***Saat sampai rumah, Oma Sulis khawatir mendapati Dev yang baru kembali dalam hujan yang sangat deras seperti ini."Dev, kenapa baru pulang?" tanya Sulis.Dev bergeming. Ia melangkah masuk ke arah kamarnya dengan pandangan kosong.Oma Sulis merasa ada yang tidak beres dengan Cucunya. Namun, ia tak bisa berbuat apa-apa.Dev masuk ke dalam kamar, ia menatap sekeliling. Belum ada tanda-tanda kepulangan Naomi. Dev merasa kesepian, ini bukan kali pertama Naomi tidur di rumah sakit.Di sisi lain, Naomi mengirim banyak pesan pada Dev. Namun, tak ada satupun jawaban. Kini Naomi mencoba menelepon Dev, akan tetapi Dev juga tak mengangkat telepon dari Naomi itu."Apa sudah tidur?" gumam Naomi sendirian.Sementara Dev hanya memandangi layar ponselnya, tanpa berniat menjawab panggilan Naomi.Hatinya dilema, antara rasa bersalah, dan rasa yang tumbuh secara tiba-tiba.Ternyata Layla juga tak bisa tidur dengan tenang malam ini. Pikirannya tertuju pada Dev. "Semoga tidak terjadi apa-apa pada Dokt
***Layla bersiteru dengan seorang pria di depan rumah. Pria itu adalah Toni, suami Layla."Kamu! Mau apa kamu ke sini?" bentak Layla."Wow, sekarang sudah berubah jadi galak ya," ucap Toni tersenyum getir.Tubuh Layla mulai gemetar, sedangkan Toni semakin mendekat."Mau apa kamu?! Mau apa?!" teriak Layla keras."Hus! Jangan berisik!" Toni menarik tangan Layla.Layla terus berontak. "Lepas!"Toni semakin geram, ia menyeret Layla agar masuk ke dalam mobil."Heh, siapa kamu? Lepaskan Layla!" Alex datang, ia segera mendorong Toni agar menjauh dari Layla."Jangan ikut campur! Layla ini istri saya," ujar Toni menahan amarahnya."Tidak! Saya tidak mau ikut dia lagi. Tolong saya!" Layla bersembunyi di balik tubuh kekar Alex."Kamu dengar sendiri kan? Sekarang pergi dari sini! Jika masih nekat, maka saya akan melaporkan pada keamanan komplek ini," ancam Alex.Toni mundur dengan terpaksa."Aku pasti akan membalas Layla dan pria brengsek itu," gumam Toni di dalam mobil.Seperginya Toni, Layla
***Naomi terisak dalam pelukan mertuanya. Lastri dan Sulis sungguh kecewa pada Dev."Tadi Oma bertanya di mana Mas Dev dan Layla. Apa Oma tahu kalau mereka sedang bersama?" tanya Naomi sembari mengusap air matanya."Dev sebelum keluar tadi berkata ingin menjemput Layla, kemudian sekalian ingin mengunjungimu ke rumah sakit," papar Sulis."Ibu tak menyangka mereka bisa berkhianat," sambung Lastri.Naomi kembali terisak membayangkan kemesraan suami dan sahabatnya sendiri.Sementara Sulis sedang berusaha menghubungi Dev lewat panggilan telepon.Namun, tak ada jawaban. Sulis sungguh merasa geram.Di sisi lain, Layla dan Dev sedang berdebat."Ini salah! Saya tidak ingin membuat Naomi terluka," ujar Layla."Siapa yang harus dipersalahkan? Saya mencintaimu, kamu juga mencintai saya. Kita sama-sama mencintai," papar Dev."Cinta kita yang salah! Saya mohon pulanglah, temui Naomi!" "Saya akan pulang, dan menjelaskan pada Naomi. Namun, saya tak ingin mengakhiri hubungan kita. Saya tak bisa hidu
***Naomi telah sampai di depan kontrakkan Layla. Ia turun dengan langkah yang gemetar. Hatinya sakit, jiwanya terguncang. Air mata tak mau reda di wajah sendunya. "Layla, buka pintu!" teriak Naomi.Layla tersadar dari lamunannya, dengan perasaan yang tak karuan, ia membukakan pintu."Naomi," lirih Layla.Naomi menerobos masuk, dan mengunci pintu dari dalam.Layla memeluk tubuh Naomi. Namun, dengan sigap Naomi mendorong Layla agar menjauh."Jangan sentuh aku!" hardik Naomi."Maafkan aku, Naomi! Tolong jangan begini," ucap Layla terisak."Cukup! Kau tak perlu bersandiwara lagi! Seandainya pengkhianatan suamiku bukanlah dengan sahabatku sendiri, mungkin rasanya tidaklah sesakit ini Lay. Aku menyayangimu sepenuh hatiku, aku melindungimu sekuat kemampuanku, tapi apa balasan darimu? Kau bahkan tega menusukku dari belakang." Naomi kembali luruh ke lantai."Maaf, Naomi." Hanya kalimat itu yang terus Layla ulang, bahkan Naomi sangat muak mendengarnya."Untuk apa kata maaf? Semua takkan pern
***Dev sudah berada di rumah sakit. Sementara Sulis dan Lastri pergi menuju kontrakan Layla.Setelah menempuh 15 menit perjalanan, kini mereka sampai di kediaman Layla.Tok! Tok! Tok!Pintu diketuk dengan keras.Layla telah mendapat perintah dari Dev untuk tidak membukakan pintu pada siapapun yang datang.Namun, Layla tak bisa diam saja di dalam. Lastri dan Sulis terus menggedor pintu layaknya seorang yang ingin menagih hutang."Layla, buka pintunya!" teriak Lastri.Dengan mata yang masih sembab, Layla keluar."Silakan masuk dulu, Tante, Oma." Mereka masuk dengan sorot mata siap menerkam."Tidak perlu basa-basi! Kami ke sini bukan untuk bernegosiasi padamu," ujar Sulis berdiri sambil berkacak pinggang."Duduklah dulu, Oma!" Layla masih berusaha ramah."Tidak perlu!"Sulis kini mulai geram dan meraih tangan Layla dengan kasar."Apa kau tidak punya hati? Kurang baik apa Naomi padamu? Kau bahkan tak pantas dijadikan seorang teman, apa lagi sahabat," cibir Sulis.Layla tak melawan, ia h
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 1."Bu, ada undangan!" teriak Salman, Putra semata wayangku.Aku pun langsung keluar menghampiri, Salman. "Siapa yang ngantar, Nak?" tanyaku sambil meraih undangan itu."Gak tahu, Bu. Tadi Salman dapat di bawah pintu."Aku bergeming mendengar penjelasan Salman. Perlahan kubuka, dan kubaca. Tertulis dua nama mempelai pengantin.Nia Surtia dan Arifin Ilham."Namanya sama seperti nama Bapak, ya, Bu." Lagi-lagi aku terdiam. Entah kenapa bisa kebetulan begini. Tiba-tiba perasaanku jadi tak enak. Terlebih lagi, aku tidak mengenal nama mempelai wanita itu, dan Arifin Ilham, aku juga tak punya kenalan dengan nama itu selain suamiku.Penasaran aku dengan undangan misterius yang putraku temukan di balik pintu.Aku berniat menghadiri acara itu besok. Mungkin saja salah satu temanku memakai nama baru. Ya, mungkin saja.Akan tetapi besok aku tak bisa pergi bersama Mas Arifin. Karena suamiku itu sedang ke luar kota untuk beberapa hari.***Hari berganti
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 2***"Mas, usir mereka! Jangan membuat malu diacara kita ini," ucap wanita berkebaya merah muda itu.Mas Arifin berdiri, kemudian mendekat ke arahku dan Salman.Ditariknya tanganku agar segera keluar. "Lepas, Mas! Kau keterlaluan!" hardikku.Mas Arifin tak peduli, aku tetap ditarik paksa hingga sampai di luar ruangan. Putraku Salman berlari mengejar langkahku."Nanti Mas akan jelaskan di rumah. Sekarang pulanglah! Bawa Salman, dan jangan sampai putra tampan kita mendengar hal yang seharusnya tak ia dengar."Aku membuang napas kasar menerima perintah suamiku. Tanpa membantah, akhirnya aku membawa Salman berlalu.Hatiku remuk, pengabdianku sudah dikhianati. Mas Arifin yang 12 tahun silam mengucap janji sakral di hadapan kedua orang tuaku, kini telah mendua. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tak terjatuh lagi. Aku tak mau Salman turut merasa sedih.Taksi yang kami tumpangi melaju dengan cepat. Sepanjang perjalanan aku bergeming. Bahkan pu
Judul: Undangan pernikahan suamikuPart: 3***Malam pun tiba, Mas Arifin benar-benar tidak tidur dengan Nia. Karena saat ini ia sudah mendengkur di dalam kamarku.Ada perasaan lega di hatiku. Namun, tetap saja aku tak bisa tenang. Biar bagaimanapun Nia juga istri Mas Arifin. Lama kelamaan, tentunya Nia menuntut haknya..Pagi harinya, aku bangun seperti biasa. Lebih awal dari Mas Arifin dan Salman. Semua sarapan sudah kusediakan. Bahkan Nia belum terlihat batang hidungnya. "Dasar anak orang kaya yang manja. Bisa-bisanya masih molor di rumah orang," gumaku."Siapa yang molor, Mbak?" Aku berlonjak kaget saat menoleh ke arah suara. Ternyata Nia sudah berdiri di belakangku.Matanya melototiku, berbeda saat ada Mas Arifin. Nia bahkan tak berani mengangkat wajahnya. Lalu pagi ini?"Mbak aku lapar," ucap Nia melengos ingin mengambil makanan yang sudah aku siapkan."Hus! Gak sopan kamu! Tunggu sampai Mas Arifin bangun. Pantas saja calon suamimu pergi kabur, mungkin dia ilfeel dengan sika