Seketika hatiku bergemuruh dan mendadak tangan ku bergetar setelah membaca pesan dari sipengirim yang diberi nama "Ria"Tanpa pikir panjang, aku keluar dari kamar, membawa hp Denisa dan kembali membaca semua pesan yang dikirm "Ria" padanya.Banyak sekali chat mesra, bahkan chat yang menurutku tak pantas mereka bicarakan disini. Apalagi, Denisa sudah memiliki suami yaitu aku.Tubuhku seakan melemas seperti tak bertulang belakang, pikiran ku pun jauh melayang kesana. Entah kenapa aku malah berpikir dia lah Aria. Lelaki yang dulu pernah aku curgiai dekat dengan Denisa.Tapi dulu aku sama sekali tak menemukan kecurigaan padanya. Karena aku juga tak menemukan chat aneh pada Denisa.Tapi kini kenapa semua baru terbongkar, setelah aku akan kehilangan Ida. Apa ini alasan Denisa tak ingin aku nikahi secara sah? Kenapa aku hanya diam saja dan menuruti keinginan Denisa. Ya tuhan, tiba-tiba aku merasakan kepala ku begitu pening hingga aku harus memijit pelan kepala ku yang terasa berdenyut kera
Terdengar helaan nafas Ibu yang begitu berat. Aku hanya melirik nya saja, jika aku bersuara, sudah pasti Ibu bakal menyalahkan aku lagi.Tapi mendengar tangisan Denisa juga membuat ku benar-benar muak. Kenapa saat seperti ini dia menangis, bukanya saat dia melakukan dosa dengan senang hati dan tak ingat akan dosa."Apa yang membuat kalian bertengkar hebat seperti ini?" Pertanyaan Ibu memecah keheningan diantara kami.Aku masih diam, enggan menjawab. Biar si Denisa sendiri lah yang jujur pada Ibu. Tapi tetap saja tak ada reaksi apa pun darinya."Kok kalian malah diam aja. Ini Ibu lagi tanya lo?" Lagi-lagi Ibu bersuara. Tapi kali ini suara Ibu sedikit lebih tinggi."Tanyakan saja pada wanita jalang itu Bu!" Ucapku sambil mengendik kan dagu kearah Denisa.Sedangkan Denisa nampak tersentak saat ku bilang seperti itu. Entah tersentak karena kaget atau karena tak terima dengan ucapanku. Aku pun tak mau tau."Wo... Jangan bilang seperti itu!""Kenapa gak boleh, emang kenyataan nya begitu ko
Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya datang juga. Hari dimana aku dan Mas Fero akan melangsungkan pernikahan.Beberapa hari sebelum hari H, entah kenapa degup jantungku berdetak tak karuan. Padahal ini pernikahan ke dua ku, harusnya aku merasa biasa saja. Tapi ternyata tidak, aku tetap merasakan gerogi dan nervous.Hari ini pun kami sibuk menyiapkan semua sajian untuk pengajian yang akan dilaksanakan nanti malam sebelum akad ku besok pagi terselenggara.Untung saja banyak kerabat dan keluarga dari Emak dan Bapak yang sudah datang dan menginap disini dari beberapa hari yang lalu."Eeh calon pengantin gak usah ikut kemari. Uda dikamar aja, nanti malah bau bawang lo terus gak manglingi juga!" Ucap salah seorang saudara ku dari Emak saat melihat kedatangan ku ke dapur."Aaah gak Papa Jan, lagian ini juga bukan pernikahan pertama ku. Jadi gak penting juga buat manglingi." Ucapku pada Jannah"Tetap aja gak boleh Mbak, lagian disini juga cuman tinggal manasin semua makanan. Jadi gak ada re
Setelah Mas Fero mengucapkan ijab qabul, aku pun berjalan keluar dari kamar didampingi oleh kedua saudara perempuan ku dari Emak, si Jannah dan Fadila.Kembali kurasakan degup jantungku yang berdetak tak karuan. Saat keluar kamar, aku melihat beberapa saudara ku yang memandang takjub kearah ku. Seperti Jannah dan Fadila saat pertama kali mereka melihat ku."Masyaallah Mbak Ida, cantik sekali sih. Manglingi banget, persis kayak anak muda lo. Gak kelihatan kalau uda Stw!" Kata Jannah sambil terkekehAku pun memukul pelan lengan nya karena merasa gemas."Ya Allah cah ayu, cuantik sekali..." Sapa saudaraku yang lainya. Yang makin membuatku tersipu malu.Semua mata memandang kagum padaku. Bahkan aku melihat binar bahagia di mata Emak dan Mama yang dulu ku panggil Bude Mai.Aku sampai bertanya sendiri. Apakah memang aku secantik itu? Sampai-sampai mereka semua terpukau ketika melihatku.Kini pandangan ku tertuju pada Mas Fero, yang saat ini sudah sah menjadi suamiku. Ya, dengan setelan besk
