Baru saja berbunyi, sebuah bel kebahagiaan yang selalu dinantikan oleh setiap murid di seluruh penjuru dunia. Para tenaga didik berjalan keluar terlebih dahulu dari dalam kelas, menandakan bahwa kegiatan belajar-mengajar telah selesai dilaksanakan. DI belakangnya, puluhan murid berbondong-bondong keluar dari dalam ruangan kelas. Wajah mereka semua terlihat begitu sumringah, bagaikan telah terbebas dari penjara kesengsaraan.
“Kia, mau pulang bareng Karen gak? Kebetulan hari ini Karen bawa motor nih.” Kia menimang sebentar ajakan Karen, beberapa detik kemudian gadis itu menggeleng. Kia baru teringat dengan janji Elvan yang akan mengantarnya ke tempat teman lelaki itu untuk memperbaiki kameranya.
“Oh, kalau begitu, Karen pulang duluan ya. Kia nanti hati-hati pulangnya.”
“Iya, Karen. Hati-hati.”
Kia segera membereskan buku-bukunya ke dalam tas ranselnya. Tak lupa gadis itu mengambil tas berisikan kamera yang berada di laci mejanya. Setelah merasa tidak ada yang tertinggal, gadis itu berjalan keluar dari dalam kelasnya. Kia juga menutup pintu kelasnya, mengingat dialah orang terakhir yang keluar dari kelas.
Sebenarnya, tidak terlalu banyak hal yang dipelajari oleh Kia hari ini. Gadis itu bersama dengan teman-temannya yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler fotografi lainnya, diberi izin untuk mengikuti pembukaan kegiatan ekstrakurikuler yang sempat tertunda tersebut. Hal tersebut membuat Kia tertinggal beberapa materi pelajaran yang seharusnya sudah bisa masuk di otaknya. Sepertinya, nanti gadis itu akan menghubungi Karen untuk menanyai pelajaran apa yang sudah tertinggal oleh dirinya.
“Hai, Kia.” Panggilan itu membuat Kia hampir terpekik karena rasa kejutnya.
“Elvan? Astaga, kejutin aja.”
“Oh kamu terkejut? Maaf, gak bermaksud.”
“Iya gak apa-apa kok.”
“Yuk, pulang,” ajak Elvan. Kia hanya mengangguk kecil. Gadis itu berjalan mengekori Elvan sembari menunduk. Gadis itu tengah menyalurkan rasa gugupnya, dengan menjadikan rok abu-abunya sebagai pelampiasan.
Kia yang terlalu asyik menunduk, tidak menyadari bahwa Elvan yang berjalan di depannya itu berhenti, sehingga gadis itu menabrak dada bidang lelaki di depannya itu.
“Maaf, Van. Aku gak sengaja,” tuturnya.
“Iya, gak apa-apa. Lain kali, kalau jalan itu jangan nunduk. Masih mending kalau kamu nabrak aku, coba nabrak tembok. Kasihan muka kamu jadinya.” Elvan terkekeh mengakhiri ucapannya. Lelaki itu mengambil helm berwarna merah muda yang tergantung di motornya dan menyerahkannya kepada Kia.
“Dipakai helmnya.”
“Ini helm siapa? Helm kamu?” tanya Kia. Gadis itu terheran, ketika Elvan mempunyai helm berwarna merah muda. Setaunya, lelaki itu menyukai warna hitam dan bukan warna merah muda.
“Ya, bukanlah. Ini punya sepupu aku, tadi pagi dia berangkat ke sekolah dengan aku. Helm nya ditinggal, karena pulangnya bareng temannya pakai mobil,” jelas Elvan. Kia hanya mengangguk menanggapi penjelasan Elvan. Gadis itu dengan segera menggunakan helm yang diberikan oleh Elvan.
‘Duh, hati. Jangan berdegup kencang dong. Nanti kedengaran sama Elvan.’
