Bagian 4
Ponsel yang sedang berada di dalam tasku bergetar. Aku pun segera menepikan mobil, lalu mengambilnya dari dalam tas. Ternyata sudah banyak chat yang masuk ke ponselku."Kamu jahat, Mas. Kamu bilang hanya mencintai istrimu seorang. Lalu aku ini apa?" Pesan dari wanita yang bernama Sapi. Namanya memang Sofia, tapi bahuku dia lebih cocok dipanggil sapi."Terus mau kamu gimana? Kamu ingin istriku mengetahui hubungan kita? Mikir yang cerdas, dong, Sofi!""Tapi enggak begitu juga, kali, Mas! Senang-senangnya sama aku, masa yang dipuji wanita mandul itu, sih?"Senang-senang? Apa maksudnya? Terus, wanita mandul, apakah yang dimaksud wanita itu adalah aku?Ya Allah … sakit sekali rasanya disebut sebagai wanita mandul.Pikiranku mulai tidak tenang. Rasa hangat mulai menguar dan menyebar ke setiap inci tubuhku. Aku tidak sanggup membayangkan jika suamiku telah membagi tubuhnya dengan wanita lain.Ternyata ini yang disembunyikan Mas Hanif dariku. Untung semalam aku sempat menyadap ponselnya, jadi aku bisa mengungkap rahasia yang ditutupinya selama ini.Ya Allah, kuatkan aku. Tolong beri hamba kekuatan serta kesabaran ya Allah."Yasudah, mas minta maaf soal itu, mas terpaksa karena berada di posisi sulit!""Enggak segampang itu, Mas! Aku akan maafin jika Mas memberikanku cincin berlian." Wanita itu lalu mengirimkan gambar cincin berlian beserta harganya. Fantastis, cincin berlian itu harganya mencapai belasan juta.Ternyata ia adalah wanita matre. Bahkan tak segan lagi untuk meminta apa yang ia mau kepada suamiku. Licik!"Ingat ya, jika Mas tidak bersedia menuruti permintaanku, maka jangan harap dapat jatah lagi dariku! Sebelum cincin berlian itu melingkar di jari manisku, jangan harap bisa melepas dahaga bersamaku. Mas puasa dulu lah, tapi jika sudah ada, baru aku akan menyuguhkan hidangan untuk berbuka.""Iya, Mas akan usahain. Jangan ngambek lagi, ya! Mas mana tahan puasa lama-lama.""Tergantung. Kan aku sudah bilang, kuncinya ada di cincin berlian itu."Segera kusudahi membaca pesan tersebut. Padahal masih banyak yang belum kubaca. Rasanya hati ini tidak sanggup untuk menerima pengkhianatan yang dilakukan oleh orang yang paling kucintai.Jangan tanyakan bagaimana perasaanku saat ini. Bagaikan luka yang disiram dengan perasaan air jeruk nipis, sakit. Perih.Orang yang sangat kucintai, ternyata tega mengkhianatiku. Bahkan aku rela menentang orang tuaku demi untuk bersama dengannya.***"Ma, aku mau minta restunya Mama. Mas Hanif melamarku. Besok Mas Hanif akan datang kemari untuk meminta restu dari Mama," ucapku pada Mama kala itu saat kami tengah bersantai di teras belakang.Mama yang sedang menyeruput teh, langsung tersedak."Apa? Jadi kamu masih menjalin hubungan dengan si Hanif? Anaknya si Zamila itu? Iya?" Mama terlihat terkejut mendengar ucapanku."Kamu tidak dengerin kata Mama? Mama kan sudah memperingatkanmu agar menyudahi hubungan dengan anaknya si Zamila itu! Kok' kamu enggak nurut sih kata Mama?""Maafin aku, Ma. Aku dan Mas Hanif saling cinta. Aku mohon, tolong restui kami.""Tidak, Mira! Mama tidak setuju! Mama tidak sudi memiliki besan seperti si Zamila. Kamu tahu sendiri kan kalau Zamila itu musuh bebuyutan Mama?""Aku tahu, Ma. Apa