Bagian 5
Sudah malam begini, Mas Hanif belum pulang juga, padahal tadi ia janji mau pulang cepat setelah selesai meeting. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi.Kamu kemana sih, Mas? Kenapa enggak ngasih kabar?Sebenarnya aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya, hanya saja aku takut jika ternyata Mas Hanif malah bersama wanita itu. Aku tidak rela!Untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun berniat menyusulnya. Aku harus mendatangi kantornya.Segera ku keluarkan mobil dari garasi, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang hingga akhirnya tiba di kantor Mas Hanif."Pak, Bapak Hanif masih di dalam? Lembur ya?" tanyaku pada Pak satpam yang sedang berjaga."Pak Hanif sudah pulang sejak sore tadi, Mbak, dan seluruh karyawan serta staf kantor sudah pada pulang semuanya.""Bapak yakin?" Karena ragu, aku kembali bertanya."Yakin, Mbak.""Yasudah kalau begitu, terima kasih, Pak, saya pamit dulu.""Silakan, Mbak!"Kemana kamu, Mas? Apalagi yang kamu lakukan?Akhirnya aku memutuskan untuk pulang, tapi di tengah perjalanan tiba-tiba aku berubah pikiran.Sebaiknya aku singgah di rumah ibu mertua dulu. Biarpun Mas Hanif enggak ada di sana, tapi aku ingin menceritakan semuanya pada ibu mertua. Selama ini ibu mertua sangat baik padaku. Aku yakin bahwa Ibu akan mendukungku.Aku sengaja memperlambat laju mobil ketika sudah mendekati pekarangan rumah ibu mertua. Mataku memicing saat melihat sebuah mobil yang sangat mirip dengan mobilku di sana.Oke, aku harus memastikannya!Mobil sengaja kumundurkan dan memarkirnya di pinggir jalan agar tidak ada yang mengetahui kedatanganku.Setelah aku amati dengan seksama, ternyata itu memang mobilku. Ya, warna dan plat-nya sama.Kenapa mobilku ada di rumah ibu mertua? Bukankah mobilku ada di tangan wanita yang bernama Sofi itu? Apa jangan-jangan?Berbagai pertanyaan menari-nari di dalam otakku. Pikiran dan firasat buruk seketika menyelimuti dari ini.Semoga saja ibu mertua tidak terlibat dalam hal ini. Aku akan sangat marah dan kecewa jika benar bahwa ibu mertua ikut andil dalam hal ini.Kulihat pintu depan terbuka, tapi aku tidak mau masuk dari pintu depan. Aku lebih memilih untuk mengendap-endap di samping rumah agar bisa mendengar pembicaraan mereka.Walau gelap tanpa penerangan cahaya lampu, tapi aku tak gentar. Aku tetap memberanikan diri untuk menguping pembicaraan mereka.Benar dugaanku, sepertinya mereka berada di ruang tamu."Mas udah menuhin janji, sekarang kamu jangan ngambek lagi, ya!" Itu suara Mas Hanif."Enggak lagi, Mas. Makasih ya, Mas udah mau beliin aku cincin berlian ini. Mas tahu enggak? Aku tuh dari dulu pingin bangat punya cincin berlian." Suara seorang wanita, apa mungkin suara wanita itu?Berarti Mas Hanif sudah membeli cincin berlian dan menyerahkannya pada wanita itu. Keterlaluan kamu, Mas!"Hanif, kenapa enggak beli mobil baru saja sama Sofia? Mobil itu kan bekasnya Mira!"Degh!Jantungku berdetak lebih kencang saat mendengar suara ibu mertua yang membahas soal mobil. Apa ibu mertua mengetahui soal mobil itu?Aku pun menempelkan telinga ke tembok untuk mempertajam indera pendengaran."Mama sih, cuma asal ngomong! Mama tidak tahu gimana Mira. Mama gak tahu gimana perjuanganku untuk mendapatkan mobil itu.""Enggak apa-apa, Mas, Tante. Aku suka, kok'! Biarpun bukan mobil baru tapi aku sangat suka. Makasih ya, Mas." Suara wanita itu terdengar manja."Kamu sih, terlalu takut pada si Mira! Kan kamu kepala rumah tangga, harusnya kamu bisa tegas sama Mira!""Asal Mama tahu, Mira selalu mendesakku untuk melaporkan kasus kehilangan mobil itu