***
Kia melangkahkan kakinya, berusaha menyambangi langkah cepat milik Elvan, lelaki dambaannya. Sembari melangkah, pandangan gadis itu tidak berhenti bergerak. Kia menjelajahi setiap inci tempat yang sekarang ia datangi. Menurut yang dikatakan oleh Elvan tadi, ia akan membawa Kia ke tempat service kamera. Akan tetapi, yang sekarang mereka datangi, bukanlah seperti tempat yang ada di pikiran Kia. Tempat ini begitu megah untuk dijadikan sebagai tempat memperbaiki sesuatu.
“Woi, bro. Tumben ke sini. Ada perlu apa, nih?” Kia langsung menghentikan pandangannya, dan menoleh ke sumber suara.
“Iya, nih bawa teman, mau perbaiki kamera,” ucap Elvan.
“Teman atau teman nih?” ledek temannya Elvan yang masih belum Kia ketahui siapa namanya.
“Teman doang kok.”
Kia tersenyum miris, ketika mendengar jawaban Elvan. Di detik berikutnya, gadis itu tersadar. Memangnya siapa Kia di kehidupan Elvan? Bukan siapa-siapa.
“Salam kenal, bang. Aku Kiavara, biasa dipanggil Kia,” ujar Kia memperkenalkan diri.
“Jangan panggil abang, umur kita sepantaran kok. Ohiya, aku Raedika, biasa dipanggil Dika sama teman-teman.”
Kia tersenyum kecil.
“Kameranya rusak? Sini coba aku lihat.”
Kia memberikan kameranya kepada Dika. Lelaki itu meneliti sebentar bagian dari kamera tersebut.
“Ini bekas jatuh ya?” tanyanya. Kia mengangguk.
“Ini kameranya disimpan di sini dulu ya. Aku mesti cek lebih lanjut mengenai kerusakan kameranya, nanti kalau udah selesai, aku bakal kabari lewat Elvan.”
“Oh begitu, terima kasih ya Dika.”
“Sama-sama.”
“Kalau gitu, aku dan Kia pamit ya, Dik. Sukses selalu buat kafenya.” Elvan menepuk bahu Dika, kemudian mengajak Kia untuk pulang.
“Van, itu teman kamu bisa perbaiki kamera?” tanya Kia.
“Iya, bisa. Memangnya kenapa? Kamu gak percaya karena ngelihat tempatnya kayak begini ya?” Tebakan Elvan seratus persen benar.
“Raedika itu memang pemilik kafe ini. Dia merintis kafe ini dengan jerih payahnya sendiri. Urusan kamera, Dika itu memang bukan bekerja dalam bidang itu, namun berhubung dia menyukai dunia fotografi. Dia pelan-pelan mulai mempelajari cara memperbaiki kamera. Dia tipe orang yang ceroboh, jadi kameranya suka jatuh dan rusak. Kalau minta orang perbaiki kan mahal, jadi dia mencoba memperbaiki sendiri kameranya.”
Kia mengangguk tanda ia paham akan penjelasan dari Elvan.
“Dika itu orangnya hebat ya,” puji Kia. Elvan hanya tersenyum kecil. Tanpa Kia sadari, pujiannya terhadap Dika membuat hati Elvan bergemuruh dengan kuat.
***
Kia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Perasaan bahagia menyelimuti seisi hatinya. Lagipula, siapa yang tidak akan merasa bahagia jika hari ini terus-terusan berada di samping sang dambaan hati? Sepulang dari kafe Dika, Elvan tidak langsung mengantarnya pulang, melainkan lelaki itu mengajak Kia berkeliling kota sejenak.
“Terima kasih, Elvan. Meski hari ini aku harus bersedih karena kamera aku yang rusak. Akan tetapi kamu hadir dan menggantikan kesedihan aku dengan kebahagiaan yang tak terhingga.”