Mama tidak capek musuhan terus dengan Tante Zamila? Sudahi saja, Ma. Mungkin ini cara Allah untuk menyudahi permusuhan di antara Mama dan Tante Zamila." Aku memberi saran."Enggak semudah itu, Mira. Kamu tidak tahu apa yang dia lakukan sama Mama hingga Mama begitu membencinya sampai ke ubun-ubun. Mama tidak ingin kamu memiliki mertua seperti Zamila, Nak! Mama sayang kamu. Mama tidak ingin si Zamila itu menyakiti kamu."Aku tahu, pasti itu akal-akalan Mama saja agar aku memutuskan hubungan dengan Mas Hanif. Mungkin mama pikir aku akan percaya, tidak!"Enggak mungkinlah, Ma! Aku yakin kok' kalau Tante Zamila itu orangnya baik!" Aku tetap bersikeras."Dengerin Mama, Mira. Zamila itu orang jahat. Percaya sama Mama. Mama hanya menginginkan yang terbaik untukmu.""Maaf, Ma. Tapi aku udah cinta mati sama Mas Hanif. Aku enggak bisa hidup tanpa dia, Ma! Mama seperti tidak pernah muda saja.""Hanif bukan laki-laki yang tepat untukmu, Nak.""Mama ingin aku jadi perawan tua?" Aku kembali protes."Mama lebih rela kamu menjadi perawan tua daripada harus menikah dengan anaknya si Zamila itu! Kamu sudah dibutakan oleh cinta, Mira. Apa yang kamu banggakan dari si Hanif itu? Kuliahnya aja enggak kelar sampai sekarang saking bodohnya. Dia selalu mendapat nilai E. Kamu pikir Mama tidak tahu? Pekerjaan juga enggak punya. Nanti kamu mau makan apa? Makan perhatian, makan kasih sayang? Makan tuh cinta!"Tidak kusangka jika Mama akan semarah itu. Aku 'kan cuma minta direstui. Malah merembet kemana-mana. Soal Mama dengan Tante Zamila, itu bukan urusanku.Memang benar sih, kuliahnya Mas Hanif belum selesai. Seharusnya kami wisuda sama-sama, tapi karena Mas Hanif tidak lulus ujian skripsi, akhirnya ia tidak bisa lulus kuliah."Mama mohon dengerin Mama. Mama hanya ingin yang terbaik untukmu. Soal pendamping hidup, kamu enggak usah khawatir. Mama sudah punya calon untukmu. Ahmad namanya, anak dari Tante Kifayah, rekan bisnis Mama.""Oh, aku tahu sekarang! Mama menentang hubunganku dengan Mas Hanif karena ingin menjodohkanku dengan lelaki pilihan Mama itu, 'kan? Mama enggak adil!"Aku tidak habis pikir, bisa-bisanya Mama menjodohkanku dengan lelaki yang tidak kukenal."Justru karena Mama sayang padamu, Nak. Makanya Mama ingin kamu menikah dengan lelaki yang tepat." Mama mengelus pelan kepalaku, berusaha meyakinkanku."Kamu tidak akan bahagia bersama Hanif, Nak!""Tapi aku mencintainya, Ma, mengertilah!""Setelah menikah, bukan cinta lagi yang menjadi pondasi utama dalam rumah tangga. Cinta akan menjadi nomor sekian nantinya!""Lalu apa, Ma? Harta? Jabatan?""Bukan juga.""Lantas apa, Ma? Tolong jangan berbelit-belit.""Ya Allah, kenapa kamu jadi kasar begini sih, Nak? Jujur, Mama kecewa sama kamu. Asal kamu tahu, Mira. Pondasi utama dalam membina rumah tangga itu adalah agama. Kenapa Mama ingin kamu menikah dengan Ahmad? Karena dia lelaki baik dan shaleh. Insyaallah dia akan menuntunmu menggapai ridho-nya. Sedangkan Hanif, apa yang bisa kamu banggakan dari dia? Jangankan shaleh, pekerjaan ada tidak punya. Kerjaannya hanya nongkrong dan keluyuran. Apa dia bisa menuntunmu menggapai ridho Allah? Apa dia bisa memenuhi semua kebutuhanmu? Bisa-bisa kamu akan mati kelaparan