Di pojokan ruangan nan besar itu, terlihat Kia tengah sibuk mengatur lensa kameranya. Gadis itu juga beberapa kali meniup lensa kameranya yang terkena debu. Kamera yang diberikan oleh mendiang neneknya itu akan menemaninya dalam ekskul fotografi hari ini.
Setelah sekian lama ekskul ini diliburkan karena sang kakak pengajar fotografi tengah di luar kota, akhirnya pada hari ini ekskul itu kembali dibuka. Kia merasa begitu antusias ketika ekskul yang dipilihnya itu akhirnya kembali dapat berjalan. Kia melihat kamera yang berada di tangannya lalu tersenyum.
“Akhirnya, setelah sekian lama gak ekskul, hari ini mulai ekskul lagi. Aku senang banget, akhirnya bisa ditemani sama kamu lagi dalam ekskul ini,” ucap Kia kepada kamera kesayangannya. Selama ekskul ditiadakan, selama itu pula Kia menyimpan kameranya dengan baik. Ia tidak mau sembarang menggunakannya, jika bukan untuk ekskul dan memotret senja.
Ngomong-ngomong perihal senja, gadis dengan bando berwarna pink muda itu teramat mengagumi keindahan senja. Baginya, senja adalah warna baru yang bisa ia tambahkan di kehidupannya yang segelap malam. Baginya, senja memberikannya makna hidup yang baru, dengan jingga yang senantiasa menghiasi.
Kia menaruh kameranya di atas meja, kemudian gadis itu mencari ponselnya di dalam tas.
“Eh, akhirnya kita bisa ketemu lagi ya, dalam ekskul fotografi tercinta ini.”
Ucapan itu sontak membuat Kia menoleh. Seperti yang dapat Kia duga, itu ialah suara Angeli—teman seangkatannya yang berada di kelas sebelah.
“Iya, betul banget. Aku rindu banget loh sama kamu, Kia. Kamu enggak rindu memangnya sama aku?” Kini giliran Resty yang bersuara. Kia hanya terdiam mendengar pertanyaan Resty. Ia tahu, maksud “rindu” yang tengah dibicarakan oleh Resty bukan dalam artian rindu yang sesungguhnya. Gadis itu dan tentunya bersama dengan beberapa temannya rindu untuk mengganggu Kia.
“Kia, ya ampun, kameranya masih dijaga aja. Pasti ini berharga banget ya.” Carla berucap. Kia membulatkan matanya ketika kamera kesayangannya kini berpindah ke tangan Carla.
“Carla, balikin sini kameranya Kia,” ucap Kia.
“Elah, pinjam bentar lah, Kia. Jangan pelit jadi orang.”
“Kia mau pakai kameranya, sini.” Kia berusaha mengambil kameranya dari tangan Carla. Namun nahasnya, tinggi tubuhnya yang tidak setinggi Carla, membuat Kia kesusahan dalam mengambil kameranya.
“Ih, Kia. Sabar dong, kan Carla lagi pinjam. Nanti juga dibalikin,” ucap Resty.
“Tau nih si Kia, lagian aku kan cuma pengen lihat-lihat kameranya.” Carla mengarahkan kamera milik Kia setinggi mungkin untuk menjangkau semua dari mereka.
“Ayo gengs, kita foto dulu yuk. Say cheese.”
Prangg…
Bukannya suara pengambilan foto yang terdengar, melainkan suara benda terjatuh.
Benda itu, kamera Kia!
Kia membelalakkan matanya, melihat kameranya terjatuh dan beberapa pecahan terletak di sekitarnya.
“Aaa,” teriak Kia. “Kamera aku.”
Kia segera berlutut, melihat kameranya yang terpecah. Air matanya dengan cepat mengalir turun.
“Kenapa kalian jahat banget sih? Apa salah aku sampai kalian pecahin kamera aku?!” marah Kia. Sementara, sang pelaku yang memecahkan kamera itu mendadak terdiam, tak lagi bersua.
***
Suara pecahan benda terdengar begitu jelas di telinga Elvan. Tak lama kemudian, terdengar suara pekikan dari seorang gadis. Elvan menoleh ke sumber suar dan mendapati seorang gadis tengah berlutut di depan sebuah benda sambil menangis. Di depan gadis itu, ada 3 orang gadis lainnya yang berdiri di sana.
“Ada apa ya itu?”
Elvan segera menaruh kamera yang berada di tangannya ke atas meja, lalu berjalan menuju pojokan ruangan.
