Nampak raut muka Mas Bowo yang terlihat terkejut dengan penjelasan Bude Mai. Aku pun yang melihatnya juga gak habis pikir. Kenapa ekspresinya seperti itu. Lagian gak ada salahnya juga kan aku kembali menikah. Toh aku sudah menjadi janda juga karena dia.Lagian, mereka semua sudah merestui hubungan kami. Baik orang tua kami, maupun anak-anak kami."A-apa, calon suami Ida?" Ucap Mas Bowo terbata."Iya, kenapa emangnya Mas? Ada yang salah?" Tanya Fero membuat Mas Bowo terkesiap."E-enggak ada.""Yasudah yuk Bude, kita masuk kedalam." Ajak ku pada calon keluarga baruku. Bude Mai yang memang tak ingin lama-lama bertemu dengan mereka, langsung saja masuk kedalam rumah. Bersama dengan calon anak ku."Kalau gitu, saya permisi kedalam dulu." Ucapku pada semua orang yang ada diruang tamu.Dan langsung berlalu masuk kedalam menemui Bude dan Fero yang sudah duduk manis diruang keluarga.Aku pun langsung menyiapkan minuman dan cemilan untuk mereka. Terutama nastar, kesukaan Melisa yang secara la
Adzan takbir pun menggema saling bersahutan. Alhamdulillah, setelah menunaikan puasa tiga puluh hari, akhirnya umat muslim merayakan kemenanganya dengan datang nya hari raya.Aku sengaja mengajak Denisa dan juga Narendra untuk menginap dirumah Ibu. Dan akan berkunjung kerumah mertua pada hari kedua dan menginap disana tiga hari karena memang jatah libur dari pabrik hanya lima hari."Wo, kamu gak ada niatan ke rumah Ida?" Ucap Ibu saat aku sedang bersantai sambil merokok didepan rumah."Ngapain kita kesana Bu?" Tanya ku sambil mengernyitkan dahi.Ibu pun hanya meresponya dengan senyuman, yang menurutku semyuman nya kali ini ada maksut tersembunyi."Mmm, ya kita main kesana buat nengok cucu Ibu dong. Sapa tau juga kalau kita kesana kita dapet angpau. Secara, Ida kan gak pelit kayak istrimu. Apalagi sekarang dia sudah kaya raya. Ibu yakin deh kalau dia bakal lebih royal sama Ibu.""Hadeh, Ibu ini berharapnya terlalu tinggi deh!" Ucapku sambil menggelengkan kepala."Gak berhayal, kan siap
Aku hanya bisa memandangi punggung mereka yang berlalu masuk kedalam ruang keluarga.Entah kenapa aku merasakan sakit hati yang teramat dalam melihat kedekatan Ida dengan lelaki itu. Karena jujur saja, jika Ida mau kembali padaku pun aku bakal dengan senang hati menerimanya.Tapi aku tak punya nyali untuk memintanya terlebih dahulu untuk kembali padaku. Gengsi dong kalau dia pikir aku tak bisa move on darinya."Oh iya, gimana kabar kalian?" Tanya mantan Bapak mertua memulai obrolan."Alhamdulillah, baik Pak Ahmad. Anda sendiri sekeluarga gimana?" Tanya Ibu yang ku tau hanya basa basi saja."Yaa awal puasa kemarin sih saya sempet drop, bahkan dirawat dirumah sakit lima hari.""Lololoh, sakit apa Pak?" Tanya ku memotong ucapan Ibu yang akan terlontar dari mulutnya."Biasa Wo, kecapean." Jawabnya sambil mengulas senyuman.Kulihat mantan Ibu mertua hanya diam saja. Sepertinya beliau tak berselera mengajak kami ngobrol atau pun sekedar mempersilahkan kami untuk mencicipi hidangan. Hanya ma
Seketika hatiku bergemuruh dan mendadak tangan ku bergetar setelah membaca pesan dari sipengirim yang diberi nama "Ria"Tanpa pikir panjang, aku keluar dari kamar, membawa hp Denisa dan kembali membaca semua pesan yang dikirm "Ria" padanya.Banyak sekali chat mesra, bahkan chat yang menurutku tak pantas mereka bicarakan disini. Apalagi, Denisa sudah memiliki suami yaitu aku.Tubuhku seakan melemas seperti tak bertulang belakang, pikiran ku pun jauh melayang kesana. Entah kenapa aku malah berpikir dia lah Aria. Lelaki yang dulu pernah aku curgiai dekat dengan Denisa.Tapi dulu aku sama sekali tak menemukan kecurigaan padanya. Karena aku juga tak menemukan chat aneh pada Denisa.Tapi kini kenapa semua baru terbongkar, setelah aku akan kehilangan Ida. Apa ini alasan Denisa tak ingin aku nikahi secara sah? Kenapa aku hanya diam saja dan menuruti keinginan Denisa. Ya tuhan, tiba-tiba aku merasakan kepala ku begitu pening hingga aku harus memijit pelan kepala ku yang terasa berdenyut kera
Terdengar helaan nafas Ibu yang begitu berat. Aku hanya melirik nya saja, jika aku bersuara, sudah pasti Ibu bakal menyalahkan aku lagi.Tapi mendengar tangisan Denisa juga membuat ku benar-benar muak. Kenapa saat seperti ini dia menangis, bukanya saat dia melakukan dosa dengan senang hati dan tak ingat akan dosa."Apa yang membuat kalian bertengkar hebat seperti ini?" Pertanyaan Ibu memecah keheningan diantara kami.Aku masih diam, enggan menjawab. Biar si Denisa sendiri lah yang jujur pada Ibu. Tapi tetap saja tak ada reaksi apa pun darinya."Kok kalian malah diam aja. Ini Ibu lagi tanya lo?" Lagi-lagi Ibu bersuara. Tapi kali ini suara Ibu sedikit lebih tinggi."Tanyakan saja pada wanita jalang itu Bu!" Ucapku sambil mengendik kan dagu kearah Denisa.Sedangkan Denisa nampak tersentak saat ku bilang seperti itu. Entah tersentak karena kaget atau karena tak terima dengan ucapanku. Aku pun tak mau tau."Wo... Jangan bilang seperti itu!""Kenapa gak boleh, emang kenyataan nya begitu ko
Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Hari dimana aku dan Mas Fero akan melangsungkan pernikahan.Beberapa hari sebelum hari H, entah kenapa degup jantungku berdetak tak karuan. Padahal ini pernikahan ke dua ku, harusnya aku merasa biasa saja. Tapi ternyata tidak, aku tetap merasakan gerogi dan nervous.Hari ini pun kami sibuk menyiapkan semua sajian untuk pengajian yang akan dilaksanakan nanti malam sebelum akad ku besok pagi terselenggara.Untung saja banyak kerabat dan keluarga dari Emak dan Bapak yang sudah datang dan menginap disini dari beberapa hari yang lalu."Eeh calon pengantin gak usah ikut kemari. Uda dikamar aja, nanti malah bau bawang lo terus gak manglingi juga!" Ucap salah seorang saudara ku dari Emak saat melihat kedatangan ku ke dapur."Aaah gak Papa Jan, lagian ini juga bukan pernikahan pertama ku. Jadi gak penting juga buat manglingi." Ucapku pada Jannah"Tetap aja gak boleh Mbak, lagian disini juga cuman tinggal manasin semua makanan. Jadi gak ada re
Setelah Mas Fero mengucapkan ijab qabul, aku pun berjalan keluar dari kamar didampingi oleh kedua saudara perempuan ku dari Emak, si Jannah dan Fadila.Kembali kurasakan degup jantungku yang berdetak tak karuan. Saat keluar kamar, aku melihat beberapa saudara ku yang memandang takjub kearah ku. Seperti Jannah dan Fadila saat pertama kali mereka melihat ku."Masyaallah Mbak Ida, cantik sekali sih. Manglingi banget, persis kayak anak muda lo. Gak kelihatan kalau uda Stw!" Kata Jannah sambil terkekehAku pun memukul pelan lengan nya karena merasa gemas."Ya Allah cah ayu, cuantik sekali..." Sapa saudaraku yang lainya. Yang makin membuatku tersipu malu.Semua mata memandang kagum padaku. Bahkan aku melihat binar bahagia di mata Emak dan Mama yang dulu ku panggil Bude Mai.Aku sampai bertanya sendiri. Apakah memang aku secantik itu? Sampai-sampai mereka semua terpukau ketika melihatku.Kini pandangan ku tertuju pada Mas Fero, yang saat ini sudah sah menjadi suamiku. Ya, dengan setelan besk
Setelah kepergian Mas Fero untuk sholat jum'at, aku kembali berkumpul bersama para saudara perempuan ku yang masih sibuk menyiapkan keperluan untuk acara nanti sore.Tapi ada sesuatu yang aneh dari tatapan mereka yang selalu mengulas senyum ketika melihatku. Aku jadi penasaran sendiri, apa memang ada yang aneh dengan penampilan ku? Ku rasa enggak deh."Kenapa sih Dil, kok kalian senyum-senyum terus kearah ku?" Aku yang kepo pun tak sungkan untuk langsung menanyakan nya pada Fadila."Masa' gak paham sih Mbak?" Tanya nya balik yang membuat ku makin bingung.Dengan cepat aku menggelengkan kepala kearah nya. Yang justru dibalas dengan helaan nafas berat."Yaelah Mbak, Mbak... Dasar tukang gak peka!""Hah? Gak peka gimana sih?""Hahaha masa' baru masuk kamar beberapa menit aja, keluar dari kamar uda basah rambutnya!" Jawab Fadila sambil tertawa lebarSial, benar kan dugaan ku. Pasti semua orang mengiranya aku sudah belah duren dengan Mas Fero. Padahal boro-boro melakukan kewajiban, disentu
Setelah semua kejadian yang menimpa Lusi, awalnya dia begitu terpukul dan hampir depresi. Karena dia memang bakal tak bisa mempunyai anak untuk selamanya.Berkat kesabaran Ibunya, dan juga Bowo yang selalu memberi dukungan, perlahan Lusi mampu menerima takdirnya.Begitupula Dendi yang juga perhatian pada nya pasca kehilangan buah hati mereka. Tapi semenjak kehadiran Romi, mantan pacar Lusi dulu, hidupnya berubah. Terutama hubungan nya dengan Dendi.Rama, lelaki yang dulu mencintai Lusi sepenuh hati. Tapi karena dulu dia belum memiliki pekerjaan yang mapan, dia pun memilih untuk mundur. Apalagi waktu itu dia melihat Lusi yang juga sudah dekat dengan Dendi yang memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan besar.Hingga akhirnya, dia pun memilih untuk merantau. Bekerja jadi kontraktor disebuah tambang."Lus...!" Sapa Rama saat mereka bertemu membeli martabak disebuah sentra PKL bersama Narendra."Rama....!" Balas Lusi yang juga tak kalah bahagia dan mereka pun bersalaman."Anak kam
Hallo Mas!" Sapanya begitu lembut saat mengangkat telepon ku."Lagi apa Ras?""Nih, lagi santai sama calon anak kamu. Oh iya, uda makan belum?" Tanya nya.Aaah, Laras benar-benar perhatian sekali. Bahkan Lusi pun jarang menanyakan hal sekecil ini tapi mampu membuat ku merasa dipedulikan. Tak seperti Lusi yang hanya lebih sering menanyakan uang dan uang.Untung saja aku cinta. Kalau tidak, mungkin aku sduah meninggalkan nya."Sudah kok. Kamu juga sudah makan apa belum? Jangan sampai telat makan ya?" "Iya Enggak Mas." Jawab nya seraya tersenyum."Oh iya Ras, mobil yang kujanjikan pada Lusi sudah datang hari ini. Ku rasa dia begitu bahagia!" Ucapku.Tapi Laras tak menanggapi ucapan ku."Halo Ras kamu masih disana?" Tanya ku.Karena memang seketika suasana jadi hening. Hanya terdengar suara helaan napas yang berat keluar dari mulutnya."Iya masih Mas. Tapi aku ngantuk mau tidur dulu. Capek!" Jawab nya seketika cuek."Oh yasudah kalau gitu, kamu istirahat dulu gih. Met tidur ya sayang dan