hidup bersama dia," papar Mama panjang lebar."Mama lupa? Aku kan kerja, Ma," ucapku dengan sombong. Ya, aku memang sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta terbesar di kota ini."Astaghfirullah, jadi maksudmu kamu yang akan menafkahi Hanif?""Iya, Ma, sampai Mas Hanif selesai kuliah. Bahkan kami sudah sepakat," jawabku mantap."Tidak, Mama tidak setuju dan tidak akan memberikan restu untuk kalian.""Maaf, Ma, tapi tekadku sudah bulat. Jika Mama tidak mau memberi restu, akan aku minta sama Papa." Aku mengancam Mama."Mama tidak ingin kamu mengalami kegagalan dalam berumah tangga seperti yang Mama alami, Mira. Pikirkan lagi, Nak!""Maaf, Ma, tapi aku akan tetap menikah dengan Mas Hanif."Setelah mengucapkan kata-kata itu, aku langsung berlari ke kamar, lalu mengemasi pakaian."Kamu mau pergi, Nak? Kamu mau ninggalin Mama sendirian? Setelah Papa ninggalin Mama, sekarang kamu juga akan melakukan hal yang sama?" Mama berdiri di pintu kamar dengan air mata yang berderai."Jika Mama memberikan restu, aku akan tetap di sini."Mama menggeleng."Baik, lebih baik aku pergi. Aku pamit, Ma!"Aku langsung menyeret koper tanpa menghiraukan Mama yang masih memanggil namaku.Sekarang aku menyesal, Ma. Andai dulu aku menuruti nasihatmu, mungkin tidak akan seperti ini jadinya. Maafin aku, Ma!Tok tok tok!Aku tersadar dari lamunan saat mendengar kaca mobilku diketuk oleh seseorang."Mbak baik-baik saja? Apa Mbak membutuhkan bantuan?" tanya seorang lelaki begitu aku menurunkan kaca jendela."Mbak habis menangis? Matanya sembab, loh! Apa mobil Mbak ini sedang rusak? Aku sudah memperhatikan mobil Mbak ini dari tadi. Takutnya Mbak sedang butuh bantuan, makanya aku samperin Mbaknya.""Enggak, kok', Mas, aku baik-baik saja.""Mbak yakin?" tanyanya lagi."Yakin! Ya Sudah, aku permisi dulu ya, Mas!" Aku langsung menutup kaca jendela dan langsung tancap gas.Lelaki itu siapa ya? Sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Tapi dimana? Ah, itu tidaklah penting. Ada hal yang lebih penting dari itu.BersambungBagian 5Sudah malam begini, Mas Hanif belum pulang juga, padahal tadi ia janji mau pulang cepat setelah selesai meeting. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi.Kamu kemana sih, Mas? Kenapa enggak ngasih kabar?Sebenarnya aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya, hanya saja aku takut jika ternyata Mas Hanif malah bersama wanita itu. Aku tidak rela! Untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun berniat menyusulnya. Aku harus mendatangi kantornya.Segera ku keluarkan mobil dari garasi, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang hingga akhirnya tiba di kantor Mas Hanif."Pak, Bapak Hanif masih di dalam? Lembur ya?" tanyaku pada Pak satpam yang sedang berjaga."Pak Hanif sudah pulang sejak sore tadi, Mbak, dan seluruh karyawan serta staf kantor sudah pada pulang semuanya.""Bapak yakin?" Karena ragu, aku kembali bertanya. "Yakin, Mbak.""Yasudah kalau begitu, terima kasih, Pak, saya pamit dulu.""Silakan, Mbak!"Kemana kamu, Mas? Apalagi yang kamu lakukan?Akhirnya aku memutuskan untuk pul