Setelah kepergian Mas Fero untuk sholat jum'at, aku kembali berkumpul bersama para saudara perempuan ku yang masih sibuk menyiapkan keperluan untuk acara nanti sore.Tapi ada sesuatu yang aneh dari tatapan mereka yang selalu mengulas senyum ketika melihatku. Aku jadi penasaran sendiri, apa memang ada yang aneh dengan penampilan ku? Ku rasa enggak deh."Kenapa sih Dil, kok kalian senyum-senyum terus kearah ku?" Aku yang kepo pun tak sungkan untuk langsung menanyakan nya pada Fadila."Masa' gak paham sih Mbak?" Tanya nya balik yang membuat ku makin bingung.Dengan cepat aku menggelengkan kepala kearah nya. Yang justru dibalas dengan helaan nafas berat."Yaelah Mbak, Mbak... Dasar tukang gak peka!""Hah? Gak peka gimana sih?""Hahaha masa' baru masuk kamar beberapa menit aja, keluar dari kamar uda basah rambutnya!" Jawab Fadila sambil tertawa lebarSial, benar kan dugaan ku. Pasti semua orang mengiranya aku sudah belah duren dengan Mas Fero. Padahal boro-boro melakukan kewajiban, disentu
Selama perjalanan menuju kos an Denisa, tak henti-hentinya aku merutuki semua kebodohan dan kesialan diri ini.Tapi mau dikata apa lagi, nasi sudah menjadi bubur. Tak ada lagi yang perlu aku sesali, yang penting sekarang aku harus berusaha bagaimana caranya agar aku dapat mengambil kembali sertifikat rumah yang sudah aku berikan pada Denisa sebagai jaminan.Sepeda terus berjalan mendekati gang tempat kosnya. Sesampainya disana, aku melihat keadaan kos begitu sepi. Tapi aku tak peduli dan langsung masuk kedalam kamar Denisa.Bruuuagh!!!Kubuka pintu secara paksa. Denisa yang melihat pun juga ikut tersentak kaget. Kulihat dia sudah mulai memasuk kan baju-baju Narendra kedalam tas besar."Ngapain lagi kamu kesini Mas? Mau minta maaf?" Ucapnya dengan ekspresi wajah sinisCiih, dia bilang aku mau minta maaf? Tentu saja aku tak sudi. Orang dia yang salah, malah meminta ku untuk meminta maaf. Ya, walaupun aku juga ikut andil dalam masalah ini.Karena memang aku sengaja menelantarkan Denisa d
Dua hari kemudian, aku dan Ibu akan berangkat kerumah Mbah Tiban. Beliau memang terkenal sebagai dukun bayi disini. Memang rencana ku kemari untuk men-suwuk Narendra agar dia bisa lupa dengan Mamanya yang sudah berkhianat.Sejujurnya aku tak tega. Tapi mau bagaimana lagi. Aku dan Denisa juga tak mungkin balik lagi menjalin hubungan suami istri. Karena dia juga sudah tak mencintaku lagi. Begitu pula kau yang juga jijik padanya.Untuk saat ini, jangan kan melihat wajahnya, menyebut namanya saja aku juga tak mau."Wo, ayo berangkat. Malah melamun aja, kesambet baru nyaho' kamu!" Ucap Ibu sambil menepuk pundak ku hingga lamunan ku buyar dengan sendirinya."Tak ambil jaket dulu Bu." Aku langsung beringsut masuk kedalam rumah mengambil jaket dan juga helm untuk kami berdua."Mas, nitip es oyen ya. Nih uang nya!" Dengan santainya Lusi memberiku selembar uang pecahan berwarna biru"Oh iya, barangkali Mas sama Ibu juga mau, sekalian aja beli." Ucapnya lagi seraya berlalu. Padahal aku juga bel
"Uang, uang untuk apa Mas?" Tanya Lusi yang langsung menatap ku dengan wajah kaget nya."Shuuut, jangan kenceng-kenceng kamu bicaranya Lus!" Kuletak kan jari telunjuk dibibir. Mengisyaratkan pada Lusi untuk tak berbicara terlalu kencang, karena aku takut Ibu tau."Lah emang kenapa sih Mas? Kamu butuh uang buat apa?" Tanya nya lagi dengan mengernyitkan dahi.Melihat tatapan Lusi yang begitu menelisik, membuatku hanya mampu menelan saliva yang tercekat dikerongkongan."I-itu, itu, mmm..."Aku bingung mau berkata apa padanya, Lusi pun nampak sabar mendengarkan ucapanku sambil tetap meminum es oyen nya."Itu apa Mas? Gak usah berbelit-belit." Jawabnya sedikit membentak, membuatku terkesiap karena kaget.Apalagi ini kali pertama Lusi berkata sedikit keras padaku. Karena biasanya, dia selalu lemah lembut, meskipun memang dia aslinya garang."Mas terlilit hutang Lus. Dan Mas hanya diberi waktu sebulan, untuk melunasinya!" Ucapku berbohong. Karena aku tak mungkin juga jujur pada Lusi. Yang ad