Aku dulu memang sangat mencintai Lusi. Apapun yang dia inginkan, sebisa mungkin bakal aku turutin.Tak ada kata penolakan yang bakal keluar dari mulutku ini, semua ucapannya pasti ku iyakan. Tapi ada satu hal yang mengganjal hatiku. Aku ingin keturunan. Sudah hampir lima tahunan aku dan Lusi menjalin rumah tangga, tapi kami belum juga dikarunia i seorang anak.Lantas aku harus bagaimana? Apakah aku harus menunggu terus dengan sabar? Tapi sampai kapan? Aku juga tak tau kapan umurku akan berakhir. Tapi setidaknya sebelum umur ku usai, aku sudah memiliki seorang penerus.Semakin hari aku semakin bimbang. Ingin rasanya menyudahi hubungan ku dengan nya, tapi aku masih terlalu cinta."Ini pesanan nya ya Pak!" Ucap seorang pelayan restoran saat kapalku sedang bersandar dan kami makan malam disuatu kota.Aku melihat gadis ini begitu manis, dengan postur tubuh yang aduhai menggoda iman. Ku lirik name tag nya, dan kulihat nama yang tertera disana "Laras".Aku pun tersenyum manis padanya, dan di
Drrrt... Drrrt... Drrrt...Aku jadi terbangun kala hp ku berdering karena sebuah panggilan masuk. Setelah ketahuan hamil, Ibu menyuruhku untuk lebih banyak istirahat. Karena kata Ibu, kehamilan ku ini sedikit rewel. Apalagi ini masih trimester pertama yang pastinya masih teler-telernya. Kuraih hp yang tergeletak tak jauh dari tempat ku berbaring, kemudian melihatnya. Ternyata Mas Dendi lah yang sedang menelponku.Dengan semangat 45, aku pun langsung mengangkat panggilan darinya. Dan sudah pasti, senyum ku pun memgembang."Hallo, iya Mas!" Ucapku "Lus, kamu beneran kan? Kamu gak bohong kan?" Pertanyaa Mas Dendi langsung memberondong ku."Iya Mas, masa' iya aku bohong sih sama kamu Mas?" "Alhamdulillah... Ya Allah Lus, kamu tau aku begitu bahagia. Hiks!" Dari nada suaranya, Mas Dendi begitu terharu."Mas nangis?" "Mas cuman bahagia Lus, Mas gak nyangka akhirnya kamu hamil juga. Tapi....!" Ucapanya terhenti.Tapi aku paham maksut dari ucapan Mas Dendi ini. Tapi dia juga sudah mengham
Karena perjanjian ku dengan Mas Dendi inilah, sekarang aku bisa hidup lebih bahagia. Apalagi dengan harta yang lebih bergemilang. Walau aku harus berbagi suami dengan wanita sialan itu.Tiga hari lagi Mas Dendi juga akan pulang. Dan dia berniat ingin bersama ku nantinya. Jujur saja, aku sudah kehilangan hasrat bersama Mas Dendi. Tapi, mau tak mau aku harus tetap melayani nya.Toh aku juga dapat imbalan yang setimpal. Apapun yang aku ingin kan, Mas Dendi selalu menuruti apapin yang aku ingin kan.Yang terpenting saat ini, aku harus bersiap dan merias diri secantik mungkin. Agar nanti saat Mas Dendi datang, dia terkesima dengan penampilan ku.Tok tok tok!!!"Lus...?" Sapa Mas Bowo didepan kamar ku"Hmm, ada apa Mas? Masuk aja, gak ku kunci kok." UcapkuMas Bowo pun masuk, dan mengeluarkan uamg lembaran merah sebanyak lima biji."Nih...!" Ucapnya sambil meneyerah kan pada ku."Ooh, uda gajian toh. Oke, aku terima." Ku ambil uang ity dari tangan Mas Bowo. Dan memasukkanya kedalam kantong
Menempuh waktu hampir dua jam lebih, bagiku terasa sangat begitu lama. Tapi aku bersikap biasa saja dihadapan Mas Fero. Aku takut, jika dia melihat ku khawatir, dia bakal ngebut, dan justru malah membahayakan kita sendiri.Padahal dalam hati ini, sudah tak karuan lagi. Campur aduk rasanya, apalagi memang kondisi Bapak yang sudah terlalu lemah beberapa hari ini.Tapi memang saat ini Mas Fero berkendara lebih cepat dari pada saat kami berangkat ke kosan Anita. Untung nya juga, jalanan tak seberapa padat, mungkin karena masih siang juga, dan tak bertepatan dengan jam pulang kerja.Tujuan kita saat ini pun langsung ke rumah sakit Medika. Aku melirik Anita dari kaca spion dalam mobil, terlihat tak tenang juga. Terlihat juga Anita tak lepas dari doa, sama seperti ku saat ini.Sesampainya dirumah sakit, Mas Fero langsung memarkirikan mobilnya, setelah itu, kami langsung berjalan. Menuju ruang ICU, dimana Emak sudah menunggu disana."Mak...!" Sapa ku saat melihat wanita paruh baya itu duduk s
