Bagian 11"Pa, apa yang harus kita lakukan? Sepertinya Mama tidak akan mau maafin kita. Gimana ini, Pa?" keluhku pada Papa saat dalam perjalanan pulang. Hampir saja aku putus asa melihat perlakuan Mama padaku."Sabar, Nak. Ini baru permulaan. Tidak mudah untuk meluluhkan hati seseorang. Apalagi sudah bertahun-tahun, tentunya memberi maaf tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh waktu dan proses. Papa maklum kenapa mamamu bersikap seperti itu."Apa yang dikatakan Papa memang benar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku sangat sedih melihat sikap Mama seperti itu."Kita harus sering-sering datang ke sana agar mamamu luluh kembali. Abaikan sikap mamamu yang cuek dan kasar padamu. Pada dasarnya mamamu itu adalah wanita yang lembut dan penyanyang. Papa yakin, lambat laun pasti mamamu akan maafin kita."Aku hanya mengangguk, pandanganku tertuju pada kendaraan yang lalu lalang. Pikiranku tidak fokus."Mir, bisa kita ketemu nanti malam?" Sebuah pesan masuk dari Mas Ahmad."Sia
Bagian 12"Assalamualaikum."Aku mengucap salam setelah mengetuk pintu terlebih dahulu."Waalaikumsalam." Terdengar jawaban salam dari dalam."Mira!" Ibu mertua terkejut melihat kedatanganku."Bu." Aku meraih tangannya, lalu menyalaminya."Tumben datang kemari.""Aku kangen sama Ibu, sekalian bawa oleh-oleh buat Ibu."Mata Ibu berbinar saat melihat Tote bag yang aku tenteng."Wah, kamu baik bangat sih, mari duduk dulu." "Iya, Bu.""Kamu bawa apa?" tanya ibu mertua penasaran."Oh, ini. Tadi aku ketemu sama teman, kebetulan dia jual beli berlian. Sekalian aja aku beliin buat Ibu.""Kamu serius?" Sepertinya ibu mertua tidak percaya.Aku menyerahkan Tote bag itu pada ibu, lalu ibu pun membuka isinya."Wah, bagus bangat, ini pasti mahal. Ibu suka, Mir, makasih ya!" Mata ibu mertua berbinar memandangi satu set kalung berlian tersebut. Beliau mengambilnya, lalu memakai cincin dan juga gelang berlian tersebut di tangan kirinya.Sebenarnya tidak mahal sih, itu 'kan cuma berlian palsu. Mana mun
Bagian 13Mbak Nuni kembali ke ruang tamu menemui ibu mertua. Aku pun diam-diam mengikutinya dari belakang, untuk menguping pembicaraan mereka."Lihat bagaimana sikap Mira pada kita, Bu, menantu yang Ibu benci itu justru sangat menyayangi kita." Mbak Nuni terdengar memarahi ibu mertua."Apapun yang dia lakukan, Ibu tetap tidak akan menyukainya. Melihat wajahnya saja Ibu sudah muak, apalagi menerimanya!""Jangan menyakiti hati Mira, Bu. Kasihan dia. Tidakkah Ibu melihat ketulusan hatinya selama ini?""Nuni, kamu jangan ngatur-ngatur Ibu ya! Hanif saja gak keberatan, kok' kamu malah sewot, sih?""Jelas aku sewot. Hadiah dari Mira Ibu terima dengan senang hati. Di depan Mira Ibu bersikap manis, tapi di belakangnya malah menusuk. Bahkan Ibu menyuruh Hanif mencari wanita lain, lalu menceraikan Mira. Tujuan Ibu sebenarnya apa, sih? Dendam masa lalu? Cukup, Bu! Jika tidak suka katakan saja. Suruh Hanif menceraikan Mira dengan cara baik-baik. Bukannya malah memoroti hartanya setelah itu menca
