Share

3. Sedikit Memaksa

Author: Ade Esriani
last update Last Updated: 2023-09-08 22:29:20

Bagian 3

"Dasi kamu kok' berantakan, Mas?"

"Iya, soalnya Mas gerah!"

"Gerah? Kan ada AC? AC-nya tidak dihidupin ya? Sini biar aku cek ke dalam!"

"Tunggu!" Mas Hanif menghalangiku, tapi aku langsung saja menerobos masuk.

Seorang wanita yang mengenakan rok di atas lutut sedang berdiri di depan meja kerjanya Mas Hanif. mungkin wanita itu tidak sadar jika kancing bajunya bagian atas terbuka sehingga menampakkan pemandangan yang tidak pantas untuk dilihat. Sepertinya ia sengaja, atau jangan-jangan telah terjadi sesuatu di ruangan ini.

"Oh, ada tamu, ya!" ucapku sambil memandangi wanita itu.

"Iya, staf baru," jawab Mas Hanif.

Staf baru? Enggak salah? Tadi sekretarisnya bilang klien, sekarang staf. Aku semakin yakin bahwa suamiku memang ada main sama wanita ini.

"Sofia, kamu boleh keluar. Saya mau bicara dengan istri saya."

Sofia? Ya, aku ingat sekarang. Kontak yang mengirim pesan ke nomor Mas Hanif bernama Sofia. Berarti mobilku ada bersama wanita itu.

Jika saja aku menuruti emosi, sudah kuludahi wajah Mas Hanif dan menghajar habis-habisan wanita yang berada di depan mataku ini sampai babak belur. Tapi aku masih bisa mengendalikan diri. Aku ingin lihat sampai sejauh mana permainan mereka. Balas dendam dengan cara bar-bar itu tidak seru. Baiklah, aku akan membalas mereka dengan cara yang elegan.

"Baik, Pak!" Wanita itu mengangguk tanda patuh.

"Tunggu!" Aku mencegahnya.

"Kenapa, Mir? Kenapa kamu mencegahnya?"

"Staf baru kok' berani banget ya! Mau kerja atau mau jual diri? Pakaianmu sama sekali tidak sopan. Rok di atas lutut, kancing bajumu juga terbuka. Kamu sengaja ya ingin menarik perhatian suami saya?" Aku sengaja berkata seperti itu untuk melihat reaksi mereka berdua.

"Ma--maaf," ucap wanita itu terbata sambil merapikan kancing bajunya.

"Kamu kok' ngomongnya gitu, Mir?" Mas Hanif protes.

"Aku tidak suka melihat cara berpakaiannya, Mas! Dengan caranya berpakaian seperti itu, sama saja dia memamerkan auratnya."

"Tapi kan bisa dibicarakan baik-baik, Mir!"

"Kelihatannya Mas tidak suka jika aku memprotes penampilannya. Atau jangan-jangan Mas malah menyukai wanita ini?"

"Bukan begitu, Sayang. Mas cuma tidak ingin kamu terlalu mengurusi urusan orang lain, Itu saja!" kilahnya, ia pikir aku ini wanita bod*h apa?

"Aku tidak mau jika sampai kamu tergoda oleh wanita lain, Mas!" Terpaksa aku bervakting di depan wanita yang tidak tahu diri itu. Padahal aku sudah sangat muak dengan semua ini.

"Tidak akan, Sayang! Hanya kamu wanita yang Mas cintai di dunia ini. Tiada yang lain. Kamu harus ingat satu hal bahwa Mas tidak akan pernah tergoda oleh wanita lain. Tidak akan."

Mas Hanif meraih tanganku, lalu mengecupnya.

Gombal! Aku tidak akan termakan oleh rayuan manismu lagi, Mas! Cukup sudah!

Sejenak kulirik wanita itu, wajahnya terlihat kesal. Tangannya juga mengepal. Pasti ia cemburu melihat kemesraan kami. Rasain! Itulah resikonya jika menjalin hubungan dengan lelaki beristri.