Bagian 6"Pa, aku mau tinggal di sini ya, bareng Papa," ucapku kepada Papa kala itu."Loh, kok' mendadak gini? Terus, Mama setuju?" tanya Papa, terlihat raut kebingungan di wajahnya."Aku kabur, Pa. Aku enggak mau lagi tinggal sama Mama.""Kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi? Cerita sama Papa, Nak!""Aku kesal sama Mama. Mama enggak mau restuin hubungan aku sama Mas Hanif, Pa. Mama malah menyangkut pautkannya dengan urusan pribadinya," protesku."Namamu pasti punya alasan yang kuat, Nak. Pasti mamamu ingin yang terbaik untukmu. Tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia, Nak." Papa mencoba menasehatiku."Kebahagiaan aku tuh Mas Hanif, Pa. Aku yakin pasti akan bahagia hidup bersama dia.""Kamu telah dibutakan oleh cinta, Nak. Coba pikirkan lagi keputusanmu."Mama sama Papa sama saja, tidak mengerti perasaanku."Papa minta sekarang kamu pulang dulu, temui Mama. Minta maaflah padanya. Kamu boleh tinggal di rumah ini sampai kapanpun k
Bagian 7"Gawat, Sof, Mira telah mencari bantuan, dia berniat ingin menjebloskan orang yang sudah mencuri mobilnya." Sebuah pesan dari dari Mas Hanif masuk ke ponselku. Ada untungnya juga aku menyadap ponselnya Mas Hanif, jadi aku bisa mengetahui semua pembicaranya dengan wanita itu."Masa menghadapi istrimu aja enggak bisa sih, Mas! Tahan dia, bila perlu kurung dia sepeti yang dikatakan Ibu tadi." Pesan balasan dari wanita itu."Tidak semudah itu, Sofi. Mira itu orangnya keras kepala.""Ancam saja, Mas. Dia kan sedang menjalankan program kehamilan tuh, ancam saja bahwa Mas akan menceraikan jika dia tidak nurut juga."Wow! Bahkan wanita yang bernama Sapi itu udah berani menyuruh Mas Hanif untuk menceraikanku. Luar biasa!"Belum saatnya, Sofi. Keinginan Mas belum terwujud. Setelah semuanya berada di genggaman Mas, maka itulah yang akan Mas lakukan!"Picik sekali pikiranmu itu, Mas! Bahkan kamu tidak ingat betapa aku telah berkorban banyak untukmu dan juga ibumu.Kuliahmu saja aku yang
Bagian 8"Mbok, Papa ada?" tanyaku pada Mbok Siti yang sedang menyapu teras depan."Ada, Non, lagi sarapan," jawab beliau.Mbok Siti adalah asisten rumah tangga Papa.Setelah mendengar jawaban Mbok Siti, aku pun langsung menuju ruang makan. "Papa."Aku langsung memeluk Papa dari belakang."Eh, anak papa, kamu sudah sarapan, Nak? Ayo sarapan sama papa."Bukannya melepas pelukan, aku bahkan memeluknya makin erat, lalu terisak di pelukannya."Kamu kenapa, Nak? Ada masalah? Cerita sama papa, Nak!" Papa menaruh sendoknya ke atas piring, menghentikan aktivitas makannya."Ayo duduk dulu, Nak." Papa mengambil tisu yang berada di atas meja, kemudian mengelap air mataku."Mbok, tolong bikinin teh hangat untuk Mira!" pinta papa kepada Mbok Siti."Iya, Tuan," sahut si Mbok."Tenang dulu ya, Nak. Papa minta jangan menangis lagi.""Ini teh hangatnya, Non." Mbok Siti menaruh gelas yang berisi teh hangat tersebut di atas meja."Makasih, Mbok.""Situ pamit ke belakang dulu ya, Tuan!""Iya, Mbok, sila
Bagian 9"Kejadiannya sudah lama sekali, saat itu kamu masih duduk di bangku TK. Mamamu dan mamanya Hanif itu sahabatan sejak dari SMP. Saat itu Zamila menelepon papa, meminta papa untuk datang ke sebuah hotel yang tidak terlalu jauh dari kantor papa. Katanya mamamu ingin memberi kejutan buat papa. Saat Papa tiba di hotel tersebut, Zamila mengarahkan papa ke sebuah kamar hotel. Saat pintu kamar hotel terbuka, ternyata mamamu sedang tidur dalam satu selimut bersama lelaki lain. Papa marah sama mamamu, dari situlah awal mula pertengkaran kami." Papa terlihat sedih saat menceritakan kejadian itu, bahkan sampai menitikkan air mata."Terus Papa percaya begitu saja?" "Iya karena papa menyaksikannya langsung dengan mata kepala papa sendiri.""Terus gimana penjelasan Mama? Aku tidak yakin jika Mama melakukan hal serendah itu, Pa." Aku menggeleng, berusaha menahan bulir bening yang hendak keluar dari kelopak mata."Mamamu memberi penjelasan bahwa dia dijebak oleh Zamila. Zamila yang memintany
Bagian 10Sesuai janji, setelah pekerjaan Papa selesai, aku dan Papa akan mendatangi rumah Mama. Aku akan meminta maaf terlebih dahulu, sekaligus ingin merayu Mama agar bersedia rujuk lagi sama Papa.Papa menjemputku di butik, dan aku ikut dengan mobil Papa.Ya, semenjak memutuskan untuk resign dari perusahaan, aku diam-diam membuka butik tanpa sepengetahuan Mas Hanif dan juga ibu mertua. Butik itu dikelola oleh Dinda, sahabatku, seorang janda yang menjadi korban perselingkuhan suaminya. Aku hanya menanam modal, dan Dinda yang mengelolanya.Mas Hanif melarangku untuk beraktivitas di luar rumah, alasannya agar program kehamilan yang sedang aku jalani berhasil. Tapi ternyata itu hanya alasannya saja. Mas Hanif melarangku keluar rumah agar ia bebas berkeliaran dengan selingkuhannya itu di luar sana.Ibu mertua sama seperti suamiku, beranggapan bahwa aku tidak lagi memiliki penghasilan setelah berhenti bekerja. Itulah sebabnya ibu mertua tidak lagi suka padaku. Menurut mereka aku hanyalah
Bagian 11"Pa, apa yang harus kita lakukan? Sepertinya Mama tidak akan mau maafin kita. Gimana ini, Pa?" keluhku pada Papa saat dalam perjalanan pulang. Hampir saja aku putus asa melihat perlakuan Mama padaku."Sabar, Nak. Ini baru permulaan. Tidak mudah untuk meluluhkan hati seseorang. Apalagi sudah bertahun-tahun, tentunya memberi maaf tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh waktu dan proses. Papa maklum kenapa mamamu bersikap seperti itu."Apa yang dikatakan Papa memang benar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku sangat sedih melihat sikap Mama seperti itu."Kita harus sering-sering datang ke sana agar mamamu luluh kembali. Abaikan sikap mamamu yang cuek dan kasar padamu. Pada dasarnya mamamu itu adalah wanita yang lembut dan penyanyang. Papa yakin, lambat laun pasti mamamu akan maafin kita."Aku hanya mengangguk, pandanganku tertuju pada kendaraan yang lalu lalang. Pikiranku tidak fokus."Mir, bisa kita ketemu nanti malam?" Sebuah pesan masuk dari Mas Ahmad."Sia
Bagian 12"Assalamualaikum."Aku mengucap salam setelah mengetuk pintu terlebih dahulu."Waalaikumsalam." Terdengar jawaban salam dari dalam."Mira!" Ibu mertua terkejut melihat kedatanganku."Bu." Aku meraih tangannya, lalu menyalaminya."Tumben datang kemari.""Aku kangen sama Ibu, sekalian bawa oleh-oleh buat Ibu."Mata Ibu berbinar saat melihat Tote bag yang aku tenteng."Wah, kamu baik bangat sih, mari duduk dulu." "Iya, Bu.""Kamu bawa apa?" tanya ibu mertua penasaran."Oh, ini. Tadi aku ketemu sama teman, kebetulan dia jual beli berlian. Sekalian aja aku beliin buat Ibu.""Kamu serius?" Sepertinya ibu mertua tidak percaya.Aku menyerahkan Tote bag itu pada ibu, lalu ibu pun membuka isinya."Wah, bagus bangat, ini pasti mahal. Ibu suka, Mir, makasih ya!" Mata ibu mertua berbinar memandangi satu set kalung berlian tersebut. Beliau mengambilnya, lalu memakai cincin dan juga gelang berlian tersebut di tangan kirinya.Sebenarnya tidak mahal sih, itu 'kan cuma berlian palsu. Mana mun
"Sekarang kamu harus bertanggung jawab padanya, Mas," kata wanita itu. "Baik, sesuai janjiku, aku akan menanggung biaya hidup dan juga biaya sekolahnya sampai perguruan tinggi," jawab Mas Ahmad."Mas, itu tidak adil. Dia bukan hanya butuh materi, tapi butuh kasih sayang juga, Mas," protes wanita. "Jadi mau kamu gimana?" Mas Ahmad terlihat bingung. "Aku maunya kita tinggal bersama, Mas. Aku tidak akan memintamu menikahiku. Cukup Mas izinkan aku dan Alkha saja tinggal di rumahmu. Sudah cukup."Apa-apaan ini?"Mana mungkin kita tinggal bersama, Ajizah. Tidak tidak!" Mas Ahmad menolak."Itu merupakan satu-satunya cara agar anak kita bisa dekat denganmu, Mas."Tampaknya ada udang di balik batu. Dan aku sudah mengerti apa yang wanita itu inginkan."Ibu tidak setuju. Itu tidak baik," sahut ibu mertua."Aku juga tidak setuju. Karena aku tidak ingin ada orang ketiga di dalam rumah tanggaku nantinya." Akhirnya setelah sekian lama, aku angkat bicara."Kamu menyebutku orang ketiga? Seharusnya
Apa mungkin aku telah salah mengambil keputusan? Apa mungkin menikah dengan Mas Ahmad bukankah keputusan yang tepat? Entahlah!Selesai makan, Mas Ahmad menepati janjinya. Ia pamit padaku untuk mengantar wanita itu pulang. Aku ditinggal sendirian di dalam kamar karena Ibu mertua juga lelah dan butuh Istirahat.Malam yang seharusnya kamu lalui dengan penuh sukacita sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pun kulalui seorang diri.Dua jam sudah berlalu sejak kepergian Mas Ahmad. Belum juga ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali. Padahal jarak dari sini ke rumah mantan istrinya itu hanya memakan waktu tiga puluh menit. Yang artinya, satu jam pulang pergi. Ini sudah dua jam, namun Mas Ahmad belum juga kembali.Apa mungkin mereka sedang bernostalgia? Apa mungkin Mas Ahmad akan kembali kepada mantan istrinya itu?Hatiku sakit. Batinku menjerit. Aku menangis dalam diam. Kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa, kasur dengan sprei putih yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar mer
Setibanya di rumah Mas Ahmad, asisten rumah tangganya menyambut kami dengan ramah. Katanya hidangan sudah siap, persis seperti apa yang diminta oleh sang majikan."Mira, selamat datang. Ini adalah rumah Ibu dan Ahmad, yang berarti rumahmu juga. Semoga mantu Ibu betah tinggal di sini."Ibunya Mas Ahmad yang kini sudah menjadi ibu mertuaku menuntunku memasuki rumah. Namun langkah kami tiba-tiba terhenti saat melihat seorang wanita sedang duduk di teras bersama seorang anak kecil. Siapa wanita itu?"Ajizah?" Ibunya Mas Ahmad menatap wanita itu dengan tatapan tak suka.Ajizah? Bahkan aku belum pernah mendengar nama itu sebelumya."Bu," sapa wanita itu. Ia menghampiri kami dan langsung meraih tangan ibu mertuaku, lalu mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu? Ibu makin cantik dan awet muda," pujinya. Namun ibu mertua tak merespon ucapannya."Nak, salim sama Nenek," kata wanita itu sambil mendekatkan putranya kepada ibu mertua yang berdiri persis di sampingku.Ibu mertua menerima uluran
Di sepertiga malam, aku menunaikan sholat istikharah dua raka'at. Aku memohon, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Kupasrahkan urusanku kepada-nya karena aku tahu Allah mengetahui apa yang terbaik untukku.Setelah selesai berdoa, aku membuka Alquran, membuka surat Al Mulk dan membacanya beserta terjemahannya. Hingga tak terasa kantuk datang menyerang dan akhirnya aku tertidur di atas sajadah.Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku pun bangun, membuka mukena dan segera mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, aku pun menunaikan ibadah sholat subuh. Lanjut berdoa dan kembali meminta petunjuk kepada Allah.Siangnya, begitu tiba waktu dhuhur, aku kembali menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Menunaikan sholat dhuhur empat rakaat. Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Makan pun diantar oleh asisten rumah tangga. Kebetulan rumah sepi karena Mama dan Papa sedang keluar dan aku hanya sendirian di rumah. Membu
Setelah selesai makan malam, kami pun duduk di ruang tamu. Mas Ahmad memulai pembicaraan dengan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mas Ahmad bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ternyata ia memiliki masa lalu yang kelam. Mas Ahmad pernah mengonsumsi obat-obatan terlarang. Bahkan sempai ketergantungan. Satu hal lagi yang berhasil membuatku terkejut, ternyata Mas Ahmad sudah pernah menikah dan sudah pisah dari istrinya. Tepatnya dua tahun lalu lalu. Istrinya menggugat cerai Mas Ahmad karena tidak pernah memberi nafkah. Semua gaji Mas Ahmad ia gunakan untuk membeli obat-obatan terlarang. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya. Itu sebabnya istrinya meninggalkan Mas Ahmad.Setelah istrinya pergi, Mas Ahmad baru menyadari kesalahannya. Kebetulan ia bertemu dengan seorang guru ngaji, dan orang tersebut lah yang membimbing Mas Ahmad. Mas Ahmad mulai meninggalkan kebiasaannya, ia bertaubat dan mulai memperdalam ilmu agama. Butuh waktu yang lama untuk meninggalkan kebiasaan buruk
Sungguh, aku kasihan sekali mendengarnya. Hati sanubariku tersentuh. Aku lebih mampu dari mereka, jadi aku akan menolong mereka.Seminggu yang lalu sahabatku yang mengelola butik berhenti karena ia mau menikah dan akan tinggal di luar kota. Kurasa mereka akan mau jika ditawari untuk tunggal di butik. Ya, aku bisa menolong mereka dengan cara memberikan tempat tinggal dan juga pekerjaan."Mbak, Sofia, apa kalian mau tinggal di butik? Kebetulan sahabatku yang selama ini mengelola butik tersebut berhenti karena sudah menemukan jodohnya dan diajak pindah keluar kota oleh suaminya. Aku memang berencana ingin mencari orang untuk mengelola butik tersebut. Jika kalian bersedia, kalian bisa tinggal di sana sekalian mengelola butik tersebut. Tapi tempatnya tidak terlalu luas. Gimana?""Mbak Mira serius?" tanya Sofia."Iya, kamu serius, Mir? Apa enggak ngerepotin? Kami sudah banyak merepotkanmu, Mir. Mbak jadi enggak enak.""Serius, dan aku tidak merasa direpotkan. Sebelumnya, pegawai yang lama j
Alhamdulillah … aku lega karena orang yang mencelakai mamaku dan juga Sofia sudah diamankan polisi. Semoga saja mereka segera bertaubat dan menyadari semua kesalahan yang mereka perbuat."Sofia, Mbak Nuni, aku pamit ya, soalnya Mama menungguku di rumah.""Iya, Mbak, hati-hati ya," ucap Sofia."Kamu hati-hati ya, Mir," pesan Mbak Nuni.Baru saja aku menghidupkan mesin mobil dan hendak meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya menghampiri mereka sambil marah-marah. Aku kembali mematikan mesin mobil, berniat untuk mencari tahu ada apa sebenarnya."Maaf, ini ada apa? Kenapa Ibu marah-marah pada mereka?" tanyaku penuh selidik."Mbak enggak usah ikut campur. Ini urusan saya dengan mereka!" Beliau malah membentakku, padahal aku bertanya baik-baik."Hey kalian, ayo bayar uang sewa kontrakan sekarang juga! Jika tidak sanggup membayar sewa, lebih baik kalian tinggalkan rumah ini. Lagian, saya sudah tidak sudi rumah kontrakan saya dihuni oleh kalian. Saya tahu kejah
Polisi langsung membawa surat perintah penangkapan terhadap Mas Hanif dan ibunya setelah kami melaporkan mereka ke kantor polisi. Sebelumnya, Mbak Nuni dan Sofia pulang dulu ke rumah kontrakan mereka untuk mengambil barang bukti berupa sarung tangan milik Mas Hanif yang ia simpan di bawah ranjang. Setelah mendapatkan barang bukti tersebut, Mbak Nuni dan Sofia dijemput oleh Mas Ahmad di depan gang agar tidak ketahuan, lalu membawa mereka ke kantor polisi untuk membuat laporan."Ada apa ini, Pak? Kenapa saya ditangkap? Saya merasa tidak melakukan kejahatan apapun," ucap Mas Hanif kepada anggota polisi yang datang menangkapnya. Ia membela diri."Iya, main tangkap segala. Apa salah kami?" Ibunya Mas Hanif juga menanyakan hal yang sama."Kalian ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan dan juga penganiayaan. Silakan ikut kami ke kantor," jelas salah seorang diantara mereka."Tidak! Itu fitnah. Siapa yang telah melaporkan kami, Pak? Saya tidak terima!" Mas Hanif protes."Aku, Mas." Sofia
Ternyata dugaanku benar. Rupanya Mas Hanif lah dalang di balik semua ini. Benar-benar tidak bisa dikasih ampun!"Aku yakin, Mbak. Mas Hanif lah pelakunya. Dia juga yang telah mencelakai Tante Diana. Aku tahu semuanya!"Degh! Jantungku berdegup kencang, tanganku mengepal, emosiku serasa naik sampai ke ubun-ubun setelah mendengar ucapan Sofia.Bajingan kamu, Mas Hanif! Benar-benar biadab!"Apa?" tanya Mama, Mama terlihat shock mendengar ucapan Sofia."Semuanya tenang dulu ya. Sekarang kita ke rumah Tante Diana dulu. Kita bicarakan semuanya di sana. Sofia, Mbak Nuni, kalian tidak usah takut. Kami akan melindungi kalian." Mas Ahmad pun kembali melajukan mobilnya.Aku melirik Mbak Nuni, tapi Mbak Nuni tidak membantah sedikitpun. Berarti apa yang dikatakan Sofia itu benar.Sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada lagi yang bicara di antara kami. Semuanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.Dua puluh menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah. Mbok Siti langsung menyambut k