Terdengar suara gemericik air dari luar gedung. Angin timur yang dingin berusaha merasuki sweater tebal yang dikenakan oleh seorang gadis, membuat empunya berusaha mengeratkan pelukan pada dirinya sendiri guna mengurangi rasa dingin yang menjalar.
"Kia, belum mau pulang?"
Gadis itu hanya menggeleng sebagai jawaban pertanyaan dari sahabatnya itu.
"Kalau gitu, Karen pulang duluan ya. Pak Atmo udah jemput. Nanti pulangnya hati-hati ya, Kia."
"Iya, Karen. Kamu juga hati-hati pulangnya." Gadis itu melambaikan tangan kepada sahabatnya.
Sepeninggal sahabatnya itu pergi, gadis bernama Kia itu menghela napasnya. Sampai kapan hujan akan berhenti turun? Pertanyaan itu yang selalu menghiasi pikirannya. Berulang kali, gadis dengan sweater berwarna pink itu menguap. Tanda bahwa ia merasa amat bosan.
"Ini hujan kayaknya enggak akan berhenti. Lebih baik, aku pulang kehujanan aja, daripada nanti pulang kemalaman," putusnya.
Kia mengambil ransel yang berwarna senada dengan sweaternya, lalu berjalan keluar dari dalam ruang kelasnya. Dilihatnya hujan yang masih sama derasnya dengan waktu pertama kali turun. Kali ini gadis itu pasrah, bila harus pulang dengan keadaan basah di sekujur tubuhnya. Atau mungkin efek paling parahnya ialah ia akan terserang demam esok harinya.
Tidak. Ia tidak boleh sakit. Jika ia sakit, maka esok hari ia tidak akan bisa bersekolah. Apabila ia tidak bersekolah, tandanya sudah ada 1 surat izin yang sampai di wali kelasnya.
Tidak. Itu tidak boleh sampai terjadi. Ia tidak ingin mencontreng buku absennya dengan satu keterangan izin ataupun sakit.
"Kia, kamu harus kuat. Kamu enggak boleh sampai sakit."
Beberapa kali kalimat itu ia suarakan seolah sakitnya bisa menimbulkan efek yang fatal di kemudian hari. Kia berjalan menyusuri trotoar sekolah, hingga tiba di halte terdekat, gadis itu berhenti sejenak untuk berteduh.
"Hujannya deras banget. Kalau kayak gini caranya, aku gak bisa jalan kaki pulangnya. Yang ada, aku malah benar-benar sakit."
Kia akhirnya memutuskan untuk memesan ojek online. Ia lebih rela mengeluarkan beberapa lembar uangnya daripada ia harus mencontreng buku absennya dengan izin sakitnya. Namun, nahasnya, tidak ada satupun ojek yang mau menerima pesanan dari Kia, karena efek hujan yang begitu deras. Kia menyerah untuk memesan ojek online, sepertinya ia harus pasrah saja untuk pulang dengan berjalan kaki di tengah derasnya hujan.
***
“Darimana saja kamu?” Suara dingin menggelegar tersebut terlontar untuk menyambut kepulangan Kia. Jika kalian berharap untuk selalu disambut dengan hangat setiap kali pulang ke rumah, maka Kia tidak. Gadis itu sudah terbiasa disambut dengan cara yang dingin.
“Kalau ditanya itu jawab, bukan diam!”
Kia menarik napasnya panjang. “Iya, Pa. Maaf Kia pulang telat, tadi Kia nunggu hujan reda dulu di sekolah. Jadi, pulangnya agak telat.”
“Alasan saja kamu. Bilang saja kamu pergi kelayapan dulu baru pulang ke rumah. Iya, kan?”
Kia hanya terdiam menanggapi pertanyaan papanya. Rasanya percuma saja, jika Kia menjelaskan lebih panjang lagi, karena nyatanya papanya itu tidak akan pernah mau mendengarkan.
“Coba kamu contoh adikmu itu. Astri gak pernah neko-neko anaknya, dia selalu pulang tepat waktu. Padahal jika Astri mau pergi, pasti akan bisa. Secara temannya itu banyak sekali. Gak seperti kamu, kamu itu udah jelek, sok mau pulang malam lagi.” Ucapan papanya itu sungguh menyakitkan bagi Kia. Akan tetapi, gadis itu sudah terlatih sedari dulu untuk terbiasa dengan ucapan menohok dari papanya.
