Di sebuah gedung bernuansa serba putih, di sinilah Kia berada sekarang ini. Langkah kakinya yang dipercepat membawanya ke bagian administrasi rumah sakit.
“Selamat pagi, Sus.”
“Iya, selamat pagi, Dek. Ada yang bisa saya bantu?”
Kia mengangguk. “Iya, Sus. Saya baru dapat kabar, kalau teman saya mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit ini.”
“Maaf, kalau boleh tahu, nama temannya siapa ya? Biar saya bisa mengeceknya.”
“Nama teman saya Karenina, Sus. Lengkapnya Karenina Agastya.”
“Baik, tunggu sebentar ya, Dek. Saya cek dulu namanya.” Suster dengan name tag bertuliskan Linda itu segera mengetikkan nama yang disebutkan Kia di kolom pencarian pasien. “Mohon maaf, Dek. Tidak ada pasien bernama Karenina Agastya di sini.”
Kia mengernyitkan dahinya. “Oh, tidak ada ya, Sus. Kalau nama Karenina?”
Suster Linda menggeleng. “Tidak ada juga, Dek.”
“Kalau begitu, terima kasih ya, Sus. Saya permisi.”
Kia berjalan keluar dari rumah sakit dengan perlahan. Yang ada di pikirannya sekarang ialah mengapa tidak ada nama Karen yang terdata di nama pasien? Apa si penelepon tadi salah mengirim lokasi? Atau, jangan-jangan si penelepon tadi hanya menipunya? Seharusnya tadi Kia mengikuti firasatnya yang berkata bahwa ini hanya sekadar modus penipuan.
Kia menghela napasnya. Jika begini caranya, ia menyesal sudah menyia-nyiakan beberapa lembar rupiahnya untuk mengikuti perkataan si penelepon.
“Emang benar ya, penyesalan itu selalu datang di akhir,” ucap Kia dengan nada pasrahnya. Gadis itu melirik jam yang melingkar manis di tangan kirinya. Jarum pendek kini sudah menunjuk ke arah angka 7 dan juga jarum panjang yang mengarah ke angka 6.
Tunggu sebentar. Apa? Jam 7 lewat 30 menit?
“Astaga, aku telat sekolah!” pekik Kia yang sontak membuat gadis itu menjadi pusat perhatian orang-orang yang lalu lalang di sekitar rumah sakit.
Kia tidak mempedulikan semua tatapan itu. Tangannya dengan cepat mengambil ponsel yang berada di tasnya, kemudian memesan ojek online untuk kedua kalinya. Biarlah kali ini ia harus mengeluarkan uang lagi untuk naik ojek, yang jelas sekarang ia harus cepat tiba di sekolah.
***
Di sepanjang perjalanan menuju sekolah, seorang gadis dengan rambut tergerai itu selalu merapalkan doa di dalam hatinya. Gadis itu berharap jika ia tidak akan dimarahi oleh guru, mengingat jadwal upacara bendera hari ini.
“Ini, Pak, uangnya. Kembaliannya ambil aja.” Setelah turun dari motor, gadis itu dengan secepat mungkin berjalan menuju gerbang sekolah.
Dilihatnya lapangan sekolah yang telah kosong melompong, membuatnya semakin yakin bila upacara telah selesai dilaksanakan.
“Loh, neng Kia, kenapa baru datang?” tanya Pak Muhardi—sang satpam di Bayanaka High School.
“Ini, Pak. Tadi saya ada sedikit masalah sebelum ke sekolah, jadinya saya agak telat.” Pak Muhardi hanya menganggukkan kepalanya mendengar penjelasan dari Kia. Pak Muhardi sudah bekerja cukup lama di Bayanaka, sehingga untuk model-model murid yang suka berbohong, Pak Muhardi dengan sekejap dapat mengetahuinya. Sementara, Kia bukanlah salah satu dari model murid yang suka berbohong itu.
“Ya sudah, kamu boleh masuk. Saya percaya kamu tidak berbohong. Tetapi, kamu tidak boleh langsung masuk kelas, temui guru piket terlebih dahulu untuk mendapat surat izin masuk.” Kia tersenyum mendengar ucapan Pak Muhardi. Sempat terlintas di pikiran Kia jika ia tidak akan diizinkan masuk oleh Pak Muhardi. Namun, ternyata dewi keberuntungan masih berpihak kepada dirinya.
“Terima kasih banyak, Pak. Kalau begitu, saya mau menemui guru piket terlebih dahulu. Sekali lagi, terima kasih, Pak.”