ke kantor polisi. Untungnya aku memberikan alasan padanya.""Jangan dong, Mas, masa Mas mau laporin aku ke polisi, sih?" sahut wanita itu."Ya, enggak akan dong, Sayang. Mana mungkin Mas melaporkanmu ke polisi.""Kamu harus cari cara agar si Mira itu percaya, Hanif. Kurung dia di rumah. Jangan kasih izin untuk keluar rumah. Satu hal lagi, dapatkan BPKB mobil itu agar Mira tidak bisa lagi melapor ke kantor polisi!"Astaghfirullah … ternyata ibu mertua sudah mengetahui semuanya. Bahkan ibu mertua menyuruh Mas Hanif untuk mengambil BPKB mobil itu secara diam-diam. Keterlaluan!"Iya, Bu. Itu yang sedang kupikirkan sekarang. Bagaimana caranya membuat Mira percaya dan tidak curiga padaku. Sulit sekali mendapatkan BPKB mobil itu, Bu. Aku tidak mungkinlah berbuat kasar padanya. Bisa-bisa Mira akan mengadu pada papanya. Ibu tahu kan apa yang akan terjadi jika Mira sudah mengadu pada papanya?"Mas, Bu, kalian jahat! Kalian telah mengkhianati kebaikan dan ketulusanku."Ya kamu cari cara lah. Pas Mira tidur misalnya! Itu kesempatanmu untuk mencari BPKB mobil itu. Soal keluar rumah, kamu bisa menahan dia dengan alasan program hamil yang sedang dia jalankan, atau apa gitu! Buatlah agar Mira tidak keluar dari rumah. Ibu tahu, kamu kan jago di bidang itu.""Iya, Bu. Soal itu gampang. Aku bisa mengatasinya!""Mas, memangnya istrimu itu sedang menjalankan program kehamilan? Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau istrimu itu mandul? Terus kalau dia hamil bagaimana denganku?"Kamu menyebutku mandul, Mas? Tega. Benar-benar jahat!"Mira itu mandul, percuma berobat kesana kemari, dia enggak bakalan bisa punya anak. Jadi kalian harus secepatnya kasih Ibu cucu."Astaghfirullah … Ibu menginginkan cucu dari wanita itu? benar-benar enggak punya hati!Gimana aku mau hamil, Bu? Nikah aja belum!" protes wanita itu.Belum nikah tapi sudah melakukan perbuatan z*na, murahan!"Maaf, Sayang. Untuk saat ini Mas belum bisa menikahimu. Terlalu beresiko jika kita menikah sekarang. Tapi Mas janji, secepatnya akan menuruti keinginanmu. Agar kita bisa secepatnya ngasih cucu buat Ibu.""Ibu doakan semoga kalian secepatnya menikah dan punya anak, ya! Amin.""Tapi janji ya, Mas. Jika kita sudah menikah dan aku sudah dinyatakannya fositif hamil, Mas harus menceraikan wanita mandul itu.""Ya iyalah, untuk apa lagi Hanif mempertahankannya? Setelah Hanif berhasil menguasai seluruh aset yang mereka miliki, maka Hanif akan membuang Mira seperti sampah. Bukan begitu, Hanif?"Ternyata diam-diam mereka telah merencanakan pernikahan di belakangku."Iya, Bu," sahut Mas Hanif.Ternyata suamiku menjadikan kekuranganku yang tidak bisa memberi keturunan sebagai alasan untuk berselingkuh dengan wanita lain. Bahkan ibu mertua dan suamiku ingin merebut semua hartaku dan ingin mencampakkanku. Tidak akan bisa!"Tante, Mas, kenapa sih kalian tidak suka sama Mbak Mira? Bukannya dia itu baik, cantik, tajir lagi! Sungguh berbanding terbalik denganku yang hanya wanita kampungan.""Sebenarnya tidak ada yang salah dengan Mira. Kamu benar, dia itu baik, bahkan baik sekali. Tante membenci ibunya dan Tante menjadikan Mira sebagai alat untuk balas dendam pada mamanya. Walaupun Tante sudah berhasil membuat Mama dan papanya Mira bercerai, tapi Tante belum merasa puas. Tante ingin membuat keluarga mereka sengsara dan menderita."Degh!Darahku seketika berdesir mendengar setiap kata yang keluar dari mulut ibu mertuaku itu. Jadi dia yang telah menyebabkan Mama sama Papa pisah? Benar-benar wanita jahat. Wujudnya saja yang berbentuk manusia, manusia berhati iblis.Hampir saja aku tidak bisa mengendalikan emosi, untungnya aku cepat-cepat sadar bahwa aku ini sedang memata-matai Mas Hanif.Rasanya aku tidak sanggup lagi mendengar pembicaraan mereka. Yang jelas, aku sudah mengetahui rencana busuk mereka.Pantas saja Mama bersikeras melarangku agar jangan menikah dengan Mas Hanif, ternyata ini alasannya!Ma, maafkan putrimu ini. Aku telah melawan Mama demi Mas Hanif.Air mata tidak bisa lagi kubendung. Mengalir begitu saja dari sudut netra. Bukan menangisi pengkhianatan Mas Hanif, tapi justru menangisi kebodohanku sendiri. Aku merasa bersalah sama Mama. Aku sudah menjadi anak durhaka. Maafkan aku, Ma.Cepat-cepat kutinggalkan tempat tersebut sebelum mereka melihat keberadaanku. Aku tidak mau jika mereka sampai melihatku.Untuk sementara, aku akan tetap berpura-pura bodoh di hadapan mereka. Agar aku bisa menyusun rencana untuk membalas rasa sakit hatiku.BersambungBagian 6"Pa, aku mau tinggal di sini ya, bareng Papa," ucapku kepada Papa kala itu."Loh, kok' mendadak gini? Terus, Mama setuju?" tanya Papa, terlihat raut kebingungan di wajahnya."Aku kabur, Pa. Aku enggak mau lagi tinggal sama Mama.""Kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi? Cerita sama Papa, Nak!""Aku kesal sama Mama. Mama enggak mau restuin hubungan aku sama Mas Hanif, Pa. Mama malah menyangkut pautkannya dengan urusan pribadinya," protesku."Namamu pasti punya alasan yang kuat, Nak. Pasti mamamu ingin yang terbaik untukmu. Tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia, Nak." Papa mencoba menasehatiku."Kebahagiaan aku tuh Mas Hanif, Pa. Aku yakin pasti akan bahagia hidup bersama dia.""Kamu telah dibutakan oleh cinta, Nak. Coba pikirkan lagi keputusanmu."Mama sama Papa sama saja, tidak mengerti perasaanku."Papa minta sekarang kamu pulang dulu, temui Mama. Minta maaflah padanya. Kamu boleh tinggal di rumah ini sampai kapanpun k
Bagian 7"Gawat, Sof, Mira telah mencari bantuan, dia berniat ingin menjebloskan orang yang sudah mencuri mobilnya." Sebuah pesan dari dari Mas Hanif masuk ke ponselku. Ada untungnya juga aku menyadap ponselnya Mas Hanif, jadi aku bisa mengetahui semua pembicaranya dengan wanita itu."Masa menghadapi istrimu aja enggak bisa sih, Mas! Tahan dia, bila perlu kurung dia sepeti yang dikatakan Ibu tadi." Pesan balasan dari wanita itu."Tidak semudah itu, Sofi. Mira itu orangnya keras kepala.""Ancam saja, Mas. Dia kan sedang menjalankan program kehamilan tuh, ancam saja bahwa Mas akan menceraikan jika dia tidak nurut juga."Wow! Bahkan wanita yang bernama Sapi itu udah berani menyuruh Mas Hanif untuk menceraikanku. Luar biasa!"Belum saatnya, Sofi. Keinginan Mas belum terwujud. Setelah semuanya berada di genggaman Mas, maka itulah yang akan Mas lakukan!"Picik sekali pikiranmu itu, Mas! Bahkan kamu tidak ingat betapa aku telah berkorban banyak untukmu dan juga ibumu.Kuliahmu saja aku yang
Bagian 8"Mbok, Papa ada?" tanyaku pada Mbok Siti yang sedang menyapu teras depan."Ada, Non, lagi sarapan," jawab beliau.Mbok Siti adalah asisten rumah tangga Papa.Setelah mendengar jawaban Mbok Siti, aku pun langsung menuju ruang makan. "Papa."Aku langsung memeluk Papa dari belakang."Eh, anak papa, kamu sudah sarapan, Nak? Ayo sarapan sama papa."Bukannya melepas pelukan, aku bahkan memeluknya makin erat, lalu terisak di pelukannya."Kamu kenapa, Nak? Ada masalah? Cerita sama papa, Nak!" Papa menaruh sendoknya ke atas piring, menghentikan aktivitas makannya."Ayo duduk dulu, Nak." Papa mengambil tisu yang berada di atas meja, kemudian mengelap air mataku."Mbok, tolong bikinin teh hangat untuk Mira!" pinta papa kepada Mbok Siti."Iya, Tuan," sahut si Mbok."Tenang dulu ya, Nak. Papa minta jangan menangis lagi.""Ini teh hangatnya, Non." Mbok Siti menaruh gelas yang berisi teh hangat tersebut di atas meja."Makasih, Mbok.""Situ pamit ke belakang dulu ya, Tuan!""Iya, Mbok, sila
Bagian 9"Kejadiannya sudah lama sekali, saat itu kamu masih duduk di bangku TK. Mamamu dan mamanya Hanif itu sahabatan sejak dari SMP. Saat itu Zamila menelepon papa, meminta papa untuk datang ke sebuah hotel yang tidak terlalu jauh dari kantor papa. Katanya mamamu ingin memberi kejutan buat papa. Saat Papa tiba di hotel tersebut, Zamila mengarahkan papa ke sebuah kamar hotel. Saat pintu kamar hotel terbuka, ternyata mamamu sedang tidur dalam satu selimut bersama lelaki lain. Papa marah sama mamamu, dari situlah awal mula pertengkaran kami." Papa terlihat sedih saat menceritakan kejadian itu, bahkan sampai menitikkan air mata."Terus Papa percaya begitu saja?" "Iya karena papa menyaksikannya langsung dengan mata kepala papa sendiri.""Terus gimana penjelasan Mama? Aku tidak yakin jika Mama melakukan hal serendah itu, Pa." Aku menggeleng, berusaha menahan bulir bening yang hendak keluar dari kelopak mata."Mamamu memberi penjelasan bahwa dia dijebak oleh Zamila. Zamila yang memintany
Bagian 10Sesuai janji, setelah pekerjaan Papa selesai, aku dan Papa akan mendatangi rumah Mama. Aku akan meminta maaf terlebih dahulu, sekaligus ingin merayu Mama agar bersedia rujuk lagi sama Papa.Papa menjemputku di butik, dan aku ikut dengan mobil Papa.Ya, semenjak memutuskan untuk resign dari perusahaan, aku diam-diam membuka butik tanpa sepengetahuan Mas Hanif dan juga ibu mertua. Butik itu dikelola oleh Dinda, sahabatku, seorang janda yang menjadi korban perselingkuhan suaminya. Aku hanya menanam modal, dan Dinda yang mengelolanya.Mas Hanif melarangku untuk beraktivitas di luar rumah, alasannya agar program kehamilan yang sedang aku jalani berhasil. Tapi ternyata itu hanya alasannya saja. Mas Hanif melarangku keluar rumah agar ia bebas berkeliaran dengan selingkuhannya itu di luar sana.Ibu mertua sama seperti suamiku, beranggapan bahwa aku tidak lagi memiliki penghasilan setelah berhenti bekerja. Itulah sebabnya ibu mertua tidak lagi suka padaku. Menurut mereka aku hanyalah
Bagian 11"Pa, apa yang harus kita lakukan? Sepertinya Mama tidak akan mau maafin kita. Gimana ini, Pa?" keluhku pada Papa saat dalam perjalanan pulang. Hampir saja aku putus asa melihat perlakuan Mama padaku."Sabar, Nak. Ini baru permulaan. Tidak mudah untuk meluluhkan hati seseorang. Apalagi sudah bertahun-tahun, tentunya memberi maaf tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh waktu dan proses. Papa maklum kenapa mamamu bersikap seperti itu."Apa yang dikatakan Papa memang benar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku sangat sedih melihat sikap Mama seperti itu."Kita harus sering-sering datang ke sana agar mamamu luluh kembali. Abaikan sikap mamamu yang cuek dan kasar padamu. Pada dasarnya mamamu itu adalah wanita yang lembut dan penyanyang. Papa yakin, lambat laun pasti mamamu akan maafin kita."Aku hanya mengangguk, pandanganku tertuju pada kendaraan yang lalu lalang. Pikiranku tidak fokus."Mir, bisa kita ketemu nanti malam?" Sebuah pesan masuk dari Mas Ahmad."Sia
Bagian 12"Assalamualaikum."Aku mengucap salam setelah mengetuk pintu terlebih dahulu."Waalaikumsalam." Terdengar jawaban salam dari dalam."Mira!" Ibu mertua terkejut melihat kedatanganku."Bu." Aku meraih tangannya, lalu menyalaminya."Tumben datang kemari.""Aku kangen sama Ibu, sekalian bawa oleh-oleh buat Ibu."Mata Ibu berbinar saat melihat Tote bag yang aku tenteng."Wah, kamu baik bangat sih, mari duduk dulu." "Iya, Bu.""Kamu bawa apa?" tanya ibu mertua penasaran."Oh, ini. Tadi aku ketemu sama teman, kebetulan dia jual beli berlian. Sekalian aja aku beliin buat Ibu.""Kamu serius?" Sepertinya ibu mertua tidak percaya.Aku menyerahkan Tote bag itu pada ibu, lalu ibu pun membuka isinya."Wah, bagus bangat, ini pasti mahal. Ibu suka, Mir, makasih ya!" Mata ibu mertua berbinar memandangi satu set kalung berlian tersebut. Beliau mengambilnya, lalu memakai cincin dan juga gelang berlian tersebut di tangan kirinya.Sebenarnya tidak mahal sih, itu 'kan cuma berlian palsu. Mana mun
Bagian 13Mbak Nuni kembali ke ruang tamu menemui ibu mertua. Aku pun diam-diam mengikutinya dari belakang, untuk menguping pembicaraan mereka."Lihat bagaimana sikap Mira pada kita, Bu, menantu yang Ibu benci itu justru sangat menyayangi kita." Mbak Nuni terdengar memarahi ibu mertua."Apapun yang dia lakukan, Ibu tetap tidak akan menyukainya. Melihat wajahnya saja Ibu sudah muak, apalagi menerimanya!""Jangan menyakiti hati Mira, Bu. Kasihan dia. Tidakkah Ibu melihat ketulusan hatinya selama ini?""Nuni, kamu jangan ngatur-ngatur Ibu ya! Hanif saja gak keberatan, kok' kamu malah sewot, sih?""Jelas aku sewot. Hadiah dari Mira Ibu terima dengan senang hati. Di depan Mira Ibu bersikap manis, tapi di belakangnya malah menusuk. Bahkan Ibu menyuruh Hanif mencari wanita lain, lalu menceraikan Mira. Tujuan Ibu sebenarnya apa, sih? Dendam masa lalu? Cukup, Bu! Jika tidak suka katakan saja. Suruh Hanif menceraikan Mira dengan cara baik-baik. Bukannya malah memoroti hartanya setelah itu menca
"Sekarang kamu harus bertanggung jawab padanya, Mas," kata wanita itu. "Baik, sesuai janjiku, aku akan menanggung biaya hidup dan juga biaya sekolahnya sampai perguruan tinggi," jawab Mas Ahmad."Mas, itu tidak adil. Dia bukan hanya butuh materi, tapi butuh kasih sayang juga, Mas," protes wanita. "Jadi mau kamu gimana?" Mas Ahmad terlihat bingung. "Aku maunya kita tinggal bersama, Mas. Aku tidak akan memintamu menikahiku. Cukup Mas izinkan aku dan Alkha saja tinggal di rumahmu. Sudah cukup."Apa-apaan ini?"Mana mungkin kita tinggal bersama, Ajizah. Tidak tidak!" Mas Ahmad menolak."Itu merupakan satu-satunya cara agar anak kita bisa dekat denganmu, Mas."Tampaknya ada udang di balik batu. Dan aku sudah mengerti apa yang wanita itu inginkan."Ibu tidak setuju. Itu tidak baik," sahut ibu mertua."Aku juga tidak setuju. Karena aku tidak ingin ada orang ketiga di dalam rumah tanggaku nantinya." Akhirnya setelah sekian lama, aku angkat bicara."Kamu menyebutku orang ketiga? Seharusnya
Apa mungkin aku telah salah mengambil keputusan? Apa mungkin menikah dengan Mas Ahmad bukankah keputusan yang tepat? Entahlah!Selesai makan, Mas Ahmad menepati janjinya. Ia pamit padaku untuk mengantar wanita itu pulang. Aku ditinggal sendirian di dalam kamar karena Ibu mertua juga lelah dan butuh Istirahat.Malam yang seharusnya kamu lalui dengan penuh sukacita sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pun kulalui seorang diri.Dua jam sudah berlalu sejak kepergian Mas Ahmad. Belum juga ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali. Padahal jarak dari sini ke rumah mantan istrinya itu hanya memakan waktu tiga puluh menit. Yang artinya, satu jam pulang pergi. Ini sudah dua jam, namun Mas Ahmad belum juga kembali.Apa mungkin mereka sedang bernostalgia? Apa mungkin Mas Ahmad akan kembali kepada mantan istrinya itu?Hatiku sakit. Batinku menjerit. Aku menangis dalam diam. Kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa, kasur dengan sprei putih yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar mer
Setibanya di rumah Mas Ahmad, asisten rumah tangganya menyambut kami dengan ramah. Katanya hidangan sudah siap, persis seperti apa yang diminta oleh sang majikan."Mira, selamat datang. Ini adalah rumah Ibu dan Ahmad, yang berarti rumahmu juga. Semoga mantu Ibu betah tinggal di sini."Ibunya Mas Ahmad yang kini sudah menjadi ibu mertuaku menuntunku memasuki rumah. Namun langkah kami tiba-tiba terhenti saat melihat seorang wanita sedang duduk di teras bersama seorang anak kecil. Siapa wanita itu?"Ajizah?" Ibunya Mas Ahmad menatap wanita itu dengan tatapan tak suka.Ajizah? Bahkan aku belum pernah mendengar nama itu sebelumya."Bu," sapa wanita itu. Ia menghampiri kami dan langsung meraih tangan ibu mertuaku, lalu mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu? Ibu makin cantik dan awet muda," pujinya. Namun ibu mertua tak merespon ucapannya."Nak, salim sama Nenek," kata wanita itu sambil mendekatkan putranya kepada ibu mertua yang berdiri persis di sampingku.Ibu mertua menerima uluran
Di sepertiga malam, aku menunaikan sholat istikharah dua raka'at. Aku memohon, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Kupasrahkan urusanku kepada-nya karena aku tahu Allah mengetahui apa yang terbaik untukku.Setelah selesai berdoa, aku membuka Alquran, membuka surat Al Mulk dan membacanya beserta terjemahannya. Hingga tak terasa kantuk datang menyerang dan akhirnya aku tertidur di atas sajadah.Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku pun bangun, membuka mukena dan segera mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, aku pun menunaikan ibadah sholat subuh. Lanjut berdoa dan kembali meminta petunjuk kepada Allah.Siangnya, begitu tiba waktu dhuhur, aku kembali menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Menunaikan sholat dhuhur empat rakaat. Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Makan pun diantar oleh asisten rumah tangga. Kebetulan rumah sepi karena Mama dan Papa sedang keluar dan aku hanya sendirian di rumah. Membu
Setelah selesai makan malam, kami pun duduk di ruang tamu. Mas Ahmad memulai pembicaraan dengan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mas Ahmad bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ternyata ia memiliki masa lalu yang kelam. Mas Ahmad pernah mengonsumsi obat-obatan terlarang. Bahkan sempai ketergantungan. Satu hal lagi yang berhasil membuatku terkejut, ternyata Mas Ahmad sudah pernah menikah dan sudah pisah dari istrinya. Tepatnya dua tahun lalu lalu. Istrinya menggugat cerai Mas Ahmad karena tidak pernah memberi nafkah. Semua gaji Mas Ahmad ia gunakan untuk membeli obat-obatan terlarang. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya. Itu sebabnya istrinya meninggalkan Mas Ahmad.Setelah istrinya pergi, Mas Ahmad baru menyadari kesalahannya. Kebetulan ia bertemu dengan seorang guru ngaji, dan orang tersebut lah yang membimbing Mas Ahmad. Mas Ahmad mulai meninggalkan kebiasaannya, ia bertaubat dan mulai memperdalam ilmu agama. Butuh waktu yang lama untuk meninggalkan kebiasaan buruk
Sungguh, aku kasihan sekali mendengarnya. Hati sanubariku tersentuh. Aku lebih mampu dari mereka, jadi aku akan menolong mereka.Seminggu yang lalu sahabatku yang mengelola butik berhenti karena ia mau menikah dan akan tinggal di luar kota. Kurasa mereka akan mau jika ditawari untuk tunggal di butik. Ya, aku bisa menolong mereka dengan cara memberikan tempat tinggal dan juga pekerjaan."Mbak, Sofia, apa kalian mau tinggal di butik? Kebetulan sahabatku yang selama ini mengelola butik tersebut berhenti karena sudah menemukan jodohnya dan diajak pindah keluar kota oleh suaminya. Aku memang berencana ingin mencari orang untuk mengelola butik tersebut. Jika kalian bersedia, kalian bisa tinggal di sana sekalian mengelola butik tersebut. Tapi tempatnya tidak terlalu luas. Gimana?""Mbak Mira serius?" tanya Sofia."Iya, kamu serius, Mir? Apa enggak ngerepotin? Kami sudah banyak merepotkanmu, Mir. Mbak jadi enggak enak.""Serius, dan aku tidak merasa direpotkan. Sebelumnya, pegawai yang lama j
Alhamdulillah … aku lega karena orang yang mencelakai mamaku dan juga Sofia sudah diamankan polisi. Semoga saja mereka segera bertaubat dan menyadari semua kesalahan yang mereka perbuat."Sofia, Mbak Nuni, aku pamit ya, soalnya Mama menungguku di rumah.""Iya, Mbak, hati-hati ya," ucap Sofia."Kamu hati-hati ya, Mir," pesan Mbak Nuni.Baru saja aku menghidupkan mesin mobil dan hendak meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya menghampiri mereka sambil marah-marah. Aku kembali mematikan mesin mobil, berniat untuk mencari tahu ada apa sebenarnya."Maaf, ini ada apa? Kenapa Ibu marah-marah pada mereka?" tanyaku penuh selidik."Mbak enggak usah ikut campur. Ini urusan saya dengan mereka!" Beliau malah membentakku, padahal aku bertanya baik-baik."Hey kalian, ayo bayar uang sewa kontrakan sekarang juga! Jika tidak sanggup membayar sewa, lebih baik kalian tinggalkan rumah ini. Lagian, saya sudah tidak sudi rumah kontrakan saya dihuni oleh kalian. Saya tahu kejah
Polisi langsung membawa surat perintah penangkapan terhadap Mas Hanif dan ibunya setelah kami melaporkan mereka ke kantor polisi. Sebelumnya, Mbak Nuni dan Sofia pulang dulu ke rumah kontrakan mereka untuk mengambil barang bukti berupa sarung tangan milik Mas Hanif yang ia simpan di bawah ranjang. Setelah mendapatkan barang bukti tersebut, Mbak Nuni dan Sofia dijemput oleh Mas Ahmad di depan gang agar tidak ketahuan, lalu membawa mereka ke kantor polisi untuk membuat laporan."Ada apa ini, Pak? Kenapa saya ditangkap? Saya merasa tidak melakukan kejahatan apapun," ucap Mas Hanif kepada anggota polisi yang datang menangkapnya. Ia membela diri."Iya, main tangkap segala. Apa salah kami?" Ibunya Mas Hanif juga menanyakan hal yang sama."Kalian ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan dan juga penganiayaan. Silakan ikut kami ke kantor," jelas salah seorang diantara mereka."Tidak! Itu fitnah. Siapa yang telah melaporkan kami, Pak? Saya tidak terima!" Mas Hanif protes."Aku, Mas." Sofia
Ternyata dugaanku benar. Rupanya Mas Hanif lah dalang di balik semua ini. Benar-benar tidak bisa dikasih ampun!"Aku yakin, Mbak. Mas Hanif lah pelakunya. Dia juga yang telah mencelakai Tante Diana. Aku tahu semuanya!"Degh! Jantungku berdegup kencang, tanganku mengepal, emosiku serasa naik sampai ke ubun-ubun setelah mendengar ucapan Sofia.Bajingan kamu, Mas Hanif! Benar-benar biadab!"Apa?" tanya Mama, Mama terlihat shock mendengar ucapan Sofia."Semuanya tenang dulu ya. Sekarang kita ke rumah Tante Diana dulu. Kita bicarakan semuanya di sana. Sofia, Mbak Nuni, kalian tidak usah takut. Kami akan melindungi kalian." Mas Ahmad pun kembali melajukan mobilnya.Aku melirik Mbak Nuni, tapi Mbak Nuni tidak membantah sedikitpun. Berarti apa yang dikatakan Sofia itu benar.Sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada lagi yang bicara di antara kami. Semuanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.Dua puluh menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah. Mbok Siti langsung menyambut k