Kia mengambil ponselnya yang berada di dalam tas ranselnya. Gadis itu membuka galeri fotonya, dan menekan salah satu album yang diberi emoticon love. Ketika album itu terbuka, Kia mengembangkan senyumnya. Dipandangnya lekat-lekat wajah seseorang yang fotonya berada di album tersebut.
“Elvan, selama ini aku hanya berani mengagumi kamu secara jauh. Bahkan, gak pernah terbayang di otak aku, bahwa hari ini akan datang. Hari dimana rasanya bahagia tak mampu aku definisikan dengan kata-kata lagi.”
Ucapan Kia terhenti, ketika mendengar suara ribut dari lantai bawah rumahnya.
“Ada apa ya? Kok ribut-ribut di bawah?” Kia bertanya kepada dirinya sendiri.
Karena rasa penasaran, Kia berjalan ke bawah untuk mengecek keadaan rumahnya. Tidak ia temui siapa-siapa di lantai bawah selain Bi Tari yang tengah berada di dapur.
“Bi, tadi ada apa ya? Kok ribut-ribut sih?” tanya Kia.
“Itu, Non. Tuan dan nyonya berantem tadi.”
Kia mengerutkan dahinya ketika mendengar jawaban Bi Tari. “Papa dan mama berantem lagi? Kenapa bisa? Trus, sekarang mereka dimana?”
“Iya, Non. Bibi gak tau alasan mereka berantem, tapi yang jelas kayaknya urusan kerjaan deh. Sekarang, nyonya ada di dalam kamar sih, kalau tuan sepertinya sedang keluar, Non.”
“Oh gitu ya, Bi. Ya udah, Kia ke kamar lagi ya.”
***
Bahagia menurutku itu sederhana. Sesederhana kamu datang menghampiriku, kemudian kita berbincang bersama.
Di bawah terang bulan yang bersinar menerangi kegelapan malam, Kia yang tengah duduk di koridor kamarnya itu menghela napasnya. Bukan kehidupan ini yang Kia inginkan. Kehidupan yang bergelimang harta dan miskin akan kasih sayang.Kia akui, keluarganya itu tidak seharmonis yang ditampilkan di depan khalayak umum. Papa dan mamanya sering bertengkar karena masalah pekerjaan. Entah itu dimulai dari papa yang menuduh mamanya berselingkuh dengan rekan kerjanya atau sebaliknya. Padahal, itu adalah hal yang lumrah ketika seorang pengusaha akan lebih sering bergaul dengan rekan kerjanya.Di setiap malam, Kia selalu memanjatkan doanya untuk kedua orang tuanya. Namun, sepertinya belum ada satupun doanya yang dijamah oleh Yang Maha Esa. Keluarganya masih tetap tidak seharmonis itu.Kia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Rasa dingin mulai menelusuk ke tulang-tulangnya. Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam kam
Memang betul apa yang dikatakan oleh bi Tari, keadaan sekolah pagi-pagi ini masih sepi. Bahkan, belum ada seorang guru, staff, ataupun murid yang datang. Yang ada hanyalah pak Muhardi—satpam yang sudah sedari tadi stand by di posnya.Kia berdiri di koridor kelasnya. Pandangannya ia arahkan ke langit biru yang begitu cerah pagi ini. Sayangnya, kondisi hati Kia tidak secerah keadaan langit itu. Jika dilakukan suatu pengandaian, maka hati Kia bagaikan langit yang tengah mendung dan siap menumpahkan hujannya kapan pun ia mau.Gadis itu menghela napasnya. Rasanya kehidupannya begitu berat untuk dijalani. Hidupnya bagaikan sebuah kesalahan, sehingga tak ada satupun orang yang mampu menghargainya. Hanya bi Tari dan Karen yang membuat hidupnya terasa masih berguna. Mungkin, jika tidak ada bi Tari dan Karen yang selalu menyemangatinya, Kia sendiri tidak tahu lagi apa yang mesti ia lakukan.“Pagi-pagi