“Sama-sama, neng.”
***
“Apa? Ada yang telepon kamu trus bilang aku kecelakaan?”
Kia sontak menutup telinganya mendengar pertanyaan Karen atau lebih tepatnya pekikan Karen. Kia baru saja menceritakan perihal si penelepon yang menipunya tadi pagi, dimulai dari Kia yang awalnya tidak percaya, hingga Kia yang akhirnya pergi ke rumah sakit dan telat tiba di sekolah. Hal itu tentunya membuat Karen begitu terkejut.
“Iya, Ren. Makanya tadi aku datang ke sekolahnya telat. Soalnya aku ke rumah sakit dulu, untuk memastikan kamu baik-baik aja. Aku khawatir sama kamu.”
“Aaa, aku terharu banget. Kia sebegitu khawatirnya sama aku.” Karen memeluk tubuh Kia yang lebih mungil dari dirinya.
“Ya, namanya juga sahabat. Pasti khawatirlah pas dengar kabar sahabatnya seperti itu. Oh iya, Ren, yuk kita ke lapangan, nanti kena marah Pak Doddy kalau telat.”
Karen mengangguk. Dua gadis itu berjalan beriringan keluar dari ruang ganti baju, menuju lapangan. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, seorang laki-laki berlari dengan kecepatan penuh hingga dengan tak sengaja menabrak Kia.
“Aww,” ringis Kia yang terjatuh.
“Astaga, Kia!” pekik Karen yang langsung menolong Kia untuk bangkit. Sementara, laki-laki yang menabrak Kia tadi hendak berjalan pergi tanpa meminta maaf.
“Eits, Arman, minta maaf dulu dong sama Kia.” Karen menahan lengan Arman, membuat laki-laki itu berdecak.
“Ngapain gue harus minta maaf sama dia?” ketus Arman.
“Elah, pakai tanya segala lagi. Kamu kan tadi nabrak Kia, sampai Kianya jatuh lagi. Ya, kamu harus minta maaf lah.”
“Gue? Minta maaf sama nih anak pembantu? Ogah!”
“Arman, jaga ucapan kamu ya!” bentak Karen dengan intonasi tinggi.
“Loh, apanya yang perlu gue jaga? Memang benar, kan? Dia itu anak pembantu, sekali lagi cuma anak pembantu.” Ucapan Arman membuat Karen semakin emosi.
“Eh, Man. Kamu gak pernah diajarin sopan santun ya sama kedua orang tua kamu? Omongannya main ceplas-ceplos aja. Kia bisa sakit hati dengar ucapan kamu.”
“Udah ya, Karen. Gue mau lanjutin main basket, jadi tolong jangan tahan gue cuma untuk minta maaf sama nih anak pembantu. Lagian, tadi gue gak sengaja, gue lari buat kerja bola basket. Kalau gue nabrak nih cewek, ya salah dia kenapa jalannya di lapangan tempat orang main basket? Udah ya, teman-teman gue udah nyariin.” Arman mengakhiri ucapannya, kemudian berlari kembali ke tengah lapangan.
“Eh Arman! Udah salah, gak mau ngaku lagi. Kalau salah, ya salah!” teriak Karen yang tentunya masih bisa didengar oleh Arman. Lelaki itu hanya mengedikkan bahunya, pertanda bila ia tidak peduli dengan ucapan Karen.
“Udah, Ren. Jangan teriak-teriak gitu, nanti Pak Doddy dengar, gak enak. Lagian, yang Arman ucapin tadi itu benar, kita itu salah milih jalan. Ini kan lapangan tempat main basket, seharusnya tadi kita lewat sana aja jalannya.”
Karen merasa jengah dengan ucapan Kia. “Kia, sampai kapan sih kamu itu mau begini? Terlalu baik banget sama orang. Kalau dengan kamu baik, mereka bisa ngehargai kamu, ya itu gak masalah. Lah ini? Bukannya ngehargai, mereka malah makin semena-mena sama kamu.”
“Udah, Ren. Aku gak apa-apa kok.”
“Kia, jangan bohong, aku tahu kok kamu gak baik-baik aja. Pasti kamu merasa sakit hati ketika mendengar ucapan Arman tadi. Iya, kan?”
Kia terdiam. Karen memang selalu bisa memahami isi hatinya. Kia memang tidak dapat mengelak, bila ia juga merasa sakit hati ketika mendengar ucapan Arman mengenai dirinya tadi.