"Saya permisi, Pak!" Wanita itu berjalan menuju pintu, sesekali ia menoleh ke kebelakang.

Akhirnya wanita itu pergi juga. Aku yakin, setelah ini, ia pasti akan marah pada Mas Hanif.

Emang gue pikirin! Memang itulah yang kuharap kan.

"Oh ya, ngapain kamu kesini?" tanya Mas Hanif sesaat setelah wanita itu meninggalkan kami berdua.

"Enggak boleh?" tanyaku balik.

"Boleh dong! Kok' tumben?"

"Aku ingin mendesakmu agar secepatnya melaporkan kasus pencurian mobilku itu!"

"Itu pasti, tapi setelah kerjaan mas selesai ya! Mas janji!"

"Aku enggak mau, Mas! Maunya sekarang!"

"Belum bisa, Sayang. Kamu sabar, ya!"

"Kalau gitu biar aku saja yang buat laporan ke kantor polisi!"

"Jangan! Enggak usah!" Mas Hanif terlihat cemas. Aku tahu, ia pasti ketakutan sekarang. Takut rahasianya akan terbongkar!

Mungkin ia lupa dengan kata pepatah.

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga.

Ya, sepandai-pandainya Mas Hanif menyimpan rahasianya, suatu saat pasti akan terbongkar juga.

"Apa bedanya sih, Mas! Kamu kan banyak urusan," protesku tidak suka.

"Jangan, Sayang. Kamu sedang menjalankan program kehamilan. Mas tidak mau jika hal ini menambah beban pikiranmu."

Kamulah yang sengaja menambah beban beban pikiranku, Mas! Kamu sendiri yang telah menebarkan bendera perang di antara kita. Kamu jahat Mas, tega menghianati ketulusan cintaku.

"Sekali tidak tetap tidak. Jika Mas tidak bisa, baiklah, biar aku saja. Permisi!"

"Tunggu, Mira." Mas Hanif menghadangku. "Baiklah, Mas akan menemanimu."

"Gitu dong, ayo kita berangkat sekarang!"

Mas Hanif terlihat pasrah. Aku tahu ia melakukan ini dengan terpaksa.

Mari kita lihat, apakah setelah ini masih ada alasan untuk menunda melaporkan kasus pencurian mobil tersebut.

Sesampainya di parkiran, aku dan Mas Hanif masuk ke dalam mobil. Lalu

Mas Hanif mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.

Sepanjang perjalanan, Mas Hanif tampak gelisah. Aku tahu, ia pasti takut untuk melapor ke kantor polisi.

Berulangkali mengecek ponsel, padahal tidak ada yang menghubunginya ponselnya. Mencurigakan!

Tiba-tiba saja, Mas Hanif menginjak rem, membuatku terkejut.

"Apa-apan sih, Mas? Kok' ngerem mendadak gitu?" protesku, kesal padanya.

"Maafin Mas, Mir. Mas lupa bahwa mas harus menghadiri meeting lima belas menit lagi. Kamu pulang naik taksi saja, ya, Mas takut telat jika mengantarmu lebih dulu."

Alasan! Pasti Mas Hanif hanya ingin mengelak. Kamu takut kedokmu terbuka kan' Mas?

"Jadi Mas mau nurunin aku di pinggir jalan, begitu?" Aku memasang wajah tidak suka, biar ia tahu bahwa aku benar-benar kesal padanya.

"Bukan maksud mas seperti itu, Mir. Ini adalah tuntutan pekerjaan. Tolong mengertilah!" Mas Hanif berusaha merayuku.

"Kamu turun sekarang, ya, mas takut telat loh!" Mas Hanif seolah menginginkan agar aku segera turun dari mobilnya.

Aku tahu, pasti ia hanya akal-akalannya saja.

"Kamu tahu, Mas, inilah alasannya kenapa aku mendesakmu untuk melaporkan kasus pencuri mobil itu ke kantor polisi. Aku ingin agar mobilku segera kembali, Mas. Aku malas kemana-mana naik taksi."