Dengan kedua tangan yang terisi penuh, dengan perlahan Kia berjalan menuju meja makan. Masing-masing piring yang berada di kedua tangannya, satu persatu ia letakkan di atas meja. Gadis itu kemudian tersenyum puas, kala mendapati meja berbentuk persegi panjang itu sudah terlihat begitu menarik dengan beberapa jenis makanan yang sudah ia siapkan bersama bi Tari.“Wah, non Kia pintar banget tata letak makanannya. Jadi kelihatan seperti makan di restoran, non,” puji bi Tari.“Bibi bisa aja deh. Lagian, ini bukan karena penataannya yang bikin jadi menarik, melainkan karena masakan Bi Tari yang super lezat.” Kia membalikkan pujiannya kepada wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya.“Kia yakin, pasti papa, mama, dan Astri mau makan malam di rumah sekarang. Secara, ini kelihatan enak banget. Iya kan, Bi?”Bi Tari mengangguk. “Bibi juga yakin banget ka
Di dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda, seorang gadis tengah terbaring di atas ranjang empuknya. Tatapannya ia arahkan ke atas, melihat sebuah poster besar yang tertempel di langit-langit ruangannya. Poster itu bergambarkan pasangan suami istri yang merupakan pasangan artis terkenal, sekaligus menjadi panutan hidup bagi gadis itu.Pasangan suami istri itu ialah Hidayat Athafariz dan Dania Ghaisa. Sosok yang begitu menginspirasi Kia sedari kecil. Kia yang sedari dulu memiliki hobi menonton televisi seputar dunia artis, akhirnya memilih menjadikan pasangan suami istri itu sebagai panutan hidupnya. Hidayat dan Dania juga merupakan teman dari Aris dan Gea.Kehidupan Hidayat dan Dania yang dulu tidaklah sesukses sekarang. Mereka berulang kali harus mengalami hilangnya eksistensi mereka di dunia hiburan. Namun, kegagalan itu tidak membuat mereka menyerah begitu saja. Mereka selalu berusaha bangkit dengan semua jerih payah mereka.
Akibat semalaman, Kia menghabiskan waktunya untuk menangis meratapi nasib malangnya. Sekarang ia harus mengenakan kacamata hitam ke sekolah karena matanya yang membengkak. Jika bukan karena ia harus mempertahankan beasiswanya, mungkin Kia sudah memilih untuk tidak datang ke sekolah. Gadis itu merasa malu dengan keadaan matanya."Loh, loh, sejak kapan sekolah kita jadi tren pakai kacamata hitam?" tanya Lusi setengah meledek kepada temannya yang lain."Sejak bola api menyerang," jawab Erika."Sejak si cacat itu yang pakai, hahaha." Lena ikut menjawab. Ah, tepatnya meledek.Kia berusaha menulikan telinganya untuk tidak mendengar perbincangan dari teman sekelasnya itu. Gadis itu mengambil posisi duduk di bangkunya dan tetap dalam keadaan menggunakan kacamata hitamnya."Woi cacat, pakai kacamata hitam ni ye," ledek Aldo, teman sekelas Kia yang lainnya.&nb
“Ada apa, Astri? Kenapa pakai teriak-teriak segala?” tanya Kia yang baru saja datang. Gadis itu terlihat beberapa kali mengucek matanya.“Nih, pegangin dulu gaunnya.” Astri menyerahkan sebuah gaun berwarna putih kepada Kia. Kia yang melihat gaun itu sontak membelalakkan matanya. “Ini gaunnya buat aku? Wah, makasih ya, Astri. Aku pikir, nanti malam aku benar-benar gak dibolehin pergi ke pestanya pak Hidayat dan bu Dania. Makasih banyak ya, Astri.”Kia mengangkat tinggi tangannya yang memegang gaun itu. Kia tersenyum bahagia, ketika gaun sederhana dengan pita di bagian lengan kiri dan kanan itu akan dikenakannya nanti malam.“Apa? Gaun itu buat kamu? Jangan mimpi deh, Kia. Ini itu masih siang, kalau mau mimpi, pas malam aja.”Ucapan Astri membuat Kia mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu apa, Astri?”
Karen menepati janjinya untuk datang ke rumah Kia pukul setengah enam. Beruntungnya, datangnya Karen tidak berpapasan dengan mobil milik papanya yang baru saja melesat menuju tempat pesta.Saat ini, baik Kia maupun Karen sudah berada di dalam mobil. Ditemani oleh sang supir, Karen memerintahkan Pak Narto—supir pribadinya untuk menuju sebuah salon kecantikan.“Kita mau ngapain ke sana?” tanya Kia.“Mau rias wajah kita lah, gak lihat ini wajah kita masih netral banget tanpa bedak?”“Buat apa?”“Ya, buat ke pestanya pak Hidayat dong Kia sayang. Memangnya kamu mau kita ke pesta dengan wajah buluk gini? Malah jerawat aku satu lagi nimbul di dagu.” Karen mengambil sebuah cermin dari dalam tasnya, kemudian memandangi jerawatnya menggunakan cermin itu.“Iya juga, sih. Tapi, kala
Di sepanjang perjalanan pulang hingga saat Kia sudah tiba di rumahpun, gadis itu masih saja mempertahankan senyuman lebarnya. Gadis itu terus-menerus merapalkan rasa syukurnya karena berkat Karen, ia bisa pergi ke pesta tersebut. Ia juga merasa sangat berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, karena berkat izin-Nya, Kia bisa menginjakkan kakinya di lantai yang sama dengan idolanya. Terlebih, gadis itu sempat memperkenalkan diri dan mengajak pasangan Hidayat-Dania untuk berfoto bersama.“Senangnya, bisa foto bersama pak Hidayat dan bu Dania. Ternyata, memang aku gak salah mengidolakan mereka. Selain mereka sangat menginspirasi, mereka juga sangat ramah. Aku gak nyangka banget bisa dapatin momen-momen seperti ini.” Kia terus saja memamerkan sederetan gigi putihnya sembari menggeser beberapa foto yang berhasil ia abadikan bersama pasangan idolanya itu.Setelah dirasa cukup untuk melihat foto itu, Kia menaruh ponselnya ke a
Suara ketukan terdengar menggema pada sebuah kayu jati berwarna cokelat yang meninggi itu."Silakan masuk," ucap seorang wanita dari dalam sana. Si pengetuk tadi memutar knop pintu, kemudian berjalan masuk ke dalam ruangan besar penuh kehormatan itu. Tidak lupa, ia menutup kembali pintu megah dari jati itu."Selamat pagi, Bu.""Selamat pagi juga, Kia. Silakan duduk."Kia mengangguk sopan, kemudian duduk di kursi sebelah Elvan. Tunggu dulu, Elvan? Dia juga sedang berada di sini?"Baiklah, karena Kia sudah datang. Jadi tanpa banyak berbasa-basi, saya ingin memberitahukan kalian bahwa kalian berdua terpilih untuk mengikuti LBS-P tahun ini." Ucapan Bu Anin selaku wakil kepala sekolah bidang kurikulum membuat kedua muridnya saling bertatap muka."Mohon maaf, Bu. Bukankah LBS-P hanya diikuti oleh satu orang saja?" tanya Elvan yang mewakili p
“Kia, sumpah deh, aku masih gak nyangka papa kamu sebaik itu. Padahal seharusnya, kamu itu masih dalam masa kurungan, tapi papa kamu udah izinin kamu bersekolah. Aku senang banget,” ucap Karen bertubi-tubi. Ia tidak bisa menahan rasa senangnya ketika hari ini Kia mulai kembali bersekolah.“Iya, Ren. Aku juga gak nyangka. Aku pikir hukuman aku bakal ditambah, eh rupanya malah dikurangi. Aku senang, senang banget. Papa itu emang baik, cuma ya kadang-kadang aja galak.”Kia menyeruput jus alpukat yang berada di depannya. Rasa bahagia benar-benar menyelimuti perasaannya sekarang ini. Bagaimana tidak? Papanya memberinya izin untuk bersekolah lebih cepat dibanding yang dikatakannya kemarin. Mungkin, itu sebuah hal sederhana. Namun, memang sesederhana itu bahagianya Kia.“Kita berdoa aja, semoga ini adalah petunjuk yang baik. Semoga ke depannya papa kamu bahkan mama kamu akan bisa
Kia membereskan buku tulisnya, kemudian menyusunnya rapi ke dalam rak buku. Gadis itu baru saja menyelesaikan tugas makalahnya. Sesuai dengan ucapan Karen tadi, ia langsung mengirimkan file-file berisi tugas dan materi kepada Kia. Ia juga menjelaskan beberapa tata cara pengerjaan tugas makalah yang diberikan.Kia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 5 sore. Baru 1 hari, Kia berada di kamar secara terus-terusan. Namun, rasa bosan begitu menyelimuti perasaan gadis itu. Ponselnya tengah tersambung dengan stopkontak untuk mengisi energinya yang telah terkuras habis, sementara laptopnya bagaikan berada di tengah matahari 12 siang yang begitu panas karena baru digunakan untuk mengerjakan tugas. Kamarnya juga tidak seperti kamar milik Astri yang dilengkapi oleh televisi. Lantas, apa yang mesti Kia perbuat sekarang untuk mengusir rasa bosannya?“Baru sehari aja udah bosannya kayak gini, apalagi kalau 3 hari?”&nb
“Kia!” teriak Aris dan Gea bersamaan. Teriakan itu tidak sama sekali membuat Kia terkejut, melainkan membuat gadis itu semakin menundukkan kepalanya akibat rasa takut.“Kamu itu benar-benar anak gak tahu diuntung, ya!” bentak Aris. “Masih untung kami itu tidak mengusir kamu dari rumah ini, tapi apa balasanmu? Kamu menjadi anak yang pembangkang, tidak penurut! Mau jadi apa kamu nantinya jika sekarang saja sudah berani tidak taat pada perintah orang tua?”Kali ini Aris benar-benar dipenuhi oleh amarah. Dapat dilihat dari urat-urat di kepalanya yang tampak kala lelaki paruh baya itu membentak putrinya itu.“Saya benar-benar malu punya anak seperti kamu, Kia,” ucap Gea yang juga tak kalah emosi. “Mau kamu itu apa, wahai anak cacat? Mau mempermalukan kami, hah?!?”Kia tersentak. Gadis itu hendak angkat bicara, namun lidahn
Di sepanjang perjalanan pulang hingga saat Kia sudah tiba di rumahpun, gadis itu masih saja mempertahankan senyuman lebarnya. Gadis itu terus-menerus merapalkan rasa syukurnya karena berkat Karen, ia bisa pergi ke pesta tersebut. Ia juga merasa sangat berterima kasih kepada Yang Maha Kuasa, karena berkat izin-Nya, Kia bisa menginjakkan kakinya di lantai yang sama dengan idolanya. Terlebih, gadis itu sempat memperkenalkan diri dan mengajak pasangan Hidayat-Dania untuk berfoto bersama.“Senangnya, bisa foto bersama pak Hidayat dan bu Dania. Ternyata, memang aku gak salah mengidolakan mereka. Selain mereka sangat menginspirasi, mereka juga sangat ramah. Aku gak nyangka banget bisa dapatin momen-momen seperti ini.” Kia terus saja memamerkan sederetan gigi putihnya sembari menggeser beberapa foto yang berhasil ia abadikan bersama pasangan idolanya itu.Setelah dirasa cukup untuk melihat foto itu, Kia menaruh ponselnya ke a