“Udah, aku gak apa-apa kok. Percaya sama aku.” Kia tersenyum miris mengakhiri ucapannya.
***
Menghinaku tidak berarti kamu lebih tinggi derajatnya daripadaku. Menghinaku justru memberikan bukti, betapa derajatku lebih tinggi daripada kamu.
Di pojokan ruangan nan besar itu, terlihat Kia tengah sibuk mengatur lensa kameranya. Gadis itu juga beberapa kali meniup lensa kameranya yang terkena debu. Kamera yang diberikan oleh mendiang neneknya itu akan menemaninya dalam ekskul fotografi hari ini.Setelah sekian lama ekskul ini diliburkan karena sang kakak pengajar fotografi tengah di luar kota, akhirnya pada hari ini ekskul itu kembali dibuka. Kia merasa begitu antusias ketika ekskul yang dipilihnya itu akhirnya kembali dapat berjalan. Kia melihat kamera yang berada di tangannya lalu tersenyum.“Akhirnya, setelah sekian lama gak ekskul, hari ini mulai ekskul lagi. Aku senang banget, akhirnya bisa ditemani sama kamu lagi dalam ekskul ini,” ucap Kia kepada kamera kesayangannya. Selama ekskul ditiadakan, selama itu pula Kia menyimpan kameranya dengan baik. Ia tidak mau sembarang menggunakannya, jika bukan untuk ekskul dan memotret senja.
Baru saja berbunyi, sebuah bel kebahagiaan yang selalu dinantikan oleh setiap murid di seluruh penjuru dunia. Para tenaga didik berjalan keluar terlebih dahulu dari dalam kelas, menandakan bahwa kegiatan belajar-mengajar telah selesai dilaksanakan. DI belakangnya, puluhan murid berbondong-bondong keluar dari dalam ruangan kelas. Wajah mereka semua terlihat begitu sumringah, bagaikan telah terbebas dari penjara kesengsaraan.“Kia, mau pulang bareng Karen gak? Kebetulan hari ini Karen bawa motor nih.” Kia menimang sebentar ajakan Karen, beberapa detik kemudian gadis itu menggeleng. Kia baru teringat dengan janji Elvan yang akan mengantarnya ke tempat teman lelaki itu untuk memperbaiki kameranya.“Oh, kalau begitu, Karen pulang duluan ya. Kia nanti hati-hati pulangnya.”“Iya, Karen. Hati-hati.”Kia segera membereskan buku-bukunya ke dalam tas ranseln
Di bawah terang bulan yang bersinar menerangi kegelapan malam, Kia yang tengah duduk di koridor kamarnya itu menghela napasnya. Bukan kehidupan ini yang Kia inginkan. Kehidupan yang bergelimang harta dan miskin akan kasih sayang.Kia akui, keluarganya itu tidak seharmonis yang ditampilkan di depan khalayak umum. Papa dan mamanya sering bertengkar karena masalah pekerjaan. Entah itu dimulai dari papa yang menuduh mamanya berselingkuh dengan rekan kerjanya atau sebaliknya. Padahal, itu adalah hal yang lumrah ketika seorang pengusaha akan lebih sering bergaul dengan rekan kerjanya.Di setiap malam, Kia selalu memanjatkan doanya untuk kedua orang tuanya. Namun, sepertinya belum ada satupun doanya yang dijamah oleh Yang Maha Esa. Keluarganya masih tetap tidak seharmonis itu.Kia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Rasa dingin mulai menelusuk ke tulang-tulangnya. Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam kam
Memang betul apa yang dikatakan oleh bi Tari, keadaan sekolah pagi-pagi ini masih sepi. Bahkan, belum ada seorang guru, staff, ataupun murid yang datang. Yang ada hanyalah pak Muhardi—satpam yang sudah sedari tadi stand by di posnya.Kia berdiri di koridor kelasnya. Pandangannya ia arahkan ke langit biru yang begitu cerah pagi ini. Sayangnya, kondisi hati Kia tidak secerah keadaan langit itu. Jika dilakukan suatu pengandaian, maka hati Kia bagaikan langit yang tengah mendung dan siap menumpahkan hujannya kapan pun ia mau.Gadis itu menghela napasnya. Rasanya kehidupannya begitu berat untuk dijalani. Hidupnya bagaikan sebuah kesalahan, sehingga tak ada satupun orang yang mampu menghargainya. Hanya bi Tari dan Karen yang membuat hidupnya terasa masih berguna. Mungkin, jika tidak ada bi Tari dan Karen yang selalu menyemangatinya, Kia sendiri tidak tahu lagi apa yang mesti ia lakukan.“Pagi-pagi