“Ada apa ini?” tanya Elvan.
“El—Elvan?” Tampak sekali pucat terlihat di wajah Angeli, Resty, dan Carla kala melihat kehadiran Elvan.
“Kamu kenapa nangis?” tanya Elvan kepada Kia. Lelaki itu ikut berlutut di sebelah Kia. Lelaki itu melihat Kia yang tengah memegang kameranya yang pecah. Sekarang, Elvan dapat mengetahui apa yang telah terjadi dengan gadis itu.
“Siapa yang pecahin kamera dia?” tanya Elvan kepada 3 gadis yang berdiri di depannya itu. Akan tetapi, nihil. Tak ada sedikitpun jawaban yang Elvan dapatkan.
“Sekali lagi aku tanya, siapa yang pecahin kamera dia?” tanya Elvan dengan intonasi meninggi. Kia yang berada di sebelahnya ikut terkejut, mendengar intonasi yang digunakan oleh Elvan.
“Oke, kalau kalian gak ada yang mau jawab. Aku bakal tanya langsung ke dia.” Elvan beralih menatap Kia. “Kia, jawab dengan jujur, siapa yang pecahin kamera kamu?”
Kia terkejut mendengar namanya disebut oleh Elvan. Gadis itu lalu menundukkan kepalanya, telunjuknya di arahkan kepada Carla.
“Loh, Kia. Bukan aku yang pecahin kamera kamu, itu cuma kecelakaan.” Carla berusaha membela dirinya.
“Iya, nih. Bukan salah Carla.” Resty ikut membela Carla.
Elvan yang mengetahui pelakunya, segera berdiri kemudian menatap tajam Carla. “Udah tahu salah, masih aja nyolot? Sekarang juga, kamu harus minta maaf dan ganti rugi kameranya Kia.”
Carla menggeleng. “Gak mau ah, ngapain minta maaf sama Kia? Toh, aku kan memang gak salah. Cuma kecelakaan biasa aja itu, lagian itu juga bisa diperbaiki. Jadi, aku rasa, aku gak perlu buat ganti rugi lah.”
Elvan semakin tersulut emosi, ketika mendengar ucapan Carla yang sama sekali tidak mau mengakui kesalahannya. Melihat Elvan yang sepertinya semakin marah, Carla memberikan kode kepada 2 temannya untuk pergi dari sana.
“Mau kemana?” Elvan mencengkram erat tangan Carla.
“Aww, sakit,” ringis gadis itu. Kia yang melihatnya menjadi tidak tega.
“Elvan, lepasin Carla, kasihan dia.” Dengan ajaibnya, Elvan melepas cengkraman tangannya pada Carla. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Carla dengan cepat berlari pergi.
“Carla, urusan kita belum selesai!” teriak Elvan. Elvan menghela napasnya melihat Carla yang tetap tidak mau kembali. Elvan berusaha menetralkan emosinya, sebelum akhirnya lelaki itu menatap Kia.
“Coba aku lihat kameranya.” Kia yang masih dalam keadaan terisak, memberikan kamera itu kepada Elvan.
“Kayaknya bisa diperbaiki kameranya, nanti kita bawa ke tempat service kamera ya. Kebetulan aku punya teman yang buka jasa service kamera.”
Kia hanya mengangguk mendengar ucapan Elvan.
“Udah, jangan nangis lagi ya. Percaya sama aku, kamera kamu pasti bisa diperbaiki,” ucap Elvan berusaha menenangkan hati Kia.
Kia tersenyum singkat kepada Elvan, lalu menatap nanar kameranya. Mengapa Carla dan teman-temannya begitu tega kepada dirinya? Terlebih, kamera peninggalan mendiang neneknya harus menjadi imbas dari kejahatan mereka.
“Mana tas kameranya? Dimasukin dulu ke dalam tas.” Kia mengambil tas kameranya yang berada di atas meja, kemudian menyerahkannya kepada Elvan. Elvan dengan perlahan memasukkan kamera milik Kia ke dalam tas.
“Kalau kamera aku rusak, gimana aku mau ekskul nanti?” tanya Kia.
“Kamu bisa pakai kamera aku.”
“Lalu, kamu gimana?”
“Aku gampanglah, bisa minjam punya teman. Udah ya, kamu tenang aja.” Elvan melemparkan senyumnya kepada Kia.
“Terima kasih banyak ya.”
“Sama-sama.”
“Nanti sepulang sekolah, kamu jangan pulang dulu. Kita pulang bareng, nanti sekalian aku antar kamu ke tempat teman aku service kamera,” lanjut Elvan.