Karen menepati janjinya untuk datang ke rumah Kia pukul setengah enam. Beruntungnya, datangnya Karen tidak berpapasan dengan mobil milik papanya yang baru saja melesat menuju tempat pesta.Saat ini, baik Kia maupun Karen sudah berada di dalam mobil. Ditemani oleh sang supir, Karen memerintahkan Pak Narto—supir pribadinya untuk menuju sebuah salon kecantikan.“Kita mau ngapain ke sana?” tanya Kia.“Mau rias wajah kita lah, gak lihat ini wajah kita masih netral banget tanpa bedak?”“Buat apa?”“Ya, buat ke pestanya pak Hidayat dong Kia sayang. Memangnya kamu mau kita ke pesta dengan wajah buluk gini? Malah jerawat aku satu lagi nimbul di dagu.” Karen mengambil sebuah cermin dari dalam tasnya, kemudian memandangi jerawatnya menggunakan cermin itu.“Iya juga, sih. Tapi, kala
“Ada apa, Astri? Kenapa pakai teriak-teriak segala?” tanya Kia yang baru saja datang. Gadis itu terlihat beberapa kali mengucek matanya.“Nih, pegangin dulu gaunnya.” Astri menyerahkan sebuah gaun berwarna putih kepada Kia. Kia yang melihat gaun itu sontak membelalakkan matanya. “Ini gaunnya buat aku? Wah, makasih ya, Astri. Aku pikir, nanti malam aku benar-benar gak dibolehin pergi ke pestanya pak Hidayat dan bu Dania. Makasih banyak ya, Astri.”Kia mengangkat tinggi tangannya yang memegang gaun itu. Kia tersenyum bahagia, ketika gaun sederhana dengan pita di bagian lengan kiri dan kanan itu akan dikenakannya nanti malam.“Apa? Gaun itu buat kamu? Jangan mimpi deh, Kia. Ini itu masih siang, kalau mau mimpi, pas malam aja.”Ucapan Astri membuat Kia mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu apa, Astri?”
Akibat semalaman, Kia menghabiskan waktunya untuk menangis meratapi nasib malangnya. Sekarang ia harus mengenakan kacamata hitam ke sekolah karena matanya yang membengkak. Jika bukan karena ia harus mempertahankan beasiswanya, mungkin Kia sudah memilih untuk tidak datang ke sekolah. Gadis itu merasa malu dengan keadaan matanya."Loh, loh, sejak kapan sekolah kita jadi tren pakai kacamata hitam?" tanya Lusi setengah meledek kepada temannya yang lain."Sejak bola api menyerang," jawab Erika."Sejak si cacat itu yang pakai, hahaha." Lena ikut menjawab. Ah, tepatnya meledek.Kia berusaha menulikan telinganya untuk tidak mendengar perbincangan dari teman sekelasnya itu. Gadis itu mengambil posisi duduk di bangkunya dan tetap dalam keadaan menggunakan kacamata hitamnya."Woi cacat, pakai kacamata hitam ni ye," ledek Aldo, teman sekelas Kia yang lainnya.&nb
Di dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda, seorang gadis tengah terbaring di atas ranjang empuknya. Tatapannya ia arahkan ke atas, melihat sebuah poster besar yang tertempel di langit-langit ruangannya. Poster itu bergambarkan pasangan suami istri yang merupakan pasangan artis terkenal, sekaligus menjadi panutan hidup bagi gadis itu.Pasangan suami istri itu ialah Hidayat Athafariz dan Dania Ghaisa. Sosok yang begitu menginspirasi Kia sedari kecil. Kia yang sedari dulu memiliki hobi menonton televisi seputar dunia artis, akhirnya memilih menjadikan pasangan suami istri itu sebagai panutan hidupnya. Hidayat dan Dania juga merupakan teman dari Aris dan Gea.Kehidupan Hidayat dan Dania yang dulu tidaklah sesukses sekarang. Mereka berulang kali harus mengalami hilangnya eksistensi mereka di dunia hiburan. Namun, kegagalan itu tidak membuat mereka menyerah begitu saja. Mereka selalu berusaha bangkit dengan semua jerih payah mereka.