"Kenapa enggak beli mobil lagi? Mobil yang sudah hilang akan sulit untuk ditemukan. Polisi juga tidak akan langsung menemukannya. Saran Mas sih lebih baik kamu beli mobil baru saja."

"Engak! Itu mobil kesayanganku. Bahkan mobilku itu jauh lebih mahal dari harga mobilmu ini. Aku akan berusaha bagaimanapun caranya agar mobil kesayanganku itu segera ditemukan."

Mas Hanif terlihat kesal mendengar jawabanku. Aku tahu, itulah maunya. Ia ingin agar aku membeli mobil baru agar aku tidak lagi mencari mobil yang telah diberikannya pada gundiknya itu.

"Sabar ya, Sayang. Mas janji akan segera mengurusnya. Sekarang kamu turun dulu, mas mau kembali ke kantor." Mas Hanif sedikit memaksa.

"Aku? Turun? Enggak! Kamu saja yang turun. Selama mobilku belum ditemukan, maka aku yang akan memakai mobilmu, Mas."

"Jangan gitu, dong Mira. Masa iya mas harus naik taksi kemana-mana? Kan gak lucu." Mas Hanif protes pada keputusanku.

"Kan kamu yang ngilangin mobilku, jadi tanggung sendiri akibatnya. Udah sana, turun! Ntar telat loh!" Gantian, sekarang aku yang memaksanya turun. Emang enak! Siapa suruh bermain-main denganku.

Akhirnya Mas Hanif mengalah, ia pun turun dari mobil. Setelah itu aku berpindah ke bangku kemudi, langsung tancap gas, meninggalkan Mas Hanif yang masih berdiri di pinggir jalan.

Bersambung

Related chapters

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   4. Teringat Masa Lalu

    Bagian 4Ponsel yang sedang berada di dalam tasku bergetar. Aku pun segera menepikan mobil, lalu mengambilnya dari dalam tas. Ternyata sudah banyak chat yang masuk ke ponselku."Kamu jahat, Mas. Kamu bilang hanya mencintai istrimu seorang. Lalu aku ini apa?" Pesan dari wanita yang bernama Sapi. Namanya memang Sofia, tapi bahuku dia lebih cocok dipanggil sapi."Terus mau kamu gimana? Kamu ingin istriku mengetahui hubungan kita? Mikir yang cerdas, dong, Sofi!""Tapi enggak begitu juga, kali, Mas! Senang-senangnya sama aku, masa yang dipuji wanita mandul itu, sih?"Senang-senang? Apa maksudnya? Terus, wanita mandul, apakah yang dimaksud wanita itu adalah aku?Ya Allah … sakit sekali rasanya disebut sebagai wanita mandul.Pikiranku mulai tidak tenang. Rasa hangat mulai menguar dan menyebar ke setiap inci tubuhku. Aku tidak sanggup membayangkan jika suamiku telah membagi tubuhnya dengan wanita lain.Ternyata ini yang disembunyikan Mas Hanif dariku. Untung semalam aku sempat menyadap ponsel

    Last Updated : 2023-09-08
  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   5. alat Untuk Balas Dendam

    Bagian 5Sudah malam begini, Mas Hanif belum pulang juga, padahal tadi ia janji mau pulang cepat setelah selesai meeting. Ponselnya pun tidak bisa dihubungi.Kamu kemana sih, Mas? Kenapa enggak ngasih kabar?Sebenarnya aku sama sekali tidak mengkhawatirkannya, hanya saja aku takut jika ternyata Mas Hanif malah bersama wanita itu. Aku tidak rela! Untuk menjawab rasa penasaranku, aku pun berniat menyusulnya. Aku harus mendatangi kantornya.Segera ku keluarkan mobil dari garasi, kemudian mengendarainya dengan kecepatan sedang hingga akhirnya tiba di kantor Mas Hanif."Pak, Bapak Hanif masih di dalam? Lembur ya?" tanyaku pada Pak satpam yang sedang berjaga."Pak Hanif sudah pulang sejak sore tadi, Mbak, dan seluruh karyawan serta staf kantor sudah pada pulang semuanya.""Bapak yakin?" Karena ragu, aku kembali bertanya. "Yakin, Mbak.""Yasudah kalau begitu, terima kasih, Pak, saya pamit dulu.""Silakan, Mbak!"Kemana kamu, Mas? Apalagi yang kamu lakukan?Akhirnya aku memutuskan untuk pul

    Last Updated : 2023-09-08
  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   6. Dia lagi?

