Memang betul apa yang dikatakan oleh bi Tari, keadaan sekolah pagi-pagi ini masih sepi. Bahkan, belum ada seorang guru, staff, ataupun murid yang datang. Yang ada hanyalah pak Muhardi—satpam yang sudah sedari tadi stand by di posnya.
Kia berdiri di koridor kelasnya. Pandangannya ia arahkan ke langit biru yang begitu cerah pagi ini. Sayangnya, kondisi hati Kia tidak secerah keadaan langit itu. Jika dilakukan suatu pengandaian, maka hati Kia bagaikan langit yang tengah mendung dan siap menumpahkan hujannya kapan pun ia mau.
Gadis itu menghela napasnya. Rasanya kehidupannya begitu berat untuk dijalani. Hidupnya bagaikan sebuah kesalahan, sehingga tak ada satupun orang yang mampu menghargainya. Hanya bi Tari dan Karen yang membuat hidupnya terasa masih berguna. Mungkin, jika tidak ada bi Tari dan Karen yang selalu menyemangatinya, Kia sendiri tidak tahu lagi apa yang mesti ia lakukan.
“Pagi-pagi
Dengan kedua tangan yang terisi penuh, dengan perlahan Kia berjalan menuju meja makan. Masing-masing piring yang berada di kedua tangannya, satu persatu ia letakkan di atas meja. Gadis itu kemudian tersenyum puas, kala mendapati meja berbentuk persegi panjang itu sudah terlihat begitu menarik dengan beberapa jenis makanan yang sudah ia siapkan bersama bi Tari.“Wah, non Kia pintar banget tata letak makanannya. Jadi kelihatan seperti makan di restoran, non,” puji bi Tari.“Bibi bisa aja deh. Lagian, ini bukan karena penataannya yang bikin jadi menarik, melainkan karena masakan Bi Tari yang super lezat.” Kia membalikkan pujiannya kepada wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya.“Kia yakin, pasti papa, mama, dan Astri mau makan malam di rumah sekarang. Secara, ini kelihatan enak banget. Iya kan, Bi?”Bi Tari mengangguk. “Bibi juga yakin banget ka
Di dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda, seorang gadis tengah terbaring di atas ranjang empuknya. Tatapannya ia arahkan ke atas, melihat sebuah poster besar yang tertempel di langit-langit ruangannya. Poster itu bergambarkan pasangan suami istri yang merupakan pasangan artis terkenal, sekaligus menjadi panutan hidup bagi gadis itu.Pasangan suami istri itu ialah Hidayat Athafariz dan Dania Ghaisa. Sosok yang begitu menginspirasi Kia sedari kecil. Kia yang sedari dulu memiliki hobi menonton televisi seputar dunia artis, akhirnya memilih menjadikan pasangan suami istri itu sebagai panutan hidupnya. Hidayat dan Dania juga merupakan teman dari Aris dan Gea.Kehidupan Hidayat dan Dania yang dulu tidaklah sesukses sekarang. Mereka berulang kali harus mengalami hilangnya eksistensi mereka di dunia hiburan. Namun, kegagalan itu tidak membuat mereka menyerah begitu saja. Mereka selalu berusaha bangkit dengan semua jerih payah mereka.
Akibat semalaman, Kia menghabiskan waktunya untuk menangis meratapi nasib malangnya. Sekarang ia harus mengenakan kacamata hitam ke sekolah karena matanya yang membengkak. Jika bukan karena ia harus mempertahankan beasiswanya, mungkin Kia sudah memilih untuk tidak datang ke sekolah. Gadis itu merasa malu dengan keadaan matanya."Loh, loh, sejak kapan sekolah kita jadi tren pakai kacamata hitam?" tanya Lusi setengah meledek kepada temannya yang lain."Sejak bola api menyerang," jawab Erika."Sejak si cacat itu yang pakai, hahaha." Lena ikut menjawab. Ah, tepatnya meledek.Kia berusaha menulikan telinganya untuk tidak mendengar perbincangan dari teman sekelasnya itu. Gadis itu mengambil posisi duduk di bangkunya dan tetap dalam keadaan menggunakan kacamata hitamnya."Woi cacat, pakai kacamata hitam ni ye," ledek Aldo, teman sekelas Kia yang lainnya.&nb
“Ada apa, Astri? Kenapa pakai teriak-teriak segala?” tanya Kia yang baru saja datang. Gadis itu terlihat beberapa kali mengucek matanya.“Nih, pegangin dulu gaunnya.” Astri menyerahkan sebuah gaun berwarna putih kepada Kia. Kia yang melihat gaun itu sontak membelalakkan matanya. “Ini gaunnya buat aku? Wah, makasih ya, Astri. Aku pikir, nanti malam aku benar-benar gak dibolehin pergi ke pestanya pak Hidayat dan bu Dania. Makasih banyak ya, Astri.”Kia mengangkat tinggi tangannya yang memegang gaun itu. Kia tersenyum bahagia, ketika gaun sederhana dengan pita di bagian lengan kiri dan kanan itu akan dikenakannya nanti malam.“Apa? Gaun itu buat kamu? Jangan mimpi deh, Kia. Ini itu masih siang, kalau mau mimpi, pas malam aja.”Ucapan Astri membuat Kia mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu apa, Astri?”
