"Val, kakak iparmu selingkuh. Ibu denger sendiri kemarin Fahri ngomong sama selingkuhannya di telepon.""Mas Fahri selingkuh?" Mata Valdi melotot."Iya, Val. Sakit hati ibu ngeliat anak perempuan ibu di giniin."Valdi menggenggam jari-jarinya."Kalo bener, Fahri gak bisa di biarkan, Bu! Keterlaluan! Besok biar kujemput Kak Salma sama keponakan-keponakanku. Biar dia tinggal di sini aja. Gajiku masih sanggup buat ngenafkahin kakak perempuanku!" geram Valdi."Ibu juga kepikiran buat ngejemput kakakmu. Biar dia tinggal bareng kita aja.""Telpon kak Salma sekarang, Bu! Suruh dia siapin baju-bajunya! Biar besok pagi aku yang jemput!"***"Kak Mel! Ini ruang tamu berantakan banget! Emangnya Apa sih kerjaan kalian di rumah? Coba nih beresin!" Vina mendelik ke arah Mel yang baru saja datang tadi malam bersama dua anaknya.Terlihat bungkusan makanan berserakan di depan tv. Mainan berserakan dimana-mana."Eh, Vina. Maaf Vin. Ini tadi anak-anak habis main. Jadi berantakan gini." sela Mel."Makany
"Eh ada Kak Zian rupanya? Udah lama, Kak?" Valdi berusaha seramah mungkin."Ya, sudah lama. Kenapa kamu gak pernah pulang?" Zian bertanya dingin.Jujur, Valdi tidak berani macam-macam dengan kakak sulung Rika tersebut. "Sial, kenapa dia datang," batin Valdi."Mmmm, maaf kak. Ibuku sakit sakit. Makanya aku pulang ke rumah ibu," jawab Valdi agak gugup. Zian hanya menatapnya dingin."Masf ya, Kak. Aku mau ke belakang dulu," Vakdi buru-buru permisi untuk menghindari pertanyaan berikutnya.Di dapur, Valdi buru-buru menghampiri Rika."Kok ada Kak Zian di sini?" Valdi bertanya tak suka, tapi tetap dengan suara tertahan, takut terdengar Zian.."Kak Zian cuma mampir ke sini. Kenapa emang?""Ssst, jangan keras-keras! Awas kalo kamu ngadu ke kakakmu soal rencana pernikahan aku sana Vina!" ancam Valdi. Rika hanya tertawa kecil."Rik, dimana barang-barang di rumah ini? Kok pada kosong?" Valdi keheranan melihat suasana rumah yang plong."Sedang ku servis, Mas. Sebagian yang lain mau kuganti sama y
Di sebuah gedung yang, kursi kursi tamu tersusun rapi. Resepsi berkonsep outdoor meriah terlaksana juga hari tersebut, meski banyak drama yang mengawali itu.Dua mempelai tersenyum sumringah di panggung sandiwara, eh di pelaminan maksudnya, hehee.Bu Ratih duduk dengan bangga di kursi khusus orang tua mempelai.Beberapa tamu mulai berdatangan. Bu Ratih tersentum bangga setiap menyalami para tetamu hari itu."Aku yakin, hari ini kau dan keluargamu akan menyesal Rika! Ha haa, tak sia-sia kemarin ku undang Rika beserta keluarganya sekalian! Biar dia tahu gimana rasanya di tertawakan di depan orang banyak." dalam hati tak henti-hentinya Bu Ratih merasa puas.Bu Ratih benar-benar tak sabar ingin melihat isak tangis Rika nanti.Dari kejauhan, dilihatnya sebuah Toyota Fortuner memasuki area parkir.Bu Ratih semakin bangga setelah melihat tamu-tamu undangannya berasal dari kalangan kaya."Cantik banget mantunya, Bu Ratih. Selamat ya!""Masih muda dan masih cantik mantuny, Bu. Semoga anaknya s
Para tamu undangan yang melihat kejadian itu benar-benar merasa tak nyaman. Tak heran sebagian dari mereka pulang sebelum waktunya.Bu Ratih dan Valdi sungguh merasa tertampar karena malu. Aoalagi ketika Bu Lia berkomentar, "lhoo, Bu. Ini mah istri pertama Valdi cantik bangeeet, mana katanya kampungan,"Di saat itulah Bu Ratih merasa omongannya di balik oleh kenyataaan. Ia mendengus kesal, "mengapa Rika harus tampil secantik ini hari ini? Salon mana yang dia pake? Kurasa perempuan ini emang sengaja gak mau kalah saingan sana Vina," batin Bu Ratih.***Di rumah tersebut, Vina cemberut tak mau bicara."Kenapa, Sayang?" Valdi berusaha membujuk."Aku mau cerai!" ketus Vina.Tentu Valdi kaget, baru saja nikah kok minta cerai."Nggak usah ngomong gitu, Vin. Kita kan baru aja nikah!""Males! Pergi sana! Kalo aku tahu kamu jadi pengangguran aku gak bakalan mau sama kamu!"Valdi mengusap dada, dulu ketika ia menikah dengan Rika juga dalam keadaan begitu, tapi Rika mengajaknya berjuang bersama