‘Wajar kalau Astri pulangnya awal, secara dia selalu diantar jemput oleh supir, sedangkan aku? Enggak, Pa.’
Kia berusaha menahan agar air matanya tak jatuh.
“Kamu gak usah sok-sokan sedih. Udah sana kamu, masuk kamar!”
Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Kia segera berjalan melewati papanya dan Astri yang tengah duduk di sofa ruang tamu.
“Malu saya punya anak kayak kamu, hobinya keluyuran mulu sehabis pulang sekolah.”
Sepertinya tidak cukup dengan ucapan tajam papanya, sekarang mamanya juga berlaku demikian. Kia berusaha menulikan telinganya, supaya air matanya tidak jatuh. Kia segera menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Gadis itu langsung menutup pintu kamarnya, dan bersandar di balik pintu bercat pink muda itu.
“Aku juga pengen kayak anak-anak di luar sana yang setiap pulang sekolah selalu disambut oleh papa dan mama. Bukan seperti ini, selalu dimarahi dan dituduh dengan hal-hal yang gak aku lakukan.”
Di dalam kamarnya, air mata Kia mulai mengalir setetes demi setetes. Gadis itu mengusap pipinya yang terkena air matanya. Gadis itu berjalan menuju meja riasnya, sambil memegangi wajahnya.
“Memang benar kata papa, aku ini memang jelek.” Kia melihat wajahnya yang cacat. Bekas kecelakaan 10 tahun yang lalu itu masih melekat di wajahnya.
“Mengapa aku yang harus dicobai ujian seperti ini? Apa salah aku?”
Basah di baju Kia sudah mulai mengering, namun tidak dengan air mata Kia yang terus berjatuhan.
“Enggak, aku enggak boleh kayak begini. Aku harus kuat, aku gak boleh cengeng.”
Kia lalu menyeka air matanya dengan kedua tangannya, lalu gadis itu mengambil handuk yang tergantung di dekat pintu. Ia harus segera membersihkan badannya, sebelum nantinya demam akan menyerang tubuhnya.
***
Kia meneguk air minumnya, setelah beberapa pil kecil masuk melewati tenggorokannya. Sepertinya, malam ini ia akan bergelung dalam selimut akibat kondisi tubuhnya yang tidak sehat. Akibat terkena hujan saat pulang sekolah tadi, kini gadis itu merasakan tubuhnya meriang. Ditambah dengan gadis itu harus mengalami pilek di waktu bersamaan.
“Kalau kayak gini caranya, lebih baik tadi ku nunggu di sekolah aja sampai hujan reda. Tapi, kalau tunggu sampai hujan reda, nanti aku pulangnya bakal lebih telat dan tentunya akan lebih dimarahi habis-habisan oleh papa.”
Gadis itu menghela napasnya, selalu tidak ada kesempatan untuk dirinya memilih. Padahal, dirinya juga seorang manusia yang memiliki hak dan kebebasan untuk memilih. Akan tetapi, jangankan untuk memilih, untuk berpendapat saja dirinya tidak bisa.
Kia merebahkan tubuhnya di atas kasur, kemudian mengambil selimut untuk menutupi sekujur tubuhnya. Malam ini terasa begitu dingin, mungkin efek hujan yang baru reda tadi. Kia mencoba menutup kedua matanya untuk beristirahat. Namun, tetap saja Kia tidak bisa tidur.
Gadis itu masih kepikiran dengan kondisinya yang sekarang tidak sehat. Apa mungkin ia bisa masuk sekolah? Atau justru, ia harus merelakan absennya untuk ternodai dengan satu keterangan izin?
Kia memposisikan dirinya untuk duduk bersandar di bantalnya yang telah ia tumpuk menjadi tinggi. Gadis itu mengambil posisi berdoa, mungkin dengan sebuah doa sebelum tidur, ia akan bisa tidur dengan lelap. Setidaknya, tidak ada bayang-bayang absen sekolah yang menghantui dirinya lagi.
***
Satu hal yang perlu engkau tahu, bahwa tak semua mengapa pantas mendapatkan sebab.