Karen menepati janjinya untuk datang ke rumah Kia pukul setengah enam. Beruntungnya, datangnya Karen tidak berpapasan dengan mobil milik papanya yang baru saja melesat menuju tempat pesta.Saat ini, baik Kia maupun Karen sudah berada di dalam mobil. Ditemani oleh sang supir, Karen memerintahkan Pak Narto—supir pribadinya untuk menuju sebuah salon kecantikan.“Kita mau ngapain ke sana?” tanya Kia.“Mau rias wajah kita lah, gak lihat ini wajah kita masih netral banget tanpa bedak?”“Buat apa?”“Ya, buat ke pestanya pak Hidayat dong Kia sayang. Memangnya kamu mau kita ke pesta dengan wajah buluk gini? Malah jerawat aku satu lagi nimbul di dagu.” Karen mengambil sebuah cermin dari dalam tasnya, kemudian memandangi jerawatnya menggunakan cermin itu.“Iya juga, sih. Tapi, kala
Di sepanjang perjalanan pulang hingga saat Kia sudah tiba di rumahpun, gadis itu masih saja mempertahankan senyuman lebarnya. Gadis itu terus-menerus merapalkan rasa syukurnya karena berkat Karen, ia bisa pergi ke pesta tersebut. Ia juga merasa sangat berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, karena berkat izin-Nya, Kia bisa menginjakkan kakinya di lantai yang sama dengan idolanya. Terlebih, gadis itu sempat memperkenalkan diri dan mengajak pasangan Hidayat-Dania untuk berfoto bersama.“Senangnya, bisa foto bersama pak Hidayat dan bu Dania. Ternyata, memang aku gak salah mengidolakan mereka. Selain mereka sangat menginspirasi, mereka juga sangat ramah. Aku gak nyangka banget bisa dapatin momen-momen seperti ini.” Kia terus saja memamerkan sederetan gigi putihnya sembari menggeser beberapa foto yang berhasil ia abadikan bersama pasangan idolanya itu.Setelah dirasa cukup untuk melihat foto itu, Kia menaruh ponselnya ke a
“Kia!” teriak Aris dan Gea bersamaan. Teriakan itu tidak sama sekali membuat Kia terkejut, melainkan membuat gadis itu semakin menundukkan kepalanya akibat rasa takut.“Kamu itu benar-benar anak gak tahu diuntung, ya!” bentak Aris. “Masih untung kami itu tidak mengusir kamu dari rumah ini, tapi apa balasanmu? Kamu menjadi anak yang pembangkang, tidak penurut! Mau jadi apa kamu nantinya jika sekarang saja sudah berani tidak taat pada perintah orang tua?”Kali ini Aris benar-benar dipenuhi oleh amarah. Dapat dilihat dari urat-urat di kepalanya yang tampak kala lelaki paruh baya itu membentak putrinya itu.“Saya benar-benar malu punya anak seperti kamu, Kia,” ucap Gea yang juga tak kalah emosi. “Mau kamu itu apa, wahai anak cacat? Mau mempermalukan kami, hah?!?”Kia tersentak. Gadis itu hendak angkat bicara, namun lidahn
Kia membereskan buku tulisnya, kemudian menyusunnya rapi ke dalam rak buku. Gadis itu baru saja menyelesaikan tugas makalahnya. Sesuai dengan ucapan Karen tadi, ia langsung mengirimkan file-file berisi tugas dan materi kepada Kia. Ia juga menjelaskan beberapa tata cara pengerjaan tugas makalah yang diberikan.Kia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. Baru 1 hari, Kia berada di kamar secara terus-terusan. Namun, rasa bosan begitu menyelimuti perasaan gadis itu. Ponselnya tengah tersambung dengan stopkontak untuk mengisi energinya yang telah terkuras habis, sementara laptopnya bagaikan berada di tengah matahari 12 siang yang begitu panas karena baru digunakan untuk mengerjakan tugas. Kamarnya juga tidak seperti kamar milik Astri yang dilengkapi oleh televisi. Lantas, apa yang mesti Kia perbuat sekarang untuk mengusir rasa bosannya?“Baru sehari aja udah bosannya kayak gini, apalagi kalau 3 hari?”&nb