"Nggak bisa dibiarin ini! Udah dua kali saldo-ku menghilang misterius kayak gini! Siapa yang ambil? Jahat beneeer!" Valdi stress memikirkan saldonya sudah habis tak bersisa."Mana aku udah gak punya pekerjaan lagi! Kalau gini kita mau makan apaa?" Valdi menggaruk-garuk kepala dan terlihat semakin g*la.Galau dan pusing bersatu dalam benak pria itu. "Mana BPKB mobilmu, Val? Cuma itu satu-satunya yang bisa kita jual," ujar Vina tanpa peduli Valdi yang tengah mondar-mandir kelimpungan."BPKB-nya gak ada, Sayang.""Lho, kok gak ada? Kamu gak mau kasih aku ya?" Vina berkacak pinggang."Bukan gitu, Sayang. Tapi... Tapi ini mobil aku ambil kredit, Vin," jawab Valdi agak ragu."Lhoo, bukannya dulu kamu bilang beli cash!" Vina sungguh merasa terkecoh."Maaf ... Maaf, Vin. Maaf banget." Valdi menangkupkan kedua tangannya."Berkali-kali kamu bohongin aku, Val! Tega kamu. Jangan-jangan uang kamu bukannya ilang, tapi emang sengaja kamu kosongin!" Vina menangis di buatnya."Lalu kamu nikahin aku u
Vina yang baru saja pertama kali datang ke klinik itu merasa sakit hati."Ini pasti udah gak beres, gimana bisa Rika sering dateng ke sini? Darimana dia dapet uang buat bayar di sini? Gaji dia kan kecil." batin Vina.Apalagi di dengarnya Rika mengambil perawatan yang lumayan sekali harganya, dan itu jenis treatment yang bukan selesai dalam sekali perawatan. Merasa kalah dalam hal perawatan, Vina memutuskan untuk mengambil jenis perawatan yang jauh lebih mahal.***"Rika! Ngapain aja kamu di sini?" Kudengar suara seorang perempuan menegur.Aku menoleh,"Oh, kamu, Vin. Nggak ngapa-ngapain. Cuma mau lanjut treatment aja." jawabku."Kok muka kamu jadi ancur gitu, sih? Kayaknya masih mulusan wajah aku nih. Mending kamu treatment kayak aku aja, Rik. Meski emang lebih mahal sih harganya. Daripada gitu tuh muka ancur nggak ketulungan. Kayaknya banyak bakal jerawat tuh yang mau tumbuh." Vina berujar.Pandangan matanya seperti menghina ke arahku."Aku nih udah langganan lama banget di sini. Se
"Kunci rumahnya mana, Val?" Salma bertanya di depan rumah yang selama ini di tinggali oleh Valdi dan Rika. "Rika gak kasih kunci ke Kak Salma? Kemarin padahal aku udah bilang mau ngebawa Kakak buat tinggal di sini.""Nggak pernah tuh dia kasih kunci ke aku," jawab Salma jutek."Ini, Kak. Aku punya kunci serep!" Valdi mengeluarkan kunci yang selama ini ia simpan sendiri."Kok rumah ini kosong, Val?" Salma heran melihat suasana rumah Valdi yang kosong melompong melompong. Tak ada satu pun perkakas tersisa di sana."Emang sengaja ku suruh Rika bawain semua barang-barang itu, Kak. Biar Kakak bisa tenang tinggal di rumah ini.""Terus Rikanya kemana?""Udah aku usir, Kak. Mungkin sekarang dia sibuk cari kontrakan baru yang mau nampung hidup janda kayak dia," ucap Valdi."Salah sendiri kenapa belagu amat menceraikan aku. Ntar dia bisa rasain kalo gak ada suami," Salma menimpali."Biarin aja lah, Kak. Ntar juga dia pasti nyesel sendiri,""Oh iya, di sini kakak bisa nenangin diri. Lupain dulu
"Rangga!" Valdi memanggil dengan suara serak.Yang dipanggil pun menoleh,"Valdi?""Kamu ngapain sama Rika, Rangg?" Valdi tak kuasa untuk bertanya. Sorot matanya mulai menampakkan kecemburuan."Ngapain nanya soal aku, Valdi?" Rika tak senang namanya dibawa-bawa."Kamu, Rika! Pantasan kamu gak bisa jadi istri yang baik selama ini! Rupanya diluar kamu main laki-laki!" tuduh Valdi membabi buta. "Jangan menuduh aku yang nggak pantes, Val. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi sekarang. Kamu gak berhak ngurusin hidup aku!" Rika berujar menahan kesabaran. Wanita tersebut tersebut terang merasa tidak terima bila ia di tuduh tanoa bukti."Pantesan kamu mau gugat cerai aku, Rik! Rupanya emang ada laki-laki ini yang mau menyokong kebutuhan kamu! Murah sekali harga dirimu!""Stop bicara begitu, Valdi! Rika wanita mandiri! Dia tidak pernah mengandalkan orang lain, apalagi laki-laki untuk memenuhi kebutuhan dia!"Valdi menyunggingkan senyum sindiran."Kamu membela wanita ini, Rangga! Rupanya selam
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku