Vina yang baru saja pertama kali datang ke klinik itu merasa sakit hati."Ini pasti udah gak beres, gimana bisa Rika sering dateng ke sini? Darimana dia dapet uang buat bayar di sini? Gaji dia kan kecil." batin Vina.Apalagi di dengarnya Rika mengambil perawatan yang lumayan sekali harganya, dan itu jenis treatment yang bukan selesai dalam sekali perawatan. Merasa kalah dalam hal perawatan, Vina memutuskan untuk mengambil jenis perawatan yang jauh lebih mahal.***"Rika! Ngapain aja kamu di sini?" Kudengar suara seorang perempuan menegur.Aku menoleh,"Oh, kamu, Vin. Nggak ngapa-ngapain. Cuma mau lanjut treatment aja." jawabku."Kok muka kamu jadi ancur gitu, sih? Kayaknya masih mulusan wajah aku nih. Mending kamu treatment kayak aku aja, Rik. Meski emang lebih mahal sih harganya. Daripada gitu tuh muka ancur nggak ketulungan. Kayaknya banyak bakal jerawat tuh yang mau tumbuh." Vina berujar.Pandangan matanya seperti menghina ke arahku."Aku nih udah langganan lama banget di sini. Se
"Kunci rumahnya mana, Val?" Salma bertanya di depan rumah yang selama ini di tinggali oleh Valdi dan Rika. "Rika gak kasih kunci ke Kak Salma? Kemarin padahal aku udah bilang mau ngebawa Kakak buat tinggal di sini.""Nggak pernah tuh dia kasih kunci ke aku," jawab Salma jutek."Ini, Kak. Aku punya kunci serep!" Valdi mengeluarkan kunci yang selama ini ia simpan sendiri."Kok rumah ini kosong, Val?" Salma heran melihat suasana rumah Valdi yang kosong melompong melompong. Tak ada satu pun perkakas tersisa di sana."Emang sengaja ku suruh Rika bawain semua barang-barang itu, Kak. Biar Kakak bisa tenang tinggal di rumah ini.""Terus Rikanya kemana?""Udah aku usir, Kak. Mungkin sekarang dia sibuk cari kontrakan baru yang mau nampung hidup janda kayak dia," ucap Valdi."Salah sendiri kenapa belagu amat menceraikan aku. Ntar dia bisa rasain kalo gak ada suami," Salma menimpali."Biarin aja lah, Kak. Ntar juga dia pasti nyesel sendiri,""Oh iya, di sini kakak bisa nenangin diri. Lupain dulu
"Rangga!" Valdi memanggil dengan suara serak.Yang dipanggil pun menoleh,"Valdi?""Kamu ngapain sama Rika, Rangg?" Valdi tak kuasa untuk bertanya. Sorot matanya mulai menampakkan kecemburuan."Ngapain nanya soal aku, Valdi?" Rika tak senang namanya dibawa-bawa."Kamu, Rika! Pantasan kamu gak bisa jadi istri yang baik selama ini! Rupanya diluar kamu main laki-laki!" tuduh Valdi membabi buta. "Jangan menuduh aku yang nggak pantes, Val. Kita nggak ada hubungan apa-apa lagi sekarang. Kamu gak berhak ngurusin hidup aku!" Rika berujar menahan kesabaran. Wanita tersebut tersebut terang merasa tidak terima bila ia di tuduh tanoa bukti."Pantesan kamu mau gugat cerai aku, Rik! Rupanya emang ada laki-laki ini yang mau menyokong kebutuhan kamu! Murah sekali harga dirimu!""Stop bicara begitu, Valdi! Rika wanita mandiri! Dia tidak pernah mengandalkan orang lain, apalagi laki-laki untuk memenuhi kebutuhan dia!"Valdi menyunggingkan senyum sindiran."Kamu membela wanita ini, Rangga! Rupanya selam
sekarang kamu ada main sama Rangga! Apa karena dia manager kamu? Kamu nggak punya harga diri, Rika! Laki-laki ini yang sudah bikin kamu nyerein aku, kan?” Valdi sungguh tak senang.“Apa maksudmu? Hubunganku dan Pak Rangga hanyalah sebatas dunia kerja! Tolong jangan sebar fitnah macem-macem, Valdi!” Rika membela diri.“Liat aja sekarang, kamu manggil aku dengan sebutan nama. Nggak sopan banget. Padahal aku ini suami kamu,”“Mantan suami, Valdi! Kamu bukan suamiku lagi!” Rika memotong ucapan laki-laki di hadapannya.Valdi gelagapan. Ia baru ingat jika mereka telah bercerai.“Kamu nggak punya nurani, Rik! Kamu udah nggak mau ngehormatin aku lagi!”Melihat apa yang terjadi, Rangga sungguh tak bisa menahan sabar.“Val, Kita gak ada hubungan apa-apa lagi. Jadi aku udah gak punya kewajiban apapun sama jamu. Tolong jangan buat keributan di sini! Jangan memancing emosiku lebih jauh,” ujar Rika.“Sombong kamu sekarang ya! Karena ada lelaki ini, bukan?” Valdi menunjuk muka Rangga.Dengan muka t
Aku meninggalkan area kantor yang teramat menjengkelkan itu. Rangga? Kur*ng ajar sekali dia! Apa-apaan dia mendekati Rika? Aku tidak tahu mengapa rasanya hati ini panas melihatnya. Rasanya Rika telah menginjak harga diriku. Tunggu kau Rangga! “Valdii!” Suara Vina menanggilku dari belakang. Kulihat wajah Vina yang baru saja muncul di pintu ruang tamu. Wanita ini sangat cantik, tidak kalah bila dibanding dengan Rika.Tapi Rika, tadi kulihat wajahnya agak berubah. Mengapa wajahnya bisa bersih sekarang? Padahal dulu kusam dan kurang enak dipandang. Apa karena mataku yang rusak karena jarang melihatnya begitu? Apa Rangga benar-benar mengincar Rika? Aduh, rasanya sakit hati ini membayangkan ketika dia terlihat lebih cantik malah di incar sama pria lain. Ini sepertinya Rangga mencari kesempatan dalam kesempitan nih. Kenapa tidak dari dulu saja kamu tampil seperti itu, Rika? Kenapa ketika kita pisah baru merawat diri? Padahal dulu ketika masih bareng aku kamu tak pernah mau merawat diri
Pov VinaAku menghindari mas Valdi yang mencoba-coba untuk menyentuhku. Ilfeel saja rasanya sama pria ini. Pengangguran, kagak kasih duit, tapi mau minta di layani. Big no! “Kamu kenapa nolak terus, Sayang? Dosa lho kalo nolak suami,”Ucapannya membuat aku tertawa saja. Omong kosong saha bicara soal dosa.“Tubuhku gak gratis, Valdi! Biarin kamu statusnya suami aku, kalo gak kasih duit, nggak ada jatah!” Tegasku. Gerah benar aku dibuatnya. “Sayang, Mas minta maaf belum bisa kasih kamu uang lebih,” ujarnya.“Jangankan uang lebih, Mas. Uang cukup aja nggak,” imbuhku.Valdi menatap ke arah langit-langit seperti melamun.“Mas mau rumah tangga kita langgeng, Vin. Mas mau kamu jadi istri yang penurut dan ibu baik buat anak kita nanti,” ujarnya serius.“Enak aja ngarep aku jadi istri yang nurut sama kamu. Kalo masih kere tolong jangan ngarep terlalu jauh, Mas!”Jujur lama-lama aku muak sama pria ini. Lagi pula sepertinya tidak ada lagi yang bisa aku harapkan dari dia, mobil kreditan, masih
Di kediaman lama Valdi, Salma sedang berbincang-bincang kepada para tetangga. Salma terlihat ramah sekali."Sebenernya aku itu sedih sekali Rika bercerai sama adik saya. Karena kasihan banget ngeliat anak mereka. Clara harus besar tanpa kasih sayang dari ayahnya. Tapi Rika nggak mikir sampe ke sana. Sekarang mereka cerai, pastilah anak yang akan jadi korban." ucap Salma dengan suara sedih."Dan sebelumnya Valdi udah bersusah payah mau mempertahankan rumah tangga mereka. Tapi Rika sangat egois. Nggak mikir anak. Coba lihat sekarang, Rika pindah ngontrak di tempat lain, kemarin aku gak sengaja liat, kontrakannnya mana kecil dan kumuh juga. Sampe hati dis ngajak keponakan aku tinggal di sana. Aku mau kasih duit ke Clara aja ditolak mentah-mentah sama Rika. Sedih banget aku rasanya," Setitik air mata Salma menetes. Mengundang simpati ibu-ibu yang mendengarnya. Beberapa diantara mereka menyarankan Salma untuk bersabar."Kasihan Clara kalau begitu ya, Sal. Padahal selama ini kukira kamu ya