Dengan kedua tangan yang terisi penuh, dengan perlahan Kia berjalan menuju meja makan. Masing-masing piring yang berada di kedua tangannya, satu persatu ia letakkan di atas meja. Gadis itu kemudian tersenyum puas, kala mendapati meja berbentuk persegi panjang itu sudah terlihat begitu menarik dengan beberapa jenis makanan yang sudah ia siapkan bersama bi Tari.“Wah, non Kia pintar banget tata letak makanannya. Jadi kelihatan seperti makan di restoran, non,” puji bi Tari.“Bibi bisa aja deh. Lagian, ini bukan karena penataannya yang bikin jadi menarik, melainkan karena masakan Bi Tari yang super lezat.” Kia membalikkan pujiannya kepada wanita paruh baya yang berdiri di sebelahnya.“Kia yakin, pasti papa, mama, dan Astri mau makan malam di rumah sekarang. Secara, ini kelihatan enak banget. Iya kan, Bi?”Bi Tari mengangguk. “Bibi juga yakin banget ka
Di dalam sebuah ruangan bernuansa merah muda, seorang gadis tengah terbaring di atas ranjang empuknya. Tatapannya ia arahkan ke atas, melihat sebuah poster besar yang tertempel di langit-langit ruangannya. Poster itu bergambarkan pasangan suami istri yang merupakan pasangan artis terkenal, sekaligus menjadi panutan hidup bagi gadis itu.Pasangan suami istri itu ialah Hidayat Athafariz dan Dania Ghaisa. Sosok yang begitu menginspirasi Kia sedari kecil. Kia yang sedari dulu memiliki hobi menonton televisi seputar dunia artis, akhirnya memilih menjadikan pasangan suami istri itu sebagai panutan hidupnya. Hidayat dan Dania juga merupakan teman dari Aris dan Gea.Kehidupan Hidayat dan Dania yang dulu tidaklah sesukses sekarang. Mereka berulang kali harus mengalami hilangnya eksistensi mereka di dunia hiburan. Namun, kegagalan itu tidak membuat mereka menyerah begitu saja. Mereka selalu berusaha bangkit dengan semua jerih payah mereka.
Akibat semalaman, Kia menghabiskan waktunya untuk menangis meratapi nasib malangnya. Sekarang ia harus mengenakan kacamata hitam ke sekolah karena matanya yang membengkak. Jika bukan karena ia harus mempertahankan beasiswanya, mungkin Kia sudah memilih untuk tidak datang ke sekolah. Gadis itu merasa malu dengan keadaan matanya."Loh, loh, sejak kapan sekolah kita jadi tren pakai kacamata hitam?" tanya Lusi setengah meledek kepada temannya yang lain."Sejak bola api menyerang," jawab Erika."Sejak si cacat itu yang pakai, hahaha." Lena ikut menjawab. Ah, tepatnya meledek.Kia berusaha menulikan telinganya untuk tidak mendengar perbincangan dari teman sekelasnya itu. Gadis itu mengambil posisi duduk di bangkunya dan tetap dalam keadaan menggunakan kacamata hitamnya."Woi cacat, pakai kacamata hitam ni ye," ledek Aldo, teman sekelas Kia yang lainnya.&nb
“Ada apa, Astri? Kenapa pakai teriak-teriak segala?” tanya Kia yang baru saja datang. Gadis itu terlihat beberapa kali mengucek matanya.“Nih, pegangin dulu gaunnya.” Astri menyerahkan sebuah gaun berwarna putih kepada Kia. Kia yang melihat gaun itu sontak membelalakkan matanya. “Ini gaunnya buat aku? Wah, makasih ya, Astri. Aku pikir, nanti malam aku benar-benar gak dibolehin pergi ke pestanya pak Hidayat dan bu Dania. Makasih banyak ya, Astri.”Kia mengangkat tinggi tangannya yang memegang gaun itu. Kia tersenyum bahagia, ketika gaun sederhana dengan pita di bagian lengan kiri dan kanan itu akan dikenakannya nanti malam.“Apa? Gaun itu buat kamu? Jangan mimpi deh, Kia. Ini itu masih siang, kalau mau mimpi, pas malam aja.”Ucapan Astri membuat Kia mengernyitkan dahinya. “Maksud kamu apa, Astri?”