“Terima kasih, sekali lagi.”
Dalam hatinya, Kia merasa begitu tersentuh dengan kebaikan Elvan. Jika tidak dalam keadaan bersedih seperti ini, sudah dapat dipastikan bila Kia akan merasa bahagia yang tak terdefinisikan.
***
Jangan bersenang bila berhasil melakukan sesuatu kejahatan. Di kehidupan ini kita mengenal yang namanya karma. Segala sesuatu yang kamu perbuat di masa yang sekarang, tentunya akan terbalaskan dengan setimpal di masa yang akan datang.
Baru saja berbunyi, sebuah bel kebahagiaan yang selalu dinantikan oleh setiap murid di seluruh penjuru dunia. Para tenaga didik berjalan keluar terlebih dahulu dari dalam kelas, menandakan bahwa kegiatan belajar-mengajar telah selesai dilaksanakan. DI belakangnya, puluhan murid berbondong-bondong keluar dari dalam ruangan kelas. Wajah mereka semua terlihat begitu sumringah, bagaikan telah terbebas dari penjara kesengsaraan.“Kia, mau pulang bareng Karen gak? Kebetulan hari ini Karen bawa motor nih.” Kia menimang sebentar ajakan Karen, beberapa detik kemudian gadis itu menggeleng. Kia baru teringat dengan janji Elvan yang akan mengantarnya ke tempat teman lelaki itu untuk memperbaiki kameranya.“Oh, kalau begitu, Karen pulang duluan ya. Kia nanti hati-hati pulangnya.”“Iya, Karen. Hati-hati.”Kia segera membereskan buku-bukunya ke dalam tas ranseln
Di bawah terang bulan yang bersinar menerangi kegelapan malam, Kia yang tengah duduk di koridor kamarnya itu menghela napasnya. Bukan kehidupan ini yang Kia inginkan. Kehidupan yang bergelimang harta dan miskin akan kasih sayang.Kia akui, keluarganya itu tidak seharmonis yang ditampilkan di depan khalayak umum. Papa dan mamanya sering bertengkar karena masalah pekerjaan. Entah itu dimulai dari papa yang menuduh mamanya berselingkuh dengan rekan kerjanya atau sebaliknya. Padahal, itu adalah hal yang lumrah ketika seorang pengusaha akan lebih sering bergaul dengan rekan kerjanya.Di setiap malam, Kia selalu memanjatkan doanya untuk kedua orang tuanya. Namun, sepertinya belum ada satupun doanya yang dijamah oleh Yang Maha Esa. Keluarganya masih tetap tidak seharmonis itu.Kia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Rasa dingin mulai menelusuk ke tulang-tulangnya. Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam kam
Memang betul apa yang dikatakan oleh bi Tari, keadaan sekolah pagi-pagi ini masih sepi. Bahkan, belum ada seorang guru, staff, ataupun murid yang datang. Yang ada hanyalah pak Muhardi—satpam yang sudah sedari tadi stand by di posnya.Kia berdiri di koridor kelasnya. Pandangannya ia arahkan ke langit biru yang begitu cerah pagi ini. Sayangnya, kondisi hati Kia tidak secerah keadaan langit itu. Jika dilakukan suatu pengandaian, maka hati Kia bagaikan langit yang tengah mendung dan siap menumpahkan hujannya kapan pun ia mau.Gadis itu menghela napasnya. Rasanya kehidupannya begitu berat untuk dijalani. Hidupnya bagaikan sebuah kesalahan, sehingga tak ada satupun orang yang mampu menghargainya. Hanya bi Tari dan Karen yang membuat hidupnya terasa masih berguna. Mungkin, jika tidak ada bi Tari dan Karen yang selalu menyemangatinya, Kia sendiri tidak tahu lagi apa yang mesti ia lakukan.“Pagi-pagi
Dengan kedua tangan yang terisi penuh, dengan perlahan Kia berjalan menuju meja makan. Masing-masing piring yang berada di kedua tangannya, satu persatu ia letakkan di atas meja. Gadis itu kemudian tersenyum puas, kala mendapati meja berbentuk persegi panjang itu sudah terlihat begitu menarik dengan beberapa jenis makanan yang sudah ia siapkan bersama bi Tari.“Wah, non Kia pintar banget tata letak makanannya. Jadi kelihatan seperti makan di restoran, non,” puji bi Tari.“Bibi bisa aja deh. Lagian, ini bukan karena penataannya yang bikin jadi menarik, melainkan karena masakan Bi Tari yang super lezat.” Kia membalikkan pujiannya kepada wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya.“Kia yakin, pasti papa, mama, dan Astri mau makan malam di rumah sekarang. Secara, ini kelihatan enak banget. Iya kan, Bi?”Bi Tari mengangguk. “Bibi juga yakin banget ka
Di dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda, seorang gadis tengah terbaring di atas ranjang empuknya. Tatapannya ia arahkan ke atas, melihat sebuah poster besar yang tertempel di langit-langit ruangannya. Poster itu bergambarkan pasangan suami istri yang merupakan pasangan artis terkenal, sekaligus menjadi panutan hidup bagi gadis itu.Pasangan suami istri itu ialah Hidayat Athafariz dan Dania Ghaisa. Sosok yang begitu menginspirasi Kia sedari kecil. Kia yang sedari dulu memiliki hobi menonton televisi seputar dunia artis, akhirnya memilih menjadikan pasangan suami istri itu sebagai panutan hidupnya. Hidayat dan Dania juga merupakan teman dari Aris dan Gea.Kehidupan Hidayat dan Dania yang dulu tidaklah sesukses sekarang. Mereka berulang kali harus mengalami hilangnya eksistensi mereka di dunia hiburan. Namun, kegagalan itu tidak membuat mereka menyerah begitu saja. Mereka selalu berusaha bangkit dengan semua jerih payah mereka.
Akibat semalaman, Kia menghabiskan waktunya untuk menangis meratapi nasib malangnya. Sekarang ia harus mengenakan kacamata hitam ke sekolah karena matanya yang membengkak. Jika bukan karena ia harus mempertahankan beasiswanya, mungkin Kia sudah memilih untuk tidak datang ke sekolah. Gadis itu merasa malu dengan keadaan matanya."Loh, loh, sejak kapan sekolah kita jadi tren pakai kacamata hitam?" tanya Lusi setengah meledek kepada temannya yang lain."Sejak bola api menyerang," jawab Erika."Sejak si cacat itu yang pakai, hahaha." Lena ikut menjawab. Ah, tepatnya meledek.Kia berusaha menulikan telinganya untuk tidak mendengar perbincangan dari teman sekelasnya itu. Gadis itu mengambil posisi duduk di bangkunya dan tetap dalam keadaan menggunakan kacamata hitamnya."Woi cacat, pakai kacamata hitam ni ye," ledek Aldo, teman sekelas Kia yang lainnya.&nb
“Ada apa, Astri? Kenapa pakai teriak-teriak segala?” tanya Kia yang baru saja datang. Gadis itu terlihat beberapa kali mengucek matanya.“Nih, pegangin dulu gaunnya.” Astri menyerahkan sebuah gaun berwarna putih kepada Kia. Kia yang melihat gaun itu sontak membelalakkan matanya. “Ini gaunnya buat aku? Wah, makasih ya, Astri. Aku pikir, nanti malam aku benar-benar gak dibolehin pergi ke pestanya pak Hidayat dan bu Dania. Makasih banyak ya, Astri.”Kia mengangkat tinggi tangannya yang memegang gaun itu. Kia tersenyum bahagia, ketika gaun sederhana dengan pita di bagian lengan kiri dan kanan itu akan dikenakannya nanti malam.“Apa? Gaun itu buat kamu? Jangan mimpi deh, Kia. Ini itu masih siang, kalau mau mimpi, pas malam aja.”Ucapan Astri membuat Kia mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu apa, Astri?”
Karen menepati janjinya untuk datang ke rumah Kia pukul setengah enam. Beruntungnya, datangnya Karen tidak berpapasan dengan mobil milik papanya yang baru saja melesat menuju tempat pesta.Saat ini, baik Kia maupun Karen sudah berada di dalam mobil. Ditemani oleh sang supir, Karen memerintahkan Pak Narto—supir pribadinya untuk menuju sebuah salon kecantikan.“Kita mau ngapain ke sana?” tanya Kia.“Mau rias wajah kita lah, gak lihat ini wajah kita masih netral banget tanpa bedak?”“Buat apa?”“Ya, buat ke pestanya pak Hidayat dong Kia sayang. Memangnya kamu mau kita ke pesta dengan wajah buluk gini? Malah jerawat aku satu lagi nimbul di dagu.” Karen mengambil sebuah cermin dari dalam tasnya, kemudian memandangi jerawatnya menggunakan cermin itu.“Iya juga, sih. Tapi, kala