Bab 63Aku melangkah memasuki deretan dimana toko Bu Yuni berada. Sebelumnya aku telah mencari info dan menyusun semua yang terkait dengan apa yang ingin aku lakukan."Selamat pagi, Mbak Rik. Mau cari apa?" Anak Bu Yuni yang sedang menjaga toko ibunya menyapa."Mau cari laptop, Dek. Ibunya ada?" tanyaku."Ada, bentar aku panggilin dulu!" Anak itu beranjak menanggil ibunya.Sementara itu aku mengecek ponselku sebentar. Mengecek pesan dati seseorang yang kain Hmmm, sebentar lagi wanita itu juga akan segera sampai kemari. Tak lama kemudian Bu Yuni yang kemarin bicara judes itu keluar juga.Muka Bu Yuni masih terlihat masam."Oh, Rika Rupanya." tanggapnya pendek."Iya, Bu." Jawabku."Mau apa?" ujarnya jutek.Tiiin .... Tiin!Tiba-tiba sebuah klakson berhenti tepat di depan toko. Kulihat Bu Yuni sumringah sekali melihat siapa yang turun dari sepeda motor yang baru saja berhenti tersebut."Salma... Mau kemana? Ayo mampir dulu!" Senyum Bu Yuni. Sengaja aku bodo amat tanpa melihat ke arah
Bab 147Beberapa tahun kemudian...Aku dan Rangga baru saja keluar dari sebuah area sekolah berbasis internasional terkemuka di pusat ibukota. Iya Clara anakku sekarang sedang menempuh pendidikan di sekolah tersebut. Di sekolah berbasis internasional itu Clara telah mengukir berbagai prestasi. Hingga membuatnya mendapat beasiswa. Bahkan prestasi yang telah dia dapatkan membuatnya bisa mendapatkan beasiswa hingga ke fakultas kedokteran nanti. Itu adalah salah satu kebahagiaan terbesar yang pernah aku miliki. "Sedangkan disampingku, seorang pria tampan nan gagah tengah mendorong stroller dengan seorang bayi lucu yang tengah berada di dalamnya. Sesekali terdengar gelak tawa lucu menggemaskan yang berasal dari sang baby. Pria tampan yang sedang mendorong stroller itu adalah Rangga. Ya, kalian tidak sedang salah baca, pria itu adalah Rangga.Iya orang-orang mengatakan jika sekarang aku dan Rangga adalah sepasang suami istri. Akan sulit untuk dipercaya mengingat dulu kami hanyalah rekan bi
Bab 146Apapun yang terjadi, aku tak akan pernah mengabulkan permintaan keluarga mereka untuk mencabut laporan itu. Apapun alasannya! Hingga keputusanku membuat mereka kelihatan seperti enggan untuk menghampiriku lagi. Tapi tidak mengapa aku justru bersyukur dengan sikap mereka demikian. Menurutku akan jauh lebih baik dihindari oleh orang-orang seperti mereka, lebih baik dianggap jahat daripada dianggap baik tapi selalu dimanfaatkan. Mungkin saja mereka berpikir jika aku bisa kembali bersikap seperti dulu. Tapi itu tidak akan pernah terjadi lagi. Sikap Valdi terhadap putriku telah menghancurkan semuanya. Laki-laki itu tidak pernah bisa menjadi Ayah maupun suami yang baik. Lebih baik Aku mengucapkan selamat tinggal kepada pria model begitu.***Beberapa waktu telah berlalu semua vonis yang ditujukan kepada Valdli resmi diputuskan oleh hakim. Karena kesalahan yang telah Dia berbuat maka dia harus menuai hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku tanpa ada keringanan dari pihak manapun.