    Bagian 6"Pa, aku mau tinggal di sini ya, bareng Papa," ucapku kepada Papa kala itu."Loh, kok' mendadak gini? Terus, Mama setuju?" tanya Papa, terlihat raut kebingungan di wajahnya."Aku kabur, Pa. Aku enggak mau lagi tinggal sama Mama.""Kenapa? Sebenarnya apa yang terjadi? Cerita sama Papa, Nak!""Aku kesal sama Mama. Mama enggak mau restuin hubungan aku sama Mas Hanif, Pa. Mama malah menyangkut pautkannya dengan urusan pribadinya," protesku."Namamu pasti punya alasan yang kuat, Nak. Pasti mamamu ingin yang terbaik untukmu. Tidak ada orangtua yang ingin menjerumuskan anaknya. Semua orang tua menginginkan anaknya bahagia, Nak." Papa mencoba menasehatiku."Kebahagiaan aku tuh Mas Hanif, Pa. Aku yakin pasti akan bahagia hidup bersama dia.""Kamu telah dibutakan oleh cinta, Nak. Coba pikirkan lagi keputusanmu."Mama sama Papa sama saja, tidak mengerti perasaanku."Papa minta sekarang kamu pulang dulu, temui Mama. Minta maaflah padanya. Kamu boleh tinggal di rumah ini sampai kapanpun k

    Last Updated : 2023-09-26
  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   7. Berani Melawan

    Bagian 7"Gawat, Sof, Mira telah mencari bantuan, dia berniat ingin menjebloskan orang yang sudah mencuri mobilnya." Sebuah pesan dari dari Mas Hanif masuk ke ponselku. Ada untungnya juga aku menyadap ponselnya Mas Hanif, jadi aku bisa mengetahui semua pembicaranya dengan wanita itu."Masa menghadapi istrimu aja enggak bisa sih, Mas! Tahan dia, bila perlu kurung dia sepeti yang dikatakan Ibu tadi." Pesan balasan dari wanita itu."Tidak semudah itu, Sofi. Mira itu orangnya keras kepala.""Ancam saja, Mas. Dia kan sedang menjalankan program kehamilan tuh, ancam saja bahwa Mas akan menceraikan jika dia tidak nurut juga."Wow! Bahkan wanita yang bernama Sapi itu udah berani menyuruh Mas Hanif untuk menceraikanku. Luar biasa!"Belum saatnya, Sofi. Keinginan Mas belum terwujud. Setelah semuanya berada di genggaman Mas, maka itulah yang akan Mas lakukan!"Picik sekali pikiranmu itu, Mas! Bahkan kamu tidak ingat betapa aku telah berkorban banyak untukmu dan juga ibumu.Kuliahmu saja aku yang

    Last Updated : 2023-09-26
  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   8. Mengadu Kepada Papa

    Bagian 8"Mbok, Papa ada?" tanyaku pada Mbok Siti yang sedang menyapu teras depan."Ada, Non, lagi sarapan," jawab beliau.Mbok Siti adalah asisten rumah tangga Papa.Setelah mendengar jawaban Mbok Siti, aku pun langsung menuju ruang makan. "Papa."Aku langsung memeluk Papa dari belakang."Eh, anak papa, kamu sudah sarapan, Nak? Ayo sarapan sama papa."Bukannya melepas pelukan, aku bahkan memeluknya makin erat, lalu terisak di pelukannya."Kamu kenapa, Nak? Ada masalah? Cerita sama papa, Nak!" Papa menaruh sendoknya ke atas piring, menghentikan aktivitas makannya."Ayo duduk dulu, Nak." Papa mengambil tisu yang berada di atas meja, kemudian mengelap air mataku."Mbok, tolong bikinin teh hangat untuk Mira!" pinta papa kepada Mbok Siti."Iya, Tuan," sahut si Mbok."Tenang dulu ya, Nak. Papa minta jangan menangis lagi.""Ini teh hangatnya, Non." Mbok Siti menaruh gelas yang berisi teh hangat tersebut di atas meja."Makasih, Mbok.""Situ pamit ke belakang dulu ya, Tuan!""Iya, Mbok, sila

