasa masih berguna. Mungkin, jika tidak ada bi Tari dan Karen yang selalu menyemangatinya, Kia sendiri tidak tahu lagi apa yang mesti ia lakukan.“Pagi-pagi
Dengan kedua tangan yang terisi penuh, dengan perlahan Kia berjalan menuju meja makan. Masing-masing piring yang berada di kedua tangannya, satu persatu ia letakkan di atas meja. Gadis itu kemudian tersenyum puas, kala mendapati meja berbentuk persegi panjang itu sudah terlihat begitu menarik dengan beberapa jenis makanan yang sudah ia siapkan bersama bi Tari.“Wah, non Kia pintar banget tata letak makanannya. Jadi kelihatan seperti makan di restoran, non,” puji bi Tari.“Bibi bisa aja deh. Lagian, ini bukan karena penataannya yang bikin jadi menarik, melainkan karena masakan Bi Tari yang super lezat.” Kia membalikkan pujiannya kepada wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya.“Kia yakin, pasti papa, mama, dan Astri mau makan malam di rumah sekarang. Secara, ini kelihatan enak banget. Iya kan, Bi?”Bi Tari mengangguk. “Bibi juga yakin banget ka