Bab 145"Eh, Pa. Papa ngapain kesini? Udah Papa pulang duluan sana. Aku masih mau nemuin temen aku." Ucap Mel dengan terburu-buru."Dek, kok kamu ngomong kayak gini? Panggilan tiba-tiba berubah. Biasa panggil "Mas", kok sekarang bisa panggil"Papa"?" Suaminya nampak heran. Namun Mel dengan cepat cepat memberi isyarat pada suaminya untuk diam segera."Heyy... Aku bilang kamu pulang dulu, banyak bicara banget, pulang dulu ganti baju sana. Kok kucel banget!" Mel mengomel. Meski omelan itu tidak terlalu keras namun kami masih bisa mendengar dengan baik.Sebenarnya aku mau tertawa mendengarnya, selama yang aku tahu, Mel memanggil suaminya bukanlah dengan panggilan Papa melainkan Mas. Aneh saja mendengar panggilannya berubah tiba-tiba begini."Dek, Mas cuma mau ambil kunci kontrakan," Ucap suaminya."Ooh, kunci kontrakan kita, bentar," Mel merogoh tas."Nih! Cepat pergi sono!" Usir Mel setelah menyodorkan kunci.Mungkin melihat raut muka Mel yang sangat berubah naik pitam, suami Mel langsu
Bab 144"Lho Mel, limit tarik tunai via atm kan cuma bisa sebatas sepuluh juta? Kok kamu bisa narik lima puluh juta sekaligus sih?"Ha... ha... aku ikut terkekeh mendengarnya. Pertanyaan Dini memang menyerang mental."Nggak, nggak, maksudku bukan gitu, Ah udahlah lupakan kata-kata aku yang tadi," ujar Mel."Maaf banget ya, Din. Aku tadi cuma pengen pinjem uang gitu sama kamu, soalnya kan nggak lama. Sampai sore besok aku kembaliin," ujar Mel kembali."Mana ada aku uang segitu Mel, gaji aku juga cuma UMR. Lagian juga penghasilan kamu dan suami kamu kan udah puluhan juta. Masa iya kamu nggak malu bilang mau pinjam sama karyawan yang gaji UMR kayak aku. Kalau kamu sama suami kamu emang punya gaji gede, Nggak mungkin lah mau pinjam sama aku. Aneh," ujar Dini."Eh kamu nggak usah ngomong kayak gitu Din. Aku bilang pengen pinjam sama kamu tuh karena uang aku barusan aja dipinjam sama orang." "Loh kamu udah tahu kalau kamu sedang butuh uang kenapa malah minjemin orang?" sambar Dini."Idih k
Bab 143"Mel, kamu dimana sih sekarang? Udah lama banget nggak ngeliat kamu? Aku liat kontrakan yang lama udah kosong tuh," salah seorang perempuan muda berkata pada Mel."Aku enang udah lama pindah, Say. Kamu aja yang ketinggalan informasi. Aku udah pindah ke rumah baru aku," ucap Mel."Rumah baru? Kamu udah punya rumah sendiri, Mel?" Teman wanitanya kembali bertanya."Ya iya, dong. Aku udah bosen hidup di kontrakan mulu. Jadi Alhamdulillah Tuhan kasih rezeki lebih, jadi aku bisa membangun rumah tiga lantai, Say. Alhamdulillah banget aku bisa bikin rumah mewah ala-ala klasik gitu lho, yang ada pilar-pilarnya," Mel bercerita bangga.Mungkin saja Mel tidak menyadari jika aku ada di dekat mereka. Aku memang duduk di kursi agak pojokan, sendirian saja. Sedangkan dia ada di sebelah kanan, jarak satu meja denganku. Aku pura-pura tidak melihatnya. Lagipula apa yang dia katakan juga tidak ada urusannya denganku."Rumah tiga lantai? Waw, kamu keren banget, Mel. Di mana itu rumah kamu? Boleh d
Bab 142Setelah aku mendengar rentetan cerita yang diceritakan secara detail oleh Rangga, tentang bagaimana kronologi aku mendapatkan informasi penting itu dari Melia, barulah aku bisa percaya. "Nah sekarang kamu tentu sudah tahu apa yang akan kita lakukan setelahnya, kan? Tapi tenang saja kamu tidak perlu membuang-buang banyak waktu untuk mengurus semua masalah ini. Kamu hanya butuh istirahat sekarang, untuk masa penyelesaian masalah tersebut biar kami yang melakukannya." ujar Rangga.***Aku baru saja keluar dari ruang sidang. Lihat beberapa wajah yang mungkin saja kecewa dengan apa yang terjadi dengan sidang siang ini. Beberapa diantara mereka memang menelan karena kejahatan mereka benar-benar terkuak dan mereka akan sulit sekali untuk mengelak. Rangga memang bisa mengumpulkan informasi sedetail mungkin. Apa yang telah dipersiapkan olehnya memang berdampak positif pada jalannya sidang. Mereka dibuat kalah telak dengan bukti-bukti yang ada di pihak kami. Sebentar kemudian samar-sa