Bagian 14"Dia anu apa, Mas? Katakan sejujurnya. Jangan berbelit-belit!""Iya, dia memang ada hubungan dengan Mas, tapi-""Dia itu sepupunya Hanif," sahut ibu mertua, memotong ucapan Mas Hanif."Iya, Mir, Sofia ini saudara sepupunya Mas. Dia datang dari kampung dan hendak mencari pekerjaan. Kebetulan di kantor Mas sedang ada lowongan, jadi Mas masukin dia ke kantornya Mas." Mas Hanif membenarkan ucapan ibunya."Mbak, Mas, aku permisi dulu, ya, buru-buru soalnya." Wanita yang bernama Sapi itu pun mohon diri.Aku hendak menyusulnya, tetapi Mas Hanif malah menahanku."Mas kenapa menahanku segala? Si Sapi ke sini naik mobil ya?""Namanya Sofia Mir, bukan sapi.""Sama saja lah! Eh, tunggu, Kok suara mobilnya sama seperti suara mobilku yang hilang itu, ya? Aku mau liat, Mas!" Aku menghempaskan tangan Mas Hanif dengan kasar, namun sayangnya mobil itu sudah tidak berada di sana. Baguslah, aku juga belum ingin membongkar semuanya sekarang. Aku hanya ingin menakut-nakutinya saja."Mir … Mir …
Bagian 15"Mira, kamu benar-benar istri durhaka ya! Tega-teganya ninggalin Mas," protes Mas Hanif begitu ia tiba di rumah. Aku memang sampai di rumah lebih dahulu daripada Mas Hanif.Aku diam saja, tidak menanggapi ucapannya. Malas berdebat terus menerus dengannya."Mas kecewa sama kamu. Kamu sudah berubah, Mir. Bukan cuma tidak bisa memberikan anak, tapi kamu sudah menjadi istri durhaka, Mira!"Darahku terasa mendidih mendengar ucapannya. Aku sangat tidak suka jika Mas Hanif sudah membahas soal aku yang tidak bisa memberi keturunan."Kamu bilang apa barusan?" Saking emosinya, bahkan aku lupa memanggilnya dengan sebutan Mas. "Kamu ingin aku mengulanginya lagi? Oke! Bukan cuma tidak bisa melahirkan anak, tapi kamu juga sudah menjadi istri durhaka. Kamu memperlakukanku di depan Ibu dan Mbak Nuni. Kamu sudah membuatku kehilangan harga diri, Mira!" "Aku begini gara-gara kamu, Mas! Aku tidak bisa hamil karena kamu selalu menyuruhku meminum jamu buatan ibumu, kamu bilang belum ingin memil
Bagian 16"Kamu kenapa, Nak? Kenapa pipimu memerah seperti itu? Seperti bekas tamparan. Apa suamimu menyakitimu?" tanya Papa begitu aku tiba di rumahnya."Ayo duduk dulu." Papa mengajakku ke ruang tengah."Mbok, tolong bikinin minum ya!" perintah Papa."Baik, Tuan."Setelah kami duduk di atas sofa ruang tengah, aku pun menjelaskan semuanya kepada Papa. Papa sangat marah mendengar penjelasanku, tapi Papa masih bisa meredam emosinya setelah aku meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa.Justru bagus, aku akan menjadikan semua ini sebagai bukti untuk menggugat cerai Mas Hanif ke pengadilan. Bukan hanya selingkuh, tetapi Mas Hanif juga sudah melakukan kekerasan dalam rumah tangga, terhadapku."Kamu tenang saja, Nak, papa tidak akan membiarkan suamimu menyakitimu lagi. Kamu tahu 'kan? Relasi papa itu banyak. Bahkan pemilik perusahaan tempat Hanif bekerja adalah sahabat baik papa. Sekali papa bertindak, maka karier si Hanif itu akan hancur." Ya, aku tahu akan hal itu. Berkat Papa lah, sehingg
Bagian 17"Diana, Mas tahu, kamu tidak akan mungkin percaya jika kata-kata itu keluar dari mulut Mas. Mas harap kamu percaya setelah mendengar rekaman suara itu," kata Papa."Masa bodo, sudah terlambat! Kemana saja selama ini?" ketus Mama."Ma, tolong buka hati Mama buat aku dan Papa. Kami butuh Mama." Aku menangkupkan kedua tangan. Berharap mendapatkan maaf dari wanita yang telah melahirkanku itu."Apa yang dikatakan Mama itu ternyata benar. Ibu mertua memang sangat jahat. Bodohnya, aku tidak mengetahui semua itu. Ternyata ibu mertuaku lah yang telah menyebabkan Mama sama Papa berpisah. Aku mohon maafin aku, Ma." Air mata tidak bisa lagi kutahan, mengalir begitu saja dari kelopak mataku."Ma, silakan hukum aku, pukul dan maki-maki. Aku rela, Ma, asalkan Mama mau maafin kesalahan aku.""Diana, tolong maafin Mas juga, ya! Selama ini Mas sudah berusaha menjelaskan bahwa Mas hanya dijebak oleh wanita itu. Tapi kamu tidak mau percaya.""Ma, lihat pipiku, Ma, ini adalah bekas tamparan dari
Bagian 18"Mama beneran sudah maafin aku, kan?" Aku kembali bertanya setelah Mama melepas pelukannya.Mama tersenyum, senyuman yang sudah lama tidak kulihat dan sangat kurindukan. "Iya, Sayang!"Aku kembali memeluknya, rasanya aku bahagia sekali hari ini."Kamu juga maafin Mas kan Diana?" tanya Papa.Mama melepas pelukannya, lalu menoleh pada Papa. "Aku memang sudah maafin Mira, tapi tidak denganmu, Mas. Aku tidak bisa menerima pengkhianatanmu," ucap Mama dengan tegas."Ma, aku mohon, maafin Papa juga ya. Papa enggak salah, Ma. Ibu mertua yang sudah merencanakan semua itu.""Kamu tidak tahu, Mir! Kelihatannya aja papamu ini baik, namun nyatanya hatinya busuk. Dia itu tukang selingkuh!" Mama mengarahkan jari telunjuknya ke arah Papa. "Kelakuannya sama dengan Hanif, suamimu," ucap Mama lagi."Diana, harus berapa kali Mas katakan, Mas tidak pernah selingkuh. Mas dijebak!" Papa membela diri."Mana ada maling yang mau ngaku, kalau ngaku penjara bakalan penuh," sahut Mama tidak mau kalah.
"Sekarang kamu harus bertanggung jawab padanya, Mas," kata wanita itu. "Baik, sesuai janjiku, aku akan menanggung biaya hidup dan juga biaya sekolahnya sampai perguruan tinggi," jawab Mas Ahmad."Mas, itu tidak adil. Dia bukan hanya butuh materi, tapi butuh kasih sayang juga, Mas," protes wanita. "Jadi mau kamu gimana?" Mas Ahmad terlihat bingung. "Aku maunya kita tinggal bersama, Mas. Aku tidak akan memintamu menikahiku. Cukup Mas izinkan aku dan Alkha saja tinggal di rumahmu. Sudah cukup."Apa-apaan ini?"Mana mungkin kita tinggal bersama, Ajizah. Tidak tidak!" Mas Ahmad menolak."Itu merupakan satu-satunya cara agar anak kita bisa dekat denganmu, Mas."Tampaknya ada udang di balik batu. Dan aku sudah mengerti apa yang wanita itu inginkan."Ibu tidak setuju. Itu tidak baik," sahut ibu mertua."Aku juga tidak setuju. Karena aku tidak ingin ada orang ketiga di dalam rumah tanggaku nantinya." Akhirnya setelah sekian lama, aku angkat bicara."Kamu menyebutku orang ketiga? Seharusnya
Apa mungkin aku telah salah mengambil keputusan? Apa mungkin menikah dengan Mas Ahmad bukankah keputusan yang tepat? Entahlah!Selesai makan, Mas Ahmad menepati janjinya. Ia pamit padaku untuk mengantar wanita itu pulang. Aku ditinggal sendirian di dalam kamar karena Ibu mertua juga lelah dan butuh Istirahat.Malam yang seharusnya kamu lalui dengan penuh sukacita sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pun kulalui seorang diri.Dua jam sudah berlalu sejak kepergian Mas Ahmad. Belum juga ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali. Padahal jarak dari sini ke rumah mantan istrinya itu hanya memakan waktu tiga puluh menit. Yang artinya, satu jam pulang pergi. Ini sudah dua jam, namun Mas Ahmad belum juga kembali.Apa mungkin mereka sedang bernostalgia? Apa mungkin Mas Ahmad akan kembali kepada mantan istrinya itu?Hatiku sakit. Batinku menjerit. Aku menangis dalam diam. Kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa, kasur dengan sprei putih yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar mer
Setibanya di rumah Mas Ahmad, asisten rumah tangganya menyambut kami dengan ramah. Katanya hidangan sudah siap, persis seperti apa yang diminta oleh sang majikan."Mira, selamat datang. Ini adalah rumah Ibu dan Ahmad, yang berarti rumahmu juga. Semoga mantu Ibu betah tinggal di sini."Ibunya Mas Ahmad yang kini sudah menjadi ibu mertuaku menuntunku memasuki rumah. Namun langkah kami tiba-tiba terhenti saat melihat seorang wanita sedang duduk di teras bersama seorang anak kecil. Siapa wanita itu?"Ajizah?" Ibunya Mas Ahmad menatap wanita itu dengan tatapan tak suka.Ajizah? Bahkan aku belum pernah mendengar nama itu sebelumya."Bu," sapa wanita itu. Ia menghampiri kami dan langsung meraih tangan ibu mertuaku, lalu mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu? Ibu makin cantik dan awet muda," pujinya. Namun ibu mertua tak merespon ucapannya."Nak, salim sama Nenek," kata wanita itu sambil mendekatkan putranya kepada ibu mertua yang berdiri persis di sampingku.Ibu mertua menerima uluran
Di sepertiga malam, aku menunaikan sholat istikharah dua raka'at. Aku memohon, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Kupasrahkan urusanku kepada-nya karena aku tahu Allah mengetahui apa yang terbaik untukku.Setelah selesai berdoa, aku membuka Alquran, membuka surat Al Mulk dan membacanya beserta terjemahannya. Hingga tak terasa kantuk datang menyerang dan akhirnya aku tertidur di atas sajadah.Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku pun bangun, membuka mukena dan segera mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, aku pun menunaikan ibadah sholat subuh. Lanjut berdoa dan kembali meminta petunjuk kepada Allah.Siangnya, begitu tiba waktu dhuhur, aku kembali menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Menunaikan sholat dhuhur empat rakaat. Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Makan pun diantar oleh asisten rumah tangga. Kebetulan rumah sepi karena Mama dan Papa sedang keluar dan aku hanya sendirian di rumah. Membu
Setelah selesai makan malam, kami pun duduk di ruang tamu. Mas Ahmad memulai pembicaraan dengan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mas Ahmad bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ternyata ia memiliki masa lalu yang kelam. Mas Ahmad pernah mengonsumsi obat-obatan terlarang. Bahkan sempai ketergantungan. Satu hal lagi yang berhasil membuatku terkejut, ternyata Mas Ahmad sudah pernah menikah dan sudah pisah dari istrinya. Tepatnya dua tahun lalu lalu. Istrinya menggugat cerai Mas Ahmad karena tidak pernah memberi nafkah. Semua gaji Mas Ahmad ia gunakan untuk membeli obat-obatan terlarang. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya. Itu sebabnya istrinya meninggalkan Mas Ahmad.Setelah istrinya pergi, Mas Ahmad baru menyadari kesalahannya. Kebetulan ia bertemu dengan seorang guru ngaji, dan orang tersebut lah yang membimbing Mas Ahmad. Mas Ahmad mulai meninggalkan kebiasaannya, ia bertaubat dan mulai memperdalam ilmu agama. Butuh waktu yang lama untuk meninggalkan kebiasaan buruk
Sungguh, aku kasihan sekali mendengarnya. Hati sanubariku tersentuh. Aku lebih mampu dari mereka, jadi aku akan menolong mereka.Seminggu yang lalu sahabatku yang mengelola butik berhenti karena ia mau menikah dan akan tinggal di luar kota. Kurasa mereka akan mau jika ditawari untuk tunggal di butik. Ya, aku bisa menolong mereka dengan cara memberikan tempat tinggal dan juga pekerjaan."Mbak, Sofia, apa kalian mau tinggal di butik? Kebetulan sahabatku yang selama ini mengelola butik tersebut berhenti karena sudah menemukan jodohnya dan diajak pindah keluar kota oleh suaminya. Aku memang berencana ingin mencari orang untuk mengelola butik tersebut. Jika kalian bersedia, kalian bisa tinggal di sana sekalian mengelola butik tersebut. Tapi tempatnya tidak terlalu luas. Gimana?""Mbak Mira serius?" tanya Sofia."Iya, kamu serius, Mir? Apa enggak ngerepotin? Kami sudah banyak merepotkanmu, Mir. Mbak jadi enggak enak.""Serius, dan aku tidak merasa direpotkan. Sebelumnya, pegawai yang lama j
Alhamdulillah … aku lega karena orang yang mencelakai mamaku dan juga Sofia sudah diamankan polisi. Semoga saja mereka segera bertaubat dan menyadari semua kesalahan yang mereka perbuat."Sofia, Mbak Nuni, aku pamit ya, soalnya Mama menungguku di rumah.""Iya, Mbak, hati-hati ya," ucap Sofia."Kamu hati-hati ya, Mir," pesan Mbak Nuni.Baru saja aku menghidupkan mesin mobil dan hendak meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya menghampiri mereka sambil marah-marah. Aku kembali mematikan mesin mobil, berniat untuk mencari tahu ada apa sebenarnya."Maaf, ini ada apa? Kenapa Ibu marah-marah pada mereka?" tanyaku penuh selidik."Mbak enggak usah ikut campur. Ini urusan saya dengan mereka!" Beliau malah membentakku, padahal aku bertanya baik-baik."Hey kalian, ayo bayar uang sewa kontrakan sekarang juga! Jika tidak sanggup membayar sewa, lebih baik kalian tinggalkan rumah ini. Lagian, saya sudah tidak sudi rumah kontrakan saya dihuni oleh kalian. Saya tahu kejah
Polisi langsung membawa surat perintah penangkapan terhadap Mas Hanif dan ibunya setelah kami melaporkan mereka ke kantor polisi. Sebelumnya, Mbak Nuni dan Sofia pulang dulu ke rumah kontrakan mereka untuk mengambil barang bukti berupa sarung tangan milik Mas Hanif yang ia simpan di bawah ranjang. Setelah mendapatkan barang bukti tersebut, Mbak Nuni dan Sofia dijemput oleh Mas Ahmad di depan gang agar tidak ketahuan, lalu membawa mereka ke kantor polisi untuk membuat laporan."Ada apa ini, Pak? Kenapa saya ditangkap? Saya merasa tidak melakukan kejahatan apapun," ucap Mas Hanif kepada anggota polisi yang datang menangkapnya. Ia membela diri."Iya, main tangkap segala. Apa salah kami?" Ibunya Mas Hanif juga menanyakan hal yang sama."Kalian ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan dan juga penganiayaan. Silakan ikut kami ke kantor," jelas salah seorang diantara mereka."Tidak! Itu fitnah. Siapa yang telah melaporkan kami, Pak? Saya tidak terima!" Mas Hanif protes."Aku, Mas." Sofia
Ternyata dugaanku benar. Rupanya Mas Hanif lah dalang di balik semua ini. Benar-benar tidak bisa dikasih ampun!"Aku yakin, Mbak. Mas Hanif lah pelakunya. Dia juga yang telah mencelakai Tante Diana. Aku tahu semuanya!"Degh! Jantungku berdegup kencang, tanganku mengepal, emosiku serasa naik sampai ke ubun-ubun setelah mendengar ucapan Sofia.Bajingan kamu, Mas Hanif! Benar-benar biadab!"Apa?" tanya Mama, Mama terlihat shock mendengar ucapan Sofia."Semuanya tenang dulu ya. Sekarang kita ke rumah Tante Diana dulu. Kita bicarakan semuanya di sana. Sofia, Mbak Nuni, kalian tidak usah takut. Kami akan melindungi kalian." Mas Ahmad pun kembali melajukan mobilnya.Aku melirik Mbak Nuni, tapi Mbak Nuni tidak membantah sedikitpun. Berarti apa yang dikatakan Sofia itu benar.Sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada lagi yang bicara di antara kami. Semuanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.Dua puluh menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah. Mbok Siti langsung menyambut k