“Ngapain kamu nyuruh aku ke sini?”
Kia menerbitkan senyumnya ketika melihat Astri mau datang ke kamarnya. Sebenarnya, Astri datang ke kamarnya pun berkat bi Tari yang memanggilnya.
“Ngapain kamu senyum-senyum? Udah buruan, ada apa? Aku mau ke sekolah nih, memangnya kamu gak sekolah? Masih tiduran gitu.” Nada bicara Astri terkesan dingin, namun tidak melunturkan senyuman di bibir pucat Kia.
“Aku hari ini gak masuk sekolah, kepala aku pusing, badan aku meriang. Jadi, tolong titipin surat izin ini ke bu Sandra ya.” Kia menyerahkan sebuah amplop berwarna putih kepada Astri.
“Oh, bisa sakit juga kamu.”
“Bisa lah, Tri. Aku kan juga kayak kamu dan yang lainnya, hanya sebatas manusia biasa.” Kia tersenyum mengakhiri ucapannya. ‘Enggak, kita berbeda, Tri. Kamu yang cantik, dan aku yang jauh dari kata cantik. Kamu yang selalu membanggakan, dan aku yang selalu mempermalukan.’
“Ya udah, aku keluar dulu. Mau berangkat sekolah, takut telat.”
Kia mengangguk, lalu berkata, “Jangan lupa kasi surat itu ke bu Sandra ya. Kalau kamu gak kasi, nanti aku akan dialpakan.”
“Iya, bawel.” Astri melenggok keluar dari kamar Kia, lalu menutup pintu kamar Kia dengan sedikit keras.
“Astri, walaupun kamu bersikap dingin begitu, pasti dalam hati kamu, kamu juga khawatir sama aku. Aku akan selalu berusaha untuk bersikap baik sama kamu, sampai pada akhirnya kamu mau mengakui aku sebagai kakak kembar kamu ke teman-teman di sekolah. Kemudian, kita akan selalu berjalan bersama menuju sekolah, dan menjadi saudara paling goals di sekolah.” Kia mengakhiri ucapannya, setelah pusing kembali mendatangi kepalanya. Gadis itu menidurkan kembali tubuhnya. Hari ini ia harus istirahat total, supaya besok ia dapat kembali bersekolah.
***
“Ya ampun ini anak, ternyata gak sekolah. Kia bangun!”
Kia lantas terbangun ketika mendengar suara menggelegar dari mamanya. Gadis itu mengucek matanya, sambil berkata, “ Ada apa, Ma?”
“Ada apa kamu bilang? Kenapa kamu gak sekolah?”
“Iya, Ma. Kia sakit, mungkin karena hujan semalam. Jadi, hari ini Kia gak masuk sekolah dulu.”
“Sakit? Trus karena kamu sakit, kamu gak sekolah, jadi kamu bisa enak-enakan tidur di sini?”
“Jadi, Kia harus ngapain, Ma? Kia kan butuh istirahat untuk memulihkan kondisi Kia.”
“Gak ada yang namanya istirahat, sekarang mending kamu bantuin bibi masak. Nanti malam saya kedatangan tamu para pengusaha terkenal, jadi harus buat makanan yang banyak. Udah, sana pergi ke dapur!”
Kia menghela napasnya, kemudian gadis itu membuka selimut yang membungkus tubuhnya tadi, dan berjalan keluar dari kamarnya. Dengan jalan yang sempoyongan, gadis itu berjalan menuju dapur.
“Loh, non Kia, kenapa di sini? Seharusnya non Kia itu istirahat, kan masih sakit.” Terselip nada khawatir yang terdengar di ucapan bi Tari. Ya, selama ini tidak ada yang peduli dengan Kia di rumahnya, kecuali bi Tari.
“Kia udah gak apa-apa kok, Bi. Kia mau bantu bibi masak, katanya nanti malam ada banyak tamu yang bakalan datang ya, Bi? Makanya, bibi kelihatan sibuk banget.”
“Eh iya non, nanti itu ada tamu nyonya yang datang.”
“Kalau gitu, biar Kia bantu ya, Bi.” Kia mulai mengambil beberapa suing bawang putih dan bawang merah, kemudian mengupas kulitnya. Setelah mengupas bawang, gadis itu menyalakan api kompor, dan memasak bawang itu hingga aromanya tercium wangi. Gadis itu memang berbakat dalam memasak. Mungkin efek sering membantu bi Tari memasak sedari kecil, jadi sekarang jemarinya sudah lihai memegang berbagai macam alat dapur.
Kia memegang kepalanya, lalu memejamkan matanya sejenak. Kepalanya masih teramat pusing, namun Kia berusaha untuk tidak kehilangan konsentrasinya dalam memasak.
“Non, kepalanya pusing, ya?” tanya bi Tari yang khawatir dengan kondisi Kia.
“Sedikit pusing, Bi,” jujur Kia.
“Ya sudah, kalau masih pusing, mending non Kia istirahat aja di dalam kamar. Biar bibi yang masak.”
“Gak usah, Bi. Kasihan bibinya nanti kerepotan masak sebanyak itu, yang ada nanti bibi kecapekan. Kia gak apa-apa kok, Bi. Pusingnya juga udah lewat, jadi Kia udah bisa fokus masak lagi.” Kia berusaha meyakinkan bi Tari. Namun, sebagai seseorang yang sudah merawat Kia sedari kecil, bi Tari tentunya mengetahui bahwa anak majikannya itu tengah berbohong.
“Kalau memang benar begitu, non Kia boleh kok bantu bibi masak. Tapi, dengan catatan, kalau non Kia merasa pusing lagi. Non Kia harus segera istirahat, bibi gak mau non Kia nanti makin sakit.” Kia mengangguk menanggapi ucapan bi Tari yang menyiratkan kekhawatirannya. Gadis itu kembali melanjutkan masaknya yang tertunda, sesekali gadis itu memegang kepalanya yang berdenyut, namun Kia masih berusaha untuk kuat.
Ngomong-ngomong perihal Kia. Kita belum berkenalan lebih lanjut dengan gadis itu. Nama lengkap gadis itu Kiavara Gauri Auguristha. Nama panggilannya ialah Kia. Kia adalah anak pertama dari Aristide Javario dan Geavani Inshira. Siapa yang tidak mengenal Aris dan Gea? Pasangan suami istri yang berprofesi sebagai pengusaha terkenal dengan kekayaan yang melimpah. Kia bangga akan kerja keras papa dan mamanya itu. Namun, satu hal yang tidak membuat Kia bangga ialah karena papa dan mamanya hanya dikenal memiliki seorang anak saja. Dan anak yang dianggap itu ialah Kealina Danastri Septiola, atau Astri.
Terkadang, Kia iri dengan adik kembarnya itu, bisa dikenal di kalangan teman seprofesi papa dan mama. Namun, saat rasa iri itu menyerang dirinya, Kia selalu tersadar, bahwa dirinya memang tidak pantas di posisi Astri. Wajah Kia yang cacat, dengan beberapa goresan di wajahnya itu membuat Kia sadar bahwa dirinya tidak secantik Astri. Wajar jika papa dan mamanya malu mengakuinya sebagai anak mereka. Mungkin, dengan berita bahwa Kia adalah anak mereka, akan menurunkan eksistensi mereka secara drastis.
Menjadi anak pengusaha terkenal itu membahagiakan, mungkin itu yang ada di pikiran orang-orang, terkecuali Kia. Bisa hidup di rumah super mewah, mempunyai harta berlimpah, bisa membeli barang dengan seenaknya, ya mungkin itu semua memang benar. Kehidupan anak pengusaha memang begitu, termasuk bagi Astri yang benar-benar diperlakukan dengan istimewa. Lain halnya dengan Kia, gadis itu tidak diberi kesempatan untuk merasakan harta dari kedua orang tuanya. Bisa tinggal di rumah mewah dan dibiayai uang sekolah saja, Kia sudah sangat bersyukur. Apalagi untuk mendapat kesempatan membeli barang seenaknya.
Papa dan mamanya hanya memberikan Kia uang ketika jadwalnya membayar biaya sekolah, selebihnya tidak. Oleh karena itu, Kia mati-matian mempertahankan beasiswa di sekolahnya supaya ia tidak perlu membayar uang sekolah. Uang yang diberi oleh papa dan mamanya bisa ia gunakan untuk hal lain, seperti membeli buku, alat tulis dan keperluan Kia yang lain.
Jangan lupakan satu hal lagi yang cukup menyakitkan bagi Kia. Selain tidak dianggap di kehidupan papa dan mamanya, Kia juga harus menahan perih di sekolah karena selalu dikatai anak pembantu. Papa dan mamanya yang membuat semuanya seperti itu, mereka tidak pernah mau mengakui keberadaan mereka sebagai orang tua Kia. Dan sebagai penggantinya, bi Tari lah yang diminta untuk menjadi orang tua Kia.
Semenyedihkan itu kehidupan Kia, namun gadis itu tidak pernah lupa untuk bersyukur. Atas kehidupannya yang bisa sampai sekarang ini, gadis itu sudah sangat bersyukur tidak ditelantarkan kedua orang tuanya di jalanan. Baginya, kehidupannya yang sekarang ialah sebuah ujian untuk mendewasakan dirinya.
***
Bergelimang harta tak selalu menjadi titik kebahagiaan seseorang. Akan tetapi, bergelimang kasih sayang lah yang menjadikan seseorang merasa lebih dari sekadar bahagia.
"Kia."Mendengar namanya terpanggil, Kia menoleh ke belakang. Ada Karen di belakang sana yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Kia."Hai, Karen." Kia menyapa Karen balik."Kamu kemana aja kemarin? Kok gak masuk?" Pertanyaan Karen membuat Kia mengernyitkan dahinya. Bukannya kemarin Kia sudah menuliskan surat izin? Apa Karen tidak mengetahuinya?"Aku sakit, Ren. Kemarin kan aku ada tulis surat izin, kamu gak tahu?""Surat izin? Kamu ada kirim surat?"Kia menganggukkan kepalanya. "Iya, aku titipkan ke Astri, minta kasikan ke wali kelas kita.""Enggak ada, Kia. Malah di buku absen, kamu dialpakan karena gak ada izin. Maka dari itu, sekarang aku tanya sama kamu, kemarin kamu kemana aja."Kia membelalakkan matanya. "Apa? Alpa?"Ternodai sudah absen Kia
Suasana siang ini begitu panas dan terik. Matahari yang kini posisinya tepat di atas kepala, membuat siapa saja yang berada di bawahnya kegerahan. Namun, panasnya matahari itu tidak menurunkan semangat kaum adam yang tengah berlarian kesana kemari untuk mengejar sebuah benda bernama bola.Hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana kegiatan belajar di sekolah, diganti dengan kegiatan ekstrakurikuler. Ada begitu banyak ekstrakurikuler yang ditawarkan di Bayanaka High School, sekolah tempat Kia menuntut ilmunya sekarang.Sebelum membahas tentang ekstrakurikuler yang ditawarkan di sekolah tersebut, mari kita mengenal sedikit tentang Bayanaka High School. Bayanaka High School dibangun oleh seorang Profesor bernama Bayu Andakha. Diberi nama Bayanaka karena merupakan singkatan dari nama Bayu Andakha. Bayanaka sendiri sebenarnya mempunyai arti. Bayanaka diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘luar biasa’. Sesuai dengan arti
“Astri, ada yang mau aku tanyain sama kamu.”Mendengar namanya terpanggil, Astri hanya mengedikkan bahunya. Gadis itu masih fokus dengan layar ponselnya yang menampilkan video-video lucu.“Astri, aku pengen ngomong sama kamu. Ponselnya ditaruh dulu.”Astri tetap saja tidak bergeming, sepertinya gadis itu memang sengaja tidak menjawab ucapan Kia. Astri pura-pura tidak mendengar, padahal gadis itu sama sekali tidak menggunakan earphone di telinganya yang membuatnya tidak bisa mendengar. Kia yang merasa Astri tidak menanggapi ucapannya, menarik ponsel Astri dari tangan pemiliknya kemudian meletakkan ponsel itu di atas meja.“Kamu apa-apaan sih, Kia? Aku lagi seru-seruan nonton video, main tarik aja ponselku. Mana ponsel aku, sini kembaliin,” kesal Astri.Kia menggelengkan kepalanya. “Aku pengen ngomong dulu sama
Di sebuah gedung bernuansa serba putih, di sinilah Kia berada sekarang ini. Langkah kakinya yang dipercepat membawanya ke bagian administrasi rumah sakit.“Selamat pagi, Sus.”“Iya, selamat pagi, Dek. Ada yang bisa saya bantu?”Kia mengangguk. “Iya, Sus. Saya baru dapat kabar, kalau teman saya mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit ini.”“Maaf, kalau boleh tahu, nama temannya siapa ya? Biar saya bisa mengeceknya.”“Nama teman saya Karenina, Sus. Lengkapnya Karenina Agastya.”“Baik, tunggu sebentar ya, Dek. Saya cek dulu namanya.” Suster dengan name tag bertuliskan Linda itu segera mengetikkan nama yang disebutkan Kia di kolom pencarian pasien. “Mohon maaf, Dek. Tidak ada pasien bernama Karenina Agastya di sini.”Kia mengernyitkan dahinya. &ld
Di pojokan ruangan nan besar itu, terlihat Kia tengah sibuk mengatur lensa kameranya. Gadis itu juga beberapa kali meniup lensa kameranya yang terkena debu. Kamera yang diberikan oleh mendiang neneknya itu akan menemaninya dalam ekskul fotografi hari ini.Setelah sekian lama ekskul ini diliburkan karena sang kakak pengajar fotografi tengah di luar kota, akhirnya pada hari ini ekskul itu kembali dibuka. Kia merasa begitu antusias ketika ekskul yang dipilihnya itu akhirnya kembali dapat berjalan. Kia melihat kamera yang berada di tangannya lalu tersenyum.“Akhirnya, setelah sekian lama gak ekskul, hari ini mulai ekskul lagi. Aku senang banget, akhirnya bisa ditemani sama kamu lagi dalam ekskul ini,” ucap Kia kepada kamera kesayangannya. Selama ekskul ditiadakan, selama itu pula Kia menyimpan kameranya dengan baik. Ia tidak mau sembarang menggunakannya, jika bukan untuk ekskul dan memotret senja.
Baru saja berbunyi, sebuah bel kebahagiaan yang selalu dinantikan oleh setiap murid di seluruh penjuru dunia. Para tenaga didik berjalan keluar terlebih dahulu dari dalam kelas, menandakan bahwa kegiatan belajar-mengajar telah selesai dilaksanakan. DI belakangnya, puluhan murid berbondong-bondong keluar dari dalam ruangan kelas. Wajah mereka semua terlihat begitu sumringah, bagaikan telah terbebas dari penjara kesengsaraan.“Kia, mau pulang bareng Karen gak? Kebetulan hari ini Karen bawa motor nih.” Kia menimang sebentar ajakan Karen, beberapa detik kemudian gadis itu menggeleng. Kia baru teringat dengan janji Elvan yang akan mengantarnya ke tempat teman lelaki itu untuk memperbaiki kameranya.“Oh, kalau begitu, Karen pulang duluan ya. Kia nanti hati-hati pulangnya.”“Iya, Karen. Hati-hati.”Kia segera membereskan buku-bukunya ke dalam tas ranseln
Di bawah terang bulan yang bersinar menerangi kegelapan malam, Kia yang tengah duduk di koridor kamarnya itu menghela napasnya. Bukan kehidupan ini yang Kia inginkan. Kehidupan yang bergelimang harta dan miskin akan kasih sayang.Kia akui, keluarganya itu tidak seharmonis yang ditampilkan di depan khalayak umum. Papa dan mamanya sering bertengkar karena masalah pekerjaan. Entah itu dimulai dari papa yang menuduh mamanya berselingkuh dengan rekan kerjanya atau sebaliknya. Padahal, itu adalah hal yang lumrah ketika seorang pengusaha akan lebih sering bergaul dengan rekan kerjanya.Di setiap malam, Kia selalu memanjatkan doanya untuk kedua orang tuanya. Namun, sepertinya belum ada satupun doanya yang dijamah oleh Yang Maha Esa. Keluarganya masih tetap tidak seharmonis itu.Kia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Rasa dingin mulai menelusuk ke tulang-tulangnya. Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam kam
Memang betul apa yang dikatakan oleh bi Tari, keadaan sekolah pagi-pagi ini masih sepi. Bahkan, belum ada seorang guru, staff, ataupun murid yang datang. Yang ada hanyalah pak Muhardi—satpam yang sudah sedari tadi stand by di posnya.Kia berdiri di koridor kelasnya. Pandangannya ia arahkan ke langit biru yang begitu cerah pagi ini. Sayangnya, kondisi hati Kia tidak secerah keadaan langit itu. Jika dilakukan suatu pengandaian, maka hati Kia bagaikan langit yang tengah mendung dan siap menumpahkan hujannya kapan pun ia mau.Gadis itu menghela napasnya. Rasanya kehidupannya begitu berat untuk dijalani. Hidupnya bagaikan sebuah kesalahan, sehingga tak ada satupun orang yang mampu menghargainya. Hanya bi Tari dan Karen yang membuat hidupnya terasa masih berguna. Mungkin, jika tidak ada bi Tari dan Karen yang selalu menyemangatinya, Kia sendiri tidak tahu lagi apa yang mesti ia lakukan.“Pagi-pagi