“Ngapain kamu nyuruh aku ke sini?”Kia menerbitkan senyumnya ketika melihat Astri mau datang ke kamarnya. Sebenarnya, Astri datang ke kamarnya pun berkat bi Tari yang memanggilnya.“Ngapain kamu senyum-senyum? Udah buruan, ada apa? Aku mau ke sekolah nih, memangnya kamu gak sekolah? Masih tiduran gitu.” Nada bicara Astri terkesan dingin, namun tidak melunturkan senyuman di bibir pucat Kia.“Aku hari ini gak masuk sekolah, kepala aku pusing, badan aku meriang. Jadi, tolong titipin surat izin ini ke bu Sandra ya.” Kia menyerahkan sebuah amplop berwarna putih kepada Astri.“Oh, bisa sakit juga kamu.”“Bisa lah, Tri. Aku kan juga kayak kamu dan yang lainnya, hanya sebatas manusia biasa.” Kia tersenyum mengakhiri ucapannya. ‘Enggak, kita berbeda, Tri. Kamu yang cantik, dan aku yang jauh dar
"Kia."Mendengar namanya terpanggil, Kia menoleh ke belakang. Ada Karen di belakang sana yang sedang melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Kia."Hai, Karen." Kia menyapa Karen balik."Kamu kemana aja kemarin? Kok gak masuk?" Pertanyaan Karen membuat Kia mengernyitkan dahinya. Bukannya kemarin Kia sudah menuliskan surat izin? Apa Karen tidak mengetahuinya?"Aku sakit, Ren. Kemarin kan aku ada tulis surat izin, kamu gak tahu?""Surat izin? Kamu ada kirim surat?"Kia menganggukkan kepalanya. "Iya, aku titipkan ke Astri, minta kasikan ke wali kelas kita.""Enggak ada, Kia. Malah di buku absen, kamu dialpakan karena gak ada izin. Maka dari itu, sekarang aku tanya sama kamu, kemarin kamu kemana aja."Kia membelalakkan matanya. "Apa? Alpa?"Ternodai sudah absen Kia
Suasana siang ini begitu panas dan terik. Matahari yang kini posisinya tepat di atas kepala, membuat siapa saja yang berada di bawahnya kegerahan. Namun, panasnya matahari itu tidak menurunkan semangat kaum adam yang tengah berlarian kesana kemari untuk mengejar sebuah benda bernama bola.Hari ini adalah hari Sabtu, hari dimana kegiatan belajar di sekolah, diganti dengan kegiatan ekstrakurikuler. Ada begitu banyak ekstrakurikuler yang ditawarkan di Bayanaka High School, sekolah tempat Kia menuntut ilmunya sekarang.Sebelum membahas tentang ekstrakurikuler yang ditawarkan di sekolah tersebut, mari kita mengenal sedikit tentang Bayanaka High School. Bayanaka High School dibangun oleh seorang Profesor bernama Bayu Andakha. Diberi nama Bayanaka karena merupakan singkatan dari nama Bayu Andakha. Bayanaka sendiri sebenarnya mempunyai arti. Bayanaka diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘luar biasa’. Sesuai dengan arti
“Astri, ada yang mau aku tanyain sama kamu.”Mendengar namanya terpanggil, Astri hanya mengedikkan bahunya. Gadis itu masih fokus dengan layar ponselnya yang menampilkan video-video lucu.“Astri, aku pengen ngomong sama kamu. Ponselnya ditaruh dulu.”Astri tetap saja tidak bergeming, sepertinya gadis itu memang sengaja tidak menjawab ucapan Kia. Astri pura-pura tidak mendengar, padahal gadis itu sama sekali tidak menggunakan earphone di telinganya yang membuatnya tidak bisa mendengar. Kia yang merasa Astri tidak menanggapi ucapannya, menarik ponsel Astri dari tangan pemiliknya kemudian meletakkan ponsel itu di atas meja.“Kamu apa-apaan sih, Kia? Aku lagi seru-seruan nonton video, main tarik aja ponselku. Mana ponsel aku, sini kembaliin,” kesal Astri.Kia menggelengkan kepalanya. “Aku pengen ngomong dulu sama
Di sebuah gedung bernuansa serba putih, di sinilah Kia berada sekarang ini. Langkah kakinya yang dipercepat membawanya ke bagian administrasi rumah sakit.“Selamat pagi, Sus.”“Iya, selamat pagi, Dek. Ada yang bisa saya bantu?”Kia mengangguk. “Iya, Sus. Saya baru dapat kabar, kalau teman saya mengalami kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit ini.”“Maaf, kalau boleh tahu, nama temannya siapa ya? Biar saya bisa mengeceknya.”“Nama teman saya Karenina, Sus. Lengkapnya Karenina Agastya.”“Baik, tunggu sebentar ya, Dek. Saya cek dulu namanya.” Suster dengan name tag bertuliskan Linda itu segera mengetikkan nama yang disebutkan Kia di kolom pencarian pasien. “Mohon maaf, Dek. Tidak ada pasien bernama Karenina Agastya di sini.”Kia mengernyitkan dahinya. &ld
Di pojokan ruangan nan besar itu, terlihat Kia tengah sibuk mengatur lensa kameranya. Gadis itu juga beberapa kali meniup lensa kameranya yang terkena debu. Kamera yang diberikan oleh mendiang neneknya itu akan menemaninya dalam ekskul fotografi hari ini.Setelah sekian lama ekskul ini diliburkan karena sang kakak pengajar fotografi tengah di luar kota, akhirnya pada hari ini ekskul itu kembali dibuka. Kia merasa begitu antusias ketika ekskul yang dipilihnya itu akhirnya kembali dapat berjalan. Kia melihat kamera yang berada di tangannya lalu tersenyum.“Akhirnya, setelah sekian lama gak ekskul, hari ini mulai ekskul lagi. Aku senang banget, akhirnya bisa ditemani sama kamu lagi dalam ekskul ini,” ucap Kia kepada kamera kesayangannya. Selama ekskul ditiadakan, selama itu pula Kia menyimpan kameranya dengan baik. Ia tidak mau sembarang menggunakannya, jika bukan untuk ekskul dan memotret senja.
Baru saja berbunyi, sebuah bel kebahagiaan yang selalu dinantikan oleh setiap murid di seluruh penjuru dunia. Para tenaga didik berjalan keluar terlebih dahulu dari dalam kelas, menandakan bahwa kegiatan belajar-mengajar telah selesai dilaksanakan. DI belakangnya, puluhan murid berbondong-bondong keluar dari dalam ruangan kelas. Wajah mereka semua terlihat begitu sumringah, bagaikan telah terbebas dari penjara kesengsaraan.“Kia, mau pulang bareng Karen gak? Kebetulan hari ini Karen bawa motor nih.” Kia menimang sebentar ajakan Karen, beberapa detik kemudian gadis itu menggeleng. Kia baru teringat dengan janji Elvan yang akan mengantarnya ke tempat teman lelaki itu untuk memperbaiki kameranya.“Oh, kalau begitu, Karen pulang duluan ya. Kia nanti hati-hati pulangnya.”“Iya, Karen. Hati-hati.”Kia segera membereskan buku-bukunya ke dalam tas ranseln
Di bawah terang bulan yang bersinar menerangi kegelapan malam, Kia yang tengah duduk di koridor kamarnya itu menghela napasnya. Bukan kehidupan ini yang Kia inginkan. Kehidupan yang bergelimang harta dan miskin akan kasih sayang.Kia akui, keluarganya itu tidak seharmonis yang ditampilkan di depan khalayak umum. Papa dan mamanya sering bertengkar karena masalah pekerjaan. Entah itu dimulai dari papa yang menuduh mamanya berselingkuh dengan rekan kerjanya atau sebaliknya. Padahal, itu adalah hal yang lumrah ketika seorang pengusaha akan lebih sering bergaul dengan rekan kerjanya.Di setiap malam, Kia selalu memanjatkan doanya untuk kedua orang tuanya. Namun, sepertinya belum ada satupun doanya yang dijamah oleh Yang Maha Esa. Keluarganya masih tetap tidak seharmonis itu.Kia memeluk dirinya sendiri dengan erat. Rasa dingin mulai menelusuk ke tulang-tulangnya. Gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam kam