Sudah dua hari ini, aku dan Mas Fero tinggal dirumah ku. Karena memang beberapa hari ini aku sibuk mengolah semua usaha ku. Maklum, biasanya Emak yang membantuku ditoko, kini lebih banyak dirumah.Sebab, akhir-akhir ini kesehatan Bapak juga sedang terganggu. Dan sudah tiga hari ini pula beliau terlihat lemas. Jadi dari pada aku harus bolak balik toko kerumah Mas Fero yang jaraknya lumayan jauh, aku pun memutuskan untuk memgajak Mas Fero gantian tinggal disini beberapa hari. Apalagi hari ini kita juga ada agenda mengantarkan Anita ke kosan nya.Dan juga, aku sibuk membantu putriku yang akan segera pindahan, karena sebenyar lagi dia akan masuk kuliah. Ternyata waktu berputar begitu cepat, hingga tanpa terasa kini Anita sudah akan menjadi seorang mahasiswi."Nduk, sarapan dulu!" Ajak Emak saat aku menuju dapur."Enggeh Mak! Oh iya, nanti Emak ke toko lagi kah?" "Kayaknya sih enggak, lah Bapak mu kondisinya juga kayak gitu. Emak kok jadi takut ya Nduk!" Ucap Emak sedikit tertahan"Takut
"Sudah hampir sebulan ini aku menjadi istri Mas Fero, kalau ditanya bagaimana rasanya? Sudah tentu aku bakal berkata begitu bahagia.Bukan tanpa sebab, karena memang sifat Mas Fero yang begitu perhatian dan peduli padaku, membuat ku menjadi begitu nyaman.Apalagi Mama juga begitu baik terhadapku. Karena memang setelah menikah, aku diboyong oleh Mas Fero ke kediamanya. Ya, walaupun tak jarang juga aku masih sering pulang kerumah untuk menengok Emak dan Bapak.Karena memang Anita juga kadang ikut tinggal dirumah Papa barunya ini. Mas Fero mengajak ku tinggal dirumah nya juga bukan tanpa alasan, sebab anak-anak kandung Mas Fero yang kini juga sudah menjadi anak ku masih kecil-kecil, sedangkan Anita sudah besar.Dan sebentar lagi dia akan masuk kuliah, bahkan akan tinggal jauh dari kami. Karena dia kuliah diluar kota, terpaksa dia harus ngekos disana. Itu pula lah yang membuat ku mau untuk tinggal disini, karena anak-anak Mas Fero lebih membutuhkan sosok Ibu."Sayang, nanti nge mall yuk..
Hari ini pekerjaan kantor benar-benar lumayan banyak. Apalagi banyak barang masuk, yang otomatis banyak data pula yang harus ku input.Untung nya laporan ini gak harus selesai hari ini juga. Jadi aku masih bisa sedikit bersantai tentunya.Kulihat Bram dan teman-teman juga pada sibuk dengan pekerjaan mereka. Hingga waktu istirahat, seperti biasa aku dan Bram makan siang di kantin sambil ngobrol. "Bro, gak minat cari istri baru nih?" Tanya nya "Gak kepikiran Bram. Masih trauma!" Jawab ku sambil menggelengkan kepala."Hahaha Anjriit, lemah amat lu Bro!"Sialan, dia bilang aku lemah? Dia gak tau aja sih sakitnya diselingkuhi, apalagi selingkuhnya sampek bikin bunting. Sakit tau gak, sakiiit...."Kamu bisa ngomong gitu mah soalnya belum ngerasain aja. Coba deh, nanti kalau uda ngerasain, nyaho deh...!" Cebik ku ganti membuat raut muka Bram berubah."Yaelah, gitu amat doain temen yang jelek-jelek." Ucap Bram yang sama sekali tak ku gubris.Waktu istirahat yang hanya sejam pun habis, aku k