Bab 141"Tentu saja. Ketika seseorang sedang membutuhkan pertolongan, sedangkan aku bisa untuk mengulurkan bantuan tersebut, maka tidak mungkin aku mengabaikannya. Demikian juga hal-nya denganmu," ucapku berusaha untuk menarik kepercayaannya."Sebenarnya...," Melia tidak melanjutkan kata-katanya, seperti ada keraguan pada wajahnya.Namun aku tetap sabar menunggunya untuk mengumpulkan keberanian terlebih dahulu."Pak, apakah anda benar-benar akan menolongku?" "Ya, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mencintaiku, jadi apa salahnya aku seseorang yang di mana aku ada di hatinya,"Melia tersenyum."Pak, Rangga. Karena tadi tadi anda juga bilang sudah membenci Rika, jadi kurasa aku harus jujur sama anda sekarang. Jujur saja sebenarnya perempuan itu terlalu berbahaya untuk didekati. Dia tak pantas untuk dijadikan teman apa lagi partner hidup. Karena bu Ratih sudah menceritakan semua rahasianya. Sebenarnya sebelumnya aku marah pada bu Ratih karena menceritakan aib Rika sama aku, tapi belaka
Bab 140Aku tidak habis pikir dengan wanita ini, mengapa harus berkata seperti itu sedangkan dia sendiri masih mempunyai seorang kekasih."Oke, oke, terima kasih. Aku senang dengan kejujuranmu. Tapi sepertinya, kamu lebih baik berkata seperti itu sama Roy saja." Ucapku kemudian."Aku dan Roy akan segera putus. Aku tidak mencintainya sana sekali. Aku hanya mencintai anda Pak Rangga," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.Sebenarnya aku sama sekali tidak bersimpati dengan kata-kata yang dia ucapkan. Aku tidak bisa tertarik pada seseorang yang suka menghianati sebuah hubungan. Aku menganggapnya menghianati karena dia berkata seperti itu di tengah-tengah hubungannya dan Roy yang masih belum berakhir. Tapi untuk sementara biar ku hal yang lebih penting, jika kira-kira pembahasan ini bisa membuatku banyak mendapatkan informasi, maka aku akan melanjutkan. Ide segera muncul di otakku."Melia, kemarin aku melihat kamu bertemu dengan Bu Ratih dan Mel, ibu dan saudari Valdi. Kalau boleh tahu, apa k
Bab 139Tengah berbicara, dering telepon Melia mengganggu obrolan. Cepat-cepat Melia melirik ke arah ponsel."Bu Ratih?" Kulihat matanya sedikit terperanjat.Dia menyebut nama Bu Ratih? Itu kan nama ibunya Valdi. Apa ada Bu Ratih yang lain. Sedangkan raut mukanya terlihat cemas dan sesekali ia menatapku.Aku pikir ada yang mengganggunya dari orang yang sedang menghubunginya tersebut."Sebentar, ya. Aku mau ngomong sama temenku. sebentar aja, kok," ucapnya sembari melangkah cepat menuju ke luar kafe. Aneh bin ajaib, cara berjalannya yang tadi agak terseok-seok, kini terlihat malah lancar sekali langkahnya. Tidak ada tanda-tanda menahan sakit sana sekali. Aku mulai curiga dengan wanita ini. Tapi untuk sementara aku menyembunyikan rasa ganjil yang mulai muncul.Melihat raut mukanya yang seperti panik tadi, aku tersentil untuk menelisik apa yang akan dia bicarakan pada seseorang yang tadi dia panggil Bu Ratih.Maafkan aku, kali ini aku terpaksa mencuri obrolan mereka. Kalau saja tadi aku