    Last Updated : 2023-09-26
  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   9. Kejahatan Yang Dilakukan Ibu Mertua

    Bagian 9"Kejadiannya sudah lama sekali, saat itu kamu masih duduk di bangku TK. Mamamu dan mamanya Hanif itu sahabatan sejak dari SMP. Saat itu Zamila menelepon papa, meminta papa untuk datang ke sebuah hotel yang tidak terlalu jauh dari kantor papa. Katanya mamamu ingin memberi kejutan buat papa. Saat Papa tiba di hotel tersebut, Zamila mengarahkan papa ke sebuah kamar hotel. Saat pintu kamar hotel terbuka, ternyata mamamu sedang tidur dalam satu selimut bersama lelaki lain. Papa marah sama mamamu, dari situlah awal mula pertengkaran kami." Papa terlihat sedih saat menceritakan kejadian itu, bahkan sampai menitikkan air mata."Terus Papa percaya begitu saja?" "Iya karena papa menyaksikannya langsung dengan mata kepala papa sendiri.""Terus gimana penjelasan Mama? Aku tidak yakin jika Mama melakukan hal serendah itu, Pa." Aku menggeleng, berusaha menahan bulir bening yang hendak keluar dari kelopak mata."Mamamu memberi penjelasan bahwa dia dijebak oleh Zamila. Zamila yang memintany

    Last Updated : 2023-09-26
  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   10. Mendatangi Rumah Mama

    Bagian 10Sesuai janji, setelah pekerjaan Papa selesai, aku dan Papa akan mendatangi rumah Mama. Aku akan meminta maaf terlebih dahulu, sekaligus ingin merayu Mama agar bersedia rujuk lagi sama Papa.Papa menjemputku di butik, dan aku ikut dengan mobil Papa.Ya, semenjak memutuskan untuk resign dari perusahaan, aku diam-diam membuka butik tanpa sepengetahuan Mas Hanif dan juga ibu mertua. Butik itu dikelola oleh Dinda, sahabatku, seorang janda yang menjadi korban perselingkuhan suaminya. Aku hanya menanam modal, dan Dinda yang mengelolanya.Mas Hanif melarangku untuk beraktivitas di luar rumah, alasannya agar program kehamilan yang sedang aku jalani berhasil. Tapi ternyata itu hanya alasannya saja. Mas Hanif melarangku keluar rumah agar ia bebas berkeliaran dengan selingkuhannya itu di luar sana.Ibu mertua sama seperti suamiku, beranggapan bahwa aku tidak lagi memiliki penghasilan setelah berhenti bekerja. Itulah sebabnya ibu mertua tidak lagi suka padaku. Menurut mereka aku hanyalah

    Last Updated : 2023-09-26
  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   11. Perhiasan Imitasi

    Bagian 11"Pa, apa yang harus kita lakukan? Sepertinya Mama tidak akan mau maafin kita. Gimana ini, Pa?" keluhku pada Papa saat dalam perjalanan pulang. Hampir saja aku putus asa melihat perlakuan Mama padaku."Sabar, Nak. Ini baru permulaan. Tidak mudah untuk meluluhkan hati seseorang. Apalagi sudah bertahun-tahun, tentunya memberi maaf tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu butuh waktu dan proses. Papa maklum kenapa mamamu bersikap seperti itu."Apa yang dikatakan Papa memang benar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa aku sangat sedih melihat sikap Mama seperti itu."Kita harus sering-sering datang ke sana agar mamamu luluh kembali. Abaikan sikap mamamu yang cuek dan kasar padamu. Pada dasarnya mamamu itu adalah wanita yang lembut dan penyanyang. Papa yakin, lambat laun pasti mamamu akan maafin kita."Aku hanya mengangguk, pandanganku tertuju pada kendaraan yang lalu lalang. Pikiranku tidak fokus."Mir, bisa kita ketemu nanti malam?" Sebuah pesan masuk dari Mas Ahmad."Sia

    Last Updated : 2023-09-27

Latest chapter

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   64. Berdamai Dengan Keadaan

    "Sekarang kamu harus bertanggung jawab padanya, Mas," kata wanita itu. "Baik, sesuai janjiku, aku akan menanggung biaya hidup dan juga biaya sekolahnya sampai perguruan tinggi," jawab Mas Ahmad."Mas, itu tidak adil. Dia bukan hanya butuh materi, tapi butuh kasih sayang juga, Mas," protes wanita. "Jadi mau kamu gimana?" Mas Ahmad terlihat bingung. "Aku maunya kita tinggal bersama, Mas. Aku tidak akan memintamu menikahiku. Cukup Mas izinkan aku dan Alkha saja tinggal di rumahmu. Sudah cukup."Apa-apaan ini?"Mana mungkin kita tinggal bersama, Ajizah. Tidak tidak!" Mas Ahmad menolak."Itu merupakan satu-satunya cara agar anak kita bisa dekat denganmu, Mas."Tampaknya ada udang di balik batu. Dan aku sudah mengerti apa yang wanita itu inginkan."Ibu tidak setuju. Itu tidak baik," sahut ibu mertua."Aku juga tidak setuju. Karena aku tidak ingin ada orang ketiga di dalam rumah tanggaku nantinya." Akhirnya setelah sekian lama, aku angkat bicara."Kamu menyebutku orang ketiga? Seharusnya

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   63. Kecewa Berat

    Apa mungkin aku telah salah mengambil keputusan? Apa mungkin menikah dengan Mas Ahmad bukankah keputusan yang tepat? Entahlah!Selesai makan, Mas Ahmad menepati janjinya. Ia pamit padaku untuk mengantar wanita itu pulang. Aku ditinggal sendirian di dalam kamar karena Ibu mertua juga lelah dan butuh Istirahat.Malam yang seharusnya kamu lalui dengan penuh sukacita sebagai pasangan pengantin yang baru menikah pun kulalui seorang diri.Dua jam sudah berlalu sejak kepergian Mas Ahmad. Belum juga ada tanda-tanda bahwa ia akan kembali. Padahal jarak dari sini ke rumah mantan istrinya itu hanya memakan waktu tiga puluh menit. Yang artinya, satu jam pulang pergi. Ini sudah dua jam, namun Mas Ahmad belum juga kembali.Apa mungkin mereka sedang bernostalgia? Apa mungkin Mas Ahmad akan kembali kepada mantan istrinya itu?Hatiku sakit. Batinku menjerit. Aku menangis dalam diam. Kamar pengantin yang sudah dihias sedemikian rupa, kasur dengan sprei putih yang sudah ditaburi kelopak bunga mawar mer

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   62. Tamu Tak Diundang

    Setibanya di rumah Mas Ahmad, asisten rumah tangganya menyambut kami dengan ramah. Katanya hidangan sudah siap, persis seperti apa yang diminta oleh sang majikan."Mira, selamat datang. Ini adalah rumah Ibu dan Ahmad, yang berarti rumahmu juga. Semoga mantu Ibu betah tinggal di sini."Ibunya Mas Ahmad yang kini sudah menjadi ibu mertuaku menuntunku memasuki rumah. Namun langkah kami tiba-tiba terhenti saat melihat seorang wanita sedang duduk di teras bersama seorang anak kecil. Siapa wanita itu?"Ajizah?" Ibunya Mas Ahmad menatap wanita itu dengan tatapan tak suka.Ajizah? Bahkan aku belum pernah mendengar nama itu sebelumya."Bu," sapa wanita itu. Ia menghampiri kami dan langsung meraih tangan ibu mertuaku, lalu mencium punggung tangannya. "Apa kabar, Bu? Ibu makin cantik dan awet muda," pujinya. Namun ibu mertua tak merespon ucapannya."Nak, salim sama Nenek," kata wanita itu sambil mendekatkan putranya kepada ibu mertua yang berdiri persis di sampingku.Ibu mertua menerima uluran

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   61. Hari Bahagia

    Di sepertiga malam, aku menunaikan sholat istikharah dua raka'at. Aku memohon, meminta petunjuk kepada Allah SWT. Kupasrahkan urusanku kepada-nya karena aku tahu Allah mengetahui apa yang terbaik untukku.Setelah selesai berdoa, aku membuka Alquran, membuka surat Al Mulk dan membacanya beserta terjemahannya. Hingga tak terasa kantuk datang menyerang dan akhirnya aku tertidur di atas sajadah.Sayup sayup terdengar suara adzan subuh dari masjid yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah. Aku pun bangun, membuka mukena dan segera mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, aku pun menunaikan ibadah sholat subuh. Lanjut berdoa dan kembali meminta petunjuk kepada Allah.Siangnya, begitu tiba waktu dhuhur, aku kembali menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslim. Menunaikan sholat dhuhur empat rakaat. Seharian ini aku hanya mengurung diri di kamar. Makan pun diantar oleh asisten rumah tangga. Kebetulan rumah sepi karena Mama dan Papa sedang keluar dan aku hanya sendirian di rumah. Membu

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   60. Dilamar

    Setelah selesai makan malam, kami pun duduk di ruang tamu. Mas Ahmad memulai pembicaraan dengan mengutarakan maksud dan tujuannya. Mas Ahmad bercerita panjang lebar tentang masa lalunya. Ternyata ia memiliki masa lalu yang kelam. Mas Ahmad pernah mengonsumsi obat-obatan terlarang. Bahkan sempai ketergantungan. Satu hal lagi yang berhasil membuatku terkejut, ternyata Mas Ahmad sudah pernah menikah dan sudah pisah dari istrinya. Tepatnya dua tahun lalu lalu. Istrinya menggugat cerai Mas Ahmad karena tidak pernah memberi nafkah. Semua gaji Mas Ahmad ia gunakan untuk membeli obat-obatan terlarang. Ia sama sekali tidak memikirkan istrinya. Itu sebabnya istrinya meninggalkan Mas Ahmad.Setelah istrinya pergi, Mas Ahmad baru menyadari kesalahannya. Kebetulan ia bertemu dengan seorang guru ngaji, dan orang tersebut lah yang membimbing Mas Ahmad. Mas Ahmad mulai meninggalkan kebiasaannya, ia bertaubat dan mulai memperdalam ilmu agama. Butuh waktu yang lama untuk meninggalkan kebiasaan buruk

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   59. Menepati Janji

    Sungguh, aku kasihan sekali mendengarnya. Hati sanubariku tersentuh. Aku lebih mampu dari mereka, jadi aku akan menolong mereka.Seminggu yang lalu sahabatku yang mengelola butik berhenti karena ia mau menikah dan akan tinggal di luar kota. Kurasa mereka akan mau jika ditawari untuk tunggal di butik. Ya, aku bisa menolong mereka dengan cara memberikan tempat tinggal dan juga pekerjaan."Mbak, Sofia, apa kalian mau tinggal di butik? Kebetulan sahabatku yang selama ini mengelola butik tersebut berhenti karena sudah menemukan jodohnya dan diajak pindah keluar kota oleh suaminya. Aku memang berencana ingin mencari orang untuk mengelola butik tersebut. Jika kalian bersedia, kalian bisa tinggal di sana sekalian mengelola butik tersebut. Tapi tempatnya tidak terlalu luas. Gimana?""Mbak Mira serius?" tanya Sofia."Iya, kamu serius, Mir? Apa enggak ngerepotin? Kami sudah banyak merepotkanmu, Mir. Mbak jadi enggak enak.""Serius, dan aku tidak merasa direpotkan. Sebelumnya, pegawai yang lama j

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   58. Bisa Bernafas Lega

    Alhamdulillah … aku lega karena orang yang mencelakai mamaku dan juga Sofia sudah diamankan polisi. Semoga saja mereka segera bertaubat dan menyadari semua kesalahan yang mereka perbuat."Sofia, Mbak Nuni, aku pamit ya, soalnya Mama menungguku di rumah.""Iya, Mbak, hati-hati ya," ucap Sofia."Kamu hati-hati ya, Mir," pesan Mbak Nuni.Baru saja aku menghidupkan mesin mobil dan hendak meninggalkan tempat tersebut, tiba-tiba saja seorang wanita paruh baya menghampiri mereka sambil marah-marah. Aku kembali mematikan mesin mobil, berniat untuk mencari tahu ada apa sebenarnya."Maaf, ini ada apa? Kenapa Ibu marah-marah pada mereka?" tanyaku penuh selidik."Mbak enggak usah ikut campur. Ini urusan saya dengan mereka!" Beliau malah membentakku, padahal aku bertanya baik-baik."Hey kalian, ayo bayar uang sewa kontrakan sekarang juga! Jika tidak sanggup membayar sewa, lebih baik kalian tinggalkan rumah ini. Lagian, saya sudah tidak sudi rumah kontrakan saya dihuni oleh kalian. Saya tahu kejah

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   57. Balasan Setimpal

    Polisi langsung membawa surat perintah penangkapan terhadap Mas Hanif dan ibunya setelah kami melaporkan mereka ke kantor polisi. Sebelumnya, Mbak Nuni dan Sofia pulang dulu ke rumah kontrakan mereka untuk mengambil barang bukti berupa sarung tangan milik Mas Hanif yang ia simpan di bawah ranjang. Setelah mendapatkan barang bukti tersebut, Mbak Nuni dan Sofia dijemput oleh Mas Ahmad di depan gang agar tidak ketahuan, lalu membawa mereka ke kantor polisi untuk membuat laporan."Ada apa ini, Pak? Kenapa saya ditangkap? Saya merasa tidak melakukan kejahatan apapun," ucap Mas Hanif kepada anggota polisi yang datang menangkapnya. Ia membela diri."Iya, main tangkap segala. Apa salah kami?" Ibunya Mas Hanif juga menanyakan hal yang sama."Kalian ditangkap atas tuduhan percobaan pembunuhan dan juga penganiayaan. Silakan ikut kami ke kantor," jelas salah seorang diantara mereka."Tidak! Itu fitnah. Siapa yang telah melaporkan kami, Pak? Saya tidak terima!" Mas Hanif protes."Aku, Mas." Sofia

  • Tunggu Pembalasanku, Mas!   56. Terungkap

    Ternyata dugaanku benar. Rupanya Mas Hanif lah dalang di balik semua ini. Benar-benar tidak bisa dikasih ampun!"Aku yakin, Mbak. Mas Hanif lah pelakunya. Dia juga yang telah mencelakai Tante Diana. Aku tahu semuanya!"Degh! Jantungku berdegup kencang, tanganku mengepal, emosiku serasa naik sampai ke ubun-ubun setelah mendengar ucapan Sofia.Bajingan kamu, Mas Hanif! Benar-benar biadab!"Apa?" tanya Mama, Mama terlihat shock mendengar ucapan Sofia."Semuanya tenang dulu ya. Sekarang kita ke rumah Tante Diana dulu. Kita bicarakan semuanya di sana. Sofia, Mbak Nuni, kalian tidak usah takut. Kami akan melindungi kalian." Mas Ahmad pun kembali melajukan mobilnya.Aku melirik Mbak Nuni, tapi Mbak Nuni tidak membantah sedikitpun. Berarti apa yang dikatakan Sofia itu benar.Sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada lagi yang bicara di antara kami. Semuanya saling diam. Larut dalam pikiran masing-masing.Dua puluh menit kemudian, akhirnya kami tiba di rumah. Mbok Siti langsung menyambut k